Antarin Prasantbi 2 Tien Handayani Nafi

dokumen-dokumen yang mirip
VISI SISTEM PERKERETAAPIAN NASIONAL (Kajian Implementasi UU No 23 Tahun 2007)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 132, 2004 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444).

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN

2016, No Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722); 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Penelitian

ANALISIS ANGKUTAN KERETA API DAN IMPLIKASINYA PADA BUMN PERKERETAAPIAN INDONESIA

ABSTRAK. Tresa Telfia

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR

I. PENDAHULUAN. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG PENGATURAN LALU LINTAS

PENELITIAN TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN DI LINTASAN KERETA API

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini bangsa Indonesia mengalami perkembangan dan kemajuan di segala

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATARAN TRANSPORTASI WILAYAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan;

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hidup pada era modern seperti sekarang ini, mengharuskan manusia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

REDESAIN TERMINAL TERPADU KOTA DEPOK

UNDANG-UNDANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO.13 TAHUN 1992 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

I. PENDAHULUAN. Transportasi juga diharapkan memiliki fungsi untuk memindahkan obyek sampai tujuan dengan

BAB I PENDAHULUAN. berkembangnya tekhnologi transportasi dan telekomunikasi. Perkembangan

BAB 1 PENDAHULUAN. transportasi pribadi bagi kehidupan sehari-hari mereka. Transportasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

JURNAL TANGGUNG JAWAB HUKUM PT. KERETA API INDONESIA TERHADAP KERUGIAN PENUMPANG AKIBAT KECELAKAAN KERETA API. Diajukan Oleh :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

STUDI KINERJA PELAYANAN SISTEM ANGKUTAN KERETA REL LISTRIK JABODETABEK TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan nasional merupakan suatu upaya dalam

- 1 - WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAHAN PAPARAN. Disampaikan pada : BIMBINGAN TEKNIS AUDIT

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN [LN 2007/65, TLN 4722]

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengurangan tingkat..., Arini Yunita, FE UI, Universitas Indonesia

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. Potensi bahaya dan risiko kecelakaan kerja antara lain disebabkan oleh

perbaikan hidup berkeadilan sosial.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

PEMERINTAH KOTA BATU

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG

2013, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negar

BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Era globalisasi saat ini menuntut masyarakat untuk mempunyai mobilitas

BUPATI KAPUAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG JALAN DAN PENGATURAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bangsa dan negara. Hal ini tercermin semakin meningkatnya kebutuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Peran dan Karakteristik Angkutan Kereta Api Nasional

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS

BAB I PENDAHULUAN. Transportasi merupakan salah satu elemen yang sangat penting bagi kebutuhan manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas maka penggunaan moda kereta api masih dapat menduduki peringkat

BAB I PENDAHULUAN. Tabel I. 1 Data Kecelakaan Kereta Api

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SISTEM BUS RAPID TRANSIT

BAB I PENDAHULUAN. PT. Kereta Api Indonesia (Persero) adalah Badan Usaha Milik Negara Indonesia

I. PENDAHULUAN. adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Salah satu penyebabnya adalah

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

Mencermati Tingginya Frekwensi Kecelakaan Kereta Api Di Indonesia (KEHARUSAN) EVALUASI TOTAL SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN PT KA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 103 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PENGELOLA TRANSPORTASI

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 2011 TENTANG

BAB 3 STRATEGI DASAR MANAJEMEN LALU LINTAS

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN 2010 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

BAB I PENDAHULUAN. jasa yang berkembang saat ini. Di era perkembangan dan pertumbuhan penduduk

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsep transportasi didasarkan pada adanya perjalanan ( trip) antara asal ( origin) dan tujuan

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Republik Indonesia ROADMAP PENINGKATAN KESELAMATAN PERKERETAAPIAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

PEMERINTAH KOTA PASURUAN

Studi Rencana Induk Transportasi Terpadu Jabodetabek (Tahap II) Laporan Akhir: Ringkasan Laporan

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. (On-line), (29 Oktober 2016). 2

BAB I PENDAHULUAN. Kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Indonesia saat ini sangat

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Kendaraan bermotor dalam perkembangannya setiap hari

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGIS DAN KEBIJAKAN

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DARI PURUK CAHU BANGKUANG BATANJUNG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Angkutan Umum Masal Perkotaan. Jabodetabek. Jaringan. Rencana Umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Implementasi kebijakan..., Ramdha Hari Nugraha, FISIP UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan bangsa dan mewujudkan perkembangan nasional juga

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem transportasi adalah suatu hal yang penting bagi suatu kota,

Transkripsi:

KEBERLAKUAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN KESELAMATAN PERKERETAPIAN DI KOTA DEPOK' (Studi Paska Pemberlakuan UU No. 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian Hingga Di Era Otonom; Daerah) Antarin Prasantbi 2 Tien Handayani Nafi Abstrak Train safety is currently among the top priority of Indonesian public transportation issues. Many people have largely been depending on the train as their means of transportation particularly in Jakarta and its satellite cities. However, data shown that the numbers of train-related accident in Indonesia have been considerably high. A high number of train-related accidents is an indicator of the vulnerability of train stifety regulation in Indonesia. Under the Law No. 13 year 1992 the government and train operator agencies bear primary responsibility in handling train saftty and a proper implementation of the law. Nevertheless the Local Autonomy Laws No. 22 of 1999 amended by Law No. 32 of 2004 on Local Governance asserts that train-related affairs have no longer solely responsibility of the central government and train operators but the local government as wel/. The new Law No. 23 of 2007 on Train Affairs confirms that local government has also a responsibility in assuring train saftty at its own regions. Three diferent institutions therefore contribute to the train safety assurance but the division of the authority and responsibility among them are not yet clearly determined. This research aims to study the issues and barriers relating to train safety policy as well as its implementation in Depok City, West Java in the era of decentralisation. Kata kunci: keamanan kereta, kebijakan publik, otonomi daerah, kota depok I Penelitian ini didanai oleh Riset Unggulan Universitas Indonesia pada tahun 2007 dan diketuai oleh Tien Handayani Nafi, S.H., M.Si. dengan anggota Antarin Pasanthi, S.H., M.si., dan Heru Susetyo, S.H., LL.M. 2 Kedua Penulis adalah Staff Pengajar pada Bidang Studi Hukum Masyaraka! dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, penulis dapat dihubungi melajui email: antarinprasanthi@yahoo.com, tienafi@yahoo.com.

36 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Nata/is 85 Tahun FHUI I. Pendahuluan Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi di Indonesia khususnya di Pulau Jawa menyebabkan berbagai permasalahan, di antaranya di bidang transportasi. Terbatasnya sarana dan prasarana transportasi darat yang tidak seiring dengan pertumbuhan penduduk tersebut antara lain menimbulkan kemacetan di sebagian besar ruas jalan di daerah perkotaan dan juga berkontribusi langsung pada peningkatan frekwensi kecelakaan lalu lintas. Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi masalah terse but adalah dengan mengembangkan sarana transportasi darat seperti penyediaan jasa angkutan kereta api yang mampu mengangkut banyak penumpang dan mengurangi kemacetan di jalan raya. Jasa angkutan kereta api menjadi salah satu andalan transportasi darat yang terjangkau oleh berbagai lapisan masyarakat. Prioritas terhadap pembangunan transportasi darat khususnya perkeretaapian di Indonesia antara lain didasari oleh: (1) keunggulannya sebagai salah satu subsistem angkutan darat yang mempunyai kemampuan angkut penumpang dalam jumlah besar; (2) jangkauan lintasan yang dilayaninya cukup jauh dengan biaya yang relatif terjangkau; dan (3) jadwal keberangkatan dan kedatangan pada stasiun-stasiun tertentu telah diatur di mana dalam perjalanannya tidak dapat berhenti dengan sembarangan seperti kendaraan angkutan darat lainnya yang pad a akhimya memicu terjadinya kemacetan. Selain itu pembangunan sarana dan prasarana perkeretaapian juga dapat dilakukan melalui investasi jangka panjang sehingga pad a saat ini mulai banyak investor yang tertarik untuk menanamkan investasinya dibidang perkeretaapian.' Kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh angkutan kereta api ini ternyata belum dapat dimanfaatkan secara optimal dan bahkan kecelakaan kereta api masih sering terjadi. Menurut studi yang dilakukan oleh Departemen Perhubungan bekerjasama dengan PT. Daya Makara UI, sejak tahun 2000-2006 jumlah kecelakaan kereta api 1.1 02 kali dengan jumlah korban meninggal 523 orang, luka berat 688 orang, dan luka ringan 582 orang. Selain kerugian materiil, kecelakaan tersebut mengakibatkan kerugian lainnya yang tidak dapat dinilai seperti biaya sosial (social cost), biaya santunan asuransi, dan biaya-biaya non-materiillainnya. Keselamatan transportasi darat, khususnya kereta api, masih sangat memprihatinkan, baik dari aspek kebijakan maupun implementasinya. 3 Lihat Moch S. Hendrowijono, Benang Kusut Perkeretaapian Kila, Kompas Cyber Media. Sabtu, 19 Me; 2007

Kebijakan Keselamatan Perkeretaapian di Depok, Prasanthi dan Nafj 37 Masalah terse but mulai banyak mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan, baik pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, maupun kalang,an akademisi, terlebih setelah dibukanya liberalisasi perkeretaapian di Indonesia melalui undang-undang perkeretaapian barn yaitu UU No. 23 tabun 2007 yang menggantikan UU No. 13 tahun 1992 pada tanggal 25 April 2007. Implementasi dari ketentuan baru tentang perkeretaapian tersebut belum dapat dilihat karen a Peraturan Pemerintah sebagai pelaksananya sedang dibahas. Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh UU No. 23 tahun 2007 ditetapkan paling lambat I (satu) tabun sejak berlaknnya Undang-Undang terse but. Walaupun demikian di dalam ketenruan penutupnya dinyatakan bahwa pada saat Undang-Undang mulai berlalru. semua peraturan pelaksanaan dari UU No. 13 tabun 1992 dinyatakan masib tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti berdasarkan Undang Undang yang barn. Ketentuan yang termuat dalam UU No. 23 tahun 2007 sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerab dan desentralisasi yang dimaksudkan oleh UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 38 tabun 2007 tentang pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam ketentuan terse but tanggung jawab pengelolaan perkeretaapian tidak harus semuanya berada di bawah pemerintah pusat, tetapi dapat didesentralisasikan kepada pemerintah daerah, terutama untuk pelayanan penumpang regional dan lokal. Hal ini dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan jasa angkutan kereta api dengan pengguna kereta api. Pemerintah daerah sebagai regulator maupnn penyelenggara angkutan kereta api diharapkan dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan, selain juga untuk mengintegrasikan sistem transportasi perkeretaapian dengan jaringan moda transportasi kota lainnya agar efisiensi dan efektifitas pelayanan dapat ditingkatkan" Salah satu pemerintah daerah yang berpotensi untuk dapat aktif dalam penyelenggaraan perkeretaapian adalab kota Depok, mengingat kota Depok merupakan salab satu kota yang dilintasi oleh jalur kereta terpadat se Indonesia yaitu Kereta ReI Listrik (KRL) Jakarta - Bogor. Kota Depok, sebagai salah satu kota penyangga Daerah Khusus Ibukota Jakarta, bersama-sama dengan kota-kota penyangga lainnya. yaitu Bogor, Tangerang, dan Bekasi, sudah semestinya ikut berperan aktif dalam upaya penataan angkutan kereta api. Hal ini juga sesuai deng,an visi dari pemerintah kota Depok yaitu melayani dan mensejahterakan masyarakat 4 Lihat lmron Butkin, Restrukturisasi Perkeretaapian. Kompas Cyber Media, Jumat,. 29 April 2005.

38 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI serta misi untuk membangun dan mengelola sarana dan prasarana infrastruktur. Oleh karena itu keterlibatan dalam pembenahan perkeretaapian, khususnya kereta api listrik (KRL), tentunya menjadi agenda penting. Seperti yang juga dinyatakan oleh Menteri Perhubungan, Iusman Syafii Djamal, permasalahan perkeretaapian sebagai angkutan massal di Indonesia ada di Iabodetabek karena pengguna kereta api Iabodetabek sebesar 107 juta penumpang per tahun sehingga berarti menguasai lebih dari 60% angkutan penumpang kereta api di Indonesia. Selanjutnya dikatakan pula bahwa dengan membenahi angkutan kereta api di Iabodetabek berarti 60% persoalan kereta api di Indonesia juga dapat terselesaikan. II. Perumusan Masalah Salah satu permasalahan perkeretaapian yang signifikan adalah mengenai keberlakuan dan pengembangan kebijakan keselamatan perkeretaapian di kota Depok. Dalam permasalahan ini, pertanyaan dasar yang mengemuka adalah "Bagaimanakah keberlakuan dan pengembangan kebij akan keselamatan perkeretaapian di kota Depok?" yang diuraikan dalam sejumlah pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Institusi apa sajakah yang terkait dengan kebijakan keselamatan perkeretaapian di Indonesia dan khususnya di kota Depok dan bagaimanakah peran dari masing masing institusi tersebut? 2. Kebijakan keselamatan perkeretaapian apa sajakah yang berlaku pada saat ini di Indonesia dan khususnya yang dikembangkan di kota Depok setelah berlakunya UU No. 32 tahun 2007 tentang perkeretaapian dan UU No. 23 tahun 2004 tentang otonomi daerah? 3. Bagaimanakah keberlakuan kebijakan keselamatan perkeretaapian di kota Depok? 4. Bagaimanakah sikap dan pemahaman para operator dan pengguna jasa kereta api terhadap kebijakan keselamatan perkeretaapian yang ada? III. Penelitian Sejenis Yang Telah Dilakukan Pengalaman dari The Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek (SITRAM, 2004) menunjukkan bahwa masterplan transportasi regional (termasuk di dalamnya tentang perkeretaapian)

Kebijakan Keselamatan Perkeretaapian di Depok, Prasanthi dan Nafi 39 seringkali tidak bisa diimplementasikan karena tidak adanya komitmen dari masing-masing pemerintab daerah. Jakarta dan daerah-daerah di sekitarnya, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (BODETABEK) tidak bisa sendirian dalam menyelesaikan masalah transportasi. Satu peljalanan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (JABODETABEK) tidak bisa dibatasi dengan batas-batas administratif. Harus ada platform bersama dari semua pemerintab daerah agar dapat mewujudkan satu sistem transportasi yang efisien. Dengan mempertimbangkan hasil studi tersebut dan juga beberapa pertimbangan lainnya seperti: pertama, lokasi Universitas Indonesia menempati wilayah kota Depok yang dilintasi oleh jalur rei kereta api listrik (KRL) Jakarta - Bogor; dan kedua, frekuensi perjalanan KRL yang tinggi, sarat penumpang, serta rawan terhadap kecelakaan, maka penelitian ini dibatasi pada wilayah tersebut. Oleh karena itu kebijakan yang ingin dikaji adalah kebijakan keselamatan perkeretaapian yang berlaku dan berkembang di kota Depok. Sampai sejauh mana perhatian pemerintah kota Depok terhadap masalah keselamatan perkeretaapian baik dalam kebijakankebijakan yang dibuat maupun penerapan kebijakan tersebut di masyarakat. Komitmen pemerintah kota Depok dalam menjalankan visi dan misinya, khususnya yang terkait dengan keselamatan perkeretaapian menjadi fokus penelitian selain pendapat dari para pemakai jasa kereta api terhadap penerapan kebijakan keselamatan perkeretaapian. IV. Tujuan dan Maksud Penelitian Penelitian ini berasumsi bahwa keselamatan perkeretaapian arnat terkait erat dengan kebijakan keselamatan perkeretaapian yang berlaku. Kebijakan keselamatan perkeretaapian adalah salah satn variabel yang menentukan keselamatan perkeretaapian. Sehingga, semakin baik kebijakan keselamatan perkeretaapian tersebut (dalam tataran filosofis, yuridis, maupun sosiologis) maka semakin baik pula situasi keselamatan perkeretaapian. Sebaliknya, semakin buruk kebijakan keselamatan perkeretaapian, maka buruk pula situasi keselamatan perkeretaapian. Negara' RI telah mengatur secara terbatas kebijakan keselamatan perkeretaapian pada UU No. 13 tabun 1992 jo UU No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian dimana tanggungjawab utama alas keselamatan perkeretaapian berada pada pemerintah dan badan penyelenggara. Namun seiring dengan permberlakuan UU No. 22 tahun 1999 jo UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah tingkat IT (Kabupaten/Kota) juga memiliki kewenangan untukjuga turut mengatur masalah perkeretaapian.

40 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI Dengan demikian, di era otonomi daerah ini, peran daerah tingkat II baik Kabupaten maupun Kota dalam pengaturan kebijakan perkeretaapian akan sangat menentukan, termasuk dalam hal kebijakan keselamatan perkeretaapian. Maka, semakin baik pengaturan kebijakan keselamatan perkeretaapian yang diterapkan di daerah (tingkat In terse but, maka semakin baik pula situasi keselamatan perkeretaapian di kabupatenikota terse but. Berlandaskan pemikiran di atas, tujuan dan maksud dari penelitian ini secara umum adalah untuk mendapatkan pengetahuan terkini tentang kebijakan keselamatan perkeretaapian yang ada (existing condition) di Kota Depok dan juga tentang usaha-usaha yang telah dilakukan oleh Pemda Depok maupun operator perkeretaapian yang bekerja di lingkup wilayah Kota Depok terkait dengan pengembangan kebijakan keselamatan perkeretaapian. Seperti telah diuraikan sebelumnya, pilihan terhadap Kota Depok adalah karena kota ini dilintasi oleh jalur Kereta ReI Listrik (KRL) terpadat di Indonesia yaitu KRL Jakarta - Bogor, kemudian kota ini berusia relatif muda (menjadi kota administratif pada tahun 1982 dan sebagai kota pada tabun 1999). Hal yang juga penting adalah Kota Depok, sebagaimana balnya Daerah Tingkat II lainnya di Indonesia, memiliki kewenangan (otonomi) dan keleluasaan untuk mengembangkan usaha dan kebijakan perkeretaapian sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 jo UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintaban Daerah. Maka, secara lebih khusus, tujuan dan maksud penelitian tentang pengembangan kebijakan keselamatan perkeretaapian di kota Depok ini adalah sebagai berikut: I. Mengidentifikasi dan menginventarisir institusi-institusi yang terkait dengan kebijakan keselamatan perkeretaapian di Indonesia maupun di Kota Depok; 2. /v!engidentifikasi dan menganalisis kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan keselamatan perkeretaapian di Indonesia khususnya yang berlaku di Kota Depok; 3. Mengetahui keberlakuan dari kebijakan keselamatan perkeretaapian di kota Depok terse but khususnya bagi kalangan operator perkeretaapian dan pengguna jasa perkeretaapian; 4. Mengetabui tingkat pemabaman dan kepatuban terbadap kebijakan keselamatan perkeretaapian di Depok khususnya di kalangan operator dan pengguna jasa kereta api.

Kebijakan Keselamatan Perkeretaapian di Depok, Prasanthi dan Nati 4' V. Kajian Pustaka A. Perkeretaapian dan Keselamatan Perkeretaapian adalab segala sesuatu yang berkaitan dengan sarana, prasarana, dan fasilitas penunjagn kereta api untuk penyelenggaraan angkutan kereta api yang disusun dalam satu sistem (Vide pasal I UU No. 13 tabun 1992 tentangjo UU No. 23 tabun 2007 tentang Perkeretaapian). Fasilitas keselarnatan perkeretaapian adalab perangkat bangunan, peralatan, dan perlengkapan, yang digunakan untuk menunjang kelancaran dan keselarnatan perjalanan kereta api (Vide pasal 1 UU No. 13 tabun 1992 jo UU No. 23 tabun 2007 tentang Perkeretaapian). Terkait dengan kebijakan keselarnatan perkeretaapian, tanggungjawab utarna atas keselamatan perkeretaapian terletak pada pemerintah dan badan penyelenggara sebagaimana termaktub dalam pada bab V UU No. 13 tabun 1992 tentang Perkeretaapian mengenai sarana dan prasarana. Sesuai dengan Undang-undang tersebut, pemerintab menyediakan dan merawat prasarana kereta api (pasal 8) dan prasarana dan sarana kereta api yang dioperasikan wajib mempunyai keandalan dan memenuhi persyaratan keselamatan (pasal 10). Kemudian untuk kelancaran dan keselarnatan pengoperasian kereta api, pemerintah menetapkan pengaturan mengenai jalur kereta api yang meliputi daerab manfaat jalan, daerab milik jalan, dan daerab pengawasan jalan termasuk bagian bawahnya serta ruang bebas di atasnya (pasal 13). Dalarn hal terjadi perpotongan jalur kereta api dengan jalan yang digunakan untuk lalu Jintas umum atau lalu lintas khusus, pemakai jalan wajib mendabulukan perjalanan kereta api (pasai16). Kebijakan keselamatan perkeretaapian ini ditegaskan dengan hadirnya sejumlab sanksi (ketentuan) pidana pada UU No. 13 tabun 1992 pasal 37 s.d. 42 yang hampir semuanya mengatur ancaman pidana -terhadap kejabatan dan pelanggaran keselamatan perkeretaapian. B. Keselamatan Publik Terkait dengan masalab kecelakaan dan keselamatan public, PhiIlippine Disaster Management System membedakan bencana alam (natural disaster) dengan bencana akibat peran teknologi (technological accident) dan kegawatdaruratan yang mengancam

42 Jurnal Hukum dan Pembangunan Ed;s; Khusus D;es Natalis 85 Tahun FHUI nyawa, properti dan keselamatan masyarakat. Technological accident mencakup semua peristiwa yang proses terjadinya dapat diketahui dan dapat diintervensi oleh pengetahuan dan ketrampilan manusia. Termasuk dalam technological accident adalah kecelakaan transportasi; kecelakaan industry; kecelakaan konstruksi; kecelakaan akibat material berbahaya; kecelakaan akibat hewan dan tumbuhan; epidemic dan kebakaran Berdasarkan Thailand Civil Defense Act 1979, yang dimaksud dengan bencana umum (public disaster) adalah: Disaster from fire, storm, flood, and other disasters from man-made or natural causes that destroy the lives of people and cause damage to the property of the people and of the state. Menurut Peraturan Perdana Menteri Thailand tentang Keselamatan Nasional (National Safety) tahun 1995, yang dimaksud dengan 'kecelakaan' (accident) adalah: "accident means a harmful event that happens by land, water, or air traffic, or an accident at work, or in houses or in public work.". Sementara itu, policy diartikan sebagai: important principles set as guidelines for safety measures. C. Problem Keselamatan pad a Perkeretaapian Indonesia Jumlah kecelakaan KA di Indonesia adalah relatif tinggi. Pada tahun 1996 terjadi 106 kecelakaan dan pada tahun 1999 terjadi 196 kasus kecelakaan. Antara Januari hingga Agustus 200 I terjadi tujuh kecelakaan dahsyat yang menyebabkan 65 jiwa tewas dan 109 lukaluka. Pada tahun 2002 terjadi 217 kecelakaan, sebagian besar melibatkan KA dengan moda transportasi yang lain, sedangkan kecelakaan antara KA berkurang hingga enam kecelakaan. Menurut data, 85% kecelakaan terjadi karena faktor manusia (human errors), 7% karena kondisi rei, 5% karena kondisi KA, dan 3% karena kondisi lingkungan ataupun cuaca buruk' Studi dari Indri Hapsari Susilowati 6, menyebutkan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan lahimya kecelakaan yaitu : kondisi yang S Data dari Harian Suara Merde/{Q, 27 Desember 2001 sebagaimana dikutip oleh Indri Hapsari Susilowati. The Indonesia~ Rail System and the Problem a/safety: Comparison with and Lesson From Japan, dalam Asian Public Intellectual Report 2004/2005, Reflections on the Human Condition,' The Work of the 200412005 API Fellows. (Bangkok: The Nippon Foundation, 2007), hal. 254.

Kebijakan Keseiamatan Perkeretaapian di Depok, Prasanthi dan Nati 43 tidak aman (unsafe condition), tindakan yang tidak aman (unsafe act), dan sebab yang tidak dapat diprediksi (unpredictable cause) seperti gempa bumi, banjir, dll. Sebab kecelakaan yang terbanyak adalah unsafe act (85%), kemudian unsafe condition (13%) dan dilanjutkan dengan unpredictable cause. Berbeda dengan negara lain, unsqfe condition adalah penyebah utama terjadinya kecelakaan KA di Indonesia. Sebagai contob, masih banyak rei di Indonesia yang berupa single track, padahal di negara lain rei double track sudah menjadi persyaratan minimal. Lalu kelengkapan rambu pengaman di perlintasan KA juga masib menjadi permasalahan. Secara kbusus, Indri Hapsari Susilowati menyoroti kondisi ruang masinis di lokomotif Indonesia yang kurang mendukung untuk kenyamanan dan keselamatan. Perkeretaapian Indonesia tertinggal sekitar 25 tahun dari lepang dalam bal kenyamanan ergonomics di ruang mas in is KA. Masalah lainnya adalah teknologi kereta api sendiri yang kurang mumpuni. Sebagai contob, di setiap gerbong KA di lepang telah diperlengkapi dengan mesin, sebingga secara teknik gerbong tetap dapat dioperasikan tanpa lokomotif. Semen tara itu di Indonesia masih banyak hergantung pada lokomotif diesel.' Keselamatan KA sedikit banyak terkait juga dengan kebijakan publik. Kebijakan pemerintah Indonesia mengenai KA cenderung belum menganggap KA sebagai moda transportasi publik yang utama (primary public transportation). Buktinya adalah pemerintah lebih suka membangun jalan tol daripadajalur dan sarana perkeretaapian. Organisasi perkeretaapian Indonesia sebelumnya berada di bawah Direktorat lenderal Perhubungan Darat, namun sejak luli 2005 berpindah ke bawah Direktorat lenderal Perkeretaapian (tetap di bawah Departemen Perhubungan), yang terdiri atas tiga direktorat antara lain: direktorat perjalanan dan lalu lintas kereta api, direktorat teknik dan fasilitas, serta direktorat keselamatan. Sayangnya, uraian kerja (job description) dari masing-masing direktorat tersebut helum jelas. Secara garis hesar, situasi keselamatan perkeretaapian Indonesia adalah sebagai herikut:', Ibid., hal. 264. 7 Ibid., B Ibid.,

44 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI As for the Indonesian Railway, the situation is upside down if compared with the Japan Railway. There is no safety management system applied. Safety only means replacement of broken supplies and maintenance. A late train or somebody going inside the driver's cab is considered allright and there is no proper action to overcome it. Actually there is a rule not to allow somebody but the the driver to go inside the driver "s cab, but the drivers frequently break this rule for a tip and extra money from passenger who join him inside the cabin. The Indonesian railway has to complete safety management system to avoid accidents. They should improve the basic rule in order to provide safety for the passengers and workers and to make them the first priority from now on. The Indonesia Railway should increase the incentive and wei/-being among the drivers. This is a major issue in Indonesian Railway. The driver will work wih high motivation if they feel secure not only about the condition in driver cabs but also about their income. D. Kebijakan dan Keselamatan Kebijakan keselamatan merupakan tanggungjawab dan komitmen manajemen yang menjadi landasan bagi Sistem Manajemen Keselamatan sebuah organisasi 9 Kebijakan akan memberikan kerangka untuk pencapaian target dan sasaran keselamatan secara menyeluruh. Kebijakan harus disetujui oleh pimpinan tertinggi organisasi atau senior manajemen. Kebijakan keselamatan, mencakup di dalamnya petan dan tanggung jawab manajemen senior dan pengaturan sumber daya untuk melaksanakan Sistem Manajemen Keselamatan serta integrasinya dengan proses manajemen lainnya seperti bisnis dan keuangan. Kebijakan juga berisi pernyataan komitmen manajemen untuk mentaati peraturan perundangan yang berlaku. Kebijakan keselamatan harus selaras dengan lingkup bisnis penyelenggara yang digariskan oleh perusahaan dan menyatakan 9 Daya Makara VI. "Studi Pengembangan Sistem Manajemen Keselarnatan Kereta Api", Rekomendasi Sistem Manajemen Keselamatan (Jakarta: Balitbang Departemen Perhubungan, 2007).

Kebijakan Keselamatan Perkeretaapian di Depok, Prasanthi dan Nati 45 secara jelas dan rinci tanggung jawab serta strategi untuk memenuhi tanggungjawabnya. Kebijakan keselamatan harus dikomunikasikan kepada seluruh jajaran organisasi sehingga pekerja mengetahui dan sadar akan komitrnen perusahaannya terhadap keselamatan hingga dapat memberikan motivasi kepada seluruh jajaran di dalam organisasi dalam menyediakan sumber daya dan keterlibatan pekerja untuk mencapai komitrnen perusahaan dan target-targetuya di masa depan. Kebijakan keselamatan harus berisi komitmen seluruh jajaran manajemen dan pekerja. Manajemen harus berkomitmen terhadap penyediaan sumber daya untuk memelihara Sistem Manajemen Keselamatan (SMK). Manajemen harus membahas bersama pekerja dan sepakat untuk menerima dan melaksanakan kebijakan tersebut. Sumber daya yang tersedia untuk manajemen keselamatan sarna pentingnya seperti sumber daya lainnya dalam organisasi. Apabila sumber dayanya tidak terpenuhi maka tanggung jawab terse but tidak dapat terlaksana, terutama dalam pemenuhan jumlah pekerja keselamatan yang kompeten, seperti sumber daya lainnya. Kebijakan keselamatan tersebut sarna halnya dengan Sistem Manajemen Keselamatan harus dikaj i ulang secara berkala. Perusahaan harns memastikan bahwa melalui kajian secara berkala dan studi banding, kebijakan dan pelaksanaannya disesuaikan dengan perubahan teknologi, praktek-praktek di lapangan, struktur organisasi serta tatanan hukum dan sosial masyarakat. Kebijakan keselamatan harus menyalakan sasaran alau target keselamatan dan komitmen yang ingin dicapai. Sasaran keselamatan harus mencakup sasaran kerja yang bersifat kualitatif dan kuantitatif dalam memelihara maupun meningkatkan kinerja keselamatan. Komitmen harns secara spesifik menetapkan rencana dan prosedur untuk mencapai sasaran kinerja terse but. Pemisahan antara penyelenggara prasarana dan sarana yang diatur dalam UU No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian merupakan perubahan mendasar dalam manajemen kereta api. Oleh sebab itu, pengelolaan organisasi dalam struktur yang bam tersebut harus disepakati di antara pimpinan tertinggi penyelenggara. Pimpinan perusahaan yang bertanggungjawab harus menyepakati bersama kebijakan keselamatan kedua organisasi karena keterkaitan satu dengan yang lainnya sehingga kebijakan realistis dan konsisten dengan organisasi lainnya. Setiap organisasi harus secara jelas menyatakan komitmennya dalam menciptakan sistem transportasi kereta api yang aman, yang

46 Jurna/ Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Nata/is 85 T ahun FHU/ tidak dapat dicapai oleh satu penyelenggara saja. Masing-masing organisasi harus diatur sedemikian dan mempunyai motivasi untuk bekerjasama dalam menciptakan sistem transportasi kereta api yang aman. Tekanan komersial maupun sasaran produksi kadang kala bertentangan dengan pengorganisasian Sistem Manajemen Keselamatan sehingga hal terse but dapat berdampak secara langsung terhadap kinerja keselamatan. Oleh sebab itu, perusahaan harus bersungguh-sungguh pada dirinya agar peraturan keselamatan tetap ditegakkan walaupun mendapat tekanan fmansial E. Kebijakan Keselamatan Perkeretaapian di Indonesia Kebijakan keselamatan perkeretaapian Indonesia terserak dalam pelbagai perundang-undangan. Kebijakan yang utama adalah pada UU No. 13 tahun 1992 jo UU No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian berikut peraturan perundang-undanganan derivatifnya. Kemudian, karena masalah perkeretaapian amat terkait dengan keselamatan kerja, maka keselamatan perkeretaapian juga tunduk pada UU tentang Keselamatan Kerja tahun 1970 dan perbagai peraturan derivatifnya. 10 Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang Keselamatan Perkeretaapian secara langsung maupun tidak langsung: 1. UU No. 13 tahun 1992 tentang Perkeretaapian; 2. UU No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian; 3. PP No. 69 tahun 1998 tentang Prasarana dan Sarana Kereta Api; 4. PP No. 81 tahun 1998 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api; 5. Keputusan Menteri Perhubungan No. 52 tahun 2000 tentang lalur Kereta Api; 6. Keputusan Menteri Perhubungan No. 53 tahun 2000 tentang Perpotongan danlatau Persinggungan antara lalur Kereta Api dengan Bangunan lain; 7. Keputusan Menteri Perhubungan No. 81 tahun 2000 tentang Sarana Kereta Api; 8. Keputusan Menteri Perhubungan No. 8 tahun 2001 tentang Angkutan Kereta Api; 9. Keputusan Menteri Perhubungan No. 22 tahun 2003 tentang Pengoperasi Kereta Api. 10 Data diperoleh melalui wawancara dengan Bapak Pudjadi. S.H., Kepala Bidang Hukum PT Kerel. Api (persero) di Bandung p.d. Desember 2007.

Kebijakan Kese/amatan Perkeretaapian di Depok, Prasanthi dan Nap 47 F. Kebijakan Keselamatan Perkeretaapian pada UU No. 13 tabnn 1992 Kebijakan keselamatan perkeretaapian terdapat pada UU No. 13 tahun 1992 pada pasal-pasal dibawah ini: Pasal10 1. Prasarana dan sarana kereta api yang dioperasikan wajib mempunyai keandalan dan memenlihi persyaratan keselamatan. 2. Untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terhadap setiap prasarana dan sarona kereta api dilakukan pemeriksaan dan pengujian. Syarat keselamatan dan tata cara pemeriksaan serta pengujian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal13 Untuk kelancaran dan keselamatan pengoperasian kereta api, Pemerintah menetapkan pengaturan mengenai jalur kereta api yang meliputi daerah man/aat jalan. daerah milik jalan, dan daerah pengawasan jalan termasuk bagian bawahnya serta ruang bebas di atasnya. Pasal14 Dilarang membangun gedung, membuat tembole. pagar, tanggul dan bangunan lainnya, menanam jenis pohon y ang tinggi serta menempatkan barang pada jalur kereta api baik yang dapat mengganggu pandangan bebas, maupun dapat membahayakan keselamatan kereta api. G. Kebijakan Keselamatan Perkeretaapian pada Undang Undang No. 23 tabun 2007 Undang-undang ini tidak spesifik menuliskan pasal tersendiri yang terkait dengan keselamatan kerja, namun dicaknp dalam pasalpasal yang ada sehingga keselamatan kerja belum merupakan suatu kesisteman yang terintegrasi, walaupun secara samar telah dicakup

48 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI pada pasal-pasal awal dan penjelasan atas undang-undang tersebut. 11 Pasal-pasal yang dapat dijadikan acuan antara lain: Pasal3 Perkerelaapian diselenggarakan dengan tujuan unluk memperlancar perpindahan orang danl alau barang secara massal dengan selamal, am an, nyaman, cepal dan lancar, lepal, lerlib dan leralur, ejisien, serla menunjang pemeralaan, perlumbuhan, slabililas, mendorong dan penggerak pembangunan nasional. Dalam kalimat di atas, kata "selarnat" dalam penjelasan diartikan sebagai "... terhindarnya perjalanan kereta api dari kecelakaan dari "faktor internal"... kata "faktor internal" mempunyai implikasi luas yang dapat bersifat teknis maupun non teknis sehingga kecelakaan dapat saja terjadi yang salah satunya disebabkan oleh tidak terintegrasinya Sistem Manajemen Keselamatan Kerja. Dalam paragraf ke 2 baris ketiga, Umum, Penjelasan atas UU No. 23/ 2007 ten tang Perkeretaapian, walaupun tidak spesifik, namun sangat jelas dapat diartikan perlunya suatu Sistem Manajemen Keselamatan Terpadu (integrated safety management system) dalam penyelenggaraan perkeretaapian, seperti dinyatakan dalam kalimat berikut: "... untuk itu, penyelenggaraan perkeretaapian yang dimulai dari pengadaan, pengoperasian, perawatan, dan pengusahaan perlu diatur dengan sebaik-baiknya sehingga dapat terselenggara angkutan kereta api yang menjamin keselamatan, aman, cepat, tepat, tertib, efisien, serta... ". Dalam bab pembinaan pasal 13 ayat 1,2 dan 3 dengan jelas menyatakan bahwa pembinaan dilakukan oleh Pemerintah yang berupa pengaturan, pengendalian, dan pengawasan yang bertujuan untuk memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara massal dengan selamat, aman, nyaman, cepat, tertib dan teratur serta efisien. Pasal di atas menyatakan dengan jelas bahwa pemerintah berkewenangan menyusun pedoman, standar, kriteria, dan memberikan arahan yang bersifat teknis maupun non teknis, termasuk penyusunan Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Terpadu (terintegrasi) bagi penyelenggara Perkeretaapian serta melakukan pengawasan dan pemantauan yang salah satunya dapat berbentuk audit 11 Daya Makara UI, Op. Cit.

Kebijakan Kese/amatan Perkeretaapian di Depok, Prasanthi dan Nap 49 keselamatan kerja untuk seluruh aktifitas penyelenggara perkeretaapian. Pada Bab VII tentang Perpotongan dan Persinggungan Ialur Kereta Api dengan Bangunan Lain, pasal 91 dan 92, ditegaskan syarat perpotongan jalur kereta api dan pemegang ijin penyelenggara prasarana kereta api bertanggungjawab dalam hal keselamatan perpotongan (pasal 92 ayat 39). Dalam hal ini jelas bahwa tanggungjawab manajemen keselamatan terletak pada penyelenggara prasarana. Namun, pada kenyataannya perpotongan sebidang melibatkan instansi lain seperti kepolisian dalam hal lalu lintas kendaraan yang menggunakan perpotongan sebidang sehingga diperlukan koordinasi!intas sektoral yang dipayungi oleh peraturan perundangan. Selanjutnya Pasal 133 ayat I yang berbunyi: Dalam penyelenggaraan pengangkutan orang dengan kereta api, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib 8a) Mengutamakan keselamatan dan keamanan orang. Ketentuan ini juga menyatakan bahwa tanggung jawab Keselamatan Kerja berada pada penyelenggara sarana perkeretaapian sehingga pasal 133 ini dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat petunjuk teknis operasionalisasi Sistem Manajemen Keselamatan untuk penyelenggara perkeretaapian dalam bentuk Peraluran Pemerinlah. Dalam hal pengangkutan barang, pasal 140 ayat I dan 2 menyatakan bahwa khusus harus memenuhi persyaratan keselamatan pengangkutan sesuai dengan sifat berbahaya dan beracun. Namun, pada pasal terse but belum tercantum bagaimana penanggulangan kecelakaan kereta api pengangkut bahan khusus terse but dan koordinasinya dengan pihak terkait, terutama untuk kecelakaan di sekitar pemukiman penduduk. Disisi lain pasal 142 jelas menentukan bahwa kewenangan untuk membatalkan peijalanan kereta api ada pada penyelenggara sarana perkeretaapian apabila penyelenggara melihat terdapat barang yang diangkut dapat membahayakan keselamatan. Otorisasi Manajemen Operasional Keselamatan Kereta Api ada pada penyelenggara sarana perkeretaapian (operator). Demikian halnya pada pasal 157 dengan tegas liability terhadap kecelakaan, kematian sebagai akibat operasional kereta api pada penyelenggara sehingga tanggung jawab

50 ) urna/ Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Nata/is 85 Tahun FHU/ pelaksanaan manajemen keselamatan secara operasional terletak pada operator. H. Regulasi Sistem Manajemen Keselamatan Saat Ini Kewajiban perusahaan untuk menerapkan keselamatan kerja, telah diatur oleh UU, PP, PerMen dan lain-lain yang tingkatannya berbedabeda pada setiap sektor industri. Namun yang menjadi landasan utama pengaturan keselamatan adalah UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dimana ruang lingkup dari UU ini mencakup seluruh aktifitas pekerjaan di tempat kerja baik di darat, laut, maupun udara di seluruh wilayah RI. 12 Namun peraturan perundangan yang secara spesifik mewaj ibkan pengusaha untuk menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan adalah pada : Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pada pasal 87 yang menyatakan bahwa: Setiap p erusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam angka (I ) diatur dengan Peraturan Pemeritnah. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER 05lMEN/ 1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, pada pasal 3 menyatakan bahwa: Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan dari karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran, dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan Sistem Manajemen K3. Sistem Manajemen K3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh pengurus, pengusaha dan seluruh tenaga kerja sebagai suatu kesatuan. 12 Ib id.

Kebijakan Keselamatan Perkeretaapian di Depok, Prasanthi dan Nap 51 I. Dampak Otonomi Daerab terbadap Regnlasi Keselamatan Undang-Undang No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian merupakan salah satu undang-undang sektoral yang khusus mengatur berbagai materi yang berkaitan dengan atribusi, distribusi, dan delegasi serta koordinasi kewenangan dalam pembinaan perkeretaapian di antara berbagai level pemerintahan yang ada di Indonesia sebagai suatu negara kesatuan. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang yang mengatur perkeretaapian dan undang-undang yang mengatur otonomi daerah merupakan suatu hubungan hokum dalam pengaturan bersama tentang perkeretaapian dalam era otonomi daerah saat ini. Khusus di bidang perkeretaapian, Undang-undang No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian telah mengatur pembagian kewenangan di sektor perkeretaapian sebagai berikut: I. Perkeretaapian dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah; 2. Pembinaan perkeretaapian meliputi pengaturan, pengendalian dan pengawasan sektor perkeretaapian; 3. Pembinaan dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupatenikota sesuai dengan ruang lingkup dan wilayah pembinaannya masing-masing. Berdasarkan UU di atas, maka pada dasarnya telah terjadi pembagian kewenangan di sektor perkeretaapian antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupatenikota. Dari pembagian tersebut, pemerintah pusat merupakan top leader kewenangan di sektor kereta api di Indonesia, karena ruang lingkup kewenangan yang dimilikinya meliputi kewenangan pengaturan yang bersifat nasional dan kewenangan pengaturan yang wilayah pengaturannya meliputi lintas provinsi yang ada. Sedangkan kewenangan provinsi merupakan kewenangan yang sifatnya regional dan lintas kabupaten/ kota, dan kewenangan kabupatenikota meliputi pengaturan yang terbatas di tingkat wilayah kabupatenikota. Sebagaimana telah terjadi dalam praktek-praktek yang ada selama ini, pengaturan dan pembagian kewenangan di berbagai sektor pemerintahan antara pusat dan daerah seringkali diwarnai oleh beberapa hal sebagai berikut: J. Terjadinya berbagai penafsiran atas ketentuan perundangundangan yang mengatur mengenai pembagian kewenangan, terutama mengenai definisi, operasionalisasi, dan sebagainya.

52 )urnaf Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI 2. Dalam implementasi di lapangan, terjadi ketidakjelasan batasbatas kewenangan masing-masing pihak. 3. pembagian kewenangan tidak dapat dijalankan dengan baik karena ketiadaan infrastruktur, dana, sumber daya manusia, dan lain-lain. Selain itu, dalam pelaksanaan otonomi daerah di sektor perkeretaapian, ada hal-hal yang perlu diperhatikan, seperti antara lain: I. Kesiapan dan kemampuan sumber daya daerah dalam melaksanakan kewenangan perkeretaapian di daerahnya. 2. Partisipasi pemerintah daerah dalam pengaturan perkeretaapian secara nasional dan terintegrasi. 3. Partisipasi masyarakat daerah dalam kelancaran operasional kereta api. 4. Sinergi antar berbagai moda transportasi yang ada dengan moda kereta api yang ada di masing-masing daerah. 5. Kemampuan aparat pemerintah daerah dalam membuat produkproduk hukum yang berkaitan dengan sektor perkeretaapian di daerahnya VI. Metode Penelitian Penelitian ini ingin mengkaji kebijakan keselamatan perkeretaapian di wilayah Depok. Pemilihan Depok disamping karena alasan yang telah disebutkan di atas, juga karena Depok dilintasi oleh jalur rei kereta (KRL) Jakarta - Bogor yang terkenal padat penumpang, frekwensi perjalanan yang tinggi, dan juga rawan terhadap kecelakaan. Paling tidak ada lima stasiun KA di Depok (Stasiun ur, Pondok Cina, Depok Bam, Depok Lama dan Citayam) dan puluhan perlintasan yang banyak dilintasi kendaraan bermotor di kota Depok. Kebijakan yang mgm dikaji adalah kebijakan keselamatan perkeretaapian yang berlaku dan berkembang di kota Depok pascapemberlakuan UU No. 13 tahun 1992 tentang Perkeretaapian hingga era otonomi daerah saat ini. Dalam arti, apakah ketentuan tentang keselamatan perkeretaapian seperti pada UU No. 13 tahun 1992 dan peraturan pelaksananya telah benar-benar berlaku. Kemudian, apakah pemerintah kota Depok telah mengembangkan kebijakan keselamatan perkeretaapian tersebut sebagai bagian kewenangarmya di era otonomi daerah. Disamping itu, pemilihan Kota Depok adalah juga untuk mengetahui komitrnen pemerintah kota Depok dalam menjalankan visi dan misi kotanya.

Kebijakan Keselamatan Perkeretaapian di Depok, Prasanthi dan Nati 53 Visi kota Depok adalah "Melayani dan Mensejahterakan" serta memiliki misi antara lain Membangun dan Mengelola Sarana dan Prasarana Infrastruktur. Permasalahan yang ingin diketahui adalah sejauh mana pemerintah kota Depok telah menjalankan visi dan misi tersebut di bidang keselamatan dan keamanan perkeretaapian. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan eksploratif dengan menggunakan pendekatan socio-legal studies. Karakteristik yang dimiliki oleh pendekatan ini adalah bagaimana secara deskriptif empiris dapat mengetahui keberadaan, keberlakuan, dan pengembangan hukum dalam masyarakat. Dalam studi ini adalah bagaimana keberadaan, keberlakuan, dan pengembangan kebijakan keselamatan perkeretaapian di kota Depok. Penelitian Inl diwali dengan melakukan eksplorasi dan mengidentifikasi keberadaan "institusi-institusi" yang terkait dengan keselamatan transportasi darat. Kemudian, akan dilakukan identifikasi peraturan-peraturan yang berlaku baik berupa peraturan tingkat nasional maupun daerah. Dari hasil identifikasi peraturan yang berlaku, penelitian lebih lanjut melakukan eksplorasi terhadap pemahaman para birokrat maupun penegak hukum terhadap peraturan peraturan tersebut. Disamping tersebut penelitian juga melakukan survey terhadap kepada pemakai jasa transportasi dan juga penyedia alat transportasi berkaitan dengan pemahaman terhadap peraturan keselamatan transportasi. Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah berupa data primer maupun data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan observasi lapangan terhadap individu, insititusi, maupun otoritas yang berkompeten. Antara lain adalah masyarakat pengguna moda transportasi darat di Depok, baik pengguna jalan maupun kereta api. Baik pengguna transportasi umum maupun pribadi. Juga. Wawancara mendalam juga akan dilakukan terhadap otoritas yang berkompeten di bidang transportasi darat seperti Departemen perhubungan, Dinas perhubungan setempat, DLLAJR, dan Kepolisian. Data sekunder yang menjadi fokus penelitian ini adalah berupa bahan hukum primer terkait dengan kebijakan-kebijakan baik berupa Undang Undang, Peraturan Pemerintah, Keppres, KepMen, dan lain-lain yang berhubungan dengan keselamatan transportasi darat. Kemudian juga data sekunder yang lain seperti buku, jurnal, artikel, hingga bahan-bahan di internet. Selanjutnya, data-data dan temuan tersebut akan dianalisis secara kualitatif maupun kuantitatif. Dengan demikian, metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan kombinasi dari survai, observasi, wawancara mendalam (in depth interview) dan juga anal isis kebijakan. Metode tersebut

54 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI dipilih karena dapat menjarmg berbagai informasi berkaitan dengan keberlakuan kebijakan keselamatan perkeretaapian. Dengan menggunakan questionnaire dan pedoman wawancara (interview guide) mendalam sebagai alat pengambil data (instrument), datadata yang bersifat kuantitatif dan kualitatif dikumpulkan. Data kuantitatif dikumpulkan guna menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang terkait dengan keberlakuan kebijakan keselamatan perkeretaapian dan pemahaman serta kepatuhan dari operator dan pengguna jasa kereta api. Sedangkan data kualitatif yang diperoleh dipergunakan untuk menjawab pertanyaanpertanyaan penelitian tentang isntitusi apa saja yang terkait dengan kebijakan keselamatan perkeretaapian serta kebijakan keselamatan perkeretaapian apa saja yang saat ini berlaku, baik secara umum maupun secara kbusus di kota Depok. Data-data yang sifatnya kuantitatif diolah dan dianalisis dengan menggunakan Statistical Package for Social Science (SPSS) sedangkan datadata yang bersifat kualitatif dianalisis dan dimanfaatkan untuk memberikan penjelasan mendalam dari data-data kuantitatif yang ada. Analisis kebijakan difokuskan pada seberapa jauh kebijakan keselamatan perkeretaapian telah mengakomodasi kepentingan stakeholders (pengguna, operator, investor maupun masyarakat secara keseluruhan). Analisis kebijakan ini diharapkan dapat menemukan kelemahankelemahan atau masalah-masalah dalam implementasi kebijakan perkeretaapian sehingga hasil penelitian ini bisa dimanfaatkan sebagai acuan dalam pengembangan kebijakan keselamatan perkeretaapian di masa datang. VII. HasH dan Pemhahasan Perkeretaapian adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan sarana, prasarana, dan fasilitas penunjang kereta api untuk penyelenggaraan angkutan kereta api yang disusun dalam satu sistem (Vide pasal I UU No. 13 tahun 1992 tentang jo UU No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian). Fasilitas keselamatan perkeretaapian adalah perangkat bangunan, peralatan, dan pedengkapan, yang digunakan untuk menunjang kelancaran dan keselamatan perjalanan kereta api (Vide pasal I UU No. 13 tahun 1992 jo UU No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian). Terkait dengan kebijakan keselamatan perkeretaapian, tanggungjawab utama atas keselamatan perkeretaapian terletak pada pemerintah dan badan penyelenggara sebagaimana termaktub dalam pada bab V UU No. 13 tahun 1992 tentang Perkeretaapian mengenai sarana dan prasarana.

Kebijakan Keselamatan Perkeretaapian di Depok, Prasanthi dan Nati 55 Kebijakan keselamatan merupakan tanggung jawab dan komitmen manajemen yang menjadi landasan bagi Sistem Manajemen Keselamatan sebuah organisasi. Kebijakan akan memberikan kerangka untuk peneapaian target dan sasaran keselarnatan seeara menyeluruh. Kebijakan harus disetnjui oleh pimpinan tertinggi organisasi atau senior manajemen. Kebijakan keselamatan, meneakup di dalamnya peran dan tanggung jawab manajemen senior dan pengaturan sumber daya untnk melaksanakan Sistem Manajemen Keselamatan serta integrasinya dengan proses manajemen lainnya seperti bisnis dan keuangan. Kebijakan juga berisi pernyataan komitmen manajemen untnk mentaati peraturan perundangan yang berlaku. Kebijakan keselarnatan harus selaras dengan lingkup bisnis penyelenggara yang digariskan oleh perusahaan dan menyatakan seeara jelas dan rinei tanggungjawab serta strategi untnk memenuhi tanggungjawabnya. Kebijakan keselarnatan harus dikomunikasikan kepada seluruh jajaran organisasi sehingga pekerja mengetahui dan sadar akan komitruen perusahaannya terhadap keselamatan hingga dapat memberikan motivasi kepada seluruh jajaran di dalam organisasi dalarn menyediakan sumber daya dan keterlibatan pekerja untnk mencapai komitruen perusahaan dan targettargetnya di masa depan. Kebijakan keselarnatan harus berisi komitruen seluruh jajaran manajemen dan pekerja. Manajemen harus berkomitmen terhadap penyediaan sumber daya untnk memelihara Sistem Manajemen Keselamatan (SMK). Manajemen harus membahas bersarna pekerja dan sepakat untnk menerima dan melaksanakan kebijakan tersebut. Sumber daya yang tersedia untnk manajemen keselarnatan sarna pentingnya seperti sumber daya lainnya dalam organisasi. Apabila sumber dayanya tidak terpenuhi maka tanggung jawab tersebut tidak dapat terlaksana, terutama dalarn pemenuhan jumlah pekerja keselarnatan yang kompeten, seperti sumber daya lainnya. Kebijakan keselamatan tersebut sarna hajnya dengan Sistem Manajemen Keselarnatan harus dikaji ulang secara berkala. Perusahaan harus memastikan bahwa melalui kajian secara berkala dan stndi banding, kebijakan dan pelaksanaannya disesuaikan dengan perubahan teknologi, praktek-praktek di lapangan, struktnr organisasi serta tatanan hukum dan sosial masyarakat. Kebijakan keselarnatan harus menyatakan sasaran atau target keselamatan dan komitruen yang ingin dieapai. Sasaran keselamatan harus mencakup sasaran kerja yang bersifat kualitatif dan kuantitatif dalarn memelihara maupun meningkatkan kinerja keselamatan. Komitruen harus secara spesifik menetapkan rencana dan prosedur untnk mencapai sasaran kinerja terse but.

56 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI Pemisahan antara penyelenggara prasarana dan sarana yang diatur dalam UU No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian merupakan perubahan mendasar dalam manajemen kereta api. Oleh sebab itu, pengelolaan organisasi dalam struktur yang baru tersebut harus disepakati di antara pimpinan tertinggi penyelenggara. Pimpinan perusahaan yang bertanggungjawab harus menyepakati bersama kebijakan keselamatan kedua organisasi karena keterkaitan satu dengan yang lainnya sehingga kebijakan realistis dan konsisten dengan organisasi lainnya. Setiap organisasi harus secara jelas menyatakan komitmennya dalam menciptakan sistem transportasi kereta api yang aman, yang tidak dapat dicapai oleh satu penyelenggara saja. Masing-masing organisasi harus diatur sedemikian dan mempunyai motivasi untuk bekerjasama dalam menciptakan sistem transportasi kereta api yang aman. Tekanan komersial maupun sasaran produksi kadang kala bertentangan dengan pengorganisasian Sistem Manajemen Keselamatan sehingga hal tersebut dapat berdampak secara langsung terhadap kinerja keselamatan. Oleh sebab itu, perusahaan harus bersungguh-sungguh pada dirinya agar peraturan keselamatan tetap ditegakkan walaupun mendapat tekanan finansial. VIII. Kebijakan Keselamatan Perkeretaapian di Indonesia Kebijakan keselamatan perkeretaapian Iodonesia terserak dalam pelbagai perundang-undangan. Kebijakan yang utama adalah pada UU No. 13 tahun 1992 jo UU No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian berikut peraturan perundang-undanganan derivatifnya. Kemudian, karena masalah perkeretaapian amat terkait dengan keselamatan kerja, maka keselamatan perkeretaapian juga tunduk pada UU tentang Keselamatan Kerja tahun 1970 dan perlbagai peraturan derivatifnya. Keselamatan KA sedikit banyak terkait juga dengan kebijakan publik. Kebijakan pemerintah Indonesia mengenai KA cenderung belum menganggap KA sebagai mod a transportasi publik yang utama (primary public transportation). Buktinya adalah pemerintah lebih suka membangun jalan tol daripada jalur dan sarana perkeretaapian. Organisasi perkeretaapian Iodonesia sebelumnya berada di bawall Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, namun sejak Juli 2005 berpindah ke bawah Direktorat Jenderal Perkeretaapian (tetap di bawah Departemen Perhubungan), yang terdiri atas tiga direktorat antara lain: direktorat perjalanan dan lalu lintas kereta api, direktorat teknik dan fasilitas, serta direktorat keselamatan. Sayangnya, uraian kerja (job description) dari masing-masing direktorat tersebut belum jelas.

Kebijakan Keselama tan Perkeretaapian di Depok, Prasanth; dan Nat; 57 IX. Kereta Api Perkotaan dan Peran PT. Kereta Api (perscro) Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007, perkeretaapian menurut fungsinya dibedakan alas perkeretaapian umum (yank terdiri alas perkeretaapian perkotaan dan antar kota) dan perkeretaapian khusus. Selanjutnya dinyatakan bahwa tatanan perkeretaapian umum meliputi perkeretaapian nasional, perkeretaapian provinsi, dan perkeretaapian kabupatenlkota (pasal 6). Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung terpenuhinya kebutuhan masyarakat perkotaan akan moda transportasi yang dapat diandalkan dan terjangkau. Kondisi perkotaan yang semakin padat memerlukan tersedianya sistem transportasi massal agar mobililas angkutan di perkotaan menjadi lebih berdaya guna dan berhasil guna. Namun demikian dalam kenyataannya peran dari angkutan perkeretaapian di wilayah perkotaan masih sangat terbatas. Perkeretaapian di wilayah perkotaan saat ini baru berkembang di wilayah labodetabek. Jumlah penduduk di wilayab ini pada tahun 2001 telab mencapai lebih kurang 21 juta orang. Dari jumlah tersebut angkutan massal perkeretaapian labodetabek baru mampu melayani sebanyak 394.000 orang yang berarti kurang dari 2% (bandingkan dengan bus 40% dan sisanya yang sebagian besar adalah kendaraan bermotor lainnya). Masih rendahnya peran dan market share angkutan perkeretaapian perkotaan di labodetabek terutama karena terbatasnya kapasitas angkut yang ditentukan oleh prasarana, sarana dan manajemen, serta sistem pengoperasian. Kondisi perkeretaapian (baik kereta listrik (KRL) maupun kereta disel (KRD)) masih terbatas dan belum handal, seperti yang nampak dalam tebel berikut ini. X. Profil Kota Depok Kota Depok bermula dari sebuah Kecamatan yang berada dalam lingkungan Kawedanan (pembantu Bupati) wilayab Parung, Kabupaten Bogor. Sejak tahun 1976, pembangunan di wilayab tersebut berkembang dengan pesa!. Perumahan masyarakat mulai dibangun, baik oleh Perum Perumnas maupun pengembang lainnya. Dibangunnya kampus Universitas Indonesia dan juga kem'\iuan dalam bidang perdagangan dan jasa, merupakan pendorong lain untuk meningkatkan kecepatan pemerintah dalam memberikan pelayanan. Pada tabun 1981 Pemerintah membentuk Kota Administratif Depok berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 43 tabun 1981 yang peresmiannya dilaksanakan pada tanggal 18 Maret 1982 oleh Menteri Dalam Negeri (H. Amir Machmud), yang terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan dan 17 (tujuh belas)

58 Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI Desa. Kota Administratif ini selama kurun waktu 17 tahun berkembang dengan cepat. Semua Desa yang ada kemudian berubah menjadi Kelurahan dan kemudian dilakukan pula pemekaran Kelurahan, sehingga pada saat itu Depok terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan. Semakin pesatnya perkembangan Kota Administratif Depok dan adanya tuntutan masyarakat untuk mengoptimalkan pelayanan, mendesak Pemerintah untuk meningkatkan status Kota Administratif Depok menjadi Kotamadya. Perubahan status tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 1999, tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok, yang ditetapkan pada tanggal 20 April 1999. Peresmian kotamadya baru ini dilakukan pada tanggal 27 April 1999 bersamaan dengan pelantikan Pejabat Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Depok Drs. H. Badrul Kamal yang sebelumnya menjabat sebagai Walikota Kota Administratif Depok. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1999, wilayah kota Depok meliputi Kota Administratif Depok (yang terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan) ditambah dengan sebagian wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor yang terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan dan 5 (lima) Desa. Dalam perkembangannya, kota Depok selain merupakan pusat pemerintahan yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, juga merupakan wilayah penyangga Ibu Kota Negara, yang diarahkan sebagai kota pemukiman, kota pendidikan, pusat pelayanan perdagangan dan jasa, kota pariwisata, dan juga sebagai kota resapan air. Depok merupakan salah satu wilayah termuda di Jawa Barat dengan luas wilayah sekitar 200,29 Km2 di mana bentuk pelayanan publik seperti berbagai perij inan cenderung berlokasi di pusat kota, sedangkan pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dll beberapa di antaranya sudah bisa langsung dirasakan di desa (Pemda Depok, 2006). Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 1999, wilayah Kota Depok dibagi ke dalam 6 kecamatan, meliputi: a) Kecamatan Beji; b) Kecamatan Pancoran Mas; c) Kecamatan Sukmajaya; d) Kecamatan Limo; e) Kecamatan Cimanggis; f) Kecamatan Sawangan. Sampai dengan tahun 2006, Kota Depok mempunyai 63 kelurahan, 818 Rukun Warga (RW), dan 4.494 Rukun Tetangga (RT)(BPS Kota Depok, 2006). Jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2006 mencapai 1.420.480 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,44% di mana setiap Km2 wilayahnya ditempat oleh sekiotar 7088 orang (BPS, 2006). Berdasarkan hasil proyeksi BPS, dalam 5-10 tahun ke depan wilayah Kota Depok akan menjadi semakin pada!. Hasil Survai Sosial Ekonomi Nasional tahun 2005 memberikan gambaran bahwa pada tahun tersebut angkatan kerja di Kota Depok sejumlah

Kebijakan Keselamatan Pe rkeretaapian di Depok, Prasanthi dan Nati 59 54,5% yang terdiri atas penduduk bekerja 46,02% dan pengangguran sekitar 8,48%. Sisanya, sejumlah 45,5% merupakan penduduk bukan angkatan kerja. Sebagian besar penduduk bekerja di sektor jasa (29,14%) dan perdagangan (27,79%). Lokasi kerja penduduk Kota Depok di sektor tersebut banyak ditemukan di wijayah kota bagian tengah, terutama di sepanjang jalan Margonda, dan kawasan perumahan di wilayah kota bagian utara yang berdekatan dengan Jakarta, yaitu Kecamatan Limo, Kecamatan Beji, Kecamatan Sukmajaya, dan Kecamatan Pancoran Mas bagian utara. Selain kegiatan ekonomi di bidang jasa dan perdagangan dapat pula ditemukan kegiatan industri. Kegiatan ini sebagian besar berkembang di Kecarnatan Cimanggis dan Kecamatan Sukmajaya (wilayah kota bagian timur), yaitu sepanjangjalan raya Bogor. Kegiatan industri yang ada meliputi jenis industri besar, menengah, dan kecil. Kegiatan industri besar yang berkembang berupa industri pengolahan, seperti industri elekronika, industri obat, dan industri kimia. Sedangkan industri menengah dan kecil yang banyak dijumpai adalah industri konveksi, industri makanan ringan, pembuatan furniture, dan lain sebagainya. Kegiatan ekonomi pertanian masih ban yak terdapat di Kecamatan Sawangan, Kecamatan Pancoran Mas bagian selatan, dan sedikit di Kecamatan Limo (wilayah kota bagian barat). Produksi dari kegiatan ini merupakan pendukung kelangsungan kegiatan perkotaan, terutama bagi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. XI. Keberlakuan dan Pengembangan Kebijakan Perkeretaapian di KotaDepok A. Transportasi dan Layanan PT. Kereta Api (persero) Cabang KotaDepok Menurut Laporan Antara Departemen Perhubungan (2004) kebijakan transportasi kota Depok mengacu kepada studi transportasi yang pernah dilakukan di DKI Jakarta, yaitu Study on Integrated Transportation Masterplan II (SITRAMP II), Rencana Jaringan Jalan Tol, dan Pola Transportasi Makro DKI Jakarta. Kebijakan ini sesuai dengan Review Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN) edisi Desember 2003 di mana kota Depok ditetapkan sebagai kota sate lit dan mempunyai fungsi sebagai pusat kegiatan nasion3j (PKN) bersama-sama dengan kota Bogor, kota Tangerang, dan kota Bekasi, sedangkan DKI Jakarta ditetapkan sebagai kota intinya. Penetapan kota Depok dan beberapa kota lainnya dalam konstelasi ruang kawasan andalan DKI Jakarta mengakibatkan tejjadinya

60 )urnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI peningkatan jumlah perjalanan dari BODET ABEK ke Jakarta hingga 10 kalinya pada tahun 2007 dibandingkan tahun 1985 (Susantono, 2005). Dinyatakannya pula bahwa setiap hari lebih dari 600.000 kendaraan dari BODETABEK ke Jakarta dengan pola perjalanan yang konsentrik radial (menuju ke tengah kota). Moda transportasi darat selain kendaraan pribadi dan umum yang tersedia di wilayah kota Depok adalah kereta api listrik (KRL). Dalam wilayah kota tersebut ditemukan 5 (lima) buah stasiun yang merupakan bagian dari PT. Kereta Api (Persero) Cabang Kota Depok, yaitu stasiun Pond ok Cina, stasiun Depok Baru, stasiun Depok Lama, stasiun Universitas Indonesia (UI), dan stasiun Citayam. Dari tabel berikut dapat dilihat bahwa lebih dari 13 juta orang menggunakan jasa angkutan kereta api listrik pada tahun 2007 dengan total nilai karcis kereta api yang terjual sejumlah hamper 46 milyar rupiah. B. Restrukturisasi Perkeretaapian dan Implikasinya Bagi Kota Depok Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian pada bulan Maret 2007 menuntut dilakukannya perubahan dalam pengorganisasian perkeretaapian. Sebelum diundangkannya ketentuan baru perkeretaapian terse but pemerintah sebagai pembuat kebijakan telah melakukan beberapa persiapan untuk pembenahan. Melalui Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia, khususnya pasal 10, ditetapkan bahwa tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perkeretaapian dilakukan oleh unit kerja setingkat eselon I, yaitu Direktorat lenderal Perkeretaapian, Departemen Perhubungan. Hal ini dapat diartikan sebagai kenaikan peringkat unit keija dari eselon II menjadi eselon I karena selama ini tugas tersebut hanya dilakukan oleh unit kerja eselon II yaitu Direktorat Perkeretaapian, yang berada di bawah Direktorat lenderal Perhubungan Darat sebagai unit kerja eselon I. Dalam struktur organisasi awal, penugasan Direktorat Perkeretaapian (sebagai unit kerja eselon II) diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 24 Tahun 2001. Menurut Keputusan Menteri terse but Direktorat Perkeretaapian melaksanakan tugas pokok perumusan kebijakan, bimbingan teknis dan pemberian izin, sertifikasi, akreditasi, rekomendasi, pengesahan serta evaluasi di

Kebijakan Keselamatan Perkeretaapian di Depok, Prasanthi dan Nati 61 bidang perkeretaapian secara terpadu dengan intra dan antar moda transportasi. Dalam struktur organisasi barn yang dipersiapkan menjelang berlakunya Undang-Undang Perkeretaapian Nomor 23 Tahun 2007, kenaikan peringkat unit kejja penanganan kebijakan perkeretaapian dinilai oleh banyak pengamat sebagai keputusan yang cerdas dan tepat (Bulkin, 2005) karena selama beberapa dekade perkembangan perkeretaapian di Indonesia sangat lamban bahkan mengalami stagnasi, kalau tidak bisa didatakan makin memburuk, baik dari sisi pemberian pelayanan dan juga keselamatan penumpang, maupun dari sisi pengembangan jaringan prasarana kereta api. Bulkin (2005) menyatakan bahwa salah satu penyebab utama menurunnya kinerja perkeretaapian adalah masih digunakannya paradigma lama dalam pengembangan perkeretaapian nasional yaitu menganggap bahwa semua kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan perkeretaapian bersifat monolithic natural monopoly sehingga tanggung jawab pengembangannya dilakukan terpusat oleh pemerintah pusat, serta pengelolaannya, baik prasarana maupun sarana dimonopoli oleh satu badan usaha milik negara saja, yaitu PT. Kereta Api (Persero) tanpa melibatkan pemerintah daerah maupun partisipasi pihak swasta. lose Carbajo (1996), Ioannis N.Kessides (1995), dan Antonio Estache (2002) seperti yang dikutip oleh Bulkin (2005) beranggapan bahwa paradigma semacam ini telah banyak ditinggalkan, baik oleh negara-negara maju maupun berkembang, sejak tahun 1990. Dinyatakannya bahwa telah terjadi pergeseran paradigma dalam bidang perekeretaapian. Paradigma lama digeser oleh paradigma baru yang menganggap bahwa tidak semua kegiatan pengelolaan perkeretaapian bersifat monolithic natural monopoly, tetapi dapat dilakukan pemilahan secara vertikal maupun horizontal terhadap kegiatan perkeretaapian dengan memisahkan kegiatan-kegiatan mana saja yang bersifat monopoli (contoh penyediaan prasarana) yang lebih efisien apabila dilakukan oleh pemerintah, dan kegiatan-kegiatan mana yang bisa diswastakan (contoh pengoperasian sarana) agar dapat diciptakan kompetisi antar operator kereta api sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan menumbuhkan inovasi baru dalam pengembangan perkeretaapian. Direktorat lenderal Perkeretaapian dibentuk untuk memenuhi kebutuhan itu. Dasar hukum pendiriannya adalah Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia dan Peraturan

62 lurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia. Adapun visi Direktorat ini adalah untuk mewujudkan pelayanan angkutan penumpang dan barang secara massal yang handal, aman, selamat, terpercaya, serta terjangkau. Sedangkan misinya adalah meningkatkan peran kereta api sebagai angkutan publik, sebagai tulang punggung angkutan barang, dan sebagai pelopor terciptanya angkutan terpadu. C. Peluang dan Tantangan Bagi Kota Depok dalam Pengembangan Perkeretaapian Berdasarkan informasi dari Biro Hukum Pemkot Depok dan juga Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, Pemerintah Kota Depok belum memiliki Direktorat Khusus yang menangani masalah perkeretaapian. Sarna halnya dengan kebijakan, hingga studi ini dilakukan, pemerintah kota Depok belum memiliki kebijakan terkait perkeretaapian apakah dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) maupun Keputusan Gubernur. Maka, ketika kebijakan umum perkeretaapian belum ada, dapat dipahami bahwa kebijakan khusus terkait dengan keselamatan perkeretaapian juga belumlah ada. Pengelolaan perkeretaapian antara pihak Pemerintah Kota dan PT KA juga masih simpang siur. ReI kereta api Jakarta - Bogor melintasi kota Depok dan terdapat lima stasiun KA di kota Depok (Stasiun VI, Pondok Cina, Depok Baru, Depok Larna dan Citayam), namun pengelolaan sarana dan prasarana, termasuk pengamanan perlintasan masih dikendalikan oleh PT KA. Lima stasiun KA di kota Depok ini juga memiliki karakteristik berbeda-beda. Stasiun VI, karena lokasinya di dalam kampus UI dan areanya sempit, hanya memiliki dua jalur KA. Sisi timur stasiun telah dimanfaatkan untuk kios-kios pedagang. Stasi un Pondok Cina, hampir sarna seperti stasiun UI karena berlokasi di antara Kampus UI, Kampus Universitas Gunadharma, dan pemukiman yang rata-rata rumah kost dan bisnis terkait pendidikan, juga hanya memiliki dua jalur KA. Namun stasiun ini terlihat lebih rarnai karena berada di pertigaan/perlintasan mobil dan sepeda motor dari arah Margonda Raya menuju Kampus VI dan Karnpus Universitas Gunadarma. Stasiun KA Depok Barn adalah yang paling megah dan lengkap. TerIetak persis di belakang terminal Depok dan Gedung Walikota Depok, juga di tepi jalan utama Arif Rahman Hakim, maka amat wajar bahwa stasiun ini amat rarnai. Di stasiun ini tersedia empat jalur KA

Kebijakan Kese/amatan Perkeretaapian di Oepok, Prasanthi dan Nati dan juga kantor yang terletak melintang di atas rei di lantai 2. Stasiun ini juga tampak dapat menarik investor karena terdapat iklan rokok Gudang Garam di sepanjang emplasemen KA. Stasiun KA Depok Lama juga memiliki empat jajur KA. Tidak seramai stasiun Depok Barn namun terlihat lebih bersih dan tidak begitu dipadati pemukiman di kanan kirinya. Namun sepertinya stasiun ini belum dapat menarik investor karena terlihat sepi dari papan advertis ing dan sejenisnya. Stasiun Citayam memiliki karakteristik seperti stasiun konvensional Tidak sebersih dan seramai stasiun KA lain di kota Depok, namun memiliki posisi slrategis karena di sekitarnya banyak perkampungan dan kompleks perumahan. Tak jauh dari sta~iun juga ada perlintasan yang senantiasa ramai dilintasi kendaraan yang akan menuju atau telah melintasi pasar Citayam yang ramai dan sering menimbulkan kemacetan. Perlintasan KA di kota Depok tidak begitu banyak. Ada dua perlintasan terpadat yaitu yang melintasi jalan Arif Rahman Hakim dan jalan Dewi Sartika. Di jalan Arif RaJunan Hakim telah dibangun fly over sehingga lebih aman dari kemungkinan tabrakan antara KA dengan pengendara mobil ataupun motor. Perlintasan lain masih berupa perlintasan konvensional dan tradisional namun volume kendaraan yang melintasinya tidak begitu besar. Kendati demikian, perlintasan tradisional ini berpotensi menimbulkan masalah karena tidak ada petugas yang menjaganya. XII. Kesimpulan dan Rekomendasi Meskipun UU No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian telah memberi peluang bagi sektor swasta maupun pemerintah daerah untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan jasa Kereta Api, namun Pemerintah Daerah Depok masih mengganggap terlalu dini untuk berpartisipasi dalam wilayah tersebut dengan alasan: I. Peraturan Pemerintah-nya masih belum tersedia sehingga belum ada petunjuk yang sifatnya lebih operasional; 2. Peraturan Pemerintah yang lama sendiri kurang mengakomodasi sektor swasta maupun pemerintah daerah; 3. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah nampaknya Pemerintah Pusat masih ragu untuk melimpahkan sebagian urusannya kepada Pemerintah

64 )umal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Nata/is 85 Tahun FHUI Daerah karena kurang disertai luklakl Juknis yang jelas untuk pemerintah daerah. Karena fokus pemerintah Kota Depok masih pada pengembangan transportasi darat, maka sampai saat ini belum ada sedikitpun kebijakan yang mengatur ten tang perkeretaapian. Sebagian alasannya antara lain kekhawatiran membutuhkan investasi yang cukup besar, dan akan mendapatkan hambatan ataupun kesulitan dalam menjalin koordinasi dengan Ditjen Perhubungan Darat dan Ditjen Perkeretaapian. Untuk mengoptimalkan keselamatan dalam penyelenggaraan perkeretaapian diperlukan adanya institusi khusus yang bertanggurigjawab atas masalah tersebut. Di tingkat regulator, institusi keselamatan perkeretaapian diperlukan untuk meningkatkan kelaikan kondisi sarana kereta api untuk keselamatan dan kelancaran operasional kereta api. Keterlibatan aktif pemerintah daerah, dalam hal ini adalah Pemkot Depok dalam pembangunan perkeretaapian belum nampak walau telah diberikan kewenangan oleh UU Perkeretaapian yang barn untuk ikut menyelenggarakan perkeretaapian di wilayahnya. Institusi yang bertanggungjawab atas keselamatan perkeretaapian baru ada pada level pusat, dalam perannya sebagai regulator, sedangkan dalam lingkup pemerintah daerah belum ada. Di tingkat operator, divisi keselamatan perkeretaapian dalam struktur organisasi PT. KAI yang baru (2005) belum berfungsi sesuai dengan harapan. Sejak ada Surat Keputusan pembentukannya pada tahun 2005, baru pada tahun 2007 pejabat yang diberi tanggungjawab untuk mengurus dilantik oleh Direktur Utama PT. KAI. Melihat kebutuhan transportasi jangka panjang ke depan, maka transportasi darat melalui jalan raya yang saat ini dikembangkan oleh Pemkot Depok, suatu saat akan terbentur pada ketersediaan lahan dan keterbatasan prasarana. Oleh karena itu, transportasi darat dengan moda Kereta Api harns dikembangkan oleh Pemkot Depok karena UU telah menjamin dan memberi kesempatan kepada Pemda, disamping wilayah tersebut belum banyak tersentuh oleh kebijakan Pemkot Depok sendiri. Sambil menunggu PP tentang sarana dan prasarana lahir, seyogyanya Pemkot Depok mulai membuat rencana penyusunan kebijakan untuk mengembangkan transportasi darat melalui perkeretaapian. Demikian juga pemerintah pusat agar segera menyelesaikan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Sarana dan Prasarana menjadi Peraturan Pemerintah (PP). Melalui UU perkeretaapian yang baru, peran sebagai regulator perkeretaapian saat ini tidak hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat namun juga pemerintah daerah sehingga setiap level pemerintahan wajib