BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan hutan. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah berupaya memaksimalkan fungsi hutan tersebut melalui pengelolaan yang semaksimal mungkin mendatangkan kemanfaatan bagi rakyat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yang dimaksud hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Dari pengertian tersebut maka hutan akan memiliki berbagai fungsi. Berdasarkan fungsinya, hutan dibedakan menjadi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Sementara dari sisi potensinya, hutan dapat digolongkan menjadi 3 yaitu : hasil hutan kayu, hasil hutan non kayu dan jasa ekosistem hutan atau yang lebih dikenal jasa lingkungan hutan (Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Dirjen Perlindungan Hutan dan konservasi Alam Departemen kehutanan, tahun 2008). Dalam rangka mengoptimalkan fungsi hutan tersebut salah satu yang saat ini dikembangkan oleh pemerintah adalah pengelolaan dan peningkatan jasa lingkungan hutan. Yang dimaksud jasa lingkungan hutan yaitu jasa ekosistem hutan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dengan bentuk seperti keindahan dan fenomena alam (yang dikenal dengan wisata alam), keanekaragaman hayati 1
2 dan ekosistemnya (tanaman hias dan obat-obatan), fungsi hidrologi (massa air dan energi/aliran air, energi panas matahari, energi angin) dan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon (dalam rangka menurunkan emisi/udara bersih). Hal ini menjadi dirasa penting karena saat ini hutan di Indonesia diharapkan menjadi solusi terhadap kemungkinan terjadinya krisis pangan, krisis air dan energi dengan kemampuan hutan dalam mengatur siklus air serta potensinya sebagai salah satu sumber energi baru terbarukan (Rencana Kehutanan Tingkat Nasional 2011-2030). Berdasarkan proyeksi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tahun 2025 banyak negara akan mengalami krisis air. Meskipun Indonesia termasuk 10 negara yang kaya air, tetapi negara kita ini terancam menderita krisis air sebagai akibat lemahnya sistem pengelolaan sumber daya air dan lingkungan pada umumnya. Hal ini tercermin dari hasil kajian yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan yang menunjukkan semakin menurunnya kualitas air sebagai akibat pencemaran, fluktuasi debit air sungai yang sangat besar, inefisiensi dalam penggunaan air, kelembagaan yang masih lemah dan regulasi yang masih belum memadai. Beberapa data menunjukan bahwa ketersediaan air di Indonesia sangatlah melimpah yakni sekitar 15.000 m 3 /kapita/tahun jauh diatas rata-rata dunia yang hanya 8.000 m 3 /kapita/tahun. Tetapi Pulau Jawa yang berpenduduk 65% dari total penduduk nasional dan luas daratannya hanya 7% dari luas daratan Indonesia, hanya memiliki ketersediaan air sekitar 1.750 m 3 /kapita/tahun (yang masih dibawah standar kecukupan yaitu 2.000
3 m 3 /kapita/tahun) atau sekitar 4,5% dari total air tawar yang ada di Indonesia (Asep Sugiharto, dkk, 2013) Jumlah ini tentu semakin menurun karena meningkatnya jumlah penduduk. Di samping persoalan kuantitas, persoalan kualitas air yang cenderung memburuk terutama diperkotaan juga manjdi masalah berkaitan dengan ketersediaan air. Urbanisasi yang tanpa terkendali semakin menambah peliknya permasalahan sumber daya air di Pulau Jawa. Di samping itu persoalan air juga ditandai dengan kondisi lingkungan yang rusak yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan hutan di bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu Kawasan Konservasi, sehingga menurunya kemampuan DAS untuk menyimpan air dimusim kemarau. Hal ini ditandai dengan seringnya banjir di musim penghujan dan kekeringan dimusim kemarau. Untuk itulah maka Kementrian Kehutanan menganggap penting pengelolaan jasa lingkungan hutan tersebut, khususnya yang berkiaran dengan pengelolaan sumber daya air. Secara kelembagaan hal ini dilakukan dengan membentuk taman-taman nasional untuk kawasan konservasi hutan tersebut. Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGM) adalah salah satu bentuk kawasan konservasi yang bertugas mennjaga dan mengelola kawasan hutan di wilayah gunung Merbabu. Kawasan ini ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor : 135/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei 2004 dengan cakupan seluas 5.725 Ha. Keberadaan Taman Nasional Gunung Merbabu ini dikelola oleh Balai Taman Nasional Gunung Merbabu. Berdasarkan tugas pokok dan fungsi Balai Taman Nasional Gunung Merbabu sebagai pengelola kawasan konservasi, maka salah satu dari 9 fungsi Taman Nasional Gunung
4 Merbabu adalah pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan hutan yang dalam hal ini adalah air, energi air dan wisata alam. Berdasarkan hasil kegiatan inventarisasi potensi jasa lingkungan air tahun 2012, di Taman Nasional Gunung Merbabu terdapat 19 sumber air yang sudah dimanfaatkan baik yang bersifat non komersial oleh masyarakat sekitar kawasan maupun komersial oleh PDAM (yaitu PDAM Kabupaten Semarang dan PDAM Kabupaten Boyolali). Namun demikian menurut Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu, bahwa permasalahan pengelolaan sumber air yang berada di Taman Nasional Gunung Merbabu memiliki beberapa permasalahan, diantaranya adalah : 1. Pendistribusian air kepada masyarakat tidak merata. Pendistribusian air yang kurang optimal dilakukan oleh para pengelola belum sepenuhnya dilakukan karena kekuranglengkapan aturan petunjuk pelaksanaannya maupun tekhnisnya. 2. Pengelolaan air oleh masyarakat belum terorganisir dengan baik. Ini disebabkan karena masyarakat belum mengetahui adanya peraturan baru yang dikeluarkan dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 3. Kurangnya kesadaran masyarakat akan kelestarian sumber daya air yang telah dimanfaatkan. Karena masyarakat yang tinggal di kawasan sekitar Taman Nasional Gunung Merbabu belum sepenuhnya memahami penggunaan tata guna air secara optimal sehingga kebutuhan air di
5 kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu mengalami penurunan yang cukup signifikan. 4. Sarana dan prasarana air yang sudah ada belum mendukung untuk pemanfaatan air yang lebih optimal. Fasilitas yang ada telah digunakan untuk pemanfaatan air belum memenuhi kriteria sehingga respon yang kurang intensif dari para pengelola kebijakan belum dapat berjalan secara maksimal. Selama ini kebijakan pemanfaatan jasa lingkungan air yang berada di dalam kawasan konservasi diatur melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam nomor SE.03/IV-Set/2008 tanggal 9 Desember 2008 tentang Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air di Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru. Menurut Surat Edaran ini maka pemanfaatan sumber daya air di kawasan konservasi dilakukan melalui mekanisme kerjasama yaitu pengelola kawasan konservasi (Balai Taman Nasional Gunung Merbabu) sebagai pemanfaat air yang bersifat Non Komersial sekaligus penyedia yang mendukung proses pelaksanaan kebijakan. Dalam perjalanannya, pemanfaatan air melalui mekanisme kerjasama khususnya yang bersifat komersial banyak mengalami hambatan yang mengundang kontradiktif dan dinilai tidak tepat apalagi untuk pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan konservasi, sehingga sangat diperlukan pengaturan melalui mekanisme ijin. Untuk itu maka pada tanggal 3 Desember 2013 terbitlah pengaturan pemanfaatan air dan energi air di Suaka Margasatwa
6 (SM), Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (TAHURA) dan Taman Wisata Alam (TWA) yaitu P.64/Menhut-II/2013. Terbitnya kebijakan ini merupakan amanat dari peraturan diatasnya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Isi Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 64/Menhut-II/2013 tersebut sebenarnya masih terdapat beberapa persoalan yang belum diatur lebih rinci (abstrak) sehingga diperlukan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) maupun Petunjuk Tekhnis (Juknis) pemanfaatan dan energi air melalui peraturan direktur jenderal berupa pedoman. Hal ini dikarenakan masyarakat pada umumnya belum memahami tentang Pengaturan Pemanfaatan Air dan Energi Air dalam kawasan konservasi (Taman Nasional Gunung Merbabu) secara berkelanjutan. Agar pelaksanaan Pemanfaatan Air dan Energi Air tersebut agar berjalan optimal maka Permenhut P. 64/Menhut-II/2013 tersebut mengamanatkan perlunya dibuat pedoman / Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) / Petunjuk Tekhnis (Juknis) yang terdiri dari 5 (lima) Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen). Sampai dengan saat ini sudah diterbitkan 4 perdirjen, yaitu 1. Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) tentang Inventarisasi Sumber Daya Air (SDA) di Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Hutan Lindung (HL)
7 2. Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana serta Fasilitas Penunjang Pemanfaatan Air atau Energi air di Suaka Margasatwa (SM), Taman Nasional (TN) Taman Hutan Raya (TAHURA) dan Taman Wisata Alam (TWA), 3. Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) tentang Pedoman Penilaian Rencana Pengusahaan Pemanfaatan Air dan Energi Air di Taman Hutan Raya (TAHURA) dan Taman Wisata Alam (TWA), 4. Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) tentang Pelaksanaan Pengawasan, Evaluasi dan Pembinaan Pemanfaatan Air dan Energi air di Suaka Margasatwa (SM), Taman Nasional (Taman Nasional), Taman Hutan Raya (TAHURA) dan Taman Wisata Alam (TWA), 5. Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) tentang Besaran dan Tata Cara Pembayaran Ganti Rugi Akibat Pemanfaatan Air atau Energi Air di Suaka Margasatwa (SM), Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (TAHURA) dan Taman Wisata Alam (TWA). Sehingga masih diperlukan satu pedoman lagi yang berkaitan dengan Besaran dan Tata Cara akibat Pemanfaatan dan Energi Air. Di samping itu juga pihak pengelola (dalam hal ini Balai Taman Nasional Gunung Merbabu) juga wajib untuk menyiapkan rencana kawasan Taman Nasional berupa Rencana Pengelolaan (rencana jangka panjang), Rencana Jangka Menengah berupa Renstra dan Rencana Jangka Pendek/renja (rencana tahunan). Di samping itu dalam rangka mengimplementasikan program kebijakan pengelolaan termasuk pemanfaatan jasa lingkungan air dan
8 energi air maka Balai Taman Nasional Gunung Merbabu juga mendasarkan pada zonasi kawasan yaitu dengan membagi kawasan sesuai pengelolaannya (ada zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan serta zona lain sesuai kebutuhan). Hal tersebut menunjukkan masih banyaknya hambatan dalam mengimplementasikan Permenhut tersebut karena kurang mendapatkan respon yang baik dari sasaran kebijakan seperti pendistribusian air yang belum merata, kelestarian sumber daya air belum terjaga, pengelolaan air belum terorganisir, kurangnya kesadaran masyarakat akan kelestarian sumber daya air, dan keadaan sarana prasarana yang ada kurang memadai. Melihat masih banyaknya hambatan yang dihadapi oleh Taman Nasional Gunung Merbabu dalam mengimplementasikan P.64/Menhut- II/2013 tentang Pemanfaatan Air, maka penelitian ini akan melihat sejauh mana kebijakan Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air yang sudah dilakukan di Taman Nasional Gumung Merbabu oleh pengelola yaitu Balai Taman Nasional Gunung Merbabu. Analisis ditekankan pada apa yang telah dilakukan oleh pihak Balai terutama dalam upaya pengembangan pemanfaatan potensi jasa lingkungan air kedepan dilihat dari aspek kelestarian fungsi kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu sebagai penyangga kehidupan bagi masyarakat di sekitar. Dengan kata lain penelitian ini ingin melihat bagaimana implementasi P.64/Menhut-II/2013 tersebut, hambatan apa yang ditemui dalam pelaksanaannya. Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai dasar dalam pelaksanaan pengembangan
9 fungsi kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu sebagai penyedia jasa lingkungan air. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah proses implementasi Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.64/Menhut-II/2013 terutama berkaitan dengan program pemanfaatan jasa lingkungan air di hutan Taman Nasional Gunung Merbabu? 2. Hambatan apa yang ditemukan dalam implementasi Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.64/Menhut-II/2013 terutama berkaitan dengan program pemanfaatan jasa lingkungan air di hutan Taman Nasional Gunung Merbabu? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mendeskripsikan proses implementasi Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.64/Menhut-II/2013 terutama berkaitan dengan program pemanfaatan jasa lingkungan air di Taman Nasional Gunung Merbabu. 2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.64/Menhut-II/2013 khususnya berkaitan dengan pemanfaatan jasa lingkungan air di Taman Nasional Gunung Merbabu.
10 D. Manfaat Penelitian Berbagai manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan ini adalah : 1. Manfaat Praktis a. Sebagai bahan analisis pihak Taman Nasional Gunung Merbabu yang merupakan suatu kawasan Taman Nasional yang berkaitan dengan program pemanfaatan jasa lingkungan air di dalam mengatasi debit dan penggunaan volume air untuk kebutuhan masyarakat guna mengatasi penggunaan volume/debit air yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. b. Mengetahui faktor-faktor yang terkait dengan program pemanfaatan jasa lingkungan air guna menjadi rekomendasi untuk masa yang akan datang. c. Memberikan sumbangan pikiran guna menindaklanjuti penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kebijakan publik, dan menyumbangkan bahan pertimbangan dalam penelitianpenelitian berikutnya.