PEMBAHASAN UMUM. Tabel 20 Status konservasi kelelawar berdasarkan Red List IUCN versi 3.1 (IUCN 2001) Status Konservasi

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

BAB I PENDAHULUAN. antara Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste. Karst merupakan. saluran bawah permukaan (Setiawan et al., 2008).

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

BIODIVERSITAS DAN POLA PEMILIHAN SARANG KELELAWAR: STUDI KASUS DI KAWASAN KARST GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Timur. Fenomena permukaan meliputi bentukan positif, seperti

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BUPATI BANDUNG BARAT

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

19 Oktober Ema Umilia

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. Hamparan karst di Indonesia mencapai km 2 dari ujung barat sampai

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1456 K/20/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN KARS

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA)

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

FUNGSI KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM SECARA BIJAK* Oleh : IMRAN SL TOBING**

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR : 1518 K/20/MPE/1999 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KARS MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI,

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999)

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

STUDI PROSPEK PENGEMBANGAN EKOWISATA PADA KAWASAN SEKITAR KARS GOMBONG SELATAN DALAM MENDUKUNG KEBERLANJUTAN WILAYAH TUGAS AKHIR

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Penilaian pengelolaan lingkungan pulau wisata, di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta Utara Siregar, Mara Oloan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. devisa bagi negara, terutama Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) bagi daerah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. devisa di suatu negara yang mengembangkan sektor tersebut. Kegiatan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

Transkripsi:

104 PEMBAHASAN UMUM Pentingnya upaya konservasi bagi ekosistem Karst Gombong Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di gua-gua Karst Gombong hidup lima belas jenis kelelawar, yang terdiri atas empat jenis Megachiroptera, dan sebelas jenis Microchiroptera. Hal ini menunjukkan bahwa Karst Gombong menyimpan kekayaan jenis kelelawar yang jauh lebih tinggi dibandingkan karst lain yang berada di Indonesia maupun di luar Indonesia, yaitu di Karst Sumbawa delapan jenis (Maryanto & Maharadatunkamsi 1991), di Karst Sangkulirang- Mangkaliat Kalimantan Timur sembilan jenis (Saroni 2005), di Karst Istambul Turki: delapan jenis (Furman & Ozgull 2002) dan di Karst Britain Inggis: sebelas jenis (Parsons et al. 2002). Lima belas jenis kelelawar yang bersarang di gua-gua Karst Gombong tersebut, delapan jenis di antaranya termasuk jenis yang dilindungi berdasarkan Red List IUCN versi 3.1 (IUCN 2001). Satu jenis termasuk dalam kategori vulnerable, satu jenis termasuk dalam kategori near threatened dan enam jenis termasuk dalam kategori lower risk /least concern. Status kelelawar berdasarkan Red List IUCN versi 3.1 dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Status konservasi kelelawar berdasarkan Red List IUCN versi 3.1 (IUCN 2001) Jenis Kelelawar Status Konservasi (Red List IUCN versi 3.1) Keterangan status H. sorenseni Vulnerable Memiliki risiko tinggi untuk punah di alam karena penurunan jumlah populasi yang tinggi dan penyebaran yang sangat terbatas. M. schreibersii Near threatened Diperkirakan akan terancam punah dalam waktu dekat H. ater M. australis H. bicolor R. borneensis R. affinis R. amplexicaudatus Lower risk / least concern Tidak memenuhi syarat untuk dimasukkan ke dalam critically endangered, endangered, vulnerable ataupun near threatened karena memiliki risiko rendah untuk punah.

105 Hasil analisis relung pakan membuktikan bahwa kelelawar Microchiroptera yang bersarang di Karst Gombong merupakan predator 29 famili serangga yang berpotensi sebagai hama pertanian sedangkan kelelawar Megachiroptera yang ditemukan di Karst Gombong merupakan polinator 33 genus tumbuhan hutan dan tanaman perkebunan yang bernilai ekonomi. Menurut John et al. (1990) suatu kawasan perlu dilindungi atas dasar beberapa kriteria yaitu 1) Karakteristik atau keunikan ekosistem; 2) Spesies khusus yang diminati, bernilai penting, kelangkaan atau terancam 3) Memiliki keanekaragaman spesies tinggi 4) Landskap atau ciri geofisik yang bernilai eksotik; 5) Fungsi perlindungan hidrologi; 6) Potensial untuk wisata alam; 7) Tempat peninggalan budaya. Berdasarkan kriteria tersebut, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Karst Gombong perlu dilindungi karena memiliki keunikan ekosistem, dihuni oleh spesies yang terancam, memiliki kanekaragaman spesies yang tinggi, memiliki fungsi perlindungan hidrologi, dan potensial untuk wisata alam. Selama ini pengelolaan gua yang dilakukan PEMDA Kabupaten Kebumen lebih terfokus pada pemanfaatan gua sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu dengan memanfaatkan gua karst sebagai objek wisata. Sejak tahun 1976, PEMDA Kabupaten Kebumen telah mengembangkan Gua Jatijajar sebagai objek wisata minat umum. Selanjutnya pada tahun 1984 Gua Petruk juga ditetapkan sebagai objek wisata. Namun, berbeda dari Gua Jatijajar, Gua Petruk ditetapkan sebagai objek wisata minat khusus. Menurut Dinas Pariwisata Kabupaten Kebumen (2004), objek wisata alam minat umum adalah kawasan yang memiliki keindahan alam dan dikelola untuk menarik wisatawan sebanyak mungkin. Objek wisata minat khusus adalah kawasan wisata yang dikelola bagi wisatawan dengan persyaratan khusus, misalnya kegiatan penelusuran gua yang memerlukan peralatan standar dan pemandu yang terampil. Sangat disayangkan, pemanfaatan Gua Jatijajar dan Gua Petruk untuk tujuan wisata tersebut, selama ini masih belum dilandasi oleh dasar ilmu pengetahuan yang kuat sehingga sangat berisiko menimbulkan kerusakan ekosistem. Hal ini terlihat pada pengelolaannya yang lebih berorientasi bisnis tanpa mempertimbangkan resiko kerusakan ekosistem. Sebagai contoh, untuk menarik kedatangan wisatawan di Gua Jatijajar, pada dinding dan atap gua dipasang lampu penerangan dan dibuat berbagai

106 deorama yang menggambarkan cerita pewayangan Rama dan Shinta (Gambar 25). Selain itu, di luar gua juga dibangun berbagai fasilitas wisata seperti pasar souvenir, taman bermain, panggung hiburan dan jalan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa di Gua Jatijajar bersarang (dihuni) lima jenis kalelewar, dan dua jenis di antaranya (R.amplexicaudatus dan H.sorenseni) termasuk dalam jenis-jenis yang perlu dilindungi berdasarkan Red List IUCN versi 3.1. Dalam memilih sarangnya, jenis-jenis kelelawar tersebut memerlukan persyaratan fisik mikroklimat yang spesifik, sesuai dengan fisiologis tubuhnya. Pembangunan fasilitas wisata di Gua Jatijajar dapat menyebabkan perubahan mikroklimat gua menjadi tidak sesuai lagi dengan kondisi yang dibutuhkan kelelawar. Kondisi ini akan mengakibatkan kepunahan jenis-jenis kelelawar tersebut. Berapa lama hal ini akan terjadi sangat bergantung pada besarnya tekanan pada gua ini. Oleh karena itu PEMDA Kabupaten Kebumen harus mempertimbangkan pola pengelolaan yang diterapkan selama ini. Gambar 25 Patung deorama cerita pewayangan Rama dan Shinta di lorong Gua Jatijajar (Foto: Wijayanti 2010) Di Gua Petruk, meskipun ditetapkan sebagai objek wisata minat khusus, jumlah wisatawan yang menelusuri gua tidak dibatasi. Apalagi pada pelaksanaannya tidak ada tata tertib yang mengatur aktivitas penelusuran gua tersebut. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa Gua Petruk dihuni oleh sembilan jenis kelelawar dengan kelimpahan yang sangat tinggi. Di antara

107 sembilan jenis tersebut, lima jenis di antaranya termasuk jenis yang perlu dilindungi berdasarkan Red List IUCN versi 3.1. Kedatangan wisatawan dengan perilaku dan jumlah yang tidak terkontrol sangat berisiko mengganggu kenyamanan kelelawar, dan pada akhirnya dapat menyebabkan kepunahan jenis kelelawar tersebut. Sebetulnya risiko ini dapat di minimalisir apabila objek wisata gua dikelola sesuai dengan persyaratan mikroklimat yang dibutuhkan kelelawar. Persyaratan mikroklimat tersebut telah diketahui melalui hasil penelitian ini. Untuk itu diperlukan kebijakan PEMDA yang mendukung ke arah pengelolaan gua yang sesuai dengan persyaratan mikroklimat yang dibutuhkan sebagaimana telah diketahui dari hasil penelitian ini. Perhatian pemerintah terhadap ekosistem Karst Gombong Menyadari sifat ekosistem karst yang unik dan rentan, sudah seharusnya pemerintah pusat dan daerah mengeluarkan kebijakan yang mengarah pada kelestariannya. Perhatian pemerintah pusat pada Karst Gombong mulai terlihat sejak tahun 1987. Pada tahun tersebut, Dirjen PHKA (saat itu bernama Dirjen PHPA) melakukan identifikasi fungsi gua di Provinsi Jawa Tengah, termasuk di Karst Gombong, dan mengeluarkan pedoman pengelolaan gua berdasarkan hasil identifikasi fungsi gua. Menurut pedoman pengelolaan tersebut, suatu gua bisa ditetapkan sebagai gua konservasi, gua pendidikan, gua wisata, gua sumber air, gua budaya, dan gua tambang berdasarkan kriteria pokok seperti tercantum pada Tabel 21. Namun, identifikasi fungsi gua yang dilaksanakan pada tahun 1987 tersebut tidak pernah tuntas hingga saat ini sehingga rekomendasi pengelolaan gua sesuai dengan pedoman yang ada tidak pernah terwujud. Dari 112 gua yang ada di Karst Gombong hanya 3 gua yang teridentifikasi, yaitu Gua Jatijajar, Gua Petruk, dan Gua Liyah, dan itupun baru sampai pada pemetaan lorong gua dan identifikasi geohidrologi gua. Oleh karenanya, hingga saat ini, pedoman pengelolaan gua tersebut hanya menjadi konsep saja bagi pengelola kawasan Karst Gombong.

108 Tabel 21 Pedomaan pengelolaan gua berdasarkan identifikasi fungsi gua Jenis Gua Jenis Gua Menyimpan Air Dekorasi gua indah/speleotom aktif Habitat satwa khas/unik Potensi utama Habitat satwa terancam punah Geohidrologi langka Terdapat fosil/peninggalan budaya Konservasi ± ± + + ± + Sumber air + - - - - - Wisata ± + ± - ± ± umum Wisata minat ± + + ± ± ± khusus Laboratorium ± + + + + + pengetahuan Gua budaya - - - - - + Tambang dan - - - - - - produksi Keterangan : + mutlak harus ada ± boleh ada boleh tidak ada - tidak ada Pada tahun 2004 perhatian Pemerintah RI pada kawasan Karst Gombong mulai terlihat lagi. Hal ini ditandai dengan dicanangkannya wilayah geologi Gunung Sewu dan Gombong Selatan sebagai kawasan konservasi ekokarst pada tanggal 6 Desember 2004 (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kebumen 2004). Sebagai implikasi dari pencanangan ini, Departemen Kehutanan melakukan intensifikasi penghijauan di lahan Karst Gombong Selatan, dan Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Kebumen menyusun naskah pengembangan ekowisata karst di wilayah Kebumen. Sebagai puncaknya, tanggal 14 November 2006, Presiden RI menetapkan kawasan karst Karang Sembung, bagian dari Karst Gombong, sebagai kawasan cagar alam geologi karena kawasan ini memiliki keunikan dan kelengkapan fenomena geologi yang jarang dijumpai di dunia (Pusat Survei Geologi Departemen ESDM 2006). Namun demikian, perhatian pemerintah pada Karst Gombong sejauh ini hanya terfokus pada ekosistem exokarst (luar gua) dan stuktur geologi gua saja, sementara kelestarian ekosistem endokarst (dalam gua) masih belum diperhatikan. Penunjukkan Karst Gombong Selatan sebagai kawasaan konservasi exokarst, memacu Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen untuk menggali

109 potensi ekosistem Karst Gombong. Pada tahun 2004, Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten melakukan survei gua di seluruh kawasan Karst Gombong (DISPARHUB Kabupaten Kebumen 2004). Meskipun survei yang dilakukan hanya sebatas identifikasi titik koordinat gua dan letak administratif gua, hasil survei ini telah berhasil memberikan informasi penting mengenai jumlah dan sebaran gua-gua karst di kawasan Karst Gombong. Melalui informasi ini, sebetulnya dapat digali lebih dalam kondisi ekosistem gua-gua di kawasan Karst Gombong. Dengan demikian, gua-gua yang telah teridentifikasi tersebut dapat dikelola sesuai dengan potensi yang ada. Namun, sangat disayangkan, antusias PEMDA Kebumen untuk menggali lebih jauh ekosistem gua-gua di Karst Gombong sangat rendah. Akibatnya, hasil inventarisasi gua yang telah dilakukan tujuh tahun lalu hanya berfungsi sebagai data base tanpa diikuti dengan kebijakan pengelolaannya. Usulan strategi konservasi ekosistem Karst Gombong Upaya perlindungan di Karst Gombong dapat dicapai dengan strategi konservasi. Menurut Alikodra (1988) yang dimaksud dengan konservasi adalah upaya pengelolaan sumber daya alam yang menjamin: a) perlindungan pada berlangsungnya proses-proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan; b) pengawetan sumber daya alam dan keanekaragaman sumber plasma nutfah; dan c) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan lingkungannya. Konservasi sumberdaya alam tersebut akan berhasil bila dilakukan atas dasar hasil penelitian yang akurat. Hasil penelitian ini perlu dijadikan pedoman dalam upaya konservasi ekosistem gua di kawasan Karst Gombong. Pelestarian kawasan karst harus bersifat lintas sektoral dan melibatkan berbagai unsur masyarakat yang terlibat dalam kawasan karst tersebut. Agar dapat dijadikan pedoman bagi semua unsur yang terlibat dalam pemanfaatan kawasan Karst Gombong, maka perlu ditetapkan status kawasan Karst Gombong sesuai dengan hasil penelitian di lapangan dan berpedoman pada peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Hingga saat ini peraturan normatif yang berkaitan langsung dengan pengelolaan kawasaan karst di indonesia hanya Kepmen ESDM Nomor 1456

110 K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst. Menurut Samodra (2006) meskipun masih bersifat sektoral, Keputusan Menteri ini membuka kesempatan sektor lain untuk menyempurnakannya. Berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 1456 K/20/MEM/2000 pasal 11, kawasan karst dibagi menjadi : kawasan karst kelas I, kawasan karst kelas II, dan kawasan karst kelas III. Kawasan kelas I merupakan kawasan yang memiliki salah satu atau lebih kriteria berikut : a. Berfungsi sebagai penyimpan air bawah tanah secara tetap (permanen) dalam bentuk akuifer, sungai bawah tanah, telaga ataupun danau bawah tanah yang keberadaannya mencukupi fungsi umum hidrologi. b. Mempunyai gua-gua dan sungai bawah tanah aktif yang kumpulannya mepunyai jaringan baik tegak ataupun mendatar. c. Gua-gua mempunyai speleotem aktif dan atau peninggalan sejarah sehingga berpotensi dikembangkan sebagai objek wisata dan budaya. d. Mempunyai kandungan flora dan fauna khas yang memenuhi arti fungsi sosial, ekonomi, serta pengembangan ilmu pengetahuan. Kawasan karst kelas II merupakan kawasan yang memiliki salah satu atau semua kriteria berikut : a. Berfungsi sebagai penimbun air bawah tanah, berupa daerah tangkapan air hujan yang mempengaruhi naik turunnya muka air bawah tanah di kawasan karst, sehingga masih memegang fungsi umum hidrologi b. Mempunyai jaringan lorong-lorong bawah tanah hasil bentukan sungai dan gua yang sudah kering, mempunyai speleotem yang sudah tidak aktif dan menjadi tempat tinggal tetap fauna yang semuanya memberi nilai dan manfaat ekonomi. Kawasan karst kelas III merupakan kawasan yang tidak memiliki kriteria sebagaimana dimaksud dalam kriteria kelas I dan kriteria kelas II. Sebelum penelitian ini dilakukan, status kawasan Karst Gombong belum dapat ditetapkan karena belum cukup data yang mendukung penetapan status kawasan tersebut. Namun, berdasarkan temuan pada penelitian ini, kawasan Karst Gombong dapat diusulkan sebagai kawasan karst kelas I sesuai dengan Kepmen

111 ESDM Nomor 1456 K/20/MEM/2000 pasal 11. Hal ini karena kawasan Karst Gombong terbukti merupakan penyimpan air bawah tanah, merupakan ekosistem unik, habitat satwa khas dan satwa terancam punah, serta berpotensi wisata. Setelah kawasan karst ditetapkan Kawasan Karst kelas I, gua-gua di kawasan Karst Gombong harus dimanfaatkan sesuai dengan kondisi fisik dan status komunitas biota yang terkandung di dalamnya. Matriks pada Tabel 22 dapat menggambarkan kondisi fisik dan biota dua belas gua yang dikaji dalam penelitian ini. Tabel 22 Matriks kondisi fisik dan biota di gua-gua Karst Gombong Komponen Pertimbangan 1. berfungsi penyimpan air bawah tanah 2. Dekorasi gua indah /speleotom aktif 3. habitat fauna khas/unik 4. habitat fauna terancam punah 5. terdapat peninggalan budaya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 + + - + + - + + + - - - + + - + + - + + + - - - + + + + + - + + + - - - + + + + + - + + + - - - - - - - - - - - - - - - Keterangan: 1= Gua Macan 2= Gua Celeng 3 = Gua Dempo 4 = Gua Inten 5= Gua Jatijajar 6= Gua Kampil 7 = Gua Kemit 8 = Gua Liyah 9= Gua Petruk 10= Gua Sigong 11= Gua Tratag 12 = Gua Tiktikan Berdasarkan matriks tersebut terlihat bahwa Gua Macan, Gua Celeng, Gua Dempo, Gua Inten, Gua Jati jajar, Gua Kemit, Gua Liyah, dan Gua Petruk berfungsi menyimpan air bawah tanah, memiliki dekorasi indah/speleotom aktif, habitat fauna khas/ unik, dan habitat fauna terancam punah. Oleh karenanya, untuk mempertahankan fungsi ekologis gua dan komunitas biota yang dilindungi, ke-delapan gua tersebut perlu ditetapkan sebagai gua konservasi. Sebagai gua konservasi, ke-delapan gua tersebut dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata dengan persyaratan khusus tetapi tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan. Sebaliknya, Gua Kampil, Gua Sigong, Gua Tratag dan Gua Tiktikan tidak berfungsi menyimpan air tanah, tidak memiliki speleotom

112 aktif, bukan habitat fauna khas/ unik, dan bukan habitat fauna terancam punah. Oleh karenanya, keempat gua tersebut dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan dengan syarat tidak merusak struktur gua. Apabila Gua Macan, Gua Celeng, Gua Dempo, Gua Inten, Gua Jati jajar, Gua Kemit, Gua Liyah, dan Gua Petruk akan dimanfaatkan sebagai gua wisata alam (ekotourism), bentuk wisata yang dapat dikembangakan adalah wisata minat khusus yang pengelolaannya berdasarkan pada prasyarat ekofisiologi yang dibutuhkan kelelawar sebagaimana telah diketahui dari hasil penelitian ini. Dengan cara demikian diharapkan jenis-jenis kelelawar yang bersarang di dalamnya dapat dipertahankan. Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa dalam memilih sarang, terdapat lima faktor fisik yang berpengaruh nyata, yaitu intensitas suara, kelembaban udara, suhu udara, intensitas cahaya, dan jarak dari pintu gua. Untuk mempertahankan keberadaan kelelawar, ruang gua yang dihuni kelelawar tersebut, harus dikelola sesuai dengan persyaratan mikroklimat yang dibutuhkan kelelawar. Dari hasil penelitian ini dapat diusulkan pemanfaatan ruang gua sesuai dengan kebutuhan kelelawar tersebut. Usulan pemanfaatan ruang gua yang digunakan sebagai sarang kelelawar tersebut dapat dilihat pada Tabel 24. Ekosistem dalam gua tidak dapat dipisahkan degan ekosistem luar gua. Oleh karena itu, upaya pelestarian kawasan karst perlu dilakukan secara holistik dan terpadu antara ekosistem dalam gua dan ekosistem luar gua. Untuk maksud tersebut perlu ditetapkan zonasi kawasan Karst Gombong. Zonasi kawasan karst ini harus menjadi acuan dalam pemanfaatan dan pengeloaan kawasan Karst Gombong oleh semua unsur yang terkait. Tabel 24 Usulan pemanfaatan ruang gua berdasarkan jenis kelelawar yang bersarang dan prasyarat ekofisiologi yang dibutuhkan Ruang sarang kelelawar C.brachyotis C.horsfieldii E.spelaea R.amplexicaudatus Prasyarat mikroklimat Intensitas suara 2 db Suhu 28.5 o C Kelembaban 65% Intensitas cahaya 50 lux Usulan pengelolaan ruang gua - Boleh dikunjungi manusia. - Pada dinding dan atap gua boleh dilakukan pembangunan untuk menarik wisatawan, dengan syarat pembangunan tersebut

113 H.sorenseni C.plicata H.cf.ater Hipposideros sp M.schreibersii R.affinis H.ater R.borneensis Intensitas suara:0.5 s/d 20 db Suhu 28.5 o C Kelembapan : 65 s/d 75% Intensitas cahaya : 5 s/d 50 lux Intensitas suara 0.5 s/d 20 db Suhu 28.5 o C Kelembapan 75% Intensitas cahaya 5 lux Intensitas suara 0.5 db Suhu 28.5 o C Kelembapan :65 s/d 75% Intensitas cahaya : 5 s/d 50 lux Intensitas suara 0.5 db Suhu 28 o C Kelembapan 75% Intensitas cahaya 5 lux tidak merusak struktur gua. - Pada lorong gua boleh dipasang lampu penerangan. - Boleh dikunjungi manusia tetapi jumlah dan kegiatannya diawasi dengan ketat. - Dinding dan atap gua tidak boleh Dilakukan pembangunan - Pada lorong gua tidak boleh dipasang lampu penerangan. - Boleh dikunjungi manusia tetapi jumlah dan kegiatannya diawasi dengan ketat - Tidak boleh ada pembangunan di dalam maupun di luar gua - Tidak boleh dipasang lampu penerangan - Tidak boleh dikunjungi manusia - Tidak boleh dilakukan pembangunan pada dinding dan atap gua - Tidak boleh dipasang lampu penerangan - Tidak boleh dikunjungi manusia - Tidak boleh ada pembangunan baik di dalam maupun di luar gua - Tidak boleh dipasang lampu penerangan Menurut Cughley & Gunn 1995, zonasi dalam kawasan perlindungan sangat diperlukan agar dalam kawasan tersebut dapat dilakukan kegiatan pelestarian sekaligus pemanfaatan oleh manusia. Zonasi dalam kawasan Karst Gombong diusulkan meliputi zona inti/zona perlindungan dan zona penyangga/zona pemanfaatan tradisional. Zona inti merupakan zona yang kawasan tersebut dilindungi dan kegiatan manusia dikendalikan secara ketat dan tidak diperbolehkan adanya kegiatan penambangan. Zona penyangga merupakan kawasan yang menyangga kelestarian zona inti. Penetapan zona penyangga di kawasan Karst Gombong ini, selain untuk menjamin kecukupan pakan kelelawar juga untuk mempertahankan mikroklimat di dalam gua. Karena menurut Samodra (2006), keadaan di dalam gua sangat ditentukan oleh vegetasi, tanah, dan air di luar gua. Masyarakat sekitar dapat memenfaatkan zona penyangga dengan

114 kegiatan ekonomi tradisional seperti penggembalaan hewan ternak atau mengambil hasil hutan tanpa menebang. Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa delapan gua di kawasan Karst Gombong merupakan habitat sarang kelelawar terancam punah. Gua-gua tersebut adalah Gua Dempo, Gua Inten, Gua Jatijajar, Gua Petruk, Gua Kemit, Gua Liyah, Gua Macan, dan Gua Celeng. Selain itu, ke-delapan gua tersebut juga memiliki speleotem aktif dan berfungsi sebagai penyimpan air. Karena itu, kedelapan gua tersebut perlu diusulkan sebagai zona inti. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa makanan kelelawar Microchiroptera yang bersarang di gua-gua Karst Gombong adalah 29 famili serangga yang termasuk dalam 10 ordo. Serangga-serangga tersebut hidup di persawahan, semak belukar, dan hutan karst yang berada di sekitar gua. Kelelawar Megachiroptera yang ditemukan dalam penelitian ini terbukti mengunjungi 33 genus tumbuhan yang termasuk dalam sembilan famili untuk memakan polennya. Tumbuhan tersebut adalah tumbuhan yang hidup di hutan karst dan perkebunan yang berada di sekitar gua. Oleh karena itu, untuk mendukung kehidupan kelelawar, kawasan sekitar gua yang merupakan tempat pencarian makan kelelawar perlu ditetapkan sebagai zona penyangga/ zona pemanfaatan tradisonal. Penelitian Law & Chidel (2004) membuktikan bahwa Kerivoula papuensis (Microchiroptera) bersarang pada jarak maksimum 2.1 km dari tempat pencarian makannya di hutan hujan di New South Wales. Feelers & Pierson (2002) membuktikan kelelawar Corynorhinus townsendii (Microchiroptera) mencari makan dengan jarak ± 10.2 km dari sarangnya di karst California. Zahn et al. 2005 membuktikan Myotis myiotis (Microchiroptera) mencari makan dengan jarak 2.5 sampai dengan 8.9 km dari sarangnya. Dalam penelitian ini, tidak diteliti jarak pencarian makan kelelawar yang bersarang di gua-gua Karst Gombong. Namun, berdasarkan hasil penelitian terdahulu, hutan dan semak dengan jarak 5 km s/d 8 km di sekitar zona inti perlu diusulkan sebagai zona penyangga. Usulan zonasi kawasan Karst Gombong dapat dilihat pada peta satelit Lansat yang tersaji pada Gambar 26. Apabila semua pihak yang terkait dalam pemanfaatan kawasan Karst

115 Gombong berpegang pada zonasi yang diusulkan ini, diharapkan kelestarian kelelawar sekaligus ekosistem karst secara keseluruhan dapat dipertahankan. Gambar 26 Usulan zonasi kawasan Karst Gombong Kabupaten Kebumen