BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2006: ) No. 22 tahun 2006 tujuan

I. PENDAHULUAN. berperan penting dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Prahesti Tirta Safitri, 2013

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eka Rachma Kurniasi, 2013

2014 PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF TIPE KUIS TIM UNTUK ENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIS DAN SELF-CONFIDENCE SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013

BAB I PENDAHULUAN. menumbuhkembangkan kemampuan dan pribadi siswa yang sejalan dengan tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. cerdas, terbuka dan demokratis. Pendidikan memegang peran dalam. tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laswadi, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jayanti Putri Purwaningrum, 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum digunakan sebagai acuan

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup suatu bangsa. Menurut

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah penalaran Nurbaiti Widyasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

ANALISIS PROSES BERPIKIR SISWA DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN EFEKTIFITAS STRATEGI ABDUKTIF-DEDUKTIF UNTUK MENGATASI KESULITANNYA

I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah, menurut. Kurikulum 2004, adalah membantu siswa mengembangkan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah , 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wita Aprialita, 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. jawab. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. pola pikir siswa adalah pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan yang

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menghadapi persaingan khususnya dalam bidang IPTEK. Kemajuan IPTEK yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. dan berlangsung sepanjang hayat. Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas 2003:5).

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan demi meningkatnya kualitas pendidikan. Objek yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya belajar matematika tidak terlepas dari peranannya dalam

I. PENDAHULUAN. siswa memiliki kemampuan matematis yang baik. Adapun tujuan pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan umum pembelajaran matematika yang dirumuskan dalam. Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, adalah agar siswa

BAB I PENDAHULUAN. pesat terutama dalam bidang telekomunikasi dan informasi. Sebagai akibat

I. PENDAHULUAN. untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya seoptimal mungkin. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sarah Inayah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang semakin

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan, sebab tanpa pendidikan manusia akan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan atau skill yang dapat mendorongnya untuk maju dan terus

I. PENDAHULUAN. sebagai upaya menunjukkan eksistensi diri. Salah satu bidang yang menunjang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bangsa pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai sesuai undangundang

I. PENDAHULUAN. karena melalui pendidikan diharapkan akan lahir sumber daya manusia yang berkualitas

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap manusia, karena

PENERAPAN PEMBELAJARAN OSBORN BERBANTUAN WINGEOM UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KREATIF DAN BERPIKIR KRITIS MATERI KUBUS DAN BALOK SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembelajaran di sekolah, peserta didik perlu memiliki kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Pendekatan Brain Based Learning Terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Aktivitas matematika seperti problem solving dan looking for

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Elita Lismiana, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tujuan pembelajaran matematika diantaranya adalah mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia secara global dan

A. LATAR BELAKANG MASALAH

I. PENDAHULUAN. depan yang lebih baik. Melalui pendidikan seseorang dapat dipandang terhormat,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Purnama Adek, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riva Lesta Ariany, 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

I. PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang penting

(PTK Pembelajaran Matematika di Kelas VII SMP Negeri 2 Gemolong) SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan. Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu proses memanusiakan manusia atau lazim

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan di era globalisasi seperti saat ini. Pemikiran tersebut dapat dicapai

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia secara global dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi salah satu fokus dalam penyelenggaraan negara. Menurut

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan kritis (Suherman dkk, 2003). Hal serupa juga disampaikan oleh Shadiq (2003)

I. PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan dan mengembangkan

PENERAPAN MODEL ADVANCE ORGANIZER UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE

BAB II KAJIAN TEORETIS

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) secara global semakin

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pembelajaran matematika, idealnya siswa dibiasakan memperoleh pemahaman melalui pengalaman dan pengetahuan yang dikembangkan oleh siswa sesuai perkembangan berpikirnya. Karena siswa memiliki potensi yang berbedabeda dalam memberdayakan dan memfungsikan kemampuan berpikirnya. Hal ini sejalan dengan maksud pembelajaran matematika yang dirumuskan oleh NCTM (2000) bahwa siswa harus mempelajari matematika melalui pemahaman dan aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Nuansa pembelajaran yang berpusat pada siswa, dimana siswa diberikan kesempatan untuk mengkontruksi pengetahuan dan keleluasaan dalam memecahkan suatu permasalahan diduga akan mendukung peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa serta kecerdasan dalam menghadapi kesulitan untuk menyelesaikan tugas belajarnya. NCTM (Sumarmo, 2010) menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan bagian dari aspek berpikir matematika tingkat tinggi (high order of thinking) yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan aspek intelektual dan non intelektual. Dalam hal ini, aspek intelektual mencakup: 1) mampu merumuskan dan menyelidiki masalah; 2) mampu mengumpulkan dan menganalisis masalah dari sudut matematis; 3) mampu mencari strategi yang tepat; 4) mampu menggunakan pengetahuan dan kemampuan matematis yang telah dipelajari; 5) mampu merefleksikan dan menangkap proses pemikiran matematis. Sedangkan untuk aspek non intelektual mencakup pengembangan watak kearah yang lebih positif, seperti: tekun, memiliki rasa ingin tahu dan percaya diri, memahami pentingnya matematika dalam kehidupan nyata. Selain hal tersebut di atas, indikasi kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran sesungguhnya agar siswa mampu memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya kelak di masyarakat. Oleh karenanya, kemampuan pemecahan

2 masalah perlu dijadikan target dalam pembelajaran matematika. Hal ini dipertegas oleh NCTM (Shadiq, 2009: 11) menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika adalah kemampuan atau kompetensi esensial dalam mempelajari matematika, yang direkomendasikan untuk dilatihkan serta dimunculkan sejak anak belajar matematika dari sekolah dasar sampai seterusnya. Artinya, setiap siswa dalam segala level kemampuan matematika maupun jenjang pendidikan perlu dilatih dalam kemampuan pemecahan masalah. Seorang siswa dikatakan memiliki kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika ketika siswa mencapai kriteria-kriteria tertentu atau biasa dikenal dengan indikator. Menurut Kusumah (2010) pemecahan masalah sebagai suatu tujuan memuat tiga kemampuan yang ingin dicapai, yakni memodelkan masalah sehari-hari dengan memakai simbol dan notasi matematik, menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (masalah sejenis ataupun masalah baru) di dalam atau di luar matematika serta menafsirkan hasil yang diperoleh secara bermakna dengan konteks masalah. Aspek psikologis pun turut memberikan kontribusi terhadap kesuksesan seseorang dalam menghadapi serta menyelesaikan masalah dengan baik, selain aspek kognitif kemampuan pemecahan yang telah diungkap di atas. Salah satu aspek psikologis tersebut adalah kecerdasan menghadapi kesulitan (adversity quotient). Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2006 tentang Standar Isi (Permendiknas, 2006: 346) pada butir kelima yang memperkuat aspek psikologis dalam pembelajaran matematika. Di dalamnya disebutkan bahwa pembelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam mempelajari masalah, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Berdasarkan tujuan mata pelajaran matematika tersebut, tampak bahwa kurikulum yang disusun juga memperhatikan aspek-aspek pengiring yang ditimbulkan dalam pembelajaran matematika seperti disposisi matematis yang sangat berkaitan dengan adversity quotient.

3 Stoltz (2000) mendefinisikan adversity quotient sebagai kemampuan seseorang dalam mengamati kesulitan dan mengolah kesulitan tersebut dengan kecerdasan yang dimiliki sehingga menjadi sebuah tantangan untuk menyelesaikannya. Terutama dalam pencapaian sebuah tujuan, cita-cita, harapan dan yang paling penting adalah kepuasan pribadi dari hasil kerja atau aktivitas itu sendiri. Definisi tersebut mengindikasikan bahwa seseorang dengan adversity quotient tinggi akan mampu mencari jalan keluar atau solusi dari masalahnya dengan berupaya memecahkan sumber masalahnya langsung, bukan dengan berkeluh-kesah dan bergantung pada orang lain. Adversity Quotient sebagai kecerdasan seseorang dalam menghadapi kesulitan membantu meningkatkan potensi diri dan menjalani kehidupan yang lebih baik. Lebih daripada itu, Leman (2007:125) menyatakan bahwa kemampuan memecahkan masalah, daya tahan menghadapi masalah, dan keberanian mengambil resiko merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesuksesan. Hasil penelitian yang dilakukan Siddiqiyah (2007: 98) menunjukkan bahwa adanya hubungan positif antara adversity quotient dengan motivasi berprestasi, siswa yang mempunyai adversity quotient tinggi akan berusaha untuk menyelesaikan tugas dengan baik, sehingga diperoleh prestasi belajar yang baik pula. Selanjutnya, penelitian Wismayana (2007) mengungkap bahwa pada siswa yang memiliki adversity quotient tinggi, terdapat perbedaan yang signifikan prestasi belajar matematika dan konsep diri, antara siswa yang diajar dengan model belajar berbasis masalah dan siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung. Di sisi lain, pada siswa yang memiliki adversity quotient rendah, tidak terdapat perbedaan yang signifikan prestasi belajar matematika dan konsep diri, antara siswa yang diajar dengan model belajar berbasis masalah dan siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adversity quotient siswa berperan penting dalam mencapai kesuksesan belajar. Sehingga, diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang diharapkan dapat mengoptimalkan adversity quotient agar perkembangan prestasi belajar siswa lebih maksimal.

4 Secara faktual, rendahnya kemampuan pemecahan masalah dan adversity quotient siswa tampak dari hasil survei lembaga internasional serta studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti. Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dapat dilihat dari hasil Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2011 dalam bidang matematika, siswa kelas VIII Indonesia menempati peringkat 38 dari 63 negara dan 14 negara bagian yang disurvei (Kompas, 14 Desember 2012). Adapun aspek yang dinilai pada tes tersebut terkait tentang fakta, prosedur, konsep, penerapan pengetahuan, dan pemahaman konsep. Senada dengan hal tersebut, hasil tes Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2006 dalam bidang matematika, menunjukkan bahwa siswa Indonesia usia 15 tahun berada pada peringkat 52 dari 57 negara. Prestasi yang dicapai siswa Indonesia belum memuaskan. Modus kemampuan memecahkan masalah matematik siswa Indonesia terletak pada level 1, yakni sebanyak 49,7% siswa berada pada level yang terendah. Padahal pada level 1 ini siswa hanya mampu menyelesaikan masalah matematis yang dapat diselesaikan dengan satu langkah (Kusumah, 2010). Adapun aspek yang dinilai adalah kemampuan pemecahan masalah, kemampuan penalaran, dan kemampuan komunikasi. Dari hasil laporan survey internasional berkaitan dengan kemampuan siswa SMP di Indonesia yaitu TIMSS dan PISA di atas, menyimpulkan bahwa kemampuan siswa SMP Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal tidak rutin (masalah matematika) sangat lemah, siswa belum mampu mengembangkan kemampuan pemecahan masalahnya secara optimal dalam mata pelajaran di sekolah, proses pembelajaran matematika belum mampu menjadikan siswa mempunyai kebiasaan membaca sambil berpikir dan bekerja (Wardhani dan Rumiati, 2011: 57). Lebih lanjut, rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa ini terungkap dari hasil uji coba terbatas oleh Kherunnisa (2010) kepada siswa kelas VIII sebanyak dua belas siswa dengan karakteristik siswa yang memiliki kemampuan baik dalam pelajaran matematika mewakili kelasnya masing-masing yang dilakukan di MTsN 1 Kota Serang dan MTsN 1 Cikeusal, menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa masih

5 rendah, ketika siswa mengerjakan soal matematika yang berkaitan dengan kemampuan pemecahan masalah, sebagian besar siswa lemah dalam memanfaatkan kemampuan pemecahan masalah yang dimilikinya. Selain rendahnya kemampuan pemecahan masalah, tampak pula bahwa adversity quotient matematis siswa masih relatif rendah. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti kepada empat belas siswa mewakili kelasnya masing-masing yang dilakukan di MTsN 1 Kota Serang. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa kemampuan sebagian besar siswa dalam mengontrol diri dan menghadapi masalah dalam pelajaran matematika masih tergolong lemah. Berdasarkan pengakuan yang diperoleh dari beberapa siswa tersebut, ketika menghadapi kesulitan mengenai materi matematika yang diajarkan, mereka langsung merasa diri mereka tidak bisa mengerti terhadap materi pelajaran yang diberikan. Kelemahan ini bukannya mendorong mereka untuk bertanya pada sumber lain seperti temannya yang lebih paham ataupun guru yang bersangkutan, melainkan menghindari berbagai tugas yang menurut mereka sulit. Siswa juga cenderung tidak berani bertanya baik di dalam kelas ataupun di luar kelas. Pada akhirnya, siswa tersebut hanya menyalin pekerjaan temannya, tidak ada keinginan menunjukkan orisinalitas hasil pekerjaannya sendiri, orientasi mereka hanyalah bagaimana tugas terkumpul tanpa memperhatikan kualitas pekerjaan mereka. Mencermati masalah di atas, maka diperlukan perubahan pendekatan pembelajaran yang mengarahkan kepada bagaimana siswa memiliki keleluasaan untuk memecahkan masalah. Karena dengan adanya keleluasaan dalam menyelesaikan masalah memungkinkan ketertarikan dan rasa penasaran serta tantangan untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya menjadi sangat terbuka dan sangat mungkin diwujudkan. Sejalan dengan hal tersebut, menurut Rifameutia (Hawadi, 2004: 199) pengembangan adversity quotient dapat dicapai melalui pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk menerapkan langkah-langkah pemecahan masalah dan berkomunikasi secara aktif melalui kegiatan belajar mandiri maupun berkelompok yang memuat tugas-tugas belajar yang menantang dan siswa mengambil peran yang lebih besar dalam

6 tanggung jawab belajarnya. Dengan cara seperti itu, sudah barang tentu tujuan pembelajaran yang mengarah kepada meningkatnya kemampuan pemecahan masalah matematis dan adversity quotient siswa diharapkan akan dapat tercapai secara optimal. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses yang menyebutkan bahwa pelaksanaan proses pembelajaran harus dilaksanakan sebagai berikut: Kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis perserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksploratif, elaborasi, dan konfirmasi (Permendiknas, 2007). Beberapa alternatif metode pembelajaran sebagai upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan adversity quotient siswa yaitu pembelajaran dengan pendekatan eksploratif. Pembelajaran eksploratif menawarkan kesempatan kepada para siswa untuk memperluas pengetahuan mereka menggunakan proses dan keterampilan serta menghubungkan pengetahuan sebelumnya dengan pengalaman belajarnya untuk memecahkan masalah dengan cara melibatkan siswa dalam proses pemecahan masalah. Melalui kegiatan eksplorasi siswa dapat menemukan proses matematika sedemikian rupa sehingga siswa mengalami sendiri, mampu menciptakan suatu hipotesis (conjecture), selanjutnya mencari jawaban untuk conjecture yang siswa buat melalui kegiatan pengamatan (Turmudi, 2009: 3). Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan eksploratif, para siswa dihadapkan pada suatu permasalahan matematis. Dengan permasalahan yang diberikan di awal pembelajaran, diharapkan siswa dapat memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman belajar yang dimiliki sebelumnya sehingga mampu memunculkan ide-ide kreatif, mengidentifikasi masalah sebagai proses awal untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pembelajaran eksploratif memfasilitasi siswa

7 untuk mengumpulkan data dan informasi untuk menjawab permasalahan yang diajukan melalui penemuan rumus dengan cara menyelidiki, melakukan pengukuran, menemukan pola, dan membuat generalisasi dari hasil penyelidikan dalam bentuk pernyataan atau model matematis. Setelah proses eksplorasi dilaksanakan, siswa diarahkan untuk mengaplikasikan konsep yang telah diperolehnya dengan dihadapkan pada situasi masalah matematis yang relevan dengan materi. Melalui masalah ini siswa dilatih untuk menyelesaikan masalah secara heuristik yang meliputi mengidentifikasi masalah, menerapkan strategi yang tepat, membuat model matematis yang sesuai dengan permasalahan serta menyesaikannya dan diakhiri dengan melakukan pemeriksaan terhadap kebenaran jawaban. Dalam proses eksplorasi yang dilaksanakan oleh siswa, peran guru sebagai fasilitator serta memberikan scaffolding kepada siswa yang mengalami kesulitan Karena pada tahap awal, siswa membutuhkan dukungan seseorang yang lebih kompeten agar mampu mencapai ZPD (zone of proximal development). Scaffolding ini dimaksudkan sebagai bantuan atau bimbingan dari guru pada awal pembelajaran kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya sendiri. Bantuan guru sangat dibutuhkan agar mereka lebih terarah sehingga proses pelaksanaan pembelajaran maupun tujuan yang dicapai terlaksana dengan baik. Dalam pembelajaran eksploratif ini, siswa dihadapkan pada permasalahan matematis sebagai tugas belajarnya, Dengan mengkolaborasikan media belajar, setting pembelajaran kooperatif, bantuan yang diberikan guru secara kontinu maka akan membentuk sikap positif siswa dalam menghadapi kesulitan yang ditandai dengan respon positif dan kendali yang kuat dalam dalam menghadapi situasi yang dirasa sulit, menempatkan peran dirinya secara wajar dalam menyikapi kesulitan, bertanggung jawab atas kesulitan yang dihadapi, membatasi masalah yang dihadapi dan menganggap kesulitan yang dihadapi hanya bersifat sementara yang bermuara pada proses mencari solusi untuk menyelesaikan kesulitan yang dihadapi.

8 Selain pendekatan pembelajaran, peningkatan kemampuan pemecahan masalah diduga terkait dengan pengetahuan awal matematis siswa, yang dalam penelitian ini diklasifikasikan ke dalam kelompok siswa atas dan bawah di kelasnya. Tujuan mengelompokkan pengetahuan awal siswa menjadi dua kelompok yaitu siswa kelompok atas dan siswa kelompok bawah di kelasnya adalah untuk melihat apakah pengetahuan awal matematis siswa berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis, karena diduga siswa yang berkemampuan kurang apabila pendekatan pembelajaran menarik, berpusat pada siswa dan sesuai dengan tingkat kematangan siswa, maka akan menimbulkan sikap positif terhadap matematika sehingga akan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Namun dimungkinkan terjadi sebaliknya untuk siswa yang berkemampuan lebih. Hal ini bisa terjadi karena siswa berkemampuan tinggi dimungkinkan lebih cepat memahami materi matematika yang dipelajari karena kepandaiannya, walaupun tanpa menggunakan berbagai pendekatan pembelajaran yang menarik dan berpusat pada siswa. Hal ini diperkuat pendapat Krutetski (Darhim, 2004 : 15) bahwa anak berkemampuan tinggi selalu cepat memahami materi matematika, membuat generalisasi, dan menyusun pembuktian. Bahkan siswa berkemampuan tinggi akan merasa bosan dan merasa kurang manfaatnya belajar dengan metode yang menurut siswa berkemampuan kurang sangat cocok. Melihat pada proses pembelajaran dengan pendekatan eksploratif erat sekali hubungannya dengan aktivitas memecahkan masalah, memuat tugas-tugas belajar yang menantang dan siswa mengambil peran yang lebih besar dalam tanggung jawab belajarnya. Oleh karena itu, pendekatan pembelajaran eksploratif diduga dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan berkontribusi baik bagi perbaikan adversity quotient matematis siswa. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

9 1. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran eksploratif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional? 2. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran (eksploratif dan konvensional) dan pengetahuan awal matematis siswa (atas dan bawah) terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa? 3. Apakah adversity quotient siswa yang memperoleh pembelajaran eksploratif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional? 4. Apakah terdapat korelasi antara kemampuan pemecahan masalah matematis dan adversity quotient siswa setelah memperoleh pembelajaran eksploratif? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran eksploratif dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 2. Mengkaji ada tidaknya pengaruh interaksi antara pembelajaran (eksploratif dan konvensional) dan pengetahuan awal matematis (atas dan bawah) terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis. 3. Menelaah adversity quotient matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran eksploratif dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 4. Menelaah hubungan antara kemampuan pemecahan masalah dan adversity quotient matematis pada siswa yang memperoleh pembelajaran eksploratif. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut:

10 1. Untuk meningkatkan keterampilan dalam memilih pendekatan pembelajaran bervariasi yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan adversity quotient matematis siswa sehingga dapat memperbaiki sistem pembelajaran di kelas. 2. Siswa memperoleh pengalaman langsung, mengenal adanya kebebasan dalam belajar matematika secara aktif dan konstruktif melalui aktivitas eksplorasi sesuai perkembangan berfikirnya sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan adversity quotient matematis. 3. Sebagai bagian dari upaya pengembangan bahan ajar dalam pembelajaran matematika. E. Definisi Operasional Untuk memperoleh kesamaan pandangan dan menghindari penafsiran yang berbeda terhadap istilah-istilah atau variabel yang digunakan, berikut ini akan dijelaskan pengertian dari istilah atau variabel-variabel tersebut. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Indikator kemampuan pemecahan masalah matematis meliputi : (1) kemampuan mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah yang meliputi unsur-unsur yang diketahui dan yang ditanyakan; (2) menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika dan atau di luar matematika; (3) membuat model matematik dari suatu situasi atau masalah sehari-hari dan menyelesaikannya; (4) menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban. 2. Adversity Quotient Adversity Quotient adalah potensi, kemampuan atau daya juang individu dalam menghadapi kesulitan atau tugas belajarnya yang mempunyai dimensi penting yaitu: a. Kendali diri (Control: C), dimensi ini mempertanyakan berapa banyak kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan.

11 b. Asal-usul dan Pengakuan diri (Origin dan Ownership: O2), dimensi ini mempertanyakan dua hal, yakni: siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan, dan sampai sejauhmanakah seseorang mengakui akibat kesulitan itu. c. Jangkauan (Reach: R), dimensi ini mempertanyakan sejauhmana kesulitan akan menjangkau atau mempengaruhi ke bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang. d. Daya tahan (Endurance: E), dimensi ini mempertanyakan dua hal, yakni; berapa lamakah kesulitan berlangsung dan lamanya penyebab kesulitan tersebut akan bertahan. 3. Pendekatan Eksploratif Pembelajaran eksploratif merupakan suatu rangkaian kegiatan siswa dalam menelusuri permasalahan-permasalahan matematis untuk mendapatkan suatu pemecahan masalah yang menjadi esensi dalam pembelajaran matematika sebagai tujuan yang hendak dicapai. Pada pembelajaran eksploratif diwujudkan dalam kegiatan sebagai berikut: (1) tahap penyajian masalah eksplorasi; (2) tahap pengumpulan data dan informasi; (3) tahap analisis data; (4) tahap mempresentasikan laporan hasil dan penyimpulan. 4. Pengetahuan Awal Matematis Siswa (PAM) Pengetahuan yang dimiliki siswa sebelum pembelajaran berlangsung, pengetahuan awal matematis siswa diukur melalui seperangkat soal tes disertai pertimbangan penilaian matematika pada semester 1 kelas VIII dari guru matematika sebelumnya. F. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti pembelajaran eksploratif lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional

12 2. Terdapat pengaruh interaksi antara pembelajaran (eksploratif dan konvensional) dan pengetahuan awal matematis siswa (atas dan bawah) terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa 3. Adversity quotient siswa yang mengikuti pembelajaran eksploratif lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. 4. Terdapat korelasi antara kemampuan pemecahan masalah dan adversity quotient matematis siswa setelah mendapatkan pembelajaran eksploratif.