II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

dokumen-dokumen yang mirip
IDENTIFIKASI LAHAN PERTANIAN RAWAN KEKERINGAN DENGAN METODE SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

ix

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 1. Satelit Landsat

ISTILAH DI NEGARA LAIN

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

JENIS CITRA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

DETEKSI POTENSI KEKERINGAN BERBASIS PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN KLATEN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

Pengertian Sistem Informasi Geografis

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

KEMAJUAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH SERTA APLIKASINYA DIBIDANG BENCANA ALAM. Oleh: Lili Somantri*)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Titik Panas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Cara memperoleh Informasi Tidak kontak langsung dari jauh Alat pengindera atau sensor Data citra (image/imagery) a. Citra Foto Foto udara

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Batasan Longsor 2.2 Jenis Longsor

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

BAB I PENDAHULUAN. listrik harus bisa men-supplay kebutuhan listrik rumah tangga maupun

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

Gambar 1. Peta DAS penelitian

BAB 2 LANDASAN TEORI. atau instruksi-instruksi yang diformalkan dan sesuai untuk komunikasi,

Geo Image (Spatial-Ecological-Regional)

Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

PERAN REMOTE SENSING DALAM KEGIATAN EKSPLORASI GEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

K13 Revisi Antiremed Kelas 12 Geografi

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

REVIEW JURNAL INTERNASIONAL TENTANG PENGINDRAAN JAUH (REMOTE SENSING)

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa,

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

TINJAUAN PUSTAKA. Sistem Informasi Geografis dalam Susanto (2007), adalah sistem yang

ANALISIS SPASIAL TINGKAT KEKERINGAN WILAYAH BERBASIS PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus : Kabupaten Tuban)

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

2. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Kedua musim ini berpotensi menimbulkan

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS.

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume yang diharapkan untuk jangka waktu khusus. Kekeringan dapat diartikan juga sebagai suatu keadaan dimana terjadi kekurangan air, dalam hal ini biasanya dikonotasikan dengan kekurangan air hujan. Pengertian lain adalah kekurangan sejumlah air yang diperlukan, dimana keperluan air ini ditentukan oleh kegiatan ekonomi masyarakat maupun tingkat sosial ekonominya. Dengan demikian kekeringan adalah interaksi antara dua fenomena yaitu kondisi sosial ekonomi dan kondisi alam. Karena kekeringan terjadi hampir di semua daerah dunia dan mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, definisi yang berlaku harus secara regional bersifat khusus dan terfokus pada dampakdampaknya (Utomo et al., 2009). Dampak dari kekeringan muncul sebagai akibat dari kurangnya air, atau perbedaan antara permintaan dan persediaan air. Kekeringan paling sering dihubungkan dengan curah hujan yang rendah atau iklim semi kering, sementara kekeringan juga terjadi pada daerah-daerah dengan jumlah curah hujan yang biasanya besar. Manusia cenderung mematok aktivitas-aktivitas mereka di sekitar keadaan kelembaban yang sudah biasa. Dengan demikian, setelah bertahun-tahun hidup dengan curah hujan di atas rata-rata, manusia bisa menganggap tahun pertama sewaktu curah hujan rata-rata kering terjadi kekeringan. Lebih jauh lagi, tingkat curah hujan yang bisa memenuhi kebutuhan seorang peladang mungkin merupakan kekeringan yang serius bagi seorang petani yang menanam jagung. Untuk mendefinisikan kekeringan di suatu daerah, perlu dipahami dengan baik karakteristik meteorologi dan juga persepsi manusia tentang kondisi-kondisi kekeringan. Pada dasarnya kekeringan adalah kondisi kekurangan air pada daerah yang biasanya tidak mengalami kekurangan air, sedangkan daerah yang kering adalah daerah yang memang mempunyai curah hujan yang kecil atau bulan keringnya dalam setahun lebih besar atau sama dengan delapan bulan. Sebenarnya kekeringan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yaitu (a) kekeringan

4 meteorologis, (b) kekeringan hidrologis, (c) kekeringan pertanian (Utomo et al., 2009). Menurut BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) kekeringan diklasifikasikan menjadi kekeringan meteorologis, kekeringan hidrologi, kekeringan pertanian, dan kekeringan sosial ekonomi. Kekeringan Meteorologis merupakan kekeringan yang berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim, sedangkan Kekeringan Hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah, sedangkan Kekeringan Pertanian berhubungan dengan kekurangan kandungan air di dalam tanah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian. Kekeringan pada lahan pertanian biasanya merupakan suatu keadaan berkurangnya kelembaban tanah dan berakibat pada kegagalan panen karena tidak ada sumber air permukaan. Berkurangnya kelembaban tanah tergantung dari beberapa faktor yang juga dipengaruhi oleh kekeringan meteorologi dan kekeringan hidrologi disertai dengan perbedaan evapotranspirasi aktual dan evapotranspirasi potensial. Kebutuhan air tanaman tergantung dari kondisi cuaca secara umum, karakteristik biologi dari tanaman dan tempatnya tumbuh, dan kondisi tanah secara fisik dan biologi. Beberapa indeks kekeringan, berdasarkan kombinasi dari penyerapan, temperatur dan kelembaban tanah, digunakan untuk mempelajari kekeringan pertanian (Ashok and Vijay, 2010). Handoko et al. (1995) dalam PUSLITTANAK (1999), mengajukan dua pendekatan, yaitu pendekatan strategis dan pendekatan taktis. Pendekatan strategis lebih bertitik tolak pada identifikasi biofisik dalam keadaan normal yang mengindikasikan sifat dan tingkat resiko kekeringan suatu wilayah, baik dari faktor iklim maupun tanah, sedangkan pendekatan taktis lebih bersifat temporal melalui pendugaan atau peramalan jangka pendek dan menengah yang dilakukan dengan langkah operasional dengan menetapkan pola/system dan teknologi budidaya yang tepat. Identifikasi wilayah menurut status, tingkat dan intensitas

5 kekeringan berdasarkan ketersediaan air merupakan pendekatan strategis dan dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan kebijaksanaan 2.2 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu, teknik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa adanya suatu kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Pada berbagai hal, penginderaan jauh dapat diartikan sebagai suatu proses membaca. Dengan menggunakan berbagai sensor kita mengumpulkan data dari jarak jauh yang dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang obyek, daerah atau fenomena yang diteliti. Pengumpulan data dari jarak jauh dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, termasuk variasi agihan daya, agihan gelombang bunyi, atau agihan energi elektromagnetik (Lillesand and Kiefer, 1997). 2.2.1 Data Penginderaan Jauh Digital Data Penginderaan Jauh Digital (citra digital) direkam dengan menggunakan sensor non-kamera, antara lain scanner, radiometer, spectrometer. Detektor yang digunakan dalam sensor penginderaan jauh adalah detektor elektronik dengan menggunakan tenaga elektromagnetik yang luas, yaitu spektrum tampak, ultraviolet, inframerah dekat, inframerah termal, dan gelombang mikro. Citra digital dibentuk dari elemen-elemen Gambar atau pixel (picture element) yang menyatakan tingkat keabuan pada gambar. Informasi yang terkandung dalam pixel tersebut bersifat diskrit yaitu mempunyai ukuran presisi tertentu (Purwadhi, 2001). Setiap citra digital penginderaan jauh satelit yang dihasilkan oleh setiap sensor mempunyai sifat khas datanya. Sifat khas data tersebut dipengaruhi oleh sifat orbit satelit, sifat dan kepekaan sensor penginderaan jauh terhadap panjang gelombang elektromagnetik, jalur transmisi yang digunakan, sifat sasaran (objek), dan sifat sumber tenaga radiasinya. Sifat orbit satelit dan cara operasi sistem sensornya dapat mempengaruhi resolusi dan ukuran pixel datanya. Sistem perekaman data penginderaan jauh dengan menggunakan sensor satelit dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu sistem pasif dan sistem aktif. Kedua sistem

6 tersebut sangat berpengaruh terhadap sistem, prosedur, dan metode pengolaan datanya. Komponen dasar pengambilan data penginderaan jauh sistem pasif meliputi sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga dengan objek si permukaan bumi, sensor, sistem pengolahan data, dan berbagai penggunaan data. Sumber tenaga diambil dari matahari atau sumber lain. Salah satu data penginderaan jauh sistem pasif adalah data satelit (Landsat) (Purwadhi, 2001). 2.2.2 Citra Landsat Landsat merupakan Satelit Sumberdaya Bumi yang pada awalnya bernama ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite) yang diluncurkan pertama kali tanggal 23 Juli 1972 yang mengorbit hingga 6 januari 1978. Satelit ini mengorbit mengelilingi bumi selaras matahari (sunsynchronous). Tepat sebelum peluncuran ERTS B tanggal 22 Juli 1975, NASA (National Aeronautic and Space Administration) secara resmi mengganti program ERTS menjadi program Landsat (untuk membedakan dengan program satelit oseanografi Seasat yang telah direncanakan) sehingga ERTS-1 dan ERTS-b menjadi Landsat-1 dan Landsat-2. Peluncuran Landsat-3 pada tanggal 5 Maret 1978. Landsat 1 dan 2 membawa dua sensor, yaitu RBV (Return Beam Vidicon) dan MSS (Multispectral Scanner). Landsat 3 terdapat dua perubahan besar pada rancang bangunannya, yaitu tambahan saluran termal (10.4-12.6) mm pada sensor MSS dan resolusi spasial sistem RBV ditingkatkan dengan menggunakan sistem dua kamera lebar (bukan multispektral) (Purwadhi, 2001). Landsat 4 dan 5 merupakan pengembangan sensor pada sistem Landsat 1, 2, dan 3 dengan peningkatan resolusi spasial, kepekaan radiometrike, laju pengiriman datanya lebih cepat, dan fokus penginderaan informasi yang berkaitan dengan vegetasi. Pada Landsat 4 dan 5 terdapat empat sensor MSS ditambah sensor TM (Thematic Mapper), dan ETM (Enhance Thematic Mapper) untuk Landsat 6 dengan menambahkan saluran termal (10.4-12.6) µm. Citra Landsat TM hasil rekaman sensor Thematic Mapper, yang dipasang pada satelit Landsat 4 dan Landsat 5. Sistem TM meliput lebar sapuan (scanning) sebesar 185 km, direkam dengan menggunakan tujuh saluran panjang gelombang, yaitu tiga saluran panjang gelombang tampak, tiga saluran panjang gelombang inframerah

7 dekat, dan satu saluran panjang gelombang inframerah termal. Panjang gelombang yang digunakan pada setiap saluran Landsat TM adalah: - Saluran 1 gelombang biru (0.45-0.52) µm - Saluran 2 gelombang hijau (0.52-0.60) µm - Saluran 3 gelombang merah (0.63-0.69) µm - Saluran 4 gelombang inframerah dekat (0.76-0.90) µm - Saluran 5 gelombang inframerah pendek (1.55-1.75) µm - Saluran 6 gelombang inframerah termal (10.40-12.50) µm - Saluran 7 gelombang inframerah pendek (2.08-2.35) µm (Purwadhi, 2001) Saluran-saluran tersebut mempunyai fungsinya masing-masing, yaitu: Saluran 1 : untuk dapat menembus air dengan lebih baik dan dapat memberikan analisis karakteristik tanah dan air. Saluran 2 : untuk dapat mendapatkan pandangan yang lebih baik terhadap puncak pantulan vegetasi di antara dua band absorpsi klorofi. Saluran 3 : untuk dapat membedakan dengan lebih baik tipe-tipe vegetasi dan antara daerah-daerah yang tak bervegetasi. Band ini berada dalam salah satu band absorpsi klorofil. Saluran 4 : untuk menekan perbedaan antara tanah-tanaman pertanian dan antara lahan-air serta sebagai pembantu di dalam identifikasi tanaman pertanian. Saluran 5 : untuk identifikasi dengan lebih baik tipe tanaman pertanian, kandungan air tanaman dan kelembaban tanah Saluran 6 : untuk mengidentifikassi formasi batuan dengan lebih baik. Saluran 7 : untuk mengidentifikasi dengan lebih baik tipe-tipe vegetasi, tekanan vegetasi, kelembaban tanah dan kondisi-kondisi termal lainnya. (Paine, 1992) Teknik penginderaan jauh biasanya menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diintrepertasi guna menghasilkan data yang bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi, geologi, perencanaan dan bidang-bidang lainnya. Tujuan utama penginderaan jauh adalah mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan (Lo, 1996).

8 2.3 SIG SIG adalah suatu teknologi baru yang pada saat ini menjadi alat bantu (tools) yang sangat essensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial. Secara umum, terdapat dua jenis data yang dapat digunakan untuk merepresentasikan atau memodelkan fenomena-fenomena yang terdapat di dunia nyata. Data pertama adalah jenis data yang merepresentasikan aspek-aspek keruangan dari fenomena yang bersangkutan. Jenis data ini sering disebut sebagai data posisi, koordinat, ruang atau spasial, sedangkan yang kedua adalah jenis data yang merepresentasikan aspek-aspek deskriptif dari fenomena yang memodelkannya. Aspek deskriptif ini mencakup items atau properties dari fenomena yang bersangkutan hingga dimensi waktunya. Jenis data ini sering disebut sebagai data atribut atau data non-spasial (Prahasta, 2002). Menurut Star dan Estes (1990) dalam Barus dan Wiradisastra (2000), SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bakerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem database dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Intinya SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi, yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non spasial. SIG berdasarkan operasinya, dapat dibagi dalam (1) cara manual, yang beroperasi memanfaatkan peta cetak (kertas/transparan), bersifat data analog, (2) cara terkomputer atau lebih sering disebut cara otomatis, yang prinsip kerjanya menggunakan komputer sehingga datanya merupakan data digital. SIG manual biasanya terdiri dari beberapa unsur data termasuk peta-peta lembar material transparasi untuk tumpang-tindih. Foto udara dan foto lapangan, laporan-laporan statistik dan laporan-laporan survei lapangan (Barus dan Wiradisastra, 2000). 2.4 Pemetaan Rawan Kekeringan Contoh aplikasi SIG untuk pemetaan kekeringan adalah pemodelan spasial dari data Penginderaan Jauh dan peta-peta digital dari kondisi biofisik dalam suatu sistem SIG untuk mengidentifikasi potensi daerah rawan kekeringan.

9 Transformasi citra satelit Landsat untuk mendapatkan indeks kecerahan, indeks kebasahan, dan indeks vegetasi digunakan untuk mengetahui kondisi permukaan dalam hubungannya dengan kekeringan. Indeks kecerahan dan indeks kebasahan diperoleh dari modifikasi tasseled cap, sedangkan indeks vegetasi diperoleh dari nilai normalized difference vegetation index (NDVI). Parameter lain seperti kondisi akuifer, curah hujan serta jenis penggunaan lahan pertanian kering merupakan faktor dalam mengidentifikasi kekeringan. Data-data tersebut dilakukan sesuai dengan deskripsi zona wilayahnya guna mendapatkan kajian wilayah dalam hubungannya dengan kekeringan (Raharjo, 2010). Contoh selanjutnya adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Atri Wiujianna pada tahun 2005, yaitu penentuan daerah rawan kekeringan di Indramayu dengan penerapan teknik SIG, dalam penentuannya peneliti menggunakan beberapa parameter penentu yaitu, deret hari kering, sumber air, area irigasi, dan drainase tanah. Metode yang dilakukan adalah perharkatan dan pembobotan. Parameter serta skor yang digunakan dalam penelitian tersebut disajikan dalam Lampiran 1, sedangkan Tabel pembobotan ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Pembobotan Parameter Kekeringan Parameter Bobot (%) Deret Hari Kering 70 Area irigasi 10 Sumber air 10 Drainase tanah 10 Nilai penentuan kerentanan suatu daerah terhadap kekeringan ditentukan oleh total penjumlahan skor masing-masing parameter kekeringan. Nilai kerentanan maksimum yang didapat setelah melakukan analisis adalah 4 dan nilai kerentanan minimum 1. Tingkat kerentanan kekeringan berdasarkan nilai kerentanan penjumlahan skor masing-masing parameter kekeringan ditunjukkan pada Tabel 2. Penelitian lainnya yaitu tentang pemetaan bencana di DIY, salah satunya adalah pemetaan bencana kekeringan. Parameter penyusun kekeringan terdiri dari bentuk lahan, data curah hujan, kedalaman air tanah dan tekstur tanah.

10 Tabel 2. Kisaran nilai dan Tingkat Kerentanan Kekeringan Nilai Kerentanan Tingkat Kerentanan 0 < TK 1 Tidak rentan 1 < TK 2 Cukup Rentan 2 < TK 3 Rentan 3 < TK 4 Sangat Rentan Kedalaman air tanah merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kekeringan karena kedalaman air tanah mencerminkan kapasitas akuifer untuk menyimpan air tanah. Jika air tanah cukup dalam, maka kapasitas akuifernya relatif kecil, sehingga daerah tersebut akan mudah mengalami kekeringan, demikian pula sebaliknya. Sistematika pemetaan dapat diperhatikan pada Lampiran 2. Sistem penilaian untuk bencana kekeringan adalah skor setiap entitas pada setiap parameter dikalikan dengan bobot kemudian semua parameter ditumpangtindihkan dan dijumlah total skornya, kemudian diklasifikasi secara aritmatik menjadi tiga kelas potensi, yaitu, rendah, sedang, dan tinggi (BAPEDA, 2008). Beberapa penelitian, menggambarkan bahwa parameter yang digunakan untuk menentukan kekeringan dapat berbeda-beda. Perbedaan ini juga terjadi pada pengharkatan dan pembobotan dapat berbeda.