BAB IV HASIL DAN ANALISA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V HASIL DAN ANALISIS

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Blood Bank Cabinet

BAB VI PENGOLAHAN DATA dan ANALISIS DATA

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir BAB II DASAR TEORI

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Pengertian Sistem Heat pump

HANIF BADARUS SAMSI ( ) DOSEN PEMBIMBING ARY BACHTIAR K.P, ST, MT, PhD

BAB I PENDAHULUAN. This document was created with the trial version of Print2PDF! Once Print2PDF is registered, this message will disappear!

BAB II DASAR TEORI 2012

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 sistem Blast Chiller [PT.Wardscatering, 2012] BAB II DASAR TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI

Seminar Nasional Mesin dan Industri (SNMI4) 2008 ANALISIS PERBANDINGAN UNJUK KERJA REFRIGERATOR KAPASITAS 2 PK DENGAN REFRIGERAN R-12 DAN MC 12

BAB II DASAR TEORI. Pengujian sistem refrigerasi..., Dedeng Rahmat, FT UI, Universitas 2008 Indonesia

BAB III SIMULASI SISTEM REFRIGERASI

BAB II DASAR TEORI. perpindahan kalor dari produk ke material tersebut.

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi Vaksin

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Cooling Tunnel

BAB II LANDASAN TEORI. Suatu mesin refrigerasi akan mempunyai tiga sistem terpisah, yaitu:

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir. Gambar 2.1 Schematic Dispenser Air Minum pada Umumnya

Laporan Tugas Akhir 2012 BAB II DASAR TEORI

Studi Eksperimen Pemanfaatan Panas Buang Kondensor untuk Pemanas Air

BAB III PERANCANGAN SISTEM

PENGARUH STUDI EKSPERIMEN PEMANFAATAN PANAS BUANG KONDENSOR UNTUK PEMANAS AIR

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Rangkaian Alat Uji Dan Cara Kerja Sistem Refrigerasi Tanpa CES (Full Sistem) Heri Kiswanto / Page 39

Bab IV Analisa dan Pembahasan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbaikan Dan Uji Kebocoran Mesin Pendingin Absorpsi

Bab IV Analisa dan Pembahasan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Pengkondisian Udara

ANALISIS PERFORMANSI MINI FREEZER YANG DILENGKAPI DENGAN FLUIDA PENYIMPAN DINGIN (THERMAL STORAGE)

Gambar 5. Skematik Resindential Air Conditioning Hibrida dengan Thermal Energy Storage

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI

MULTIREFRIGERASI SISTEM. Oleh: Ega T. Berman, S.Pd., M,Eng

Menghitung besarnya kerja nyata kompresor. Menghitung besarnya kerja isentropik kompresor. Menghitung efisiensi kompresi kompresor

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Daya tumbuh benih kedelai dengan kadar air dan temperatur yang berbeda

BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bahan Penelitian Pada penelitian ini refrigeran yang digunakan adalah Yescool TM R-134a.

BAB V HASIL DAN ANALISA. 5.1 GREEN MEDICAL BOX DENGAN MENGGUNAKAN R134a SEBAGAI REFRIGERAN DAN SUMBER LISTRIK DARI PLN

Basic Comfort Air Conditioning System

LAPORAN TUGAS AKHIR BAB II DASAR TEORI

LAPORAN AKHIR FISIKA ENERGI II PEMANFAATAN ENERGI PANAS TERBUANG PADA MESIN AC NPM : NPM :

Pengaruh Modifikasi Heat Exchanger Tipe Concentric Tube terhadap Performance Sistem Refrigerasi Cascade

Pengaruh Debit Udara Kondenser terhadap Kinerja Mesin Tata Udara dengan Refrigeran R410a

BAB II LANDASAN TEORI

ANALISIS PENGARUH DIAMETER PIPA KAPILER TERHADAP COEFFISIENT OF PERFORMANCE PADA REFRIGERATOR

MODUL PRAKTIKUM. Disusun Oleh: MUHAMMAD NADJIB, S.T., M.Eng. TITO HADJI AGUNG S., S.T., M.T.

Penggunaan Refrigeran R22 dan R134a pada Mesin Pendingin. Galuh Renggani Wilis, ST.,MT

Analisa Performansi Sistem Pendingin Ruangan dan Efisiensi Energi Listrik padasistem Water Chiller dengan Penerapan Metode Cooled Energy Storage

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

Pengaruh Pipa Kapiler yang Dililitkan pada Suction Line terhadap Kinerja Mesin Pendingin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Sistem pendingin siklus kompresi uap merupakan daur yang terbanyak. daur ini terjadi proses kompresi (1 ke 2), 4) dan penguapan (4 ke 1), seperti pada

COEFFICIENT OF PERFORMANCE (COP) MINI FREEZER DAGING AYAM KAPASITAS 4 KG

Tugas akhir Perencanan Mesin Pendingin Sistem Absorpsi (Lithium Bromide) Dengan Tinjauan Termodinamika

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN THERMOSTATIC EXPANTION VALVE PADA REFRIGERASI AC SPLIT. Harianto 1 dan Eka Yawara 2

UNJUK KERJA MESIN PENDINGIN KOMPRESI UAP PADA BEBERAPA VARIASI SUPERHEATING DAN SUBCOOLING

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya jumlah dan kualitas dari udara yang dikondisikan tersebut dikontrol.

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II DASAR TEORI Prinsip Kerja Mesin Refrigerasi Kompresi Uap

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III PERANCANGAN GREEN MEDICAL BOX PORTABLE

BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Sistem Pendinginan Tidak Langsung (Indirect System)

BAB II DASAR TEORI. This document was created with the trial version of Print2PDF! Once Print2PDF is registered, this message will disappear!

Kaji Eksperimental Pemanfaatan Panas Kondenser pada Sistem Vacuum Drying untuk Produk Kentang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Menggunakan jenis laporan eksperimen dan langkah-langkah sesuai standar. Mitshubisi Electrik Room Air Conditioner

Studi Eksperimen Pengaruh Panjang Pipa Kapiler dan Variasi Beban Pendinginan pada Sistem Refrigerasi Cascade

Studi Eksperimen Pengaruh Variasi Kecepatan Putar Kompresor dan Beban Pendinginan pada Sistem Refrigerasi Cascade

Ahmad Farid* dan Moh. Edi.S. Iman Program Studi Teknik Mesin, Universitas Pancasakti Tegal Jl. Halmahera km 1, Tegal *

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2015 sampai Maret Yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II DASAR TEORI. Tugas Akhir Rancang Bangun Sistem Refrigerasi Kompresi Uap untuk Prototype AHU 4. Teknik Refrigerasi dan Tata Udara

BAB IV DATA DAN ANALISA

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

SILABUS MATA KULIAH D4 REFRIGERASI DASAR KURIKULUM 2011 tahun ajaran 2010/2011. Materi Tujuan Ket.

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iii. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR NOTASI... xi Rumusan Masalah...

BAB IV HASIL PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN

BAB II. Prinsip Kerja Mesin Pendingin

PENGARUH PENGGUNAAN KATUP EKSPANSI JENIS KAPILER DAN TERMOSTATIK TERHADAP TEKANAN DAN TEMPERATUR PADA MESIN PENDINGIN SIKLUS KOMPRESI UAP HIBRIDA

BAB II DASAR TEORI. BAB II Dasar Teori. 2.1 AC Split

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Air-Water System

Pengaruh Penggunaan Katup Ekspansi Termostatik dan Pipa Kapiler terhadap Efisiensi Mesin Pendingin Siklus Kompresi Uap

BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

Simposium Nasional Teknologi Terapan (SNTT) 2013 ISSN X

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. temperatur di bawah 123 K disebut kriogenika (cryogenics). Pembedaan ini

Studi Eksperimen Variasi Beban Pendinginan pada Evaporator Mesin Pendingin Difusi Absorpsi R22-DMF

ANALISA WAKTU SIMPAN AIR PADA TABUNG WATER HEATER TERHADAP KINERJA AC SPLIT 1 PK

KAJI EKSPERIMENTAL KARAKTERISTIK PIPA KAPILER DAN KATUP EKSPANSI TERMOSTATIK PADA SISTEM PENDINGIN WATER-CHILLER

BAB II DASAR TEORI. BAB II Dasar Teori

BAB II DASAR TEORI 2.1 Cooling Tunnel

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

Momentum, Vol. 13, No. 2, Oktober 2017, Hal ISSN ANALISA PERFORMANSI REFRIGERATOR DOUBLE SYSTEM

BAB II DASAR TEORI. BAB II Dasar Teori

ANALISA PERUBAHAN DIAMETER PIPA KAPILER TERHADAP UNJUK KERJA AC SPLIT 1,5 PK. Abstrak

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print) B-90

BAB II DASAR TEORI LAPORAN TUGAS AKHIR. 2.1 Blast Chiller

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN ANALISA 4.1 HASIL PENGUJIAN STEADY SISTEM CASCADE Dalam proses pengujian pada saat menyalakan sistem untuk pertama kali, diperlukan waktu oleh sistem supaya dapat bekerja dengan stabil. Data yang diambil saat kondisi sistem belum stabil berarti belum valid karena masih mungkin terjadi perubahan yang cukup besar. Saat sistem dinyatakan stabil adalah ketika angka yang ditunjukkan pada alat ukur, yakni tekanan dan temperatur tidak berubah atau hanya sedikit mengalami perubahan yang masih dapat ditoleransi. Pada saat sistem dalam kondisi mati, tekanan pada suction line dan discharge line kompresor menjadi kurang lebih sama. Percobaan untuk mengetahui waktu steady ini dilakukan pada sistem HS dengan menggunakan R22 terlebih dulu, karena sesuai prosedur penyalaan sistem cascade adalah sistem HS harus terlebih dulu dinyalakan supaya kalor yang dibuang oleh kondenser pada sistem LS dapat diserap oleh evaporator sistem HS. 4.1.1 High-Stage Dalam proses pengujian saat sistem dinyalakan untuk pertama kali, diperlukan waktu oleh sistem supaya dapat bekerja dengan stabil. Data yang diambil saat kondisi sistem belum stabil berarti belum valid karena masih mungkin terjadi perubahan yang cukup besar. Saat sistem dinyatakan stabil adalah ketika angka yang ditunjukkan pada alat ukur, yakni tekanan dan temperatur tidak berubah atau hanya sedikit mengalami perubahan yang masih dapat ditoleransi. Pada saat sistem dalam kondisi mati, tekanan pada suction line dan discharge line kompresor menjadi kurang lebih sama. Percobaan untuk mengetahui waktu steady ini dilakukan pada sistem HS dengan menggunakan R22 dan LS dengan menggunakan R 404A, keadaan pada saat sistem HS tidak bekerja bertekanan 10,2 bar dan LS bertekanan 11.6 bar dengan temperatur ruang 29 o C. 38

6 5 4 Ampere (A) 3 2 1 0 0 20 40 60 80 100 120 140 Waktu (detik) Gambar 4.1 Grafik arus listrik terhadap waktu Grafik diatas menunjukkan perubahan arus listrik yang diterima kompresor pada saat start-up hingga sistem berjalan stabil. Arus listrik mengalami penurunan yang cukup besar hingga 10 detik pertama, setelah itu perlahan-lahan arus listrik mulai cencerung stabil, hingga pada saat sistem sudah berjalan selama 1 menit, arus listrik sudah mengalir secara konstan. Arus listrik menjadi stabil dikarenakan kapasitor di dalam kompresor telah cukup termuati sehingga kapasitor dapat mengalirkan arus listrik secara stabil. Melonjaknya nilai arus listrik untuk sesaat mengakibatkan tarikan daya listrik yang besar pula untuk sesaat. Selain itu untuk menjaga peralatan dari lonjakan arus listrik yang berlebih diperlukan suatu peralatan pengaman yakni MCB. 39

Temperatur ( 0 C) 80 60 40 20 0 Evaporator Suction Discharge Kondensor -20-40 0 20 40 60 80 100 120 Waktu (menit) Gambar 4.2 Grafik temperatur HS terhadap waktu Gambar 4.2 diatas menunjukkan perubahan temperatur yang diukur pada 4 titik yaitu evaporator, suction line, discharge line dan kondenser. Berdasarkan grafik diatas, perubahan temperatur terjadi secara signifikan hingga 20 menit pertama sejak sistem dinyalakan. Setelah itu dapat dikatakan sistem cenderung menuju stabil dapat terlihat dari perubahan temperatur yang tidak terlalu besar. Hal ini disebabkan karena untuk menurunkan temperatur evaporator dari temperatur ruang membutuhkan kerja kompresor yang besar dan mengakibatkan kenaikan temperatur pada discharge line. Kenaikan temperatur discharge berpengaruh terhadap kenaikan temperatur kondenser sedangkan penurunan temperatur evaporator berpengaruh terhadap penurunan temperatur suction line. Setelah mencapai temperatur evaporator maksimum dalam waktu 20 menit maka kerja kompresor mulai menurun. Hal ini dapat terlihat pada temperatur discharge, penurunan temperatur discharge mengakibatkan penurunan temperatur kondenser dan akhirnya penurunan temperatur suction. Pada dasarnya perubahan temperatur diatas merupakan fungsi dari perubahan tekanan seperti yang terdapat pada gambar 4.3 40

14 12 HP LP 10 Tekanan (bar) 8 6 4 2 0 0 20 40 60 80 100 120 Waktu (menit) Gambar 4.3 Grafik tekanan HS terhadap waktu Gambar 4.3 menunjukkan perubahan tekanan pada suction line dan discharge line dari mulai sistem dinyalakan. Perubahan signifikan terjadi pada 20 menit pertama, setelah itu sistem masih cenderung berubah dengan perubahan yang tidak terlalu besar. Pada dasarnya seperti terlihat pada grafik diatas nilai tekanan sudah mengalami perubahan yang tidak terlalu besar setelah 20 menit, namun bila diperhatikan secara seksama pada grafik 4.2 bahwa setelah menit ke- 20 masih terjadi perubahan yang cukup besar khususnya pada temperatur discharge. Tidak terjadinya perubahan yang signifikan pada grafik tekanan disebabkan tingkat keakurasian pressure gage yang rendah yakni 0,1. Pada 20 menit pertama merupakan proses pemompaan dan kompresi refrigeran oleh kompresor keseluruh bagian sistem pemipaan. Proses penstabilan tekanan ini merupakan gambaran yang mewakilkan penstabilan temperatur evaporator seperti yang ditunjukkan pada grafik sebelumnya. Berdasarkan hasil ini, maka sistem baru dinyatakan stabil jika sudah berjalan selama kurang lebih 60 menit, setelah rentang waktu sedemikian, data yang diambil dapat dinyatakan valid dan starting sistem LS dapat dilakukan. 41

4.1.2 Low-Stage 120 100 80 Evaporator Suction Discharge Kondensor Temperatur ( 0 C) 60 40 20 0-20 -40 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 Waktu (menit) Gambar 4.4 Grafik temperatur LS terhadap waktu Seperti halnya proses penstabilan temperatur pada sistem HS, 20 menit pertama merupakan penstabilan tekanan dalam sistem oleh kompresor. Waktu ini merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengkompresi dan memompakan refrigeran keseluruh bagian sistem pemipaan. Setelah waktu ini efek refrigerasi mulai terjadi ditandainya dengan penurunan temperatur evaporator dan suction. Proses stabilisasi sistem LS memakan waktu lebih lama dari pada HS hal ini dikarenakan besarnya ukuran freezer box yang harus didinginkan dari temperatur ruang sampai temperatur evaporasi cukup besar. Selanjutnya kecenderungan temperatur pada sistem LS terlihat kurang lebih sama seperti yang terjadi pada sistem HS. Untuk menurunkan temperatur evaporator maka dibutuhkan kerja kompresor yang besar sehingga mengakibatkan temperatur discharge meningkat dan kenaikan ini mengakibatkan peningkatan temperatur kondenser dan juga akhirnya peningkatan temperatur suction. 42

25 20 HP LP Tekanan (bar) 15 10 5 0 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 Waktu (menit) Gambar 4.5 Grafik tekanan LS terhadap waktu Pada grafik diatas terdapat lonjakan nilai tekanan yang sangat tinggi, hal ini disebabkan karena R404A merupakan campuran refrigeran yang bersifat nearazeotrope dimana pada saat sistem tidak bekerja refrigeran sebagian berfase cair dan memiliki tekanan rendah. Kemudian proses steady tekanan untuk sistem LS memiliki waktu yang lebih lama dibandingkan dengan sistem HS, hal ini disebabkan oleh panjangnya sistem pemipaan untuk sistem LS. Dari grafik diatas dapat terlihat bahwa setiap proses starting awal sistem baik sistem HS maupun sistem LS kompresornya akan mencapai daya maksimum terlebih dahulu dengan waktu yang dibutuhkan sebesar kurang lebih 20 menit. Selanjutnya tekanan discharge dan suction perlahan-lahan turun selama kurang lebih 160 menit. Setelah waktu inilah proses variasi tekanan discharge pada sistem HS dapat dilakukan karena seluruh parameter sistem yang ada baik untuk sistem HS dan sistem LS tidak mengalami perubahan secara signifikan lagi. Tekanan discharge mencapai titik stabil pada tekanan 12 bar dan tekanan suction pada 1,4 bar. 43

4.2 PENGARUH PERUBAHAN TEKANAN DISCHARGE HIGH-STAGE TERHADAP TEMPERATUR 4.2.1 High-Stage 80 60 Evaporator Discharge Kondenser Suction Temperatur ( 0 C) 40 20 0-20 -40 13.5 14.0 14.5 15.0 15.5 16.0 16.5 Tekanan discharge HS (bar) Gambar 4.6 Grafik tekanan discharge HS terhadap temperatur Pada grafik diatas terdapat kecenderungan temperatur yang sama antara keempat titik pengukuran. Peningkatan tekanan pada discharge sistem HS menyebabkan kenaikan temperatur pada sisi discharge. Hal ini dikarenakan peningkatan tekanan pada discharge mengakibatkan kenaikan jumlah massa refrigeran yang harus dikompresikan oleh kompresor keseluruh sistem. Dengan kata lain beban kompresor menjadi bertambah besar sehingga temperatur discharge kompresor meningkat. Selanjutnya kenaikan temperatur discharge menyebabkan kenaikan temperatur pada kondenser. Naiknya temperatur kondenser akhirnya mengakibatkan kenaikan temperatur dibagian evaporator. Dari gambar diatas dapat diambil kesimpulan bahwa semakin besar nilai tekanan pada sisi discharge akan menyebabkan naiknya temperatur operasi dari keempat titik yang ada. Namun kenaikan temperatur yang terjadi pun tidak terlalu besar dikarenakan kenaikan tekanan yang terjadi pun tidaklah terlalu besar. Hal ini dapat terlihat jelas pada diagram p-h untuk sistem HS. 44

4.2.2 Low-Stage 120 100 80 Evaporator Suction Discharge Kondenser Temperatur ( 0 C) 60 40 20 0-20 -40 10.2 10.4 10.6 10.8 11.0 11.2 11.4 11.6 11.8 12.0 Tekanan discharge LS (bar) Gambar 4.7 Grafik tekanan discharge LS terhadap temperatur Pada gambar diatas dapat terlihat bahwa terjadi kenaikan nilai tekanan dan temperatur pada sistem LS. Dari gambar tersebut dapat diambil dua kesimpulan yakni peningkatan tekanan discharge pada high-stage ternyata menyebabkan kenaikan pada tekanan bagian discharge pada LS dan juga menyebabkan kenaikan temperatur pada keempat bagian LS. Ini dikarenakan peningkatan tekanan pada discharge HS mengakibatkan perubahan temperatur pada bagian evaporator. Berubahnya nilai temperatur evaporator pada HS mengakibatkan perubahan terhadap besarnya kalor yang diserap evaporator HS dari kondenser LS. Berubahnya nilai temperatur pada bagian kondenser LS mengakibatkan perubahan tekanan pada bagian yang sama. Sehingga perubahan tekanan pada bagian kondenser juga akan mengakibatkan perubahan tekanan pada evaporator, suction dan kemudian bagian discharge. Seperti halnya yang terjadi pada sistem HS, peningkatan terhadap tekanan disisi discharge LS ternyata mengakibatkan kenaikan temperatur disisi discharge. Selanjutnya kenaikan temperatur discharge menyebabkan kenaikan temperatur pada kondenser. Naiknya temperatur kondenser akhirnya mengakibatkan kenaikan temperatur dibagian evaporator. 45

4.3 PENGARUH PERUBAHAN TEKANAN DISCHARGE HIGH-STAGE TERHADAP KAPASITAS REFRIGERASI 4.3.1 High-Stage 4.0 Kapasitas refrigerasi (kw) 3.8 3.6 3.4 3.2 3.0 2.8 13.5 14.0 14.5 15.0 15.5 16.0 16.5 Tekanan discharge HS (bar) Gambar 4.8 Grafik tekanan discharge HS terhadap kapasitas refrigerasi Kapasitas refrigerasi merupakan fungsi dari aliran massa dan efek refrigerasi. Kenaikan kapasitas refrigerasi ternyata lebih dipengaruhi oleh fungsi laju aliran massa dibandingkan dengan efek refrigerasi. Seperti yang dapat dilihat pada diagram p-h bahwa semakin rendah nilai tekanan maka efek refrigerasi semakin besar namun pada grafik diatas terlihat bahwa kenaikan nilai tekanan justru menghasilkan kenaikan kapasitas refrigerasi. Pada tekanan 16 bar terjadi penurunan untuk nilai kapasitas refrigerasi hal ini dikarenakan pertambahan laju aliran massa yang tidak terlalu besar diikuti dengan penurunan efek refrigerasi yang lebih besar dibanding dengan tekanan pada 15,8 bar. 46

4.3.2 Low-Stage 1.36 1.34 Kapasitas refrigerasi (kw) 1.32 1.30 1.28 1.26 1.24 1.22 10.2 10.4 10.6 10.8 11.0 11.2 11.4 11.6 11.8 Tekanan discharge LS (bar) Gambar 4.9 Grafik tekanan discharge LS terhadap kapasitas refrigerasi Dari grafik diatas terlihat kenaikan tekanan discharge LS juga menimbulkan kenaikan pada nilai kapasitas refrigerasi. Namun nilai kenaikan kapasitas refrigerasi yang ada sesungguhnya tidak mengalami banyak perubahan hal ini dikarenakan jumlah massa refrigeran yang ada dalam sistem LS pada dasarnya konstan sedangkan laju aliran massanya mengalami sedikit perubahan saja yang disebabkan pengaruh perubahan temperatur evaporator pada sistem HS terhadap temperatur kondenser LS seperti diterangkan sebelumnya. Pada tekanan 11,7 bar terjadi penurunan untuk nilai kapasitas refrigerasi hal ini dikarenakan pertambahan laju aliran massa yang tidak terlalu besar diikuti dengan penurunan efek refrigerasi yang lebih besar dibanding dengan tekanan pada 11,6 bar. 47

4.4 PENGARUH PERUBAHAN TEKANAN DISCHARGE HIGH-STAGE TERHADAP COP 4.4.1 High-Stage 6.6 6.4 6.2 COP 6.0 5.8 5.6 13.5 14.0 14.5 15.0 15.5 16.0 16.5 Tekanan discharge (bar) Gambar 4.10 Grafik tekanan discharge HS terhadap COP Nilai COP merupakan fungsi dari kapasitas refrigerasi dan kerja kompresor. Grafik diatas menunjukkan bahwa nilai COP akan perlahan meningkat seiring dengan peningkatan nilai tekanan namun pada satu titik tertentu mencapai nilai maksimum dan kemudian perlahan menurun. Nilai maksimum tersebut merupakan nilai kerja yang optimum bagi mesin yang ada. Peristiwa diatas dikarenakan peningkatan efek refrigerasi pada grafik sebelumnya tidak diikuti dengan peningkatan kerja kompresor. Nilai kerja kompresor pada tekanan 16,2 bar justru mengalami penurunan yang lebih besar dibandingkan peningkatan kapasitas refrigerasi pada tekanan 16 bar. Hal ini dapat terlihat lebih jelas lagi pada diagram p-h. Diketahuinya nilai COP diatas dapat menjadi suatu pertimbangan bagi konsumen untuk mengoperasikan alat yang ada, apabila ingin melakukan penghematan daya listrik sebaiknya mengoperasikan pada COP tertinggi tetapi bila yang diinginkan adalah nilai temperatur evaporasi untuk menjaga suatu 48

produk maka sebaiknya dioperasikan pada tekanan terendah yang dapat mencapai nilai temperatur evaporasi paling rendah. 4.4.2 Low-Stage 2.41 2.40 2.39 2.38 COP 2.37 2.36 2.35 2.34 2.33 10.2 10.4 10.6 10.8 11.0 11.2 11.4 11.6 11.8 Tekanan LS (bar) Gambar 4.11 Grafik tekanan discharge LS terhadap COP Grafik diatas memiliki kecenderungan yang sama dengan grafik tekanan discharge dengan COP milik HS. Hal ini dikarenakan perubahan tekanan pada HS mengakibatkan kecenderungan perubahan yang sama untuk LS, diantaranya peningkatan tekanan HS mengakibatkan peningkatan tekanan, efek refrigerasi serta penurunan kerja kompresor. Dari pengaruh-pengaruh tersebut menyebabkan adanya suatu titik optimum dimana efek refrigerasi terus meningkat namun memiliki kerja kompresor yang lebih rendah dibandingkan nilai tekanan lainnya. Kenaikkan nilai COP diatas pada dasarnya juga tidak terlalu besar hal ini dikarenakan kenaikan kapasitas efek refrigerasi pada grafik sebelumnya tidak terlalu besar. 49

4.4.3 Cascade 1.80 1.78 1.76 COP 1.74 1.72 1.70 1.68 1.66 13.5 14.0 14.5 15.0 15.5 16.0 16.5 Tekanan discharge HS (bar) Gambar 4.12 Grafik tekanan discharge HS terhadap COP cascade Grafik diatas memiliki kecenderungan berbeda dengan grafik COP HS dan LS, dimana nilai COP yang dihasilkan terus meningkat. Nilai COP cascade merupakan hasil bagi antara kapasitas refrigerasi LS dengan penjumlahan kerja kompresor HS dan LS. Namun dapat terlihat bahwa kenaikan nilai COP yang ada pada dasarnya tidaklah terlalu besar hal ini disebabkan perubahan yang tidak terlalu besar pada bagian kapasitas refrigerasi LS. Kecenderungan yang terus meningkat diatas dikarenakan kerja kompresor HS pada tekanan 16 bar masih lebih kecil nilainya dibandingkan pada tekanan 15,8 bar. Menjadi rendahnya nilai COP cascade merupakan suatu konsekuensi yang dihasilkan untuk mencapai temperatur evaporasi yang sangat rendah, dimana temperatur evaporasi tersebut sudah tidak mampu dicapai dengan menggunakan sebuah siklus tunggal. Nilai COP cascade menjadi lebih rendah dibandingkan nilai COP siklus tunggal karena pada sistem cascade nilai COP dibagi dengan dua nilai kerja kompresor baik HS dan LS. 50

4.5 PENGARUH PERUBAHAN TEKANAN DISCHARGE HIGH-STAGE TERHADAP DIAGRAM P-H 4.5.1 Diagram p-h HS Beberapa plotting beberapa siklus refrigerasi HS pada diagram p-h menunjukkan beberapa hal diantaranya semakin rendahnya tekanan maka efek refrigerasi (A) yang dapat dihasilkan pun semakin besar; temperatur discharge, kondenser dan suction pun mengalami penurunan. Sedangkan untuk kerja kompresor (B) dapat terlihat bahwa semakin rendah tekanannya semakin besar nilai kerja kompresor yang dibutuhkan. Dengan menurunnya tekanan maka garis A akan semakin panjang atau efek refrigerasi semakin besar namun diikuti dengan garis B yang semakin melebar ke kanan atau kerja kompresor yang semakin besar. Hal inilah yang dapat menyebabkan nilai COP pada sistem HS perlahan meningkat dan akhirnya mencapai suatu titik maksimum kemudian mengalami penurunan. Gambar 4.13 Siklus refrigerasi HS pada diagram p-h Penggambaran diagram p-h diatas mengambil beberapa asumsi diantaranya tidak terjadi pressure drop disepanjang bagian kondenser dan fase refrigeran yang keluar dari kondenser telah berfase cair. 51

4.5.2 Diagram p-h LS Pada plotting beberapa siklus refrigerasi LS pada diagram p-h dibawah pun menunjukkan hal yang serupa seperti yang ditunjukkan pada sistem HS yakni semakin rendahnya tekanan maka efek refrigerasi (A) yang dapat dihasilkan pun semakin besar; temperatur discharge, kondenser dan suction pun mengalami penurunan. Sedangkan untuk kerja kompresor (B) dapat terlihat bahwa semakin rendah tekanannya semakin besar nilai kerja kompresor yang dibutuhkan. Hal tersebut juga menyebabkan nilai COP sistem LS mengalami kenaikan hingga titik maksimum kemudian selanjutnya mengalami penurunan. Gambar 4.14 Siklus refrigerasi LS pada diagram p-h Dari grafik diatas terlihat bahwa garis B pada LS memiliki wilayah yang lebih besar dibandingkan dengan HS hal ini dikarenakan lebih panjangnya pipa yang digunakan pada sistem LS dibanding dengan sistem HS sehingga dibutuhkan kerja kompresor yang lebih besar. Dengan besarnya nilai kerja kompresor tersebut maka nilai COP yang dihasilkan pada sistem LS tidaklah terlalu besar. Penggambaran diagram p-h diatas mengambil beberapa asumsi diantaranya tidak terjadi pressure drop disepanjang bagian kondenser dan fase refrigeran yang keluar dari kondenser telah berfase cair. 52