BAB VI RESPON MASYARAKAT LOKAL ATAS DAMPAK SOSIO-EKOLOGI HADIRNYA INDUSTRI PENGOLAHAN TAHU

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB VI DAMPAK SOSIAL EKOLOGI AKIBAT INDUSTRI MANUFAKTUR

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. keadaan responden berdasarkan umur pada tabel 12 berikut ini:

BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN

BAB V PENCEMARAN SUNGAI DUSUN LUWUNG. yang langsung dialirkan pada sungai. Hal tersebut menyeba bkan pe ndangkalan

3.3 KONSEP PENATAAN KAWASAN PRIORITAS

IDENTIFIKASI KONDISI PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK ( STUDI KASUS RW 13 KELURAHAN DEPOK )

LAPORAN TUGAS AKHIR BAB 1 PENDAHULUAN

DAMPAK SAMPAH TERHADAP KESEHATAN LINGKUNGAN DAN MANUSIA

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. (indepth interview) dan pengamatan dengan informan-informan yang telah

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya. Peningkatan pendapatan di negara ini ditunjukkan dengan

V. GAMBARAN UMUM. permukaan laut, dan batas-batas wilayah sebagai berikut : a) Batas Utara : Kabupaten Banyuasin

PENDAHULUAN. waktu terjadi pasang. Daerah genangan pasang biasanya terdapat di daerah dataran

BAB I. Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga

I. PENDAHULUAN. mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta

Permasalahan Sosial. Kehidupan di dalam masyarakat tidak terlepas dari berbagai permasalahan sosial.

BAB. Kesehatan Lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard Km 3 air dengan persentase 97,5%

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Deskripsi Pengelolaan Situ Rawa Badung. akibat pembangunan jalan dan pemukiman (lihat Gambar 3).

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Manusia membutuhkan tempat bermukim untuk memudahkan aktivtias seharihari.

95 Tabel 6.2 Pengetahuan Warga Mengenai Akibat Membuang Sampah Secara Sembarangan Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Band

V. PROFIL INDUSTRI RUMAH TANGGA TAHU. pemilik usaha industri tahu yang ada di Desa Karanganyar Kecamatan Weru

BAB III PENCEMARAN SUNGAI YANG DIAKIBATKAN OLEH LIMBAH INDUSTRI RUMAH TANGGA. A. Penyebab dan Akibat Terjadinya Pencemaran Sungai yang diakibatkan

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Deskripsi Lingkungan Permukiman Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Berdasarkan Penilaian Responden

RIWAYAT HIDUP PENULIS

BAB 2 EKSISTING LOKASI PROYEK PERANCANGAN. Proyek perancangan yang ke-enam ini berjudul Model Penataan Fungsi

PROGRAM PENGABDIAN MASYARAKAT IPALS

BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP KEBERLANJUTAN EKOLOGI

Lingkungan Sehat, Nyaman Dilihat, Gairah Meningkat!

BAB I PENDAHULUAN. manusia, namun keberadaannya pada sumber-sumber air mempunyai risiko

BAB I PENDAHULUAN. sekitarnya. Menurut isi dari Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun tentang Perindustrian, Industri adalah :

terpaksa antri atau harus berjalan jauh puluhan kilometer hanya untuk mendapatkan air bersih. Sebaliknya, ketika musim hujan tiba, air menjadi banyak

ESTIMASI NILAI KERUGIAN AKIBAT PENCEMARAN. 6.1 Dampak Adanya Industri Terhadap Kualitas Lingkungan di Kelurahan Nanggewer

BAB V STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT LOKAL DESA GOROWONG. 5.1 Strategi Nafkah Kampung Ater dan Kampung Ciawian

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral

BAB VII RENCANA. 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa Tahapan Pembangunan Rusunawa

KOTA BATIK ATAWA KOTA LIMBAH?

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. dan/atau kegiatan wajib melakukan pengolahan limbah hasil usaha dan/atau

Pengaruh Aktivitas Masyarakat di pinggir Sungai (Rumah Terapung) terhadap Pencemaran Lingkungan Sungai Kahayan Kota Palangka Raya Kalimantan Tengah

Repository.Unimus.ac.id

I. PENDAHULUAN. sekaligus faktor utama penunjang pembangunan ekonomi karena peningkatan

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLaihan soal 10.3

KUESIONER PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Kelurahan Purus merupakan salah satu kelurahan di kota Padang yang relatif berkembang

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Nelayan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG

BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

kabel perusahaan telekomunikasi dan segala macam (Setiawan, 2014).

IDENTIFIKASI TINGKAT KEKUMUHAN DAN POLA PENANGANAN YANG TEPAT DI KAWASAN KUMUH KELURAHAN TANJUNG KETAPANG TAHUN 2016

BAB 5 HASIL PENELITIAN

LAPORAN STUDI ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA) KABUPATEN BANJARNEGARA. Kelompok Kerja Sanitasi Kabupaten Banjarnegara

BAB I KONDISI PINGGIRAN SUNGAI DELI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. masyarakat yang bermukim di pedesaan, sehingga mereka termotivasi untuk

kuantitas sungai sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan iklim komponen tersebut mengalami gangguan maka akan terjadi perubahan

PENENTUAN DAERAH PRIORITAS PELAYANAN PENGOLAHAN AIR LIMBAH DI KECAMATAN TANAH ABANG JAKARTA PUSAT TUGAS AKHIR

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak dapat dipisahkan dari masyarakat karena mempunyai fungsi sebagai tempat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air sangat dibutuhkan oleh semua mahkluk hidup tanpa terkecuali

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I KONDISI KAWASAN DALAM BEBERAPA ASPEK. kepada permukiman dengan kepadatan bangunan tinggi, dan permukiman ini

V. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Kondisi umum Desa Kalisari meliputi kondisi fisik daerah dan kondisi

1. Pendahuluan SANITASI LINGKUNGAN RUMAH DAN UPAYA PENGENDALIAN PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN PADA KAWASAN KUMUH KECAMATAN MEDAN MAIMUN KOTA MEDAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. memerlukan daya dukung unsur-unsur lingkungan untuk kelangsungan hidupnya.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

KUESIONER HUBUNGAN PERILAKU PENGOLAHAN LIMBAH IKAN ASIN DENGAN SANITASI LINGKUNGAN KERJA PADA INDUSTRI IKAN ASIN PHPT MUARA ANGKE JAKARTA UTARA

Identifikasi Permukiman Kumuh Berdasarkan Tingkat RT di Kelurahan Keputih Kota Surabaya

BAB IV PANDUAN KONSEP

ANALISIS WISATA TERHADAP KRISIS EKOLOGI

JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN III (TIGA) ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) LINGKUNGAN ALAM DAN BUATAN

BAB I PENDAHULUAN. Lokasi yang menjadi tujuan riset aksi peneliti adalah Dusun Luwung

KUNCI JAWABAN LEMBAR KERJA I IDENTIFIKASI AIR TERCEMAR

LAMPIRAN. Lampiran 1. Daftar Pertanyaan Penelitian TNI

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan peningkatan kebutuhan penduduk terhadap lahan baik itu untuk

Memelihara kebersihan lingkungan merupakan salah satu contoh aturan yang ada di masyarakat.

I. PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Standar kelayakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan. Tanpa air kehidupan di

Mengapa Air Sangat Penting?

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktifitas berbagai macam industri menyebabkan semakin

Lengkapi barisan bilangan berikut dengan pola bilangan Bila digambarkan dengan kubus satuan adalah sebagai berikut

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Deskripsi Wilayah. 1. Kelurahan/Desa. Desa Giripanggung merupakan salah satu desa yang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mereka mulai melakukan upaya pengelolaan lingkungan. Pengolahan limbah industri terutama limbah cair lebih baik dilakukan analisa

BAB I PENDAHULUAN. terpadu dengan lingkungannya dan diantaranya terjalin suatu hubungan fungsional

BAB I PENDAHULUAN. sehingga tidak akan ada kehidupan seandainya di bumi tidak ada air. Ada tiga

BAB IV. A. Upaya yang Dilakukan Pemerintah dan Masyarakat dalam Mencegah dan. Menanggulangi Pencemaran Air Akibat Limbah Industri Rumahan sesuai

V. DESKRIPSI LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN. Kelurahan Kamal Muara merupakan wilayah pecahan dari Kelurahan

pelaku produksi tahu, sedangkan bagi warga bukan pengolah tahu, gas dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangganya

HUBUNGAN PERILAKU PENGGUNA AIR DAN KELUHAN PENGGUNA AIR SUNGAI DI DESA PAGAR MANIK KECAMATAN SILINDA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN 2010.

BAKTI SOSIAL SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN IMMI

Di Rusun Mereka "Dimanja", di Perahu Mereka Menderita...

Transkripsi:

63 BAB VI RESPON MASYARAKAT LOKAL ATAS DAMPAK SOSIO-EKOLOGI HADIRNYA INDUSTRI PENGOLAHAN TAHU 6.1 Pendahuluan Dampak Sosio-Ekologi Kampung Cikaret memiliki dua buah sungai yang mengaliri kawasan RW 01 dan RW 04. Sungai Cimanglid merupakan sungai yang melintasi jalur RW 04/RT 05 Gang Pangumbahan sampai ke RW 01/RT03 Gang Madrasah. Sungai Cimanglid memiliki lebar ±2 meter. Pertemuan antara aliran Sungai Cimanglid dan aliran Sungai Cikaret berada pada perbatasan wilayah antara RT 07 dan RT 03 dan mengalir melintasi kawasan RT 06 di RW 01. Sungai Cikaret melintasi wilayah RW 01/RT07. Sungai Cikaret dan Sungai Cimanglid dimanfaatkan oleh warga di RW 01 sebagai sumber air bagi kebutuhan sehari-hari. Perkembangan waktu telah menyebabkan penduduk di RW 04 dan RW 01 bertambah banyak. RW 01 yang awalnya hanya memiliki sejumlah lima RT kini harus menambah jumlah menjadi tujuh RT karena padatnya penduduk. Selain itu wilayah RW 01 yang awalnya merupakan persawahan kini berubah menjadi kontrakan-kontrakan atau perumahan bagi penduduk musiman. Industri pengolahan tahu miliki Pak Hto yang berada di RW 04 menghasilkan limbah setiap harinya, baik limbah padat berupa ampas tahu dan limbah cair berupa air hasil pencucian kacang kedelai dan air hasil saringan bubur kedelai. Selain limbah tahu, industri pengolahan tahu milik Pak Hto juga membuang kotoran kambing dan darah hasil pemotongan kambing dari peternakannya setiap harinya. Sebelum memiliki septitank, limbah cair yang dihasilkan oleh industri pengolahan tahu dan kotoran kambing dari peternakan miliknya tidak ditampung dulu melainkan langsung dibuang di kali samping yang berada tepat disamping industri pengolahan tahu miliknya. Kali yang berada disamping industri pengolahan tahu tersebut mengalir menuju Sungai Cimanglid, sehingga Sungai Cimanglid yang terkenal jernih dan masih dimanfaatkan warga di RW 01 kini tidak dapat lagi digunakan.

64 6.2 Tingkat Pencemaran Sungai 6.2.1 Kondisi Air Sungai Mayoritas penduduk yang bertempat tinggal di RT 03, RT 07 dan RT 06 di RW 01 Kampung Cikaret, memiliki tempat tinggal yang berada di pinggiran sungai yang mengaliri kawasannya. Sungai yang mengalir disekitar tempat tinggal masyarakat lokal di dalam alirannya mengalir limbah industri pengolahan tahu yang berada di Kampung Cikaret. Kehadiran industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret tersebut sedikit banyak memberikan dampak sosio-ekologis bagi masyarakat lokal. Penduduk di RW 01 Kampung Cikaret sebagian besar menggunakan sungai sebagai sumber air bagi kebutuhannya. Meskipun penduduk memiliki sumur di rumahnya namun mereka tetap menggunakan sungai sebagai salah satu sumber air bagi kebutuhannya, tetapi hadirnya industri pengolahan tahu membuat air sungai di wilayah Kampung Cikaret tercemar. Tercemarnya sungai di wilayah Kampung Cikaret membuat masyarakat lokal kembali menggunakan sumur. Sungai Cimanglid maupun Sungai Cikaret mengalami perubahan kondisi air hal ini dapat dilihat pada Gambar 14 disajikan persentase pendapat responden mengenai kondisi air sungai sebelum dan sesudah hadirnya industri pengolahan tahu di wilayahnya. Gambar 14. Pendapat Responden Mengenai Kondisi Sungai Sebelum Hadirnya Industri Pengolahan Tahu

65 Berdasarkan Gambar 14 responden pada lapisan bawah sebesar 81 persen berpendapat kondisi sungai sebelum hadirnya industri tahu airnya jernih. Lapisan menengah sebesar 96 persen juga berpendapat bahwa air sungai di wilayahnya kondisinya jernih juga lapisan atas sebesar 71 persen berpendapat hal yang sama. Terdapat responden yang berpendapat bahwa kondisi sungai sebelum hadirnya industri pengolahan tahu airnya sangat jernih. Pada lapisan bawah sebesar 19 persen berpendapat airnya sangat jernih, lapisan menengah sebesar empat persen berpendapat air sungai sangat jernih dan sebesar 29 persen dari lapisan atas berpendapat air sungai sangat jernih. Sebanyak 66 responden tidak ada yang berpendapat kondisi sungai kurang jernih dan tidak jernih sebelum hadirnya industri pengolahan tahu. Sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa dulu sebelum adanya industri pengolahan tahu kualitas air sungai sangat baik. Pada Gambar 15 disajikan persentase pendapat responden mengenai kondisi sungai setelah hadirnya industri pengolahan tahu. Gambar 15. Pendapat Responden Mengenai Kondisi Sungai Setelah Hadirnya Industri Pengolahan Tahu Berdasarkan Gambar 15 Sebagian besar responden pada lapisan atas, lapisan menengah maupun lapisan bawah responden menyatakan bahwa sebelum hadirnya industri pengolahan tahu kondisi air sungai di wilayah mereka tergolong jernih. Sebaliknya sebagian besar responden pada lapisan atas, lapisan menengah maupun lapisan bawah, responden menyatakan bahwa setelah hadirnya industri

66 pengolahan tahu di Kampung Cikaret kualitas air sungai di wilayahnya tidak jernih akibat limbah tahu. Pendapat responden yang tergolong hampir sama disebabkan responden merupakan penduduk asli yang bertempat tinggal disepanjang pinggiran sungai. Sehingga responden mengetahui secara persis kondisi air sungai di wilayahnya baik sebelum ataupun sesudah hadirnya industri pengolahan tahu. Hal ini diungkapkan oleh Bapak Eks, salah satu respoonden yang rumahnya berada tepat di aliran pertemuan antara Sungai Cimanglid dan Sungai Cikaret: Dulu sungai jernih airnya, diminum langsung saja bisa, tapi sekarang tidak bisa lagi, sudah banyak limbah rumahtangga. Selain itu sekarang ada industri pengolahan tahu yang limbahnya dibuang ke sungai jadi air sungai tuh suka ada putih-putih semacam lumut yang menempel di batu biasanya kelihatan saat kemarau (Bapak Eks, 62 tahun, responden RT 06). Pencemaran sungai di wilayah Kampung Cikaret menyebabkan pola pemanfaatan sungai yang biasanya dilakukan warga di RW 01 Kampung Cikaret mengalami perubahan. Sebagian warga kembali menggunakan sumurnya dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari, ada juga yang beralih menggunakan mata air yang berada di atas gundukan tanah bukit tepi sungai. Penduduk yang menggunakan mata air pun tidak berani untuk langsung turun ke sungai dan mengambil mata air. Kondisi air sungai yang tidak jernih lagi menyebabkan gatalgatal bagi siapa saja yang turun ke sungai. Pencemaran sungai akibat limbah tahu ini menyebabkan terganggunya masyarakat lokal dalam memanfaatkan sungai untuk kebutuhan airnya, selain itu masyarakat menyatakan bahwa air sungai yang dulu dipenuhi dengan ikan, kini ikan-ikan tersebut mati akibat limbah tahu yang mengalir. Terganggunya masyarakat lokal dengan kondisi tersebut menyebabkan terjadinya teguran dari masyarakat untuk pihak pengelola industri pengolahan tahu. Dampak sosial yang terjadi atas penurunan kualitas air sungai selain terjadinya teguran dari masyarakat lokal untuk pihak industri pengolahan tahu dan terdapat perbedaan penggunaan sumber air berdasarkan lapisan sosial rumahtangga. Masyarakat yang dominan awalnya menggunakan sungai sebagai kebutuhan sumber air kini beralih menggunakan sumur kembali, membeli pipa-

67 pipa untuk menyambungkan mata air dan menggunakan PAM. Pada masyarakat lokal lapisan menengah yang biasanya menggunakan sungai kini sebagian besar membeli pipa-pipa untuk disambungkan ke mata air di atas gundukan tanah tepian sungai agar pipa tersebut mencapai ke dalam rumahnya. Pipa-pipa yang tersambung dengan mata air inilah yang akan mengaliri air ke dalam rumah mereka sehingga mata air di tepian sungai masih dapat dimanfaatkan meskipun kondisi air sungai sudah kotor. Pada lapisan bawah yang sebagian besar kembali menggunakan sumurnya daripada harus membeli pipa-pipa untuk disambungkan ke mata air. Berbeda dengan Lapisan menengah dan lapisan bawah, pada lapisan atas sebagian besar lebih memilih menggunakan PAM daripada harus kembali menggunakan sumur. Kehadiran industri pengolahan tahu berdampak buruk bagi kondisi air sungai yang menyebabkan perubahan pola pemanfaatan air sungai oleh masyarakat lokal. Gambar 16 disajikan persentase pendapat responden mengenai pola pemanfaatan air sungai sebelum dan sesudah adanya industri pengolahan tahu di wilayahnya. Gambar 16. Pendapat Responden Mengenai Pemanfaatan Sungai Sebelum Hadirnya Industri Pengolahan Tahu Berdasarkan Gambar 16 responden pada lapisan bawah sebesar 85 persen berpendapat bahwa air sungai di wilayahnya sebelum hadirnya industri pengolahan tahu dapat dimanfaatkan. Pada lapisan menengah sebesar 96 persen berpendapat dapat dimanfaatkan, dan sebesar 86 persen juga berpendapat hal yang sama bahwa sungainya dapat dimanfaatkan sebelum adanya industri pengolahan

68 tahu. Sebagian besar lapisan rumahtangga menunjukan bahwa sebelum hadirnya industri pengolahan tahu di wilayah Kampung Cikaret, masyarakat dapat memanfaatkan sungai untuk kebutuhan airnya. Pada Gambar 17 disajikan persentase pendapat responden mengenai pemanfaatan sungai setelah hadirnya industri pengolahan tahu di wilayahnya. Gambar 17. Pendapat Responden Mengenai Pemanfaatan Sungai Setelah Hadirnya Industri Pengolahan Tahu Pada Gambar 17 terlihat jelas perbedaannya bila dibandingkan dengan Gambar 16. Sebagian besar responden pada setiap lapisan rumahtangga menyatakan bahwa air sungai di wilayahnya tidak dapat lagi dimanfaatkan setelah hadirnya industri pengolahan tahu, karena telah tercemar limbah tahu. Hampir semua penduduk RW 01 kini beralih menggunakan PAM, ada yang kembali menggunakan sumur gali bahkan ada menggunakan mata air di seberang sungai yang disambung dengan pipa-pipa agar sampai menuju rumahnya. Sungai hanya dimanfaatkan untuk budidaya Karamba (ikan kecil yang dipelihara di sungai untuk dijual). Akibat limbah tahu yang mencemari air sungai di wilayah Kampung Cikaret, sungai tidak lagi dimanfaatkan untuk kebutuhan air bagi masyarakat lokal. 6.2.2 Kualitas Sumber Air Pencemaran air sungai di wilayah RW 01 Kampung Cikaret menimbulkan perubahan kualitas air yang digunakan. Terutama bagi penduduk yang

69 mengutamakan sungai sebagai sumber air bagi kebutuhannya. Pada Gambar 18 disajikan persentase pendapat responden mengenai kualitas air yang digunakan setelah adanya industri pengolahan tahu di wilayahnya. Gambar 18. Pendapat Responden Mengenai Kualitas Sumber Air yang Digunakan Setelah Hadirnya Industri Pengolahan Tahu Berdasarkan Gambar 18 sebagian besar responden atau masyarakat lokal menyatakan ada pencemaran akibat limbah tahu yang dibuang ke sungai oleh pihak industri pengolahan tahu di wilayah Kampung Cikaret. Lapisan bawah jumlah rumahtangga yang menggunakan sungai termasuk cukup banyak dibandingkan pada lapisan menengah dan lapisan atas, sehingga yang berpendapat bahwa kualitas sumber air (sungai) tercemar juga banyak. Lapisan bawah cenderung menggunakan lebih banyak air sungai sebagai sumber air bagi kebutuhan sehari-hari dibandingkan pada lapisan menengah dan atas. Bukan hanya pada lapisan bawah saja yang berpendapat sumber air tercemar, tetapi pada lapisan menengah dan atas pun berpendapat hal yang sama. Responden yang menyatakan sumber air yang digunakan tercemar merupakan penduduk yang masih menggunakan sungai sebagai salah satu sumber airnya. Melihat kondisi kualitas air sungai yang berubah setelah hadirnya industri pengolahan tahu dari jernih menjadi tidak jernih, kotor dan berbau membuat responden berpendapat bahwa kualitas sumber airnya tercemar limbah tahu. Pada lapisan bawah sebesar 63 persen atau sebanyak 17 rumahtangga yang menyatakan kualitas sumber air yang digunakan tercemar. Pada lapisan menengah sebesar 56

70 persen atau sebanyak 14 rumahtangga yang menyatakan kualitas sumber air yang digunakan tercemar. Pada lapisan atas sebesar 50 persen atau sebanyak tujuh rumah tangga yang menyatakan kualitas sumber air yang digunakan juga tercemar. Pada Gambar 19 disajikan persentase responden mengenai terganggunya sumber air akibat limbah tahu. Gambar 19. Pendapat Responden Mengenai Terganggunya Sumber Air Akibat Limbah Tahu Berdasarkan Gambar 19 percemaran sungai juga menimbulkan perubahan pada sumber air yang digunakan responden sehari-hari sebab jumlah sumber air yang digunakan menjadi berkurang. Salah satunya adalah sungai yang kini tidak dapat diakses kembali oleh responden terutama pada masyarakat lokal lapisan bawah yang lebih banyak mengakses sungai sebagai sumber air bagi kebutuhan air sehari-hari (dilihat pada Gambar 19. Lapisan bawah lebih banyak atau sebesar 74 persen yang menyatakan terganggunya kualitas sumber air akibat limbah tahu). Responden yang menggunakan mata air pun kini cenderung berkurang karena untuk mengakses mata air tidak dapat langsung turun ke sungai hal ini akan menimbulkan penyakit gatal-gatal sehingga pengguna mata air harus menyambungkan pipa-pipa yang panjangnya disesuaikan dengan jarak ke rumahnya. Bagi responden atau masyarakat lokal yang memang tidak mampu membeli pipa-pipa sesuai ukuran jarak ke rumahnya kembali menggunakan air sumur. Adapun responden atau penduduk setempat yang kini telah menggunakan PAM dan meninggalkan sungai, sumur serta mata air yang dulu biasa digunakan.

71 Lapisan bawah 74 persen atau 20 rumahtangga dari 27 rumahtangga, sedangkan pada lapisan menengah 48 persen atau 12 rumahtangga dari 25 rumahtangga dan lapisan atas sebesar 64 persen atau sembilan dari 14 rumahtangga yang berpendapat sumber air yang digunakan terganggu akibat limbah industri pengolahan tahu. Responden yang menyatakan merasa sumber air yang digunakan terganggu disebabkan mereka menggunakan sungai sebagai sumber airnya, meskipun air sungai tersebut hanya digunakan untuk sekedar mandi atau hanya untuk mencuci. Pada lapisan bawah, lapisan menengah dan lapisan atas yang berpendapat sumber air tidak terganggu akibat limbah karena responden tersebut hanya sebentar menggunakan sungai dan lebih banyak menggunakan sumur. Hal ini diungkapkan oleh Ibu Rhy, salah satu responden pada lapisan atas yang sempat menggunakan sungai hanya sebentar saja dan langsung beralih menggunakan PAM: Saya dulu sempat menggunakan sungai untuk cuci pakaian, tapi hanya sebentar. Saya langsung pasang PAM di rumah kebetulan anak saya diterima bekerja di PAM. Pemasangan PAM di kampung ini juga dipelopori oleh saya awalnya. Dulu yang ikut pasang PAM hanya sebagian kecil, karena mereka itu kebanyakan menggunakan sungai. Semakin lama kesini-sininya masyarakat di wilayah RW 01 jadi mengikuti saya untuk pasang PAM (Ibu Rhy, 73 tahun, responden di RT 07). Responden pada lapisan atas hanya sesekali menggunakan sungai saat sungai masih dalam kondisi jernih airnya. Berbeda pada lapisan bawah yang dominan lebih banyak menggunakan sungai untuk kebutuhan hidupnya seperti mencuci dan mandi. 6.3 Tingkat Kenyamanan Hidup 6.3.1 Kondisi Lingkungan Tempat Tinggal Responden Pencemaran sungai akibat limbah industri pengolahan tahu juga berdampak pada kondisi lingkungan tempat tinggal responden yang sebagian besar bertempat tinggal di pinggiran sungai. Padatnya penduduk di Kampung Cikaret menjadi faktor lain yang menyebabkan pencemaran air sungai di wilayah Cikaret. Limbah industri pengolahan tahu merupakan faktor yang dinilai lebih dominan, hal ini

72 disebabkan bila musim kemarau tiba masyarakat di sekitar pinggiran sungai wilayah RW 01 akan mencium bau menyengat. Masyarakat memiliki pengetahuan dalam membedakan mana limbah rumahtangga dan mana limbah tahu. Menurut masyarakat setempat, limbah tahu yang mengaliri sungai akan membentuk lumutlumut berwarna hitam yang menempel pada bebatuan. Selain lumut terdapat kulitkulit kedelai sisa dari pencucian kedelai di industri pengolahan tahu dan buih-buih berwarna putih. Lumut dan buih-buih yang menempel pada batu sungai dapat dilihat saat musim kemarau. Lumut dan buih-buih yang mengaliri sungai akan sulit dilihat sewaktu musim hujan karena air hujan akan segera menyapu limbah tahu dan mengalirinya ke tempat lain. Bau yang ditimbulkan dari limbah tahu saat musim hujan tidak seberapa bila dibandingkan saat musim kemarau tiba. Pada Gambar 20 disajikan persentase pendapat responden mengenai kondisi lingkungan tempat tinggalnya sebelum Hadirnya industri pengolahan tahu. Gambar 20. Pendapat Responden Mengenai Kondisi Lingkungan Tempat Tinggalnya Sebelum Hadirnya Industri Pengolahan Tahu Berdasarkan Gambar 20 semua responden di Kampung Cikaret baik pada lapisan atas, lapisan menengah, lapisan bawah berpendapat bahwa lingkungan tempat tinggalnya bersih dan sangat bersih sebelum hadirnya industri pengolahan tahu. Menurut responden lingkungannya yang dominan dikelilingi oleh aliran sungai sebelum hadirnya limbah industri pengolahan tahu tergolong bersih bahkan beberapa responden ada yang berpendapat sangat bersih. Setelah hadirnya industri pengolahan tahu, responden berpendapat bahwa lingkungan tempat tinggalnya

73 menjadi kurang bersih bahkan ada beberapa responden berpendapat tidak bersih. Pada Gambar 21 disajikan persentase responden mengenai kondisi lingkungan tempat tinggalnya setelah hadirnya industri pengolahan tahu. Gambar 21. Opini Responden Mengenai Kondisi Lingkungan Tempat Tinggalnya Setelah Hadirnya Industri Pengolahan Tahu Berdasarkan Gambar 20 dan Gambar 21 hampir semua responden pada lapisan bawah, lapisan menengah dan lapisan atas cenderung berpendapat lingkungan tempat tinggal mereka bersih sebelum hadirnya industri pengolahan tahu dan lingkungan tempat tinggal menjadi kurang bersih atau tidak bersih setelah hadirnya industri pengolahan tahu. Sebagian besar rumahtangga yang menjadi responden memang rumahnya berada di pinggiran Sungai Cimanglid, Sungai Cimanglid merupakan sungai yang telah tercemar limbah tahu. Sebagian kecil ada yang rumahnya tepat berada di belakang industri pengolahan tahu sehingga merasakan asap dari pembakaran uap tahu. Lingkungan yang menjadi kurang bersih bukan hanya disebabkan oleh limbah tahu saja, tetapi akibat banyaknya penduduk musiman seperti pengrajin tahu yang tinggal di Kampung Cikaret sehingga terdapat sejumlah sampah atau limbah rumahtangga. Padatnya penduduk dan kurangnya kesadaran mengenai lingkungan bersih inilah yang menyebabkan lingkungan menjadi tidak bersih. Hal ini diungkapkan Bapak Mss, tokoh masyarakat di Kampung Cikaret:

74 Limbah tahu memang membuat lingkungan terutama sungai menjadi tidak bersih, tapi bukan hanya karena limbah tahu saja melainkan karena padatnya warga di RW 01 ini sehingga limbah rumahtanggapun cukup banyak (Bapak Mss, 69 tahun, tokoh masyarakat). Lingkungan tempat tinggal yang kurang bersih juga akan menimbulkan bau yang tidak sedap, dalam hal ini bau yang tidak sedap di lingkungan lebih didominasi bau limbah tahu yang mengalir ke sungai di wilayah Kampung Cikaret. Responden yang sebagian besar bertempat tinggal dipinggiran sungai merasakan bau menyengat limbah tahu ketika kemarau datang, terutama rumah responden yang dikelilingi aliran Sungai Cimanglid. Pencemaran terjadi pada Sungai Cimanglid yang memang satu aliran dengan pusat pembuangan limbah tahu. Selain pada Sungai Cimanglid, pencemaran juga terjadi pada pertemuan dua aliran yaitu aliran Sungai Cikaret dan aliran Sungai Cimanglid. Limbah tahu lebih mendominasi bau di sekitar wilayah Kampung Cikaret sehingga hanya terjadi konflik sosio-ekologis antara masyarakat lokal dan pemilik industri pengolahan tahu, yaitu terjadinya sikap teguran dari masyarakat lokal yang bertempat tinggal di wilayah Kampung Cikaret. Responden yang rumahnya berada di bagian hulu Sungai Cikaret tidak begitu merasakan bau limbah tahu. Lapisan bawah hanya sebesar tujuh persen atau sebanyak dua rumahtangga yang berpendapat tempat tinggalnya tidak terkena bau limbah tahu sedangkan pada lapisan menengah hanya 16 persen atau sebanyak empat rumahtangga berpendapat hal yang sama. Lapisan atas semua responden berpendapat terkena bau limbah tahu. Hampir sebagian besar responden rumahtangga di Kampung Cikaret menyatakan bahwa bau limbah tahu tercium hingga ke sekitar tempat tinggalnya, hanya enam responden dari 66 jumlah responden saja yang berpendapat tempat tinggalnya tidak terkena bau limbah tahu. Responden lebih banyak menyatakan bahwa lingkungan tempat tinggalnya bau limbah tahu hal ini disebabkan memang wilayah Kampung Cikaret dikelilingi oleh Sungai Cimanglid dan Sungai Cikaret sehingga pada saat musim kemarau akan terasa bau limbah tahu. Bau limbah tahu mengalir ke kedua sungai yang mengitari wilayah Kampung Cikaret menimbulkan pendapat yang berbedabeda dari berbagai lapisan rumahtangga masyarakat lokal mengenai bau limbah

75 yang tercium pada lingkungan sekitar tempat tinggal. Sebagian besar responden atau masyarakat lokal berpendapat bahwa bau limbah akibat limbah tahu yang mengalir ke sungai di wilayah Kampung Cikaret tercium hingga ke sekitar tempat tinggalnya. Walaupun jarak rumah responden dengan pusat pembuangan limbah tahu dominan menyatakan jauh, tetapi bau limbah tahu tetap tercium hingga lingkungan tempat tinggal responden. Pada Gambar 22 disajikan persentase pendapat responden mengenai bau limbah di sekitar tempat tinggalnya. Gambar 22. Pendapat Responden Mengenai Bau Limbah di Sekitar Tempat Tinggalnya Berdasarkan Gambar 22 sebagian besar responden menyatakan bahwa bau limbah tahu tercium hingga di sekitar tempat tinggalnya. Meskipun jarak anatara tempat tinggal atau rumah responden dengan pusat pembuangan limbah tahu tergolong jauh, tetapi responden mengakui bahwa bau limbahnya tercium karena limbah tahu mengalir di aliran sungai yang mengitari wilayah Kampung Cikaret. Hal ini disebabkan sebagian besar responden merupakan masyarakat lokal yang memang tinggal disekitar wilayah yang dikelilingi sungai. Kedua sungai yang mengelilingi tempat tinggal responden merupakan sungai yang telah tercemar limbah tahu dan sebagian responden menyatakan terciumnya bau limbah menyengat hingga sampai ke tempat tinggalnya. Pada Gambar 23 disajikan persentase pendapat responden mengenai jarak lingkungan tempat tinggal dan jarak posisi rumahnya ke sumber pembuangan limbah tahu.

76 Gambar 23. Pendapat Responden Mengenai Jarak Lingkungan Tempat Tinggalnya dengan Pembuangan Limbah Tahu Berdasarkan pada Gambar 23 dan Gambar 24, pada lapisan menengah tidak ada responden yang berpendapat bahwa jarak lingkungan tempat tinggalnya dekat dengan pembuangan limbah tahu. Responden yang menyatakan dekat jarak rumahnya dengan pusat saluran pembuangan limbah tahu hanya ada pada lapisan bawah dan lapisan atas. Pada Gambar 24 disajikan persentase pendapat responden mengenai jarak rumahnya dengan saluran pembuangan limbah tahu. Gambar 24. Pendapat Responden Mengenai Jarak Rumahnya dengan Saluran Pembuangan Limbah Tahu Berdasarkan Gambar 23 dan Gambar 24 hanya sebesar tujuh persen atau sebanyak dua rumahtangga pada lapisan bawah yang berpendapat jarak lingkungan tempat tinggal maupun jarak rumahnya dengan industri pengolahan

77 tahu memang sangat dekat. Pada lapisan atas hanya sebesar delapan persen atau sebanyak satu rumahtangga yang berpendapat hal sama. Responden pada lapisan bawah yang menyatakan dekat jarak rumahnya dengan sumber pembuangan limbah tahu, menyatakan bahwa jaraknya hanya 13 meter. Pada lapisan atas satu rumahtangga responden berjarak sekitar 50 meter dari pembuangan limbah tahu. Limbah yang mengalir di aliran Sungai Cimanglid tetap menimbulkan bau dan lingkungan tempat tinggal responden terkena baunya. Meskipun bau limbah terasa menyengat saat kemarau, responden cenderung lebih banyak berpendapat mereka tetap merasa nyaman dengan lingkungan tempat tinggalnya. Bau yang selalu mereka cium setiap harinya adalah hal biasa. Jika hujan turun, maka baunya tidak begitu terasa hal ini disebabkan limbah tahu yang dibuang ke sungai akan hanyut terbawa air hujan sehingga baunya pun tidak tercium jelas. Saat kemarau bau yang dihasilkan dari limbah tahu adalah bau yang sangat menyengat ke penciuman. Pada Gambar 25 disajikan persentase pendapat responden mengenai kenyamanannya terhadap tempat tinggalnya. Gambar 25. Pendapat Responden Mengenai Kenyamanan Lingkungan Tempat Tinggalnya Berdasarkan Gambar 25 hanya sebesar tujuh persen atau sebanyak dua rumahtangga pada responden lapisan bawah yang berpendapat ketidaknyamanan dengan lingkungan tempat tinggalnya. Pada lapisan menengah sebesar delapan persen atau sebanyak dua rumahtangga yang juga merasa tidak nyaman. Pada lapisan atas sebesar 16 persen atau sebanyak dua rumahtangga berpendapat hal

78 yang sama. Responden sisanya baik pada lapisan bawah, lapisan menengah maupun lapisan atas berpendapat mereka nyaman-nyaman saja dengan lingkungan tempat tinggalnya karena sudah biasa. Responden yang berpendapat tidak nyaman justru sudah mulai tidak biasa lagi dengan bau yang ditimbulkan di sekitar lingkungannya. Bau yang ditimbulkan selain karena limbah tahu ditambah juga dengan bau dari limbah rumahtangga dan bau dari kotoran kambing di peternakan Pak Hto pemilik industri pengolahan tahu. Hal ini diungkapkan oleh salah satu responden yang rumahnya berada di ujung kali: Saya merasa tindak nyaman dengan rumah saya, karena sering kebanjiran. Rumah saya kan dekat dengan kali dan posisinya paling ujung, kalau musim hujan, sampah di kali tersendat sehingga bikin banjir rumah. Biasanya suka saya bersihin sampah-sampahnya, ada sampah bekas ampas tahu, sampah ampas tempe, sampah rumahtangga, bikin bau sekali. Kalau musim kemarau juga selokan saya malah yang banyak sampah. Susah sekali orang-orang sini diberitahunya, belum ada kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan, padahal saya yang susahnya karena rumah saya kan diujung kali (Ibu Ten, 31 tahun, responden RT 06). Responden lebih berpendapat nyaman karena responden sudah terbiasa dengan bau limbah yang mengalir di sungai wilayahnya. Pada responden yang berpendapat tidak nyaman, merupakan responden yang memang tidak terbiasa dengan bau limbah yang mengitari sungai di wilayahnya sehingga mereka berpendapat tidak nyaman. Pada Gambar 25 responden yang lebih banyak menyatakan bahwa tidak nyaman terhadap lingkungan tempat tinggalnya adalah responden yang berada pada lapisan atas. Sebagian besar responden pada lapisan atas menyatakan bahwa merasa tidak nyaman dengan lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini disebabkan pada lapisan atas kesadaran mengenai kenyamanan lebih besar dibandingkan pada lapisan bawah dan lapisan menengah. Pada lapisan bawah dan menengah meskipun responden merasakan bau limbah tahu yang menyebabkan ketidaknyamanan pada lingkungan tempat tinggalnya, responden bersikap lebih memilih untuk membiasakan diri dengan bau limbah tahu yang ditimbulkan. Sikap membiasakan diri dengan bau limbah tahu di lingkungan tempat tinggalnya inilah yang menimbulkan pendapat dari responden pada lapisan bawah dan lapisan menengah bahwa merasa nyaman-nyaman saja dengan kondisi

79 tempat tinggalnya. Berikut penuturan Bapak Ttg sebagai salah satu responden pada lapisan bawah yang pernah bekerja mencari kayu bakar pada industri pengolahan tahu mengenai ketidaknyamanan lingkungan tempat tinggalnya: Bau sekali kalau musim kemarau sampai tercium ke rumah bau limbah tahunya. Apalagi belakang rumah saya langsung sungai, ya tapi mau bagaimana lagi? Lama-lama juga terbiasa dengan baunya. Kalau disuruh pindah rumah juga mau kemana? kan dari kecil saya sudah tinggal di kampung ini. Apalagi kalau pindah harus biaya lagi (Bapak Ttg, 54 tahun, responden pada lapisan bawah). Berbeda dengan responden lapisan bawah dan menengah, responden pada lapisan atas yang merasakan bahwa terdapat ketidaknyamanan pada lingkungan tempat tinggalnya akibat limbah tahu. Responden lapisan atas yang memiliki kemampuan ekonomi lebih tinggi dibandingkan lapisan bawah dan lapisan menengah dapat kapan saja pindah ke tempat tinggal yang lain. Sehingga pada lapisan atas secara terbuka menyatakan bahwa memang merasakan ketidaknyaman dengan lingkungan tempat tinggalnya di wilayah Kampung Cikaret yang disebabkan limbah tahu. 6.4 Tingkat Konflik 6.4.1 Keributan tentang Pencemaran Limbah Tahu Pencemaran yang terjadi pada Sungai Cimanglid dan pertemuan antara Sungai Cikaret dan Sungai Cimanglid menimbulkan bau dan perubahan pola pemanfaatan kedua sungai tersebut. Perubahan kondisi air sungai juga dapat dilihat pada kondisi air sungai sebelum adanya industri pengolahan tahu dengan kondisi sesudah adanya industri pengolahan tahu. Kondisi kedua sungai tersebut dapat dilihat dari kejernihannya, warna, dan baunya. Sebelum hadirnya industri pengolahan tahu, air Sungai Cimanglid kondisinya jernih, tidak berbau dan dapat dimanfaatkan oleh warga sekitar termasuk responden. Pertemuan aliran sungai antara Sungai Cimanglid dan Sungai Cikaret juga masih bersih dan belum berbau. Setelah hadirnya industri pengolahan tahu yang membuang limbah cairnya ke kali yang menuju Sungai Cimanglid, menimbulkan perubahan kondisi air Sungai Cimanglid. Sungai kini berubah menjadi tidak jernih, berbau, dan tidak dapat

80 dimanfaatkan lagi oleh sebagian besar warga. Adanya pencemaran dan perubahan kondisi air sungai akan menyebabkan keributan antara dua pihak yang terlibat, pihak yang terlibat ini adalah industri pengolahan tahu dan warga sekitar yang mengalami pencemaran pada salah satu sumber airnya yaitu sungai. Sebagian besar responden menyatakan bahwa memang pernah ada pengalaman mengenai keributan akibat pencemaran limbah tahu. Adanya pengalaman mengenai keributan yang terjadi di wilayah Kampung Cikaret akibat limbah tahu dapat dikatakan bahwa kehadiran industri pengolahan tahu cukup berdampak sosial yaitu adanya konflik yang nyata terjadi. Pada Gambar 26 disajikan persentase pengalaman responden mengenai apakah ada keributan mengenai pencemaran akibat limbah tahu. Gambar 26. Pengalaman Responden Mengenai Keributan Akibat Pencemaran Limbah Tahu Berdasarkan Gambar 26 lapisan bawah, menengah dan atas responden cenderung lebih banyak mengatakan ada pengalaman mengenai keributan akibat pencemaran di wilayah mereka. Pada lapisan bawah sebesar 70 persen atau sebanyak 19 rumahtangga, pada lapisan menengah sebesar 72 persen atau sebanyak 18 rumahtangga, dan lapisan atas sebesar 92 persen atau sebanyak 13 rumahtangga yang mengatakan ada keributan mengenai pencemaran. Pada lapisan bawah sebesar 30 persen atau sebanyak delapan rumahtangga, lapisan menengah sebesar 28 persen atau tujuh rumahtangga, dan lapisan atas sebesar delapan persen atau satu rumahtangga yang mengatakan tidak ada pengalaman mengenai

81 keributan akibat pencemaran. Jika dilihat dari total jumlah keseluruhan pada lapisan bawah, menengah dan atas yang mengatakan ada keributan mengenai pencemaran di wilayah mereka sebanyak 50 rumahtangga dari 66 rumahtangga. Sisanya sebanyak 16 rumahtangga mengatakan tidak ada keributan mengenai pencemaran di wilayahnya. Responden yang menjawab tidak ada keributan mengenai pencemaran di wilayahnya disebabkan karena mereka tidak aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan bersama sehingga tidak mengetahui bahwa pernah terjadi keributan pencemaran di wilayahnya. 6.4.2 Konflik Bau Akibat Limbah Tahu Konflik pencemaran dapat saja terjadi dengan berbagai bentuk. Bisa konflik dalam bentuk hanya desas-desus atau responden tidak mengalaminya namun orang lain yang mengalaminya. Bisa konflik dengan bentuk pembicaraan ringan, atau responden dan orang lain sama-sama merasakannya namun belum bisa bertindak tetapi hanya dibicarakan saja. Konflik dapat juga terjadi dalam bentuk teguran atau komplen, yakni dimana ada salah satu pihak yang bertindak dengan menegur pihak yang dirasakan merugikan untuk mencari jalan keluar. Serta konflik dalam bentuk baku hantam, yakni keributan yang terjadi akibat tidak adanya jalan keluar untuk permasalahan. Kehadiran industri pengolahan tahu milik Pak Hto diperbatasan antara wilayah RW 01 Kampung Cikaret menimbulkan berbagai macam dampak baik dampak positif maupun dampak negatif. Kegiatan pengolahan tahu setiap harinya menghasilkan limbah baik cair maupun padat yang dapat menimbulkan bau di sekitar industri. Bukan Hanya bau disekitar industri pengolahan tahu saja tetapi bau pun dapat timbul di sekitar tempat tinggal atau wilayah Kampung Cikaret khususnya RW 01. Ketidaknyamanan mengenai bau akan menimbulkan berbagai masalah dan keributan. Pada Gambar 27 disajikan persentase pendapat responden mengenai konflik yang pernah terjadi akibat bau limbah tahu di sekitar wilayah RW 01 Kampung Cikaret yang merupakan lingkungan tempat tinggal responden.

82 Gambar 27. Sikap Responden mengenai Konflik Bau di Sekitar Tempat Tinggal Berdasarkan Gambar 27 lapisan bawah sebesar 63 persen dan lapisan menengah sebesar 64 persen atau sebanyak masing-masing 17 dan 16 rumahtangga yang berpendapat telah terjadi teguran. Sedangkan pada lapisan atas sebesar 79 persen atau 11 rumahtangga yang berpendapat bahwa konflik yang terjadi berupa teguran. Sedangkan yang berpendapat hanya terjadi pembicaraan ringan saja sebesar 26 persen dari lapisan bawah atau sebanyak tujuh rumahtangga. Pada lapisan menengah sebesar 20 persen atau sebanyak lima rumahtangga dan pada lapisan atas sebesar 21 persen atau sebanyak tiga rumahtangga. Pada lapisan bawah sebesar 11 persen atau sebanyak tiga rumahtangga dan lapisan menengah sebesar 16 persen atau sebanyak empat rumahtangga berpendapat hanya desas desus dan mereka tidak merasakan bau yang terjadi. Responden yang berpendapat hanya desas-desus cenderung jarang sekali berada di rumah atau ada juga yang memang rumahnya jauh dari aliran Sungai Cimanglid. Sedangkan responden yang berpendapat hanya pembicaraan ringan adalah responden yang merasakan bau namun intensitasnya tidak terlalu sering. Pada lapisan bawah, lapisan menengah dan lapisan atas yang berpendapat telah terjadi teguran, responden cenderung merupakan pengurus RT, tokoh masyarakat yang dituakan di wilayah Kampung Cikaret. Responden lainnya yang berpendapat ada konflik berupa teguran merupakan responden yang memang rumahnya berada

83 persis di dekat ataupun di pinggir Sungai Cimanglid dan di dekat pertemuan aliran Sungai Cimanglid dan Sungai Cikaret. 6.3.3 Konflik Terganggunya Kualitas Sumber Air Bersih Bentuk pencemaran yang ditimbulkan dari limbah tahu selain bau juga menyebabkan terganggunya sumber air yang digunakan warga Kampung Cikaret. Perubahan pola pemanfaatan sungai yang ditimbulkan karena terjadinya pencemaran mengakibatkan berbagai bentuk konflik. Responden yang sebagian besar menggunakan sungai sebagai salah satu sumber air yang dapat dimanfaatkan menyatakan bahwa menyikapinya dengan menegur industri pengolahan tahu bersama masyarakat lokal. Pada Gambar 28 disajikan persentase sikap responden mengenai mengenai sumber air yang digunakan. Gambar 28. Sikap Responden Mengenai Kualitas Sumber Air Bersih Berdasarkan Gambar 28 lapisan bawah hanya 26 persen atau sebanyak tujuh rumahtangga, lapisan menengah 44 persen atau sebanyak 11 rumahtangga dan lapisan atas sebesar 14 persen atau sebanyak dua rumahtangga, menyatakan mengenai terganggunya sumber air akibat limbah tahu hanya menyikapinya dengan desas-desus saja. Responden yang berpendapat hal demikian karena mereka memiliki sumur sebagai sumber air utama dan kurang memanfaatkan sungai untuk sumber air bersihnya. Pada responden yang menyikapinya hanya terjadi pembicaraan ringan, karena responden hanya menggunakan sungai sekali-

84 kali saja dan masih menggunakan sumur sebagai sumber air sehari-harinya. Pada lapisan bawah sebesar 60 persen atau sebanyak 16 rumahtangga dari 27 rumahtangga menyikapinya dengan teguran. Pada lapisan menengah sebesar 48 persen atau sebanyak 12 rumahtangga dari 25 rumahtangga juga menyikapinya dengan teguran. Hal demikian juga terdapat pada lapisan atas yakni sebesar 72 persen atau sebnyak sepuluh rumahtangga meyikapinya dengan hal serupa. Hampir sebagian besar responden menyikapi kualitas air bersih yang terganggu karena limbah tahu berupa sikap teguan pada industri pengolahan tahu. Responden yang menyatakan sikapnya berupa teguran adalah responden yang memang menggunakan sungai sebagai salah satu sumber utama untuk memenuhi kebutuhan air sehari-harinya. Hampir sebagian besar responden menyatakan pernah turut serta dalam proses peneguran terhadap industri pengolahan tahu. Hal ini diungkapkan oleh Bapak Awh wakil ketua pemuda di Kampung Cikaret sebagai informan: Dulu tahun 2002 sudah ditegur sama RW, sama warga juga bersamasama, soalnya parah sekali, ikan-ikan sampai pada mati. Bukan limbah tahu aja yang dibuangin ke sungai tapi kotoran kambing milik industri pengolahsan tahu. Kalau limbah tahu, malah menimbulkan lumut yang nempel di batu-batu sungai biasanya warna putih. Tapi kalau musim hujan suka tidak kelihatan (Bapak Awh, 32 tahun, wakil ketua pemuda). Limbah tahu yang dihasilkan oleh industri pengolahan tahu milik Pak Hto setiap harinya, tidak berdampak pada kumuhnya lingkungan di sekitar industri pengolahan tahu. Dampak yang dirasakan hanya terganggunya sumber air bersih, kualitas air bersih dan bau yang disebabkan karena limbah tahu yang dibuang ke Sungai Cimanglid. Berbeda dengan industri pengolahan tahu di wilayah lain yang biasanya langsung membuang limbah cair ke sekitar lingkungan industri tanpa ditampung melalui saluran sehingga membuat kumuh. Perbedaan industri pengolahan tahu lain dengan industri pengolahan tahu milik Pak Hto adalah pada proses pembuangan limbahnya. Pada proses pembuangan limbahnya, limbah cair ditampung pada saluran septitank dan baru dibuang ke sungai pada malam hari. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat sekitar wilayah adalah bau di sepanjang

85 aliran Sungai Cimanglid yang mengitari wilayah RW 01 Kampung Cikaret. Sehingga menimbulkan konflik dengan warga di RW 01 Kampung Cikaret. Industri pengolahan tahu milik Pak Hto selain menghasilkan limbah padat dan cair juga menghasilkan limbah berupa asap. Asap berwarna hitam yang keluar dari cerobong industri pengolahan tahu menandai bahwa sedang ada proses pembuatan tahu. Asap hitam tersebut biasanya berasal dari proses pembuatan tahu pada tahapan pemasakan bubur kedelai dan pada tahapan penggorengan untuk tahu goreng. Industri pengolahan tahu milik Pak Hto menggunakan kayu bakar dalam proses pemasakan dan penggorengannya. Meskipun demikian, asap yang dikeluarkan oleh industri pengolahan tahu milik Pak Hto setiap harinya tidak mengganggu udara disekitar. Hanya saja ada seorang warga di RW 01, warga yang merasa terganggu karena pernah melihat adanya percikan api pada cerobong asap milik Pak Hto. Hal ini diungkapkan oleh Bapak Hlm ketua pemuda di Kampung Cikaret sebagai informan pada penelitian ini: Cerobong asapnya kadang-kadang mengeluarkan percikan api. Padahal di dekat cerobong asap ada rumah-rumah warga. Takutnya terjadi kebakaran. Kalau malam hari, wah.percikan apinya terlihat jelas. Kalau siang hari sih..tidak begitu terlihat jelas (Bapak Hlm, 37 tahun, ketua pemuda). Percikan api yang sering keluar dari cerobong asap tersebut membuat resah warga sekitar karena di sekitar cerobong asap ada rumah-rumah warga. Tetapi asap yang dikeluarkan tidak membuat terganggunya aktivitas warga. 6.5 Tingkat Kesehatan Masyarakat Kampung Cikaret di RW 01 Gang Madrasah tidak memiliki masalah kesehatan yang disebabkan oleh limbah tahu. Sebanyak dua rumahtangga dari 66 rumahtangga yang menjadi responden mengungkapkan hanya pernah mengalami masalah gatal-gatal saat awal pencemaran limbah tahu terhadap sungai di wilayahnya. Penyakit gatal-gatal yang menyerangnya disebabkan responden berinteraksi langsung dengan air sungai. Penyakit gatal-gatalnya tersebut hanya dideritanya selama satu hari dan tidak menimbulkan dampak apa-apa. Pada rumahtangga yang

86 terkena penyakit gatal-gatal, semua yang mengalami gatal-gatal tersebut adalah anak-anak. Penyakit gatal-gatal ini disebabkan anak-anak masih suka untuk bermain ke sungai meskipun telah dilarang oleh orang tua mereka. Responden lainnya mengakui bahwa limbah tahu hanya berdampak pada masalah bau di sekitar sungai dan lingkungan tempat tinggal saja, sedangkan untuk masalah kesehatan tidak ada masalah bagi responden lainnya. 6.6 Ikhtisar Respon Masyarakat Lokal terhadap Dampak Sosio- Ekologi atas Hadirnya Industri Pengolahan Tahu Hadirnya industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret menyebabkan perubahan pada aspek sosio-ekologinya. Perubahan yang terjadi lebih cenderung pada perubahan secara negatif dibandingkan perubahan positifnya. Masyarakat yang dominan bertempat tinggal di pinggiran sungai wilayah Kampung Cikaret merupakan masyarakat penduduk asli. Sungai merupakan salah satu sumber air yang biasa masyarakat Kampung Cikaret pergunakan untuk kebutuhan sehariharinya. Sebelum hadirnya industri pengolahan tahu masyarakat lebih memilih menggunakan sungai daripada menggunakan sumur. Masyarakat yang memilih menggunakan sungai disebabkan masyarakat mengeluhkan kualitas air sumur yang berwarna kuning. Warna kuning ini disebabkan karena daerah wilayah Kampung Cikaret dulu merupakan persawahan, sehingga air sumur yang dihasilkan tidak begitu bagus. Sungai di wilayah Cikaret sebelum banyaknya penduduk yang bermigrasi dan sebelum hadirnya industri pengolahan tahu sangat bersih. Namun setelah ada banyak penduduk bermigrasi ke wilayah Kampung Cikaret dan hadirnya industri pengolahan tahu menyebabkan kualitas air sungai yang merupakan sumber air bersih bagi kebanyakan penduduk Kampung Cikaret. Padatnya penduduk menyebabkan sampah rumahtangga semakin banyak, serta hadirnya industri pengolahan tahu menyebabkan air sungai tercemar oleh limbah tahu yang setiap hari berproduksi. Pada Tabel 12. Disajikan data dan penjelasan mengenai respon masyarakat lokal terhadap dampak sosio-ekologi atas hadirnya industri pengolahan tahu.

87 Tabel 12. Respon Masyarakat Lokal terhadap dampak Sosio-Ekologi atas Hadirnya Industri Pengolahan Tahu Opini masyarakat lokal Pencemaran Kenyamanan Konflik Kesehatan Keterangan mengenai opini terhadap dampak sosioekologi Sungai tercemar, bau menyengat, sumber air terganggu Hanya sedikit responden yang merasa tidak nyaman Teguran mengenai bau yang ditimbulkan limbah tahu dan terganggunya kualitas sumber air masyarakat lokal Ada gangguan kesehatan yang disebabakan limbah tahu, tetapi hanya dua rumahtangga responden Limbah tahu yang dihasilkan pada industri pengolahan tahu milik Pak Hto berdampak pada masyarakat disekitarnya. Bukan hanya pada bau limbah yang ditimbulkan tetapi juga berdampak pada perubahan pola pemanfaatana air sungai yang biasa dilakukan oleh masyatrakat. Pencemaran yang timbul akibat limbah tahu yang dibuang ke sungai tergolong tinggi. Pencemaran dilihat dari pendapat responden mengenai air sungai di sekitar wilayahnya yang sudah kurang bahkan tidak dimanfaatkan lagi, serta kualitas sumber air bersih salah satunya sungai yang terganggu akibat limbah. Kenyamanan hidup masyarakat pun terganggu dilihat dari pendapat masyarakat lokal mengenai lingkungan sekitar pemukimannya. Lingkungan tempat tinggal yang tadinya bersih sebelum adanya industri pengolahan tahu kini setelah ada industri pengolahan tahu menjadi tidak bersih. Hal ini dikarenakan responden banyak yang tinggal disekitar bantaran sungai, bahkan sepanjang Kampung Cikaret dikelilingi dengan selokan atau kali yang mengalir mengitari rumah-rumah. Sehingga bau limbah dari industri pengolahan tahu akan tercium apalagi jika musim kemarau. Bau yang ditimbulkan pun menimbulkan sikap berupa teguran dari masyarakat lokal terhadap industri pengolahan tahu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat respon mengenai dampak sosio-ekologi atas hadirnya industri pengolahan tahu. Pada aspek kesehatan responden masih tergolong tinggi, hal ini disebabkan penyakit yang ditimbulkan oleh limbah tahu hanya gatal-gatal saja itupun hanya pada dua responden rumahtangga yang mengalaminya. Responden yang mengalami gatal-gatal akibat limbah tahu pun disebabkan responden berinteraksi dengan air sungai yang sudah jelas terkena limbah tahu. Tetapi

88 penyakit gatal-gatal yang dialami oleh responden tidak berkepanjangan. Penyakit gatal tersebut hanya di derita dalam hitungan hari saja. Respon masyarakat lainnya mengenai penyakit yang ditimbulkan akibat limbah tahu dominan hampir menyatakan tidak ada penyakit yang ditimbulkan karena limbah tahu. Dapat disimpulkan kembali bahwa industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret membawa dampak sosio-ekologis bagi masyarakat lokal. Terjadinya perubahan pola pemanfaatan sungai, terganggunya kualitas sumber air bersih hingga terjadinya respon masyarakat lokal berupa sikap teguran terhadap industri pengolahan tahu. Hadirnya industri pengolahan tahu di Kampung Cikaret juga membuat sebagian masyarakat lokal menyatakan tidaknyaman dengan lingkungan sekitar tempat tinggalnya akibat limbah tahu. Akibat limbah tahu juga terdapat dua rumahtangga responden yang mengalami penyakit gatal karena berinteraksi dengan air sungai yang telah tercemar oleh limbah tahu.