BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut

KARAKTERISTIK WILAYAH JELAJAH MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis Raffles 1821) DI PULAU TINJIL, PANDEGLANG, BANTEN TUBAGUS M.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio Ekologi Monyet Ekor Panjang Taksonomi dan Morfologi

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi

2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. tailed macaque) (Lekagul dan Mcneely, 1977). Macaca fascicularis dapat ditemui di

II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Morfologi Umum Primata

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

Burung Kakaktua. Kakatua

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

II. TINJAUAN PUSTAKA. frugivora lebih dominan memakan buah dan folivora lebih dominan memakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iv. DAFTAR ISI... v. DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR TABEL... viii. DAFTAR LAMPIRAN... ix

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM. Edy Hendras Wahyono

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Di Seluruh dunia, terdapat 20 jenis spesies Macaca yang tersebar di Afrika bagian

BAB I PENDAHULUAN. untuk pengadaan konservasi hewan. Suaka Margasatwa Paliyan memiliki ciri

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

I. PENDAHULUAN. Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di

TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK

UKURAN KELOMPOK MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan. tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. melakukan grooming. Pola perilaku autogrooming tidak terbentuk. dikarenakan infant tidak terlihat melakukan autogrooming.

3. METODE PENELITIAN. Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

Jantan Dewasa/Adult (Macaca Maura).

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi monyet ekor panjang adalah

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumatera. Klasifikasi orangutan sumatera menurut Singleton dan Griffiths

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KELOR, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KALITOPO, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu diklasifikasikan sebagai berikut, Kingdom: Plantae; Subkingdom:

JENIS_JENIS TIKUS HAMA

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Walet Sarang Lumut, Burung Walet Sapi, Burung Walet Gunung dan Burung

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK MANTING, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KAJANG, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. M11, dan M12 wilayah Resort Bandealit, SPTN wilayah II Balai Besar Taman

Aktivitas Harian Bekantan (Nasalis larvatus) di Cagar Alam Muara Kaman Sedulang, Kalimantan Timur

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK SUMBERBATU, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Taksonomi dan Morfologi Siamang (Hylobathes syndactilus) Hylobatidae. Yang memiliki nama ilmiah Hylobathes syndactilus.

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK BEKOL, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

PEMANFAATAN HABITAT OLEH MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI KAMPUS IPB DARMAGA

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan,

II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Subphylum : Vertebrata. : Galiformes

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beruang madu (H. malayanus) merupakan jenis beruang terkecil yang tersebar di

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Monyet ekor panjang memiliki klasifikasi ilmiah seperti yang dipaparkan oleh Napier dan Napier (1985) sebagai berikut : Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Bangsa : Primata Suku : Cercopithecidae Marga : Macaca Jenis : Macaca fascicularis Raffles 1821 Spesies ini memiliki nama lain atau sinonim: long-tailed macaque (Inggris), macaque de buffon (Perancis), macaca cangrejera (Spanyol), javaapa atau krabbmakak (Swedia). Maryanto et al. (2007) menambahkan nama yang umum dipakai di Indonesia adalah: kara (Riau), karau (Minangkabau), kunyuk (Sunda), ketek (Tengger), ketang (Madura) dan lain-lain. 2.2 Morfologi Pada monyet muda sering terdapat jambul di kepala, warna rambut bervariasi menurut umur satwa dan lokasi tempat tinggalnya, sedangkan pada monyet yang umurnya lebih tua mempunyai cambang yang lebat dan mengelilingi mukanya. Monyet ekor panjang mempunyai dua warna utama, yaitu coklat keabuabuan dan kemerah-merahan dengan berbagai variasi warna menurut musim, umur dan lokasi. Populasi yang hidup di dalam hutan umumnya berwarna lebih gelap dibandingkan dengan yang hidup di pantai (Lekagul & McNeely 1977). Medway (1978) menjelaskan bahwa warna bulu monyet ekor panjang umumnya coklat mengkilap (grizzled olive brown); kulit telanjang pada wajah, telapak tangan dan kaki berwarna coklat kemerah-mudaan. Anak yang baru lahir berambut sangat tipis, dengan puncak kepala gelap dan lapisan tulang belakang. Perbedaan dengan beruk dan beruk kentoi yaitu pada panjang ekor yang bukan ekor prehensil. Ukuran kepala dan badan 350-455 mm, ekor 400-565 mm dan

memiliki bobot badan 1,5-5,0 kg. Pada hewan yang sudah tua ekor kemungkinan lebih pendek akibat kecelakaan. Monyet ekor panjang adalah satwa primata yang menggunakan kaki depan dan belakang dalam berbagai variasi untuk berjalan dan berlari, memiliki ekor yang lebih panjang dari panjang kepala dan badan. Monyet berukuran sedang, dengan sebuah kepala memiliki panjang tubuh 500 mm (20 in.). Monyet tersebut memiliki ukuran tubuh yang lebih panjang dibandingkan dengan monyet lain. Umumnya monyet berwarna coklat keabu-abuan (Napier & Napier 1985). Menurut Crockett dan Wilson (1980) diacu dalam Soehartono dan Mardiastuti (2003), monyet ekor panjang memiliki tubuh ramping dan berekor panjang (lebih dari 60 cm). Jenis monyet ini mempunyai dimorfisme seksual, dengan individu jantan (5-7 kg) lebih besar dibandingkan individu betina (3-4 kg). Kedua jenis kelamin tersebut kelihatan sama, rambut kepala berwarna abu-abu sampai kecoklatan. Bayi berwarna hitam, membuat mereka berbeda menyolok dengan individu dewasa yang berwarna pucat. Payne et al. (2000) menambahkan bahwa panjang kepala dan tubuh monyet ekor panjang 400-470 mm, panjang ekor 500-600 mm, panjang kaki belakang sekitar 140 mm. Jantan dewasa memiliki berat 5-7 kg dan betina dewasa memiliki berat 3-4 kg. 2.3 Bio-ekologi Monyet ekor panjang mempunyai kebiasaan memasukkan tangan mereka ke lubang kecil untuk mencari kepiting atau hewan lain. Selain itu, monyet ekor panjang tidak takut air dan pandai berenang (Lekagul & McNeely 1966). Medway (1978) menambahkan bahwa monyet ekor panjang hidup berkelompok, umumnya beranggotakan sekitar 40 (berkisar antara 8-73 individu), terdiri dari beberapa jantan dewasa, banyak betina dan remaja dari segala umur. Sebagian besar arboreal, meskipun seringkali turun ke permukaan tanah; jika ketakutan biasanya melarikan diri sampai ke puncak pohon. Secara alami omnivora, monyet ini dapat menjadi hama di lahan tanaman, merusak padi, bibit karet dan kebun buah. Menurut Wheatley (1980) diacu dalam Soehartono dan Mardiastuti (2003) menyatakan bahwa monyet ekor panjang di habitat alaminya hidup dalam kelompok multi-male yang kecil dengan jumlah 10-20 ekor. Seks rasio rata-rata

adalah satu jantan dewasa untuk tiga betina dewasa. Payne et al. (2000) menambahkan bahwa monyet ekor panjang aktif secara teratur dari fajar sampai petang. Sering bepergian dalam kelompok beranggotakan 20 sampai 30 ekor atau lebih terdiri dari 2-4 jantan dewasa, 6-11 betina dewasa dan selebihnya anakan. Hoeve (2003) juga menyampaikan bahwa monyet ekor panjang hidup dalam kelompok yang sangat besar, terkadang sampai dengan 300-400 ekor sebelum terjadi pemecahan. Jumlah rata-rata kelompok antara 30-60 ekor. Apabila dua kelompok resus saling bertemu, timbul ketegangan dan perkelahian selama 15-30 menit, dimana pada monyet ekor panjang hanya mengayun-ayunkan dahan dan memperlihatkan gigi. Jantan berukuran lebih besar dan lebih galak daripada betina. 2.4 Perilaku Perilaku merupakan hasil dari perubahan yang berkelanjutan pada otot tubuh sebagai aliran yang tidak terpotong pada tubuh dan pergerakannya. Perilaku juga didefinisikan sebagai suatu tingkat dimana pergerakan jelas terlihat (Huntingford 1984). Menurut Odum (1993), perilaku dalam arti yang luas merupakan tindakan yang tegas dari suatu organisme untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan lingkungan guna menjamin hidupnya. Alikodra (2002) menjelaskan bahwa perilaku adalah kebiasaan-kebiasaan satwaliar dalam aktivitas hidupnya, seperti sifat kelompok, waktu aktif, wilayah pergerakan, cara mencari makan, cara membuat sarang, hubungan sosial, tingkah laku bersuara, interaksi dengan spesies lainnya, cara kawin dan melahirkan anak. Kehidupan di dalam kelompok primata adalah selalu seimbang antara kompetisi dan persaingan. Kompetisi ditunjukkan oleh agregasi. Beberapa agregasi, sebagai contoh mempertahankan sumber pakan, tempat beristirahat, tempat tidur, mempunyai hubungan tertutup dengan sumberdayanya. Tipe agregasi lainnya adalah memantapkan dan memelihara dominansi hierarki, yang mana hubungannya bersifat tidak langsung dengan kompetisi sumberdaya. Selain persaingan, dalam kehidupan primata juga dikenal koperasi. Koperasi di dalam kelompok primata beragam, meliputi mencari kutu, pembagian pakan antar individu, pembagian tempat mencari pakan, bersama-sama mempertahan diri dari

predator, bersama-sama mempertahankan daerah teritorinya atau sumberdaya alam dan formasi kelompok lainnya (Arief 1998). Sugiharto (1992) memaparkan bahwa aktivitas makan dapat dibagi dalam tiga tahapan, yaitu mengambil makanan, memasukkan ke mulut dan menguyah. Hadinoto (1993) juga menambahkan bahwa perilaku agonistik meliputi perkelahian, pengejaran dan pertengkaran. Perilaku ini terjadi baik antara individu jantan dengan betina, sesama betina, individu jantan dengan kelompok betina dan individu betina dengan kelompok betina. Dalam perkelahian, individu-individu mengeluarkan suara khas (khrukh...khrukh...khrukh) sambil memunculkan giginya dilanjutkan dengan berkejaran. Penggunaan waktu oleh monyet ekor panjang dalam satu hari yang diamati oleh Widiyanti (2001), yaitu perilaku bergerak sebanyak 28% (145 menit) yang dilakukan sepanjang hari, perilaku makan sebanyak 25% (130 menit) pada rentang waktu pukul 07.00-15.00 WIB, perilaku istirahat sebanyak 21% (105 menit) yang dilakukan pada periode aktif monyet tersebut, perilaku mencari kutu atau grooming 15% (75 menit) yang dilakukan saat sedang istirahat bersama, perilaku main sebanyak 9% (45 menit) yang biasanya dilakukan oleh anakan dan aktivitas lainnya sebanyak 2% (10 menit). Waktu aktif monyet ekor panjang adalah pukul 05.00-17.00 WIB, sedangkan waktu mulai keluar dari lokasi tidur adalah pukul 05.30 WIB. Aktivitas harian monyet ekor panjang yang diamati oleh Saroyo (2002) di Pulau Tinjil mencakup aktivitas makan (feeding), istirahat (resting), berjalan (moving) dan tidur (sleeping). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Santoso (1993) di Pualu Tinjil, kelompok monyet ekor panjang yang diamati yaitu kelompok M.26 menunjukkan bahwa setiap hari terjadi hubungan seksual. Jantan dewasa aktif mendekati, mengikuti, atau mengejar betina dewasa untuk dikawini (kopulasi). Biasanya jantan dewasa akan mendekati betina saat makan atau istirahat. Beberapa betina yang tanggap langsung menunjukkan posisi berdiri sambil ekornya diangkat (visual communication) sehingga memudahkan jantan untuk melakukan pemeriksaan kelamin betina dengan cara menyentuh kelamin dengan jarinya (tactile communication) atau langsung diciumnya (olfactory communication).

2.5 Pakan Monyet ekor panjang lebih bersifat omnivora daripada langur, memakan buah-buahan, biji-bijian, pucuk, serangga, kepiting, katak, kadal dan moluska (Lekagul & McNeely 1966). Crockett dan Wilson (1977) diacu dalam Linburg (1980) menambahkan bahwa jenis pakan monyet ekor panjang adalah buah karet (Hevea brasiliensis), bagian pucuk padi (Oryza sativa) dan jagung (Zea mays). Di daerah rawa mangrove monyet ekor panjang juga merupakan satwa yang bersifat frugivore-omnivore, karena monyet ekor panjang selain memakan buah Sonneratia sp. dan Nypa fruticans, juga memakan kepiting. Berdasarkan hasil penelitian Romauli (1993), monyet ekor panjang merupakan satwa frugivorus atau pemakan buah, ini didukung oleh besarnya persentase bagian buah yang dipilih sebagai pakan. Berdasarkan pengamatan Sugiharto di Pulau Tinjil pada tahun 1992, diketahui jenis yang paling banyak dimakan yaitu Ficus benjamina (31,7%), Eugenea densiflora (11,5%), Gnetum gnemon (11,4%), Terminalia catappa (11%), Hibiscus teleaceus (10,5%) dan Baringtonia asiatica (9,3%). Bagian yang paling banyak dimakan yaitu daun muda (48%), buah (40,4%), bunga (5,9%) dan bagian lain (5,7%). Santoso (1992) menambahkan bahwa jenis pakan yang sangat disukai oleh monyet ekor panjang di Pulau Tinjil antara lain ampelas, jambu klampok, ketapang, ki ara, ki cau, kondang, loa, peuris, songgom dan waru. 2.6 Habitat Pada dasarnya habitat merupakan kombinasi air, pakan, cover dan ruang yang dibutuhkan satwaliar untuk bertahan hidup (Shumon et al. 1966). Menurut Alikodra (2002), pengertian habitat adalah kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwaliar. Lekagul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa meskipun habitat klasik monyet ekor panjang adalah rawa mangrove, namun mereka juga ditemukan di hutan-hutan primer dan sekunder sampai ketinggian 2000 meter, di hutan bekas tebangan dan daerah-daerah pertanian dimana mereka kemungkinan merusak

tanaman. Monyet ekor panjang hidup pada hutan primer dan sekunder dari dataran rendah sampai dataran tinggi sekitar 1000 meter di atas permukaan laut (Supriatna & Wahyono 2000). Menurut Payne et al. (2000), monyet ekor panjang umumnya ditemukan di hutan pesisir, yaitu hutan mangrove dan hutan pantai, dan hutan di sepanjang sungai-sungai besar. 2.7 Wilayah Jelajah Wilayah yang dikunjungi satwaliar secara tetap karena dapat mensuplai makanan, minum, serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung atau bersembunyi, tempat tidur dan tempat kawin, disebut wilayah jelajah (Boughey 1973). Menurut Bailey (1984) diacu dalam Alikodra (2002), wilayah jelajah adalah wilayah atau daerah yang dilalui satwa atau kelompok satwa dalam aktivitas hariannya yang normal. Santoso (1993) mengemukakan bahwa wilayah jelajah (home range) terbentuk oleh karena upaya kelompok binatang untuk memenuhi keperluan hidupnya, sehingga pada home range terdapat tempat untuk makan, minum, tidur, bermain, berkembangbiak dan berlindung. Napier dan Napier (1985) menyebutkan bahwa ukuran kelompok dan ukuran home range monyet bervariasi sesuai dengan habitatnya. Alikodra (2002) juga menambahkan bahwa wilayah jelajah bervariasi sesuai dengan keadaan sumberdaya lingkungannya, semakin baik kondisi lingkungannya semakin sempit ukuran wilayah jelajahnya. Selain itu wilayah jelajah juga dapat ditentukan oleh aktivitas hubungan kelamin, biasanya wilayah jelajah semakin luas pada musim perkembangbiakan. Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), daerah jelajah (home range) monyet ekor panjang bervariasi dari 10-80 ha di daerah hutan primer dan 125 ha di daerah hutan bakau. Ukuran wilayah jelajah monyet ekor panjang yang diamati oleh Mukhtar (1982) di Taman Wisata dan Cagar Alam Penanjung Pangandaran adalah 23,3 ha dengan rata-rata jarak perjalanan harian sejauh 1812,50 m dan kepadatannya 0,52 ekor/ha. Hasil penelitian Prasetyo (1992) menyebutkan wilayah jelajah kelompok Si Gendut (M.26) di Pulau Tinjil seluas 13 ha. Kepadatan monyet ekor panjang pada wilayah jelajah tersebut 98 ekor/13 ha atau 7,54 ekor/ha. Alikodra (2002) menambahkan ukuran luas wilayah jelajah bagi

jenis primata ditentukan oleh 2 faktor utama, yaitu jarak perjalanan yang ditempuh setiap hari oleh setiap anggota kelompok dan pemencaran dari kelompoknya. 2.8 Daerah Inti Kaufmann (1962) diacu dalam Jewell (1966) mendefinisikan bahwa suatu wilayah tertentu dari home range dan digunakan dengan frekuensi yang lebih dibandingkan dengan wilayah lainnya disebut core area. Menurut Sussman (1979) diacu dalam Santoso (1993), daerah inti (core area) merupakan wilayah jelajah dari kelompok binatang yang diduduki atau digunakan secara intensif. 2.9 Teritori Daerah jelajah yang dipertahankan secara aktif disebut teritori (Odum 1993). Menurut Maton (2000), teritori adalah suatu bagian dari lahan dimana satwa atau kelompok satwa mempertahankannya dari pengganggu. Beberapa spesies mempunyai tempat yang khas dan selalu dipertahankan dengan aktif (teritori), misalnya tempat tidur pada primata (Delany 1982; Whitten 1982, diacu dalam Alikodra 2002). Teritori memiliki batas yang pasti dan jarang tumpang tindih. Bermacammacam satwa yang berbeda membuat teritori untuk menghindari predator, mempertahankan sumber pakan, atau mengawasi tempat perkembangbiakan yang baik. Beberapa satwa menjaga teritorinya secara tetap, beberapa satwa lainnya membuat dan mempertahankan teritori hanya untuk sementara. Satwa menandai teritori mereka menggunakan bau, suara, atau sinyal yang tampak (Maton 2000). Alikodra (2002) menambahkan bahwa batas-batas teritori dikenali dengan jelas oleh pemilknya, biasanya ditandai dengan urine, feses dan sekresi lainnya. Pertahanan teritori ini dilakukan dengan perilaku yang agresif, misalnya dengan mengeluarkan suara, ataupun dengan perlawanan fisik. Pada umumnya lokasi teritori lebih sempit daripada wilayah jelajahnya. Adanya teritorial pada suatu binatang pada umumnya berkaitan dengan kepentingan berkembangbiak, seperti bangsa burung dimana sarangnya merupakan teritori. Teritorial merupakan bagian dari core area, dan core area

merupakan bagian dari home range. Pada teritorial telah ada unsur dipertahankan penggunaannya, sedangkan pada core area dan home range belum dipertahankan penggunaannya (Santoso 1993). Arief (1998) juga menambahkan bahwa umumnya jantan mempertahankan daerah teritori yang merupakan daerah jelajah beberapa satwa betina dan mengeluarkan satwa jantan lainnya dari daerah teritorinya. 2.10 Status Konservasi Monyet ekor panjang tergolong satwa Appendix II CITES 2009, yaitu jenis satwa yang boleh dimanfaatkan tetapi dari hasil budidaya. Menurut daftar merah IUCN versi 3.1 (2009), satwa ini tergolong Least Concern atau beresiko rendah mengalami kepunahan tetapi memerlukan perhatian, sedangkan dalam Perundangundangan di Indonesia monyet ekor panjang tidak termasuk satwa yang dilindungi.