BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI SITA DALAM HUKUM PERDATA. Penyitaan berasal dari terminology beslag (Belanda), 17 dan istilah Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
SEKITAR PENYITAAN. Oleh A. Agus Bahauddin

SEKITAR PENYITAAN. (Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

BAB II TINJAUAN UMUM PENYITAAN. Penyitaan berasal dari terminologi Beslag (Belanda), dan didalam istilah bahasa indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

hal 0 dari 11 halaman

mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian pinjam meminjam yang dimana pinjaman berupa uang dari pihak kreditur, sebagaimana diungkapkan oleh para

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

A. Pelaksaan Sita Jaminan Terhadap Benda Milik Debitur. yang berada ditangan tergugat meliputi :

JENIS SITA. Sita Jaminan thdp barang milik Debitur/Tergugat (Conservatoir Beslag) Sita Jaminan thdp barang bergerak milik Penggugat :

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan. Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan

EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN DAPAT DITERIMANYA CONSERVATOIR BESLAG SEBAGAI PELAKSANAAN EKSEKUSI RIIL ATAS SENGKETA TANAH

oleh: Dr.H.M. Arsyad Mawardi, S.H.,M.Hum (Hakim Tinggi PTA Makassar) {mosimage}a. PENDAHULUAN

BAB II PUTUSAN SERTA MERTA DALAM KEPAILITAN. A. Tinjauan Umum Tentang Putusan Serta Merta

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

BAB II PERMOHONAN SITA JAMINAN ATAS SEBIDANG TANAH YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN OLEH PIHAK KETIGA

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

PENYELESAIAN PERKARA GUGATAN PIHAK KETIGA /DERDEN VERZET

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

ABSTRAK Latar belakang

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PELAKSANAAN SITA JAMINAN ATAS HARTA PERKAWINAN DALAM PERKARA PERCERAIAN VERAWATY KOJUNGAN / D

BAB I PENDAHULUAN. yang menentukan tingkah laku. Situasi yang demikian membuat kelompok itu

MASALAH PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PA PURWODADI TENTANG KUMULASI GUGATAN. A. Analisis terhadap Putusan PA Purwodadi tentang Kumulasi Gugatan

KEJURUSITAAN PENGADILAN

PROSES SIDANG PERDATA DI PENGADILAN NEGERI PUTUSSIBAU

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

BAB IV MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA. A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Menggunakan atau Tidak

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan diantara mereka. Gesekan-gesekan kepentingan tersebut biasanya menjadi sengketa hukum

BAB I PENDAHULUAN. menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Oleh karena

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185.

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS

Kecamatan yang bersangkutan.

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN SITA JAMINAN ATAS BENDA BERGERAK PADA PENYELESAIAN PERKARA PERDATA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SEKITAR PEMERIKSAAN SETEMPAT DAN PERMASALAHANNYA ( Oleh : H. Sarwohadi, S.H.,M.H. Hakim Tinggi PTA Mataram )

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

TENTANG DUDUK PERKARANYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh kembali hak-haknya yang dilanggar ke Pengadilan Negeri


BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. Didalam Hukum Acara Perdata terdapat dua perkara, yakni perkara

BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI. mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan

REKONVENSI YANG DIAJUKAN SECARA LISAN DALAM PERSIDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

EKSEKUSI TANAH TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA Muhammad Ilyas,SH,MH Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar

BAB I PENDAHULUAN. penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan

BAB 2 EKSEKUSI. cet.2, ed. revisi, (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 276

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

DERDEN VERZET (Oleh : Drs. H. M. Yamin Awie, SH. MH. 1 )

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB I. Eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang

E K S E K U S I (P E R D A T A)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

SITA. Hukum Acara Perdata - FH UNS

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM

BAB II PENGATURAN PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA. A. Penangguhan Penahanan Menurut HIR dan KUHAP

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS DATA. 1. profil pengadilan agama malang. No. 1, Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, dengan

Hukum Acara Perdata Pertemuan Ke-2

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN PERKARA CERAI GUGAT (Studi Putusan Nomor 0164/Pdt.G/2014/PA.Mlg)

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI SITA DALAM HUKUM PERDATA A. Pengertian Sita dalam Hukum Perdata Penyitaan berasal dari terminology beslag (Belanda), 17 dan istilah Indonesia beslah tetapi istilah bakunya ialah sita atau penyitaan.kamus hukum ekonomi memberi pengertian penyitaan adalah penitipan barang sengketa kepada pihak ketiga, yang ditunjuk oleh pihak-pihak yang bersengketa atau oleh pengadilan.pihak ketiga wajib menyerahkan barang sengketa itu kepada pihak yang dinyatakan berhak setelah terdapat keputusan pengadilan. 18 M. Yahya Harahap sendiri memberi pengertian penyitaan adalah : Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berda ke dalam keadaan penjagaan (to take into custody the property of a defendant), Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official) berdasarkan perintah pengadilan atau hakim. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atau pelunasan utang debitur atau tergugat, dengan jalan menjual lelang (executorial verkoop) barang yang disita tersebut, 17 Marianne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (dalam) M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 282. 18 Sri Rejeki Hartono, Paramita Prananingtyas, dan Fahima, Kamus Hukum Ekonomi, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hal.169.

Penetapan dan penjagaan barang yang disita, berlangsung selama proses pemeriksaan, sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan itu. Sedangkan menurut Wildan Suyuthi, sita (beslag) adalah tindakan hukum Pengadilan atas benda bergerak ataupun benda tidak bergerak milik Tergugat atas pemohonan Penggugat untuk diawasi atau diambil untuk menjamin agar tuntutan Penggugat/Kewenangan Penggugat tidak menjadi hampa. Dalam pengertian lain dijelaskan, bahwa sita adalah mengambil atau menahan barang-barang (harta kekayaan dari kekuasaan orang lain) dilakukan berdasarkan atas penetapan dan perintah Ketua Pengadilan atau Ketua Majelis. 19 Memperhatikan pengertian tersebut, dapat dikemukakan beberapa esensi fundamental sebagai landasan penerapan penyitaan yang perlu diperhatikan. 20 1. Sita merupakan tindakan eksepsional Memang hukum acara memperbolehkan dilakukan tindakan penyitaan terhadap harta kekayaan debitur atau tergugat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 227 jo. Pasal 197 HIR. Pasal 720 Rv pun mengatur kebolehan penyitaan. Bahkan hukum materil sendiri membenarkannya.misalnya, Pasal 1131 KUH Perdata menegaskan, seluruh harta debitur menjadi tanggungangan pembayaran utangnya kepada kreditor.namun demikian perlu diingat, penyitaan merupakan tindakan hukum yang bersifat eksepsional.hir sendiri menempatkan Pasal 226, Pasal 227 tersebut pada 19 Wildan Suyuthi, Sita Eksekusi: Praktek Kejurusitaan Pengadilan, PT. Tatanusa, Jakarta, 2004, hal. 20. 20 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 282-285.

bagian Keenam, yang diberi judul Tentang Beberapa Hal Mengadili Perkara yang Istimewa.Jadi, menurut judul ini, penyitaan termasuk salah satu acara mengadili yang bersifat istimewa. Letak sifat istimewa atau eksepsional penyitaan adalah : a. Penyitaan memaksakan kebenaran gugatan Sesuai dengan ketentuan Pasal 227 HIR maupun Pasal 720 Rv, penggugat dapat meminta agar diletakkan sita terhadap harta kekayaan tergugat. Atas permintaan tersebut, hakim diberi wewenang mengabulkan pada tahap awal, sebelum dimulai proses pemeriksaan perkara. Dengan demikian, tanpa memperdulikan kebenaran dalil gugatan yang diajukan kepada tergugat, hakim atau pengadilan bertindak memaksakan kepada tergugat kebenaran dalil penggugat, sebelum kebenaran itu diuji dan dinilai berdasarkan fakta-fakta melalui proses pemeriksaan. Inilah salah satu sifat eksepsional tindakan penyitaan.kepada hakim diberi kewenangan meletakkan sita terhadap harta kekayaan tergugat melalui sistem pemaksaan kebenaran dalil gugatan penggugat, sebelum gugatan itu sempurna diperiksa dan dinilai. b. Penyitaan membenarkan putusan yang belum dijatuhkan Sekiranya pun tindakan dilakukan hakim, sesudah proses pemeriksaan pokok perkara berlangsung, hal itu tetap diambil mendahului putusan. Seolah-olah kepada tergugat dipaksakan kebenaran putusan yang menyatakan dirinya wanprestasi atau

melakukan Perbuatan Melawan Hukum, sebelum putusan yang bersangkutan diambil dan dijatuhkan.meskipun demikian, oleh undang-undang memberi wewenang kepada hakim meletakkan sita sebagai tindakan eksepsional hakim dapat menghukum tergugat berupa tindakan menempatkan harta kekayaan di bawah penjagaan, meskipun putusan tentang kesalahannya belum dijatuhkan.dengan demikian, sebelum putusan diambil dan dijatuhkan, tergugat telah dijatuhi hukuman berupa penyitaan harta sengketa atau harta kekayaan tergugat. 2. Sita merupakan tindakan perampasan Ditinjau dari segi nilai HAM, penyitaan tidak berbeda dengan perampasan harta kekayaan tergugat. Padahal salah satu hak asasi yang paling mendasar adalah hak mempunyai milik dan Pasal 28 H ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo. Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan, pada prinsipnya seseorang tidak boleh dirampas hak milik dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum. Akan tetapi, meskipun hak itu bersifat universal namun berdasarkan landasan eksepsional yang diberikan undang-undang kepada hakim, tindakan perampasan itu dijustifikasi hukum acara, sehingga tindakan itu sah dan bertanggung jawab atas perkara yang disengketakan berdasarkan putusan pengadilan yang berkuatan hukum tetap. Hal ini sejalan dengan apa

yang diatur di dalam Pasal 28 J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia dapat dibatasi melalui sebuah undang-undang. 3. Penyitaan berdampak psikologis Salah satu hal perlu mendapat perhatian ialah dampak psikologis yang timbul dari penyitaan. Dari segi pelaksaan, penyitaan sifatnya terbuka untuk umum, hal ini dikarenakan: Pelaksanan secara fisik, dilakukan di tengah-tengah kehidupan masyarakat sekitarnya; Secara resmi disaksikan oleh dua orang saksi maupun oleh kepala desa, namun dapat dan boleh pula disaksikan atau ditonton oleh anggota masyarakat luas; Secara administratif yustisial, penyitaan barang tertentu harus diumumkan dengan jalan mendaftarkan dalam buku register kantor yang bersangkutan, agar diketahui umum sesuai dengan asas publisitas. Berdasarkan hak-hal tersebut, penyitaan berdampak psikologis yang sangat merugikan nama baik atau kredibilitas seseorang baik secara pribadi, apabila sebagai pelaku bisnis. Tindakan penyitaan meruntuhkan kepercayaan orang atas bonafiditas korporasi dan bisnis yang dijalankan, padahal belum tentu penyitaan yang dilakukan dibenarkan dan dikuatkan sampai akhir proses penyelesaian perkara. Sekiranya pun pada akhirnya penyitaan

dinyatakan tidak sah dan diperintahkan untuk diangkat, sangat sulit bagi tersita memulihkan dan mengembalikan citra yang baik kepada kondisi semula. B. Tujuan dari Sita dan Jenis-jenis Sita dalam Hukum Perdata Tujuan dari sita adalah upaya untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan hakim dikemudian hari atas barang-barang milik tergugat baik benda bergerak maupun benda tetap selama proses perkara belangsung. Dengan demikian barangbarang yang disita tidak dapat dialihkan, diperjualbelikan, disewakan atau dipindahtangankan kepada pihak lain oleh pihak penggugat yang beritikad buruk (bad faith). 21 Dengan mengaitkan tujuan penyitaan dengan ketentuan Pasal 199 HIR, 214 Rbg dan Pasal 231 KUH Perdata, terjamin perlindungan yang kuat penggugat atas terpenuhinya pelaksanaan putusan pengadilan pada saat eksekusi dijalankan. Ada tujuan lain yang tidak kalah penting dalam penyitaan, selain dari memberi kepastian kepada penggugat bahwa gugatannya telah dijamin dan mempunyai arti dan nilai apabila gugatannya dikabulkan oleh pengadilan, yaitu adanya sita, berarti sudah ada secara pasti objek eksekusi atas kemenangan penggugat, atau disimpulkan objek eksekusi sudah pasti. Hal ini menjaga agar kemenangan penggugat tidak ilusioner (hampa) sehingga kemenangan penggugat ada suatu materinya, yakni barang yang disita tersebut : 21 Muhammad Nasir, Hukum Acara Perdata, Djambatan, Jakarta, 2005, hal. 89.

1. Dapat langsung diserahkan kepada pihak penggugat, jika sengketa perkara merupakan hak milik. 2. Atau jika barang yang disita dapat di eksekusi melalui penjualan lelang, jika perkara yang sengketakan merupakan perselisihan hutangpiutang atau tuntutan ganti rugi berdasarkan PMH atau wanprestasi. 22 Dikenal ada dua macam sita yaitu sita terhadap benda milik penggugat (kreditur) dan sita terhadap barang milik tergugugat (debitur). 1. Sita jaminan terhadap benda milik penggugat (kreditur) Sita jaminan dilakukan terhadap benda milik penggugat yang dikuasai oleh tergugat atau orang lain/pihak ketiga.sita jaminan ini tidak dimaksudkan untuk menjamin suatu tagihan utang yang berupa uang, melainkan untuk menjamin suatu hak kebendaan dari penggugat (pemohon atau kreditur) dan berakhir dengan penyerahan (levering) benda yang disita itu.sita jaminan terhadap benda milik penggugat sendiri dikenal ada dua macam yaitu sita revindikasi dan sita marital. 23 a. Sita revindikasi/revindicatoir beslag (Pasal 226 HIR dan 260 Rbg) Sita revindikasi adalah sita yang dimohonkan, baik secara tertulis atau lisan, oleh pemilik suatu benda bergerak yang sedang dikuasai oleh tergugat atau pihak lain, melalui pengadilan negeri di tempat orang yang menguasai benda tersebut tinggal. 24 Tidak perlu dugaan alasan untuk dapat mengajukan permohonan sita revindikasi bahwa 22 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 285-287. 23 Muhammad Nasir, Op. Cit., hal. 90. 24 Ibid., hal. 90.

seseorang yang berutang selama belum dijatuhkan putusan, mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang tersebut. 25 Benda-benda yang dijadikan sengketa yang dikuasai debitur dan telah dipindahtangankan kepada pihak ketiga dapat disita jika ada alat bukti yang autentik atau akta di bawah tangan yang sah dan debitur telah terjadi wanprestasi 3 (tiga) bulan berturut-turut serta telah mendapatkan peringatan sampai 3 (tiga) kali berturut-turut secara tertulis ternyata juga tetap tidak mau memenuhi prestasinya, maka penyitaan terhadap barang bergerak yang berada di tangan pihak ketiga dan atau telah dipindahtangankan kepada pihak ketiga oleh debitur tanpa persetujuan kreditor dapat diajukan permohonan penyitaan kepada pengadilan negeri. 26 Dari ketetuan ini dapat disimpulkan juga bahwa yang mengajukan sita revindikasi adalah setiap pemilik benda bergerak yang sedang dikuasai oleh orang lain. 27 Demikian pula dijelaskan di dalam Pasal 1145 KUH Perdata dan Pasal 232 KUH Dagang bahwa setiap orang yang memiliki hak reklame, yaitu hak menjual benda bergerak untuk meminta kembali benda yang dijualnya, bila pembeli benda tersebut tidak membayar dengan harga yang telah disepakati, untuk mengajukan permohonan sita revindikasi. Sita revindikasi ini hanya dapat dimohonkan terhadap benda-benda yang bergerak saja, 25 Pasal 227 ayat (1) HIR dan Pasal 261 ayat (1) Rbg. 26 Pasal 728 Rv. 27 Pasal 1977 ayat (2) dan Pasal 1751 KUH Perdata.

sedangkan terhadap benda-benda penggugat yang tidak bergerak dan berada di tangan orang lain, hanya dapat dikenakan sita penjagaan saja. 28 Pasal 226 ayat (7) HIR yang menegaskan apabila gugatan penggugat ditolak dan sita revindikasi telah diletakkan atas barang.penolakan gugatan harus dibarengin dengan amar yang berisi perintah pencabutan penyitaan.jadi perintah pencabutan sita dalam amar putusan, yang bersifat asesor atas penolakan gugatan penggugat.lalai mencantumkan amar perintah pencabutan, mengakibatkan putusan mengandung kontorversi. Pada satu sisi, gugatan ditolak atas alasan barang sengketa bukan milik penggugat. Namun pada sisi lain, barang sengketa secara formil masih melekat sita revindikasi. Koreksi atas kekeliruan itu ditinjau secara formil masih melekat sita revindikasi. Koreksi atas kekeliruan itu ditinjau dari tekhnis yustisial, hanya dapat dilakukan melalui melalui proses banding atau kasasi. Namun tragisnya, selama kekeliruan belum dikoreksi oleh peradilan tingkat banding atau kasasi, selama itu secara formil masih tetap melekat sita revindikasi.hal tersebut tentunya sangat merugikan penggugat, karena seolah-olah barang itu bukan miliknya, tetapi milik penggugat. 29 148. 28 Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 29 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 338-339.

b. Sita marital/maritaal beslag Sita marital adalah sita yang ditujukan untuk menjamin agar barang yang disita tidak dialihkan atau diasingkan oleh pihak lawan, dan bukan ditujukan untu menjamin tagihan utang atau penyerahan barang.sita marital ini dapat dimohonkan kepada pengadilan negeri oleh seorang istri yang tunduk kepada KUH Perdata, selama sengketa perceraiannya diperiksa di pengadilan, terhadap barang-barang tersebut. 30 Harta bersama yang didapat selama perkawinan yang dikuasai oleh pihak istri, seorang suami bisa mengajukan gugatan ke pengadilan. Secara yuridis sudah barang tentu bisa, walaupun tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa suami dapat mengajukan gugatan tentang harta bersama yang didapat selama dalam perkawinan dikuasai oleh istri, suami dapat mengajukan gugatan ke pengadilan agar harta bersama yang dikuasai oleh istri selama dalam proses permohonan perceraian dapat diadakan penyitaan sambil menunggu adanya keputusan tentang permohonan perceraian dikabulkan dan keputusan pengadilan in kracht van gewijsde. 31 Perbedaan dan persamaan anatar sita revidikasi dan sita marital, yaitu: 1) Perbedaannya 30 Pasal 190 KUH Perdata dan Pasal 823 Rv. 31 Sarwono, Op. Cit., hal. 151.

Dalam sita revindikasi jaminan yang disita hanya terhadap benda-benda bergerak milik penggugat (kreditor) yang berada di tangan tergugat (debitur), sedangkan sita marital yang disita benda-benda bergerak maupun tidak bergerak milik suami istri yang merupakan harta bersama yang didapat selama dalam perkawainan. 2) Persamaannya Sita revidikasi dan sita marital keduanya bertujuan untuk menyelamatkan objek sengketa yang berupa benda-benda baik menyelamatkan objek sengketa yang berupa benda-benda baik bergerak maupun tidak bergerak yang berada di tangan tergugat agar tidak dihilngkan dan digelapkan oleh tergugat selama dalam proses persidangan berlangsung. 2. Sita jaminan terhadap benda bergerak milik debitur. Sita jaminan atau conservatoir beslag adalah sita jaminan terhadap benda-benda milik tergugat baik terhadap benda bergerak maupun tidak bergerak yang dijadikan jaminan untuk pelunasan utang atau pemenuhan prestasi. 32 Dalam sita jaminan, yang dapat menjadi objek permohonan sita adalah: a. Benda bergerak milik debitur; b. Benda tidak bergerak milik debitur; dan 32 Ibid., hal 152-153.

c. Benda bergerak milik debitur yang berada di tangan pihak ketiga. 33 Pasal 227 ayat (1) HIR dan Pasal 261 ayat (1) Rbg menentukan bahwa sita jaminan hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri karena adanya permintaan kreditur atau penggugat. Secara faktual dalam proses pengadilan, penggugat mengajukan permohonan sita jamina ini kepada hakim yang memeriksa perkara tersebut, yang selanjutnya hakim membuat penetapan. Hal ini disebabkan karena sita jaminan itu telah menjurus dalam pemeriksaan perkara pokok. Oleh karena itu, hakim yang memeriksa perkara tersebut itulah yang dapat memerintahkan sita jaminan dengan surat penetapannya. Permohonan sita jaminan bukanlah suatu tuntutan hak yang bebas dan berdiri sendiri, melainkan selalu berkaitan dengan pokok perkara. Namun demikian, ada beberapa kemungkinan kombinasi antara sita jaminan dengan pokok perkara yaitu: a. Sita jaminan diajukan secara bersama-sama dengan pokok perkara. b. Sita jaminan diajukan secara terpisah dengan pokok perkara. 34 Berbeda dengan pemeriksaan sita revindikasi yang sifatnya sumir, pada sita pemeriksaan sedikit lebih rumit karena upaya pembuktian unsur adanya sangka yang beralasan, bahwa tergugat sedang berdaya upaya untuk menghilangkan benda-bendanya untuk menghindari gugatan penggugat.sema No. 5 Tahun 1975 mengatur, bahwa dalam setiap penetapan sita jaminan disebut alasan-alasan yang menyebabkan sita 33 Putusan Mahkamah Agung No. 476/K/1974 tanggal 14 Novembe 1974. 34 Muhammad Nasir, Op. Cit., hal. 94.

jaminan tersebut dikabulkan yang berarti bahwa sebelum dikeluarkan penetapan yang megabulkan sita jaminan tersebut, maka harus diadakan penelitian terlebih dahulu tentang ada tidaknya alasan yang dikemukakan pemohon. Prof. Sudikno menyebutkan bahwa pihak tersita perlu didengar keterangannya, sebelum pemberi permohonan sita jaminan tersebut. Sayangnya SEMA tersebut tidak menjelaskan apa maksud penelitian tersebut. 35 C. Prinsip-prinsip Pokok Sita dalam Hukum Perdata Terdapat beberapa prinsip pokok penyitaan yang mesti ditaati. Menurut M. Yahya Harahap berikut beberapa prinsip pokok penyitaan dalam perdata yang bersifat umum: 36 1. Sita berdasarkan permohonan Menurut Pasal 226 dan Pasal 227 HIR atau Pasal 720 Rv maupun berdasarkan SEMA No.5 Tahun 1975, pengabulan dan perintah pelaksaan sita, bertitik tolak dari permintaan atau perohonan penggugat. Perintah penyitaan tidak dibenarkan berdasarkan ex-officio hakim. 2. Permohonan berdasarkan alasan Seperti yang sudah dijelaskan, penyitaan merupakan hukuman dan perampasan harta kekayaan tergugat sebelum putusan berkekuatan hukum tetap.oleh karena itu, penyitaan sebagai tindakan yang bersifat eksepsional, harus benar-benar dilakukan secara cermat berdasarkan alasan yang kuat. 35 Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 240. 36 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 287-325.

Pasal 227 HIR atau Pasal 720 Rv memperingatkan hal itu, agar penggugat dalam pengajuan sita menunjukkan kepada hakim sejauh mana isi dan dasar gugatan dihubungkan dengan relevansi dan urgensi penyitaan dalam perkara yang bersangkutan. 3. Penggugat wajib menunjukkan barang objek sita Hukum membebankan kewajiban kepada penggugat untuk menyebut secara jelas dan satu per satu barang objek yang hendak disita.permintaan sita yang diajukan secara umum terhadap semua atau sebagian harta kekayaan tergugat dianggap tidak memenuhi syarat. Permintaan sita yang demikian tidak terang, sebab tidak diketahui persis apa saja harta kekayaan tergugat, sehingga tidak jelas barang apa dan mana yang hendak disita. Selain dirinci dan disebutkan satu per satu barang milik tergugat yang hendak disita, rincian itu harus dibarengin dengan penyebutan identitas barang secara lengkap. 4. Permintaan dapat diajukan sepanjang pemeriksaan sidang Sebagai pedoman, dapat diikuti Putusan Mahkamah Agung No. 371 K/Pdt/1984 yang menyatakan, meskipun sita jaminan tidak tercantum dalam gugatan maupun dalam petitum gugatan, dan baru diajukan belakangan dalam surat tersendiri, jauh setelah gugatan didaftarkan, cara yang demikian tidak bertentangan dengan tata tertib beracara, karena undang-undang memperbolehkan pengajuan sita jaminan dapat dilakukan permintaannya sepanjang proses persidangan berlangsung.

Oleh karena itu, pengabulan sita dalam kasus yang seperti itu tidak bertentangan dengan ultra petitum partium yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR.Memperhatikan putusan di atas dihubungkan dengan ketentuan Pasal 227 ayat (1) HIR dapat disimpulkan sita dapat diminta selama belum dijatuhkan putusan pada tingkat peradilan pertama atau dapat diajukan selama putusan belum dieksekusi. 5. Pengabulan berdasarkan pertimbangan objektif Agar penyitaan tidak bercorak sewenang-wenang, perlu ditegakkan prinsip yaitu pengabulan sita harus berdasarkan pertimbangan objektif.prinsip ini berkaitan dengan asas permohonan sita harus berdasarkan alasan yang cukup dan objektif.bertitik tolak dari prinsipprinsip tersebut, dalam penetapan pengabulan sita, haruslah jelas dan terang tercantum pertimbangan yang rasional dan objektif. Dalam penetapan sita terdapat pertimbangan mengenai alasan yang diajukan penggugat berupa: a. Kaitan antara sita dengan dalil gugatan sangat erat sedemikian rupa, sehingga penyitaan benar-benar urgen, sebab kalau sita tidak diletakkan di atas harta kekayaan tergugat, kepentingan penggugat tidak terlindungi. b. Penggugat dapat menunjukkan berdasarkan fakta atau paling tidak berupa indikasi adanya dugaan atau persangkaan bahwa tergugat berdaya upaya untuk menggelapkan atau menghilangkan harta

kekayaan selama proses pemeriksaan berlangsung, guna menghindari pemenuhan gugatan. Supaya pertimbangan penetapan pengabula sita dapat diutarakan berdasarkan fakta atau indikasi yang lebih objektif dan rasioal, pengadilan dapat menempuh cara melalui proses pemeriksaan insidentil atau melalui proses pemeriksaan pokok perkara. 6. Larangan menyita milik pihak ketiga Proses penyelesaian suatu perkara, tidak boleh menimbulkan kerugian kepada pihak ketiga yang tidak ikut menjadi pihak dalam perkara. Prinsip kontrak partai (party contract) yang digariskan Pasal 1340 KUH Perdata yang menegaskan perjanjian hanya mengikat kepada para pihak yang membuatnya, berlaku juga dalam proses penyelesaian perkara. Hanya mengikat kepada para pihak penggugat dan tergugat. Tidak boleh merugikan pihak ketiga atau pihak lain yang tidak terlibat sebagai pihak dalam perkara yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, pengabulan dan pelaksaan sita dalam suatu perkara hanya terbatas terhadap harta kekayaan tergugat dan tidak boleh melampaui terhadap harta kekayaan pihak ketiga.kewajiban hakim untuk meneliti apakah harta kekayaan yang diajukan penggugat untuk disita, benar-benar milik tergugat.

7. Penyitaan berdasarkan perkiraan nilai objektif dan proposional dengan jumlah tuntutan. Sedapat mungkin jumlah barang yang disita tidak melebihi jumlah tuntutan penggugat.penyitaan ekstrem melampaui jumlah gugatan, dianggap sebagai tindakan undue process atau tidak sesuai dengan hukum acara dan dapat dikatagorikan sebagai tindakan sewenang-wenang. Untuk menghindari tindakan penyitaan yang belebihan, perlu diperhatikan pedoman sebagai berikut: a. Dalam sengketa milik, penyitaan terbatas pada barang yang disengketakan. b. Dalam sengketa utang yang dijamin dengan barang tertentu, barang yang boleh disita hanya terbatas pada barang jaminan. c. Sita dilakukan terhadap semua harta kekayaan tergugat sampai terpenuhi jumlah tuntutan. d. Apabila terjadi pelampauan segera dikeluarkan penetapan pengangkatan sita. 8. Mendahulukan penyitaan barang bergerak Berdasarkan Pasal 227 ayat (1) HIR dan 720 Rv, permintaan dan pengabulan maupun pelaksanaan sita jaminan atas tuntutan pembayaran utang atau ganti ugi, tunduk pada prinsip: a. Pertama-tama yang disita adalah barang bergerak (roerende goederen, movable goods). Kalau nilai barang bergerak yang

disita diperkirakan sudah cukup menutupi pelunasan pembayaran tuntutan, penyitaan harus dihentikan sampai disitu. b. Apabila diperkirakan penyitaan terhadap barang bergerak belum mencukupi jumlah tuntutan, baru boleh dilakukan penyitaan terhadap barang tidak bergerak (onroerende goederen, unmovable goods). 9. Dilarang menyita barang tertentu Ketentuan Pasal 197 ayat (8) HIR atau Pasal 211 RBG merupakan pengecualian terhadap asas yang diatur di dalam Pasal 1131 KUH Perdata.Menurut ketentuan ini, seluruh harta kekayaan debitur dapat dijadikan objek pelunasan pembayaran utangnya. Ketentuan Pasal 197 ayat (8)HIR memuat ketentuan pengecualian, berupa larangan meletakkan sita terhadap barang jenis tertentu. Tentang hal ini, dapat dikemukakan salah satu Putusan Mahkamah Agung 37 yang menyatakan, bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (8) HIR, Pasal 211 RBG, Pengadilan Negeri dapat menyita semua harta kekayaan tergugat, baik yang bergerak atau tidak bergerak. Akan tetapi, dalam ketentuan pasal itu sendiri terdapat pengecualian, meliputi hewan dan perkakas yang sungguh-sungguh digunakan sebagai alat pencari nafkah sehari-hari. 37 Putusan Mahkamah Agung No. 1076 K/Pdt/1984 tanggal 10 Juli 1984 jo. Pengadilan Tinggi No. 6431 tanggal 27 Desember 1983 jo. Pengadilan Negeri Medan No. 157/ 1983 tanggal 1 September 1983.

10. Penjagaan sita tidak boleh diberikan kepada penggugat Penjagaan barang sitaan berpedoman kepada ketentuan Pasal 197 ayat (9) HIR atau Pasal 212 RBG.Dalam ketentuan ini, ditegakkan prinisp, penjagaan barang sitaan tetap berada di tangan tergugat atau tersita.prinsip ini juga ditegaskan juga dalam SEMA No. 5 Tahun 1975 yang melarang barang yang disita kepada pengggugat atau pemohon sita.pada huruf (g) SEMA tersebut menegaskan agar barang-barang yang disita tidak diserahkan kepada penggugat atau pemohon sita. Tindakan hakim yang demikian akan menimbulkan kesan seolah-olah penggugat sudah pasti akan dimenangkan dan seolah-olah pula putusannya uitvoerbaar bij vooraad (serta merta). 11. Kekuatan mengikat sita sejak diumumkan Pengumuman berita acara sita merupakan syarat formil untuk mendukung keabsahan dan kekuatan mengikat sita kepada pihak ketiga.selama belum diumumkan, keabsahan dan kekuatan formilnya baru mengikat kepada para pihak yang bersengketa, belum mengikat kepada pihak ketiga.berarti selama penyitaan belum diumumkan, pihak ketiga yang melakukan transaksi atas barang itu, dapat dilindungi sebagai pembeli atau pemegang jaminan maupun penyewa yang beritikad baik. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 199 ayat (1) HIR.Terhitung sejak hari pengumuman atau pemberitahuan peyitaan, tersita dilarang memindahkan, mengagunkan atau menyewakan kepada pihak ketiga.setiap perjajian yang bertentangan dengan larangan itu, tidak dapat dipergunakan pihak ketiga sebagai dasar mengajukan upaya derden verzet.apabila juru

sita lalai mendaftarkannya, penyitaan hanya mengikat kepada para pihak yang berperkara saja, tetapi tidak mengikat kepada pihak ketiga, sehingga pihak ketiga yang beritikad baik memperoleh barang barang itu dari tersita, harus dilindungi. Untuk itu Mahkamah Agung melalui SEMA No.05 Tahun 1975 mengingatkan semua jajaran pengadilan, agar setiap penyitaan didaftarkan atau dicatatkan sesuai dengan ketentuan Pasal 198 HIR/Pasal 214 RBG dengan cara menyampaikan salinan berita acara kepada kantor pendaftaran tanah atau pada kantor pejabat yang berwenang untuk itu. 12. Dilarang memindahkan atau membebani atau menyewakan barang sitaan Menurut Pasal 199 ayat (1) HIR, terhitung sejak hari pemberitahuan atau pengumuman barang yang disita pada kantor pendaftaran yang ditentukan untuk itu, hukum melarang: Memindahkan barang sita kepada pihak orang lain. Maksudnya tersita atau tergugat dilarang menjual, mengibahkan, menukarkan atau menitipkan barang sita kepada orang lain. Membebankan barang itu kepada orang lain. Hal ini berarti, melarang tergugat untuk menjamin atau mengagunkan barang sitaan, baik dalam bentuk agunan biasa atau hak tanggungan, fidusia atau gadai (pand). Menyewakan barang sitaan kepada orang lain. Demikian larangan yang melekat pada barang sitaan sejak tanggal berita acara penyitaan dengan jalan mencatat penyitaan di

kantor yang berwenang sesuai dengan ketentuan Pasal 198 ayat (1) HIR. Sejak tanggal pengumuman itu, kekuatan mengikat penyitaan menjangkau kepada pihak ketiga. 13. Sita penyesuaian Sesuai dengan prinsip Pasal 463 Rv, tidak dibenarkan meletakkan sita terhadap barang yang sudah disita, tetapi yang dapat diletakkan ialah sita penyesuaian (vergelijkende beslag). Kalau begitu, apabila atas permintaan penggugat atau kreditor telah diletakkan sita jaminan (conservatoir beslag), sita revindikasi (revindicatoir beslag), atau sita marital (marital beslag) maka: a. Pada waktu yang bersamaan, tidak dapat diminta dan dilaksanakan penyitaan terhadap barang itu atas permintaan penggugat atau kreditor lain, sesuai dengan asas bahwa pada waktu yang bersamaan hanya diletakkan satu kali saja penyitaan terhadap barang yang sama. b. Permintaan sita yang kedua dari pihak ketiga, harus ditolak atau tidak dapat diterima atas permintaan penggugat atau kreditor terdahulu. c. Yang dapat dikabulkan kepada pemohon yang belakangan hanya berbentuk sita penyesuaian (vergelijkende beslag).

14. Larangan menyita barang milik Negara Dalam salah satu putusan Mahkamah Agung 38 terdapat penegasan, antara lain pada prinsipnya barang-barang milik Negara tidak dapat dikenakan sita jaminan atau sita eksekusi, atas alasan barang-barang milik Negara dipakai dan diperuntukan melaksanakan tugas kenegaraan. Larangan penyitaan ini diatur di dalam Pasal 50 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara: Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap: a. uang atau surat berharga milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga; b. uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah; c. barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga; d. barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah; e. barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan. 15. Terhadap barang yang disita dalam perkara perdata, dapat disita dalam perkara pidana Prinsip ini ditegaskan di dalam Pasal 39 ayat (2) yang berbunyi Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat 38 Putusan Mahkamah Agung No. 2539 K/Pdt/1985 tanggal 30 Juli 1985

juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1). Undang-undang menetapkan, penyitaan pidana memiliki urgensi publik yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepentingan individu dalam perkara perdata. Karena itu, kepentingan penggugat sebagai pemohon dan pemegang sita revindikasi, sita jaminan, sita umum dalam kepailitan harus dikesampingkan demi melindungi kepentingan umum, dengan jalan menyita barang itu dalam perkara pidana, apabila barang yang bersangkutan memenuhi katagori yang dideskripsikan Pasal 39 ayat (1) KUHAP. D. Sita Penyesuaian terhadap Barang yang Telah Disita Pasal 201 HIR dan Pasal 219 Rbg menyatakan apabila ada dua permohonan pelaksanaan putusan atau lebih diajukan sekaligus terhadap seorang debitur, maka hanya dibuatkan satu berita acara penyitaan saja. Dari dua pasal tersebut dapatlah disimpulkan bahwa tidak dapat diadakan sita rangkap terhadap barang yang sama. Asas larangan sita rangkap ini dikenal dengan asas saisie sur saisie ne vaut, lebih tegas dimuat dalam pasal 463 Rv. Pencatatan sita tambahan dalam berita acara sita ini disebut dengan sita penyesuaian. Istilah dalam bahasa Belanda adalah Vergelijkend beslag, terjemahan baku belum ada. Ada yang memakai istilah sita perbandingan, ada pula yang menerjemahkan dalam sita persamaan.penulis sendiri dalam skripsi ini menggunakan istilah sita penyesuaian.

Tata cara sita penyesuaian dapat kita lihat pada Putusan MA pada tanggal 19 Agustus 1982 No.1326 k/sip/1981, dimana tata caranya adalah : 1. Membuat catatan dalam berita acara. 2. Isi catatan berisikan tentang penjelasan status barang yang hendak disita sedang dalam sita jaminan atau sedang dalam keadaan dianggunkan. Kedudukan hukum pemegang sita penyesuaian terhadap barang yang disita atau diagunkan kepada orang lain adalah sebagai berikut: 1. Berada setingkat di bawah pemegang sita atau agunan. 2. Pengambilan pemenuhan atas pembayaran tuntutan dari barang tersebut, diberikan prioritas utama kepada pemegang sita atau agunan, baru menyusul pemegang sita penyesuaian dengan acuan penerapan apabil hasil penjualan hanya mencukupi untuk melunasi tuntutan pemegang sita atau agunan, tanpa mengurangi pembagian hasil penjualan secara berimbang dalam eksekusi serentak berdasarkan Pasal 202 HIR, Pasal 219 dan Pasal 220 Rbg dan pemegang sita atau agunan tidak berkedudukan sebagai kreditor yang mempunyai hak privilege atas barang tersebut. Sekiranya hasil penjualan barang melebihi tuntutan pemegang sita atau agunan, maka hasil sisa kelebihan itu menjadi hak pemegang sita penyesuaian. 3. Selama sita atau agunan belum diangkat atau dicabut, kedudukannya tetap berstatus sebagai pemegang sita penyesuaian.

4. Apabila sita jaminan atau agunan terdahulu diangkat, posisi, hak dan kedudukan pemegang sita penyesuaian, dengan sendirinya menurut hukum berubah menjadi pemegang sita jaminan. 39 Kedudukan seseorang terhadap barang yang didasarkan atas sita penyesuaian adalah hanya bersifat pencatatan akan permohonan sita saja, yang dituangkan dalam berita acara. Selama sita jaminan yang terdahulu (yang pertama) belum diangkat, kedudukan hanya tercatat saja.tetapi bila telah diangkat, status sita penyesuaian menjadi status sita jaminan. Sehingga hak penuh atas barang sitaan lahir apabila sita jaminan yang terdahulu atau anggunan telah diangkat.apabila barang tersebut dilelang untuk dieksekusi, pemegang sita penyesuaian terbatas pada sisa yang ada. Hal ini karena pemegang sita penyesuaian tidak mempunyai hak yang sama (berimbang) atau fond- fond gewijs atas hasil penjualan lelang. 39 M. Yahya Haraha, Op. Cit., hal. 321-322.