BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Lahan adalah suatu daerah dipermukaan bumi dengan sifat- sifat tertentu yaitu

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan,

BAB II TINJAUN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. A. Material Vulkanik Merapi. gunung api yang berupa padatan dapat disebut sebagai bahan piroklastik (pyro = api,

I. TINJAUAN PUSTAKA. bahan induk, relief/ topografi dan waktu. Tanah juga merupakan fenomena alam. pasir, debu dan lempung (Gunawan Budiyanto, 2014).

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

8/19/2015 SENAWI SNHB-FKT-UGM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. obyek penelitian terutama dari penelitian-penelitian sebelumnya. Objek Metode Bahasa Pemrograman

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Metode Analisis Kesesuaian Lahan Analisis kesesuaian lahan adalah proses pendugaan tingkat kesesuaian lahan untuk berbagai alternatif penggunaan,

TINJAUAN PUSTAKA. A. Lahan Pasir Pantai. hubungannya dengan tanah dan pembentukkannya.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis Gambaran Umum Lahan Pertanian di Area Wisata Posong Desa Tlahap terletak di Kecamatan Kledung,

I. PENDAHULUAN. bercocok tanam. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan TUJUAN evaluasi, klsifikasi lahan, dibedakan : Klasifikasi kemampuan lahan Klasifikasi kesesuaian lahan Kemampuan : penilaian komponen lah

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. devisa non migas, penyedia lapangan kerja, dan berkaitan langsung dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

TINJAUAN PUSTAKA. yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976). Vink, 1975 dalam Karim (1993)

TINJAUAN PUSTAKA. Survei Tanah. potensi sumber dayanya adalah survei. Sebuah peta tanah merupakan salah satu

2013, No.1041 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan beras di Indonesia meningkat seiring dengan peningkatan laju

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

11. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia.

I. PENDAHULUAN. penduduk di Indonesia bergantung pada sektor pertanian sebagai sumber. kehidupan utama (Suparyono dan Setyono, 1994).

TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. Survei Tanah. Untuk dapat melakukan perencanaan secara menyeluruh dalam hal

TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kata kunci : Kesesuaian lahan, Padi gogo, Lahan kering.

Kesesuaian Lahan dan Geographic Information System (GIS)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kelapa Sawit(Elaeis guineensis) tanaman kelapa sawit diantaranya Divisi Embryophyta Siphonagama, Sub-devisio

BAB I. kemampuannya. Indonesia sebagai Negara agraris memiliki potensi pertanian

3. TAHAP ANALISA CONTOH TANAH 4. TAHAP ANALISA DATA

Analisis Kesesuaian Lahan Pertanian dan Perkebunan

Gambar 1.1 Wilayah cilongok terkena longsor (Antaranews.com, 26 november 2016)

I. PENDAHULUAN. dapat menghasilkan genotip baru yang dapat beradaptasi terhadap berbagai

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

ANALISA POTENSI LAHAN UNTUK KOMODITAS TANAMAN KEDELAI DI KABUPATEN SITUBONDO

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. untuk industri atau pemukiman dan masalah pasar bagi produk pertanian. Oleh

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

BAB I PENDAHULUAN Indonesia menguasai ekspor pasar minyak sawit mentah dunia sebesar

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. merupakan bagian dari bentang alam ( Landscape) yang mencakup pengertian lingkungan

KONSEP EVALUASI LAHAN

III. METODE PENELITIAN

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) DI KECAMATAN MUARA KABUPATEN TAPANULI UTARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

Kesesuian lahan untuk tanaman tebu dipolitani

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

Evaluasi Kesesuaian Lahan Tanaman Manggis (Garcinia Mangosta Linn) Di Desa Wanayasa Kecamatan Wanayasa Kabupaten Purwakarta

Analisa Kesesuaian Lahan Dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Tanah Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 79/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN KESESUAIAN LAHAN PADA KOMODITAS TANAMAN PANGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lahan dapat disebutkan sebagai berikut : manusia baik yang sudah ataupun belum dikelola.

BAB II METODE PENELITIAN

Pengertian Sistem Informasi Geografis

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

PETA SATUAN MEDAN. TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS E - WAKAF PADA KEMENTRIAN AGAMA KOTA SURAKARTA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Desa Pandu Senjaya merupakan wilayah dengan potensi pengembangan

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikonsumsi di Indonesia, karena sekitar 45% konsumsi buah-buahan adalah

Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kopi Arabika (Coffea arabica L var Kartika Ateng ) Di Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli Utara

TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN MARGINAL KAWASAN PESISIR

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG

Session_01. - Definisi SIG - Latar Belakang - Keunggulan SIG dibanding sistem perpetaan konvensional - Contoh pemanfaatan SIG

Pemetaan Tanah.

Contents 11/11/2012. Variabel-variabel Kemampuan Lahan. Land Capability

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai peluang pasar dan arti ekonomi cukup baik. digunakan untuk pertanian dan perkebunan. Dinas Pertanian adalah sebuah

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

Pengantar Teknologi. Informasi (Teori) Minggu ke-11. Geogrphical Information System (GIS) Oleh : Ibnu Utomo WM, M.Kom UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. potensial. Berdasarkan hasil analisis ekonomi, komoditas ini memiliki nilai

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi Lahan Banyak pengertian lahan yang telah didefinisikan oleh para ahli, namun pada dasarnya mempunyai rumusan yang kurang lebih sama. Menurut Hardjowigeno, (2007) lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk didalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun masa sekarang, seperti reklamasi daerahdaerah pantai, penebangan hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan ini. Menurut FAO (1976), lahan (land) merupakan suatu daerah bentang permukaan bumi dan di bawah permukaan bumi, meliputi atmosfer, tanah, geologi, hidrologi, tumbuhan, dan hewan serta hasil aktivitas manusia masa lampau dan sekarang. Evaluasi lahan adalah proses dalam menduga kelas kesesuaian lahan dan potensi lahan untuk penggunaan tertentu, baik untuk pertanian maupun non pertanian. Kelas kesesuaian lahan suatu wilayah untuk suatu pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup iklim, tanah, terrain mencakup lereng, topografi/relief, batuan di permukaan dan di dalam penampang tanah serta singkapan batuan (rock outcrop), hidrologi, dan persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman (Djaenudin et al. 2000). Evaluasi sumberdaya lahan pada hakekatnya merupakan proses untuk menduga potensi sumberdaya lahan untuk beberapa penggunaannya. Evaluasi sumberdaya lahan berfungsi untuk memberikan pengertian tentang hubungan-hubungan antara kondisi lahan dan penggunaannya serta memberikan kepada perencana sebagai perbandingan dan alternatif pilihan penggunaan yang dapat diharapkan berhasil (Sitorus 2004).

Prinsip utama yang digunakan dalam proses evaluasi lahan menurut FAO (1976) adalah sebagai berikut: 1. Kesesuaian lahan dinilai berdasarkan jenis penggunaan lahan yang spesifik. Penggunaan lahan yang berbeda memerlukan syarat yang berbeda pula. 2. Evaluasi lahan memerlukan perbandingan antara keuntungan yang diperoleh dengan masukan yang diperlukan. 3. Memerlukan pendekatan multidisiplin dari para ahli ilmu-ilmu alam, teknologi penggunaan lahan, ekonomi, sosiologi dan lain-lain. Evaluasi hampir senantiasa memasukkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi. 4. Evaluasi dilakukan sesuai dengan kondisi-kondisi fisik lahan, sosial ekonomi daerah yang dikaji serta kondisi nasional. 5. Kesesuaian didasarkan atas penggunaan yang lestari. Aspek kerusakan atau degradasi lingkungan diperhitungkan pada saat menilai kesesuaiannya agar jangan sampai menyebabkan kerusakan lingkungan dikemudian hari meskipun dalam jangka pendek usaha tersebut sangat menguntungkan. 6. Evaluasi melibatkan perbandingan lebih dari satu jenis penggunaan lahan. Apabila hanya satu jenis penggunaan yang dipertimbangkan, maka hal ini dapat menyebabkan kerugian, di mana beberapa jenis penggunaan lain yang lebih menguntungkan tidak teramati. Ada dua cara dalam mengevaluasi lahan yaitu secara langsung dan secara tidak langsung. Pada evaluasi lahan secara langsung, lahan dievaluasi langsung melalui percobaan-percobaan, misalnya dengan menanam tanaman atau membangun jalan atau pipa-pipa minyak, untuk melihat apa yang akan terjadi. Hasil-hasil tersebut dapat digunakan hanya untuk lokasi percobaan tertentu atau untuk tujuan penggunaan tertentu lainnya (Sitorus 2004). Evaluasi lahan secara langsung mempunyai penggunaan yang sangat terbatas jika tidak disertai dengan pengumpulan data yang cukup banyak. Oleh karena itu sebagian besar pengevaluasian lahan dilakukan dengan secara tidak langsung. Proses evaluasi lahan secara tidak langsung dapat dibagi ke dalam beberapa tahap. Proses ini akan meliputi penentuan ciri lahan (land properties) yang ada hubungannya dan dapat diukur atau dianalisis tanpa memerlukan usaha-

usaha yang sangat besar. Ciri tersebut disebut karakteristik lahan (land characteristics) (Sitorus 2004). FAO (1976) memberi suatu penekanan tentang evaluasi lahan yang meliputi berbagai masalah, yaitu: 1. Keadaan pengelolaan lahan sekarang dan yang akan terjadi, bila pengelolaan sekarang tetap ada atau tidak berubah. 2. Kemungkinan perbaikan yang dapat dilakukan untuk tindakan pengelolaan, dalam rangka penggunaan lahan sekarang. 3. Penggunaan lahan yang secara fisik memungkinkan, dan relevan, baik secara ekonomi maupun secara sosial. 4. Penggunaan yang memungkinkan produksi yang lestari atau keuntungankeuntungan lainnya. 5. Pengaruh-pengaruh buruk yang mungkin timbul dari masing-masing penggunaan lahan, baik secara fisik, ekonomi dan sosial. 6. Masukan yang diperlukan secara berulang untuk mempertahankan produksi yang diinginkan, dan meminimumkan pengaruh buruknya. 7. Keuntungan-keuntungan dari masing-masing penggunaan lahan tersebut. 2.2 Evaluasi Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu tipe tanah untuk penggunaan tertentu (FAO 1983). Kelas kesesuaian lahan suatu wilayah untuk suatu pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup mencakup iklim, tanah, terrain mencakup lereng, topografi/relief, batuan di permukaan dan di dalam penampang tanah serta singkapan batuan (rock outcrop), hidrologi, dan persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman (Djaenudin et al. 2000). Sedangkan evaluasi kesesuaian lahan pada hakekatnya berhubungan dengan evaluasi untuk suatu penggunaan tertentu (Sitorus 2004). Selanjutnya FAO (1976) menegaskan bahwa bagi keperluan evaluasi lahan di negara sedang berkembang maka sangat bermanfaat adanya pemisahan antara:

a) Klasifikasi Kesesuaian Sekarang menunjukkan kesesuaian terhadap penggunaan lahan yang ditentukan dalam keadaan sekarang, tanpa ada perbaikan yang berarti, b) Klasifikasi Kesesuaian Potensial menunjukkan kesesuaian terhadap penggunaan lahan yang ditentukan dari satuan lahan dalam keadaan yang akan datang setelah diadakan perbaikan utama tertentu yang diperlukan. Metode FAO dapat dipakai untuk klasifikasi kuantitatif maupun kualitatif, tergantung dari data yang tersedia. Penilaian kesesuaian lahan dibedakan menurut tingkatannya, yaitu sebagai berikut (FAO 1976): 1) Ordo: menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu; 2) Kelas: menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan; 3) Sub-kelas : menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing-masing kelas; 4) Satuan: menunjukkan tingkat dalam subkelas didasarkan pada perbedaan - perbedaan kecil yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Ordo dan kelas biasanya digunakan dalam pemetaan tanah tinjau, subkelas untuk pemetaan tanah semi detil, dan unit untuk pemetaan tanah detil. Ordo juga digunakan dalam pemetaan tanah pada skala yang lebih kasar (eksplorasi). 2.2.1 Kesesuaian Lahan pada Tingkat Ordo Pada tingkat ordo ditunjukkan, apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk suatu jenis penggunaan lahan tertentu. Dikenal ada 2 (dua) ordo, yaitu: 1. Ordo S (sesuai): Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil pengelolaan lahan itu akan memuaskan setelah dihitung dengan masukan yang diberikan. Tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya. 2. Ordo N (tidak sesuai): Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan yang telah direncanakan. Lahan dapat digolongkan

sebagai tidak sesuai untuk digunakan bagi usaha pertanian karena berbagai penghambat, baik secara fisik (lereng sangat curam, berbatu-batu, dan sebagainya) atau secara ekonomi (keuntungan yang didapat lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan). 2.2.2 Kesesuaian Lahan pada Tingkat Kelas Kelas kesesuaian lahan adalah pembagian lebih lanjut dari ordo dan menunjukkan tingkat kesesuaian dari ordo tersebut. Kelas diberi nomor urut yang ditulis dibelakang simbol ordo, dimana nomor ini menunjukkan tingkat kelas yang makin jelek bila makin tinggi nomornya. Banyaknya kelas dalam setiap ordo sebetulnya tidak terbatas, akan tetapi dianjurkan hanya memakai tiga sampai lima kelas dalam ordo S dan dua kelas dalam ordo N. Jumlah kelas tersebut harus didasarkan kepada keperluan minimum untuk mencapai tujuan-tujuan penafsiran. Jika tiga kelas yang dipakai dalam ordo S dan dua kelas yang dipakai dalam ordo N, maka pembagian serta definisinya secara kualitatif adalah sebagai berikut: 1. Kelas S 1 : sangat sesuai (highly suitable). Lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan. 2. Kelas S 2 : cukup sesuai (moderately suitable). Lahan mempunyai pembataspembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produk atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan. 3. Kelas S 3 : sesuai marginal (marginally suitable). Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan 4. Kelas N 1 : tidak sesuai pada saat ini (currently not suitable). Lahan mempunyai pembatas yang lebih besar, masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal.

Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. 5. Kelas N 2 : tidak sesuai untuk selamanya (permanently not suitable). Lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. 2.2.3 Kesesuaian Lahan pada Tingkat Sub-kelas Sub-kelas kesesuaian lahan mencerminkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas tersebut. Tiap kelas dapat terdiri dari satu atau lebih sub-kelas, tergantung dari jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas ini ditunjukkan dengan simbol huruf kecil yang ditempatkan setelah simbol kelas. Misalnya kelas S 2 yang mempunyai pembatas kedalaman efektif (s) dapat menjadi sub-kelas S 2 s. Dalam satu sub-kelas dapat mempunyai satu, dua, atau paling banyak tiga simbol pembatas, dimana pembatas yang paling dominan ditulis paling depan. Misalnya, dalam sub-kelas S 2 ts maka pembatas keadaan topografi (t) adalah pembatas yang paling dominan dan pembatas kedalaman efektif (s) adalah pembatas kedua atau tambahan. 2.2.4 Kesesuaian Lahan pada Tingkat Satuan (Unit) Kesesuaian pada tingkat unit merupakan pembagian lebih lanjut dari subkelas kesesuaian lahan yang didasarkan atas besarnya faktor pembatas. Dengan demikian, semua unit dari subkelas yang sama memiliki tingkat kesesuaian yang sama dalam kelas dan memiliki jenis pembatas yang sama pada tingkat subkelas. Perbedaan antara satu unit dengan unit yang lain merupakan perbedaan dalam sifat-sifat atau gatra tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan seringkali merupakan perbedaan detail dari pembatas-pembatasnya. Jumlah unit dalam sub-kelas tidak dibatasi. Pemberian simbol kesesuaian lahan pada tingkat unit dilakukan dengan angka setelah simbol subkelas yang dipisahkan oleh tanda penghubung, misalnya S 2 n-1, S 2 n-2.

2.3 Parameter-Parameter Klasifikasi Kesesuaian Lahan Faktor yang digunakan sebagai kriteria dalam klasifikasi lahan merupakan sifat-sifat yang berhubungan dengan sifat lahan secara umum. Sifat-sifat lahan ini dapat dibedakan antara karakteristik lahan dan kualitas lahan (FAO 1976). Karakteristik lahan adalah sifat-sifat lahan yang dapat diukur dan dianalisa serta berdiri sendiri dalam unsur klasifikasi lahan, sedangkan kualiatas lahan merupakan sifat kompleks dari lahan yang berpengaruh terhadap kemampuannya untuk penggunaan-penggunaan tertentu, yang mana ditentukan oleh seperangkat karakteristik lahan yang berinteraksi (Sitorus 2004). Parameter yang diperlukan dalam evaluasi lahan tingkat tinjau, menurut CSR/FAO Staff (1983) dibutuhkan lima belas karakteristik lahan yang dikelompokkan atas tujuh kualitas lahan, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 2. Kualitas dan Karakteristik Lahan dalam Evaluasi Lahan Tingkat Tinjau (reconnaissance) Kualitas Lahan Karakteristik Lahan 1. Regim temperatur (t) 2. Ketersediaan air (w) 3. Kondisi perakaran (r) 4. Retensi hara (f) 5. Ketersediaan hara (n) 6. Keracunan (x) 7. Medan (s) Sumber: CSR/FAO Staff (1983) 1. Temperatur rata-rata tahunan (0 o C) 1. Bulan kering (<75 mm) 2. Curah hujan rata-rata tahunan (mm) 1. Kelas drainase tanah 2. Tekstur tanah (bagian permukaan) 3. Kedalaman perakaran (cm) 1. KTK (me/100 g tanah) sub soil 2. ph (lapisan permukaan) 1. N-total 2. P 2 O 5 tersedia 3. K 2 O 2 tersedia 1. Salinitas (mm hos/cm) lapisan bawah 1. Kemiringan lereng (%) 2. Batuan permukaan (%) 3. Batuan yang muncul dipermukaan (%) rock out crops

2.4 Tipe Penggunaan Lahan (Land UtilizationType) Djaenuddin et al. (2000) mendefinisikan bahwa tipe penggunaan lahan adalah jenis-jenis penggunaan lahan yang diuraikan secara lebih detail karena menyangkut pengelolaan, masukan yang diperlukan dan keluaran yang diharapkan secara spesifik. Sifat-sifat penggunaan lahan mencakup data dan/atau asumsi yang berkaitan dengan aspek hasil, orientasi pasar, intensitas modal, buruh, sumber tenaga, pengetahuan teknologi penggunaan lahan, kebutuhan infratstruktur, ukuran dan bentuk penggunaan lahan, pemilikan lahan dan tingkat pendapatan per unit produksi atau unit areal. Atribut dari tipe penggunaan lahan (land utilization type) meliputi data atau atribut sebagai berikut (FAO 1976): 1. Produksi, meliputi benda (tanaman, ternak, kayu), fasilitas pelayanan (fasilitas rekreasi) atau keuntungan lain (suaka margasatwa). 2. Orientasi pasar, untuk kebutuhan sendiri atau untuk dijual. 3. Tingkat ketersediaan modal. 4. Tingkat penggunaan tenaga kerja. 5. Sumber tenaga (manusia, hewan atau mesin) 6. Penguasaan teknis dan sikap penggunaan lahan. 7. Teknologi yang diterapkan (penggunaan mesin, pupuk, pestisida, jenis ternak, metode penebangan kayu). 8. Persyaratan infrastruktur (misalnya penggergajian, pabrik the, pelayanan penyuluhan). 9. Ukuran dan konfigurasi kepemilikan lahan, tersebar dimana-mana atau mengumpul dalam suatu lokasi. 10. Hak-hak atas lahan. 11. Tingkat penghasilan yang dinyatakan dalam per kapita, per satuan produksi atau persatuan luas.

2.5 Tanaman Kopi Robusta (Coffea canephora) Kopi robusta (Coffea canephora) adalah spesies tanaman berbentuk pohon. Tanaman ini tumbuh tegak, bercabang dan bila dibiarkan akan mencapai tinggi 12 m. Kondisi lingkungan tumbuh tanaman kopi yang paling berpengaruh terhadap produktivitas tanaman kopi adalah tinggi tempat dan tipe curah hujan. Sebab itu, jenis tanaman kopi yang ditanam harus disesuaikan dengan kondisi tinggi tempat dan curah hujan di daerah setempat (Muljana 2010). Lingkungan tempat tumbuh merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman kopi. Antara jenis kopi satu dengan lainnya menghendaki lingkungan tumbuh yang berbeda-beda. Untuk itu, faktor-faktor lingkungan mempengaruhi pertumbuhan tanaman kopi, seperti ketinggian tempat, curah hujan, kondisi tanah, intensitas cahaya dan angin harus disesuaikan agar pertumbuhannya bisa optimal. Anggara et al. (2011) menjelaskan bahwa tanaman kopi robusta biasanya tumbuh di dataran dengan ketinggian 400-700 m di atas permukaan laut dan masih toleran pada ketinggian di bawah 400 m di atas permukaan laut. Tanaman kopi robusta menghendaki curah hujan 2.000-3.000 mm/tahun. Namun, dengan pemberian mulsa dan teknik pengairan yang baik, tanaman kopi masih dapat tumbuh baik di lingkungan dengan curah hujan 1.000-1.300 mm/tahun. Pada tanaman kopi, curah hujan sangat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman, terutama selama proses pembungaan dan pembentukan buah. Umumnya, tanaman kopi dapat tumbuh di area dengan kondisi tanah yang gembur dan subur (kaya akan bahan organik) serta memiliki ph sekitar 4,5-6,0. Untuk menunjang pertumbuhannya, tanaman kopi harus mendapatkan penyinaran yang teratur, tetapi kopi kita menyukai intensitas cahaya matahari yang terpapar langsung. Tanaman kopi termasuk yang tidak tahan terhadap goncangan angin kencang. Selain merusak percabangan dan membuat pohon rebah, angin kencang juga meningkatkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dan daun yang menyebabkan tanaman mengalami kekeringan (Anggara et al. 2011).

Sebagai salah satu komoditas perkebunan andalan, kopi memegang peranan penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai sumber pendapatan para petani dan sumber devisa negara. Saat ini, Indonesia menjadi negara produsen kopi terbesar keempat setelah Brazil, Kolombia, dan Vietnam. Dari total komoditas kopi yang diproduksi di Indonesia, sekitar 67% digunakan untuk keperluan ekspor dan sisanya (33%) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Menurut hasil survei LPEM UI pada tahun 1989, konsumsi kopi di Indonesia adalah sebesar 500g/kapita/tahun. Dalam kurun waktu 20 tahun dari tahun 2000 2011, angka tersebut mengalami peningkatan. Sebagai negara produsen, ekspor menjadi sasaran utama pemasaran produk-produk kopi yang dihasilkan Indonesia, di antaranya ke negara-negara tujuan ekspor seperti USA, negara-negara Eropa dan Jepang. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 3. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kopi Indonesia (2000 2011) Luas Area (Ha) Produksi (ton) PR/ Tahun PR/ Small PBN/ PBS/ Jumlah/ PBN/ PBS/ Jumlah/ Small Holders Government Private Total Government Private Total Holders 2000 1,192,322 40,645 27,720 1,260,687 514,896 29,754 9,924 554,574 2001 1,258,628 26,954 27,801 1,313,383 541,476 18,111 9,647 569,234 2002 1,318,020 26,954 27,210 1,372,184 654,281 18,128 9,610 682,019 2003 1,240,222 26,597 25,091 1,291,910 644,657 17,007 9,591 671,255 2004 1,251,326 26,597 26,020 1,303,943 618,227 17,025 12,1344 647,386 2005 1,202,392 26,641 26,239 1,255,272 615,556 17,034 7,775 640,365 2006 1,255,104 26,644 26,983 1,308,731 653,261 17,017 11,880 682,158 2007 1,243,429 23,721 28,761 1,295,911 652,336 13,642 10,498 676,476 2008 1,236,842 22,442 35,826 1,295,110 669,942 17,332 10,742 698,016 2009 1,217,506 22,794 25,935 1,266,235 653,918 14,387 14,285 682,590 2010 1,219,802 22,738 25,936 1,268,476 655,399 14,391 14,286 684,076 2011 1,254,921 23,167 29,912 1,308,000 679,366 14,493 15,141 709,000 Sumber: http://ditjenbun.deptan.go.id dalam Anggara et al. 2011

Salah satu kunci keberhasilan budidaya kopi yaitu digunakannya bahan tanam unggul sesuai dengan kondisi agroklimat tempat penanaman. Kondisi lingkungan perkebunan kopi di Indonesia sangat beragam dan setiap lingkungan tersebut memerlukan adaptabilitas spesifik dari bahan tanam yang dianjurkan. Pada tanaman kopi, iklim dan tanah sangat berpengaruh terhadap perubahan morfologi, pertumbuhan dan daya hasil. Tabel 4. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kopi di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2008 s/d Maret 2012 Kecamatan Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) 2008 2009 2010 2011 2012 2008 2009 2010 2011 2012 Tapa 11,40 11,40 11,40 11,40 11,40 6,00 3.00 * * 0,20 Bulango Utara 32,00 32,00 32,00 32,00 32,00 17,00 8.00 * * 0,40 Bulango Selatan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0.00 * 0,00 0,00 Bulango Timur 0,00 0,00 6,20 6,20 6,20 0,00 0.00 * * 0,50 Bulango Ulu 30,40 30,40 30,40 30,40 30,40 14,00 5.00 * * 0,40 Suwawa 1,20 1,20 1,20 1,20 1,20 1,00 0.60 * * 0,30 Suwawa Tengah 10,70 10,70 10,70 10,70 10,70 6,00 2.50 * * 0,20 Suwawa Timur 306,2 306,2 307,0 307,0 307,0 177,00 120.00 * * 15,00 Suwawa Selatan 19,03 19,03 19,03 19,03 19,03 7,00 3.00 * * 0,30 Kabila 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0.00 * 0,00 0,00 Tilongkabila 30,45 30,45 30,45 30,45 30,45 11,00 7.00 * * 0,00 Botupingge 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0.00 * 0,00 0,00 Kabila Bone 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0.00 * 0,00 0,00 Bone Pantai 10,00 10,00 30,00 30,00 30,00 5,00 3.50 * 1,20 * Bulawa 0,00 7,00 36,00 36,00 36,00 0,00 2.00 * 1,60 * Bone Raya 15,00 15,00 15,00 15,00 15,00 7,00 3.00 * 1,20 * Bone 20,00 20,00 20,00 20,00 20,00 9,00 6.50 * 2,00 * Jumlah 486,38 493,38 549,38 549,38 549,38 260,00 164.10 * 6,00 17,30 Sumber: Dinas Pertanian, Perkebunan, Ketahanan Pangan, dan Peternakan Kabupaten Bone Bolango (2012) Ket: * Tidak ada data

2.6 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografi (SIG) atau Geographic Information System (GIS) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra 2000). Sedangkan menurut menurut Anon dalam Sastrohartono (2011) Sistem Informasi geografi adalah suatu sistem informasi yang dapat memadukan antara data grafis (spasial) dengan data teks (atribut) objek yang dihubungkan secara geografis di bumi (georeference). Sistem Informasi Geografis dibagi menjadi dua kelompok yaitu sistem manual (analog), dan sistem otomatis (yang berbasis digital komputer). Perbedaan yang paling mendasar terletak pada cara pengelolaannya. Sistem Informasi manual biasanya menggabungkan beberapa data seperti peta, lembar transparansi untuk tumpang susun (overlay), foto udara, laporan statistik dan laporan survei lapangan. Semua data tersebut dikompilasi dan dianalisis secara manual dengan alat tanpa komputer. Sedangkan Sistem Informasi Geografis otomatis telah menggunakan komputer sebagai sistem pengolah data melalui proses digitasi. Sumber data digital dapat berupa citra satelit atau foto udara digital serta foto udara yang terdigitasi dan data lain dapat berupa peta dasar terdigitasi. Tujuan pokok dari pemanfaatan Sistem Informasi Geografis adalah untuk mempermudah mendapatkan informasi yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau objek. Ciri utama yang bisa dimanfaatkan dalam Sistem Informasi Geografis adalah data yang telah terikat dengan lokasi dan merupakan data dasar yang belum dispesifikasi. Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut dalam bentuk digital, dengan demikian analisis yang dapat digunakan adalah analisis spasial dan analisis atribut. Data spasial merupakan data yang berkaitan dengan lokasi keruangan yang umumnya berbentuk peta. Sedangkan data atribut merupakan data tabel yang berfungsi menjelaskan keberadaan berbagai objek sebagai data spasial. Penyajian data spasial mempunyai tiga cara

dasar yaitu dalam bentuk titik, bentuk garis dan bentuk area (polygon). Titik merupakan kenampakan tunggal dari sepasang koordinat x, y yang menunjukkan lokasi suatu objek berupa ketinggian, lokasi kota, lokasi pengambilan sampel dan lain-lain. Garis merupakan sekumpulan titik-titik yang membentuk suatu kenampakan memanjang seperti sungai, jalan, kontur dan lain-lain. Sedangkan area adalah kenampakan yang dibatasi oleh suatu garis yang membentuk suatu ruang homogen, misalnya: batas daerah, batas penggunaan lahan, pulau dan lain sebagainya Struktur data spasial dibagi dua yaitu model data raster dan model data vektor. Data raster adalah data yang disimpan dalam bentuk kotak segi empat (grid)/sel sehingga terbentuk suatu ruang yang teratur. Data vektor adalah data yang direkam dalam bentuk koordinat titik yang menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial dengan menggunakan titik, garis atau area (polygon) (Barus dan Wiradisastra 2000). Menurut Anon (2003) ada beberapa alasan mengapa perlu menggunakan SIG, diantaranya adalah: 1. SIG menggunakan data spasial maupun atribut secara terintegrasi; 2. SIG dapat digunakan sebagai alat bantu interaktif yang menarik dalam usaha meningkatkan pemahaman mengenai konsep lokasi, ruang, kependudukan, dan unsur-unsur geografi yang ada dipermukaan bumi; 3. SIG dapat memisahkan antara bentuk presentasi dan basis data; 4. SIG memiliki kemampuan menguraikan unsur-unsur yang ada dipermukaan bumi kedalam beberapa layer atau coverage data spasial; 5. SIG memiliki kemapuan yang sangat baik dalam memvisualisasikan data spasial berikut atributnya; 6. Semua operasi SIG dapat dilakukan secara interaktif; 7. SIG dengan mudah menghasilkan peta-peta tematik; 8. Semua operasi SIG dapat di costumize dengan menggunakan perintahperintah dalam bahasa script; 9. Peragkat lunak SIG menyediakan fasilitas untuk berkomunikasi dengan perangkat lunak lain;

10. SIG sangat membantu pekerjaan yang erat kaitannya dengan bidang spasial dan geoinformatika; 11. Meng-customize aplikasi dengan menggunakan bahasa script atau bahasa pemrograman sederhana; 12. Melakukan fungsi-fungsi SIG khusus lainnya (dengan menggunakan extension yang ditujukan untuk mendukung penggunaan perangkat lunak SIG ArcView). Barus dan Wiradisastra (2000) juga mengungkapkan bahwa SIG adalah alat yang handal untuk menangani data spasial, dimana dalam SIG data dipelihara dalam bentuk digital sehingga data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel atau dalam bentuk konvensional lainnya yang akhirnya akan mempercepat pekerjaan dan meringankan biaya yang diperlukan. Sarana utama untuk penanganan data spasial adalah SIG. SIG didesain untuk menerima data spasial dalam jumlah besar dari berbagai sumber dan mengintergrasikannya menjadi sebuah informasi, salah satu jenis data ini adalah data pengindraan jauh. Pengindraan jauh mempunyai kemampuan menghasilkan data spasial yang susunan geometrinya mendekati keadaan sebenarnya dengan cepat dan dalam jumlah besar. Barus dan Wiradisastra (2000) mengatakan bahwa SIG akan memberi nilai tambah pada kemampuan pengindraan jauh dalam menghasilkan data spasial yang besar dimana pemanfaatan data pengindraan jauh tersebut tergantung pada cara penanganan dan pengolahan data yang akan mengubahnya menjadi informasi yang berguna.