KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN MAJELIS RAKYAT PAPUA BARAT DALAM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PAPUA PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG KOMISI HUKUM AD HOC DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2004 TENTANG MAJELIS RAKYAT PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2004 TENTANG MAJELIS RAKYAT PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

- 2 - pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Papua, dan Papua Barat;

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

BUPATI SRAGEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

GUBERNUR PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 121/PUU-XII/2014

BADAN PERWAKILAN DESA DESA PADI KECAMATAN GONDANG KABUPATEN MOJOKERTO K E P U T U S A N BADAN PERWAKILAN DESA PADI NOMOR : 01 TAHUN 2001 T E N T A N G

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2007 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMILIHAN UMUM GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR

BUPATI LAMPUNG TENGAH PROVINSI LAMPUNG

BUPATI TAKALAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAKALAR NOMOR 04 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAMEKASAN,

B U P A T I T A N A H L A U T PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI TANA TORAJA PROVINSI SULAWESI SELATAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

S A L I N A N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

5. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR PERALIHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN. A. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 01 TAHUN 2014 TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANDUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN DEIYAI DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 6 SERI D

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

11 LEMBARAN DAERAH Oktober KABUPATEN LAMONGAN 7/E 2006 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 11 TAHUN 2000 TENTANG BADAN PERWAKILAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KOTA BATU

BUPATI MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 4 TAHUN 2007 SERI D.2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD)

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL. No.04,2015 Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul. Pedoman, pembentukan, produk hukum, daerah

2017, No Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN DEIYAI DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI FLORES TIMUR,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SELAYAR NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SELAYAR,

MEMUTUSKAN : BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2006 NOMOR: 6

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

Transkripsi:

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN MAJELIS RAKYAT PAPUA BARAT DALAM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA http://nasional.inilah.com I. PENDAHULUAN Provinsi Papua merupakan salah satu wilayah di Indonesia bagian timur yang mempunyai otonomi khusus. Dasar mengenai pembentukan daerah khusus diatur dalam Pasal 18 B Bab VI UUD 1945 Perubahan Keempat tentang Pemerintah Daerah, yaitu : (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Otonomi khusus yang dimiliki oleh Provinsi Papua diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Pembentukan atas Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Papua dilatarbelakangi untuk menghentikan keinginan masyarakat Papua yang ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia. Undang-Undang tersebut dibentuk untuk meningkatkan perlindungan terhadap hak asasi masyarakat Papua. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, otonomi khusus Provinsi Papua dibentuk untuk memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Pemerintah dan Rakyat Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus wilayahnya. Tulisan Hukum-BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat 1

Salah satunya ialah yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, yang menyatakan bahwa: Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya otonomi khusus yang dimiliki oleh Provinsi Papua tersebut, maka ada sistem birokrasi yang berbeda yang dimiliki oleh wilayah Papua dibandingan dengan wilayah lain yang ada di Indonesia. Dalam Bab V tentang Bentuk dan Susunan Pemerintahan pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, secara eksplisit disebutkan bahwa pilar utama dalam penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Papua terdiri dari tiga komponen yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), Pemerintah Daerah (gubernur beserta perangkatnya), dan Majelis Rakyat Papua (MRP). 1 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong, maka terbentuklah Provinsi Irian Jaya Barat. Provinsi tersebut kemudian berubah nama menjadi Provinsi Papua Barat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tanggal 18 April 2007 tentang Perubahan Nama Provinsi Irian Jaya Barat Menjadi Provinsi Papua Barat. Untuk otonomi khusus yang dimiliki oleh Provinsi Papua Barat diatur dalam Pasal 1 Point a Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang menyebutkan bahwa Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 74 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua disebutkan bahwa dalam hal pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsiprovinsi baru dibentuk MRP, yang berkedudukan di masing-masing ibukota provinsi. Secara eksplisit apabila merujuk pada Bab V Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, pilar utama dalam penyelenggaraan pemerintah Provinsi Papua Barat juga terdapat tiga komponen, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPRPB), Pemerintah Daerah (gubernur beserta perangkatnya), dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB). 1 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Tulisan Hukum-BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat 2

MRP/MRPB merupakan rekan kerja dari DPRP/DPRPB dan Pemerintah Daerah, sehingga dalam menjalankan tugasnya lebih menekankan kepada kepentingan masyarakat Papua. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Majelis adalah dewan yang mengemban tugas tertentu mengenai kenegaraan dan sebagainya secara terbatas. 2 Rakyat merupakan penduduk suatu negara. 3 Sehingga majelis rakyat adalah dewan yang mengemban tugas tertentu yang dalam hal ini sebagai wakil dari penduduk Papua yang kekuasaannya terbatas, yaitu pada wilayah Papua saja. MRP/MRPB inilah yang membedakan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dengan daerah lainya yang ada di Indonesia. Salah satu keistimewaan yang ada pada MRP/MRPB adalah keanggotannya yang hanya diisi oleh orang-orang asli Papua yang terdiri dari wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang pemilihannya dipilih oleh rakyat. II. PERMASALAHAN Berdasarkan hal-hal tersebut maka terdapat beberapa masalah hukum, yaitu: 1. Bagaimanakah kedudukan MRPB di dalam ketatanegaraan Republik Indonesia? 2. Apa sajakah yang menjadi tugas dan kewenangan dari MRPB? 3. Apa sajakah yang menjadi hak dan kewajiban dari MRPB? III. PEMBAHASAN 1. Kedudukan MRPB di Dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia Majelis Rakyat Papua yang selanjutnya disebut MRP adalah sebuah lembaga di Provinsi Papua yang beranggotakan penduduk asli Papua yang berada setara dengan DPRD. 4 Dasar dari pembentukan MRP adalah Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua disebutkan bahwa MRP berkedudukan di ibukota Provinsi. Keanggotaan dan jumlah anggota MRP ditetapkan dengan Perdasus. 5 Terkait Keanggotaan MRPB diatur dalam Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Provinsi Papua Barat No. 4 Tahun 2012 tentang Keanggotaan dan Jumlah Anggota Majelis Rakyat Papua Barat. Dalam Pasal 1 angka 4 Perdasus Provinsi Papua Barat No. 4 Tahun 2012 disebutkan bahwa MRPB adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki 2 http://kbbi.web.id, Majelis, 24 Juli 2015 3 Ibid, Rakyat, 24 Juli 2015 4 http://mrp.papua.go.id, Majelis Rakyat Papua, 24 Juli 2015 5 Pasal 19 ayat 3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Tulisan Hukum-BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat 3

wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama di Provinsi Papua Barat sebagaimana diatur dalam Undang- Undang. Anggota MRPB terdiri dari orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan di Provinsi. Masa keanggotaan MRPB adalah selama 5 tahun. Pengisian keanggotaan lembaga MRPB dilaksanakan melalui mekanisme pemilihan secara demokratis. 6 Berdasarkan Pasal 3 Perdasus Provinsi Papua Barat Nomor 4 Tahun 2012 tentang Keanggotaan dan Jumlah Anggota MRPB disebutkan bahwa anggota MRPB jumlahnya tidak melebihi dari 3/4 (tiga per empat) jumlah anggota DPRPB dimana wakil dari setiap unsur berjumlah 1/3 (sepertiga) dari jumlah anggota MRPB dan dipilih oleh masyarakat adat, masyarakat perempuan, dan masyarakat agama. 2. Tugas dan Kewenangan MRPB Tugas dan kewenangan MRPB diatur dalam Perdasus Provinsi Papua Barat Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Tugas, Wewenang, Hak dan Kewajiban Majelis Rakyat Papua Barat. Berdasarkan Pasal 2 Perdasus Provinsi Papua Barat Nomor 6 Tahun 2012 disebutkan bahwa tugas dan wewenang MRPB ialah: a. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRPB; b. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRPB bersama-sama dengan Gubernur; c. memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di wilayah Provinsi Papua Barat, khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua di Papua Barat; d. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; dan 6 Pasal 2 Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Barat No. 4 Tahun 2012 tentang Keanggotaan dan Jumlah Anggota Majelis Rakyat Papua Barat Tulisan Hukum-BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat 4

e. memberikan pertimbangan kepada DPRPB, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota serta Bupati/Walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua. Pelaksanaan dari tugas dan wewenang MRPB tersebut diatur dalam Pasal 3-26 Perdasus Provinsi Papua Barat Nomor 6 Tahun 2012 yang menjelaskan bahwa: a. DPRPB menyerahkan persyaratan administratif pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur kepada MRPB untuk mendapatkan Pertimbangan dan Persetujuan MRPB. Kemudian Sekretaris MRPB melakukan pemeriksaan kelengkapan persyaratan administratif paling lama 2 (dua) hari kerja setelah diterima dari DPRPB dan menyampaikan hasilnya kepada Pimpinan MRPB untuk dilakukan pembahasan. Apabila hasil pemeriksaan persyaratan administratif dinyatakan tidak lengkap, Sekretaris MRPB menyerahkan kembali kepada DPRPB untuk melengkapi paling lama 2 (dua) hari kerja. Dilakukannya pembahasan untuk menetapkan kriteria orang asli Papua terhadap pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur berdasarkan persyaratan administratif yang telah dinyatakan lengkap. Apabila dipandang perlu, dalam pembahasan MRPB dapat memanggil pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur untuk memberikan penjelasan berkaitan status yang bersangkutan sebagai orang asli Papua. MRPB dalam melakukan pembahasan terhadap Pemenuhan persyaratan orang asli Papua pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur wajib memperoleh pendampingan narasumber Ahli Antropologi Papua, mendokumentasikan proses secara audio visual dan tulisan, dan menggunakan kriteria orang asli Papua. Pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang tidak memenuhi panggilan MRPB dinyatakan kehilangan status sebagai bakal calon, kecuali mengajukan keberatan berdasarkan alasan yang dapat diterima. Apabila MRPB belum dapat menetapkan pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur sebagai orang asli Papua, karena kurangnya informasi dan bukti, MRPB membentuk Panitia Khusus (Pansus) bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Pansus bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur paling lama 3 (tiga) hari kerja, wajib melakukan pertemuan klarifikasi dengan masyarakat adat yang menjadi asal bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur. MRPB menggunakan hasil pertemuan klarifikasi dengan masyarakat adat dan hasil pembahasan, untuk menetapkan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur sebagai orang asli Papua atau bukan orang asli Papua. MRPB menyerahkan hasil pembahasan tersebut dalam suatu berita acara kepada rapat pleno untuk ditetapkan. Pimpinan MRPB menetapkan pemenuhan persyaratan kriteria orang asli Tulisan Hukum-BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat 5

Papua atau bukan orang asli Papua berdasarkan hasil penetapan dalam rapat pleno. Sekretaris MRPB menyampaikan penetapan pemenuhan persyaratan kriteria orang asli Papua atau bukan orang asli Papua kepada DPRPB. Dalam hal MRPB tidak memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang disampaikan DPRPB untuk waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja, pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur dianggap telah mendapat pertimbangan dan persetujuan MRPB. b. DPRPB menyampaikan Rancangan Perdasus hasil Pembahasan DPRPB dan Gubernur kepada MRPB untuk mendapatkan pertimbangan dan persetujuan. Rancangan Perdasus hasil pembahasan DPRPB dan Gubernur terdiri atas surat pengantar yang ditandatangani oleh Pimpinan DPRPB dan Rancangan Perdasus yang telah memperoleh persetujuan bersama DPRPB dan Gubernur. Sekretaris MRPB melakukan pemeriksaan kelengkapan administratif Rancangan Perdasus paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah diterima dari DPRPB. Kemudian menyampaikan Rancangan Perdasus yang dinyatakan lengkap kepada pimpinan MRPB untuk dilanjutkan kepada Kelompok Kerja (Pokja) atau lintas Pokja guna dilakukan pembahasan. Apabila hasil pemeriksaan Persyaratan Administratif Rancangan Perdasus dinyatakan tidak lengkap, Sekretaris MRPB menyerahkan kembali kepada DPRPB untuk dilengkapi. Pimpinan MRPB menetapkan Pokja atau lintas Pokja untuk membahas Rancangan Perdasus untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja. Pokja atau lintas pokja dalam melakukan pembahasan Raperdasus, wajib memperoleh pendampingan narasumber ahli yang berkaitan dengan materi muatan Raperdasus, mendokumentasikan proses secara audiovisual dan tulisan, melakukan kajian terhadap materi muatan Raperdasus mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua. Pokja atau lintas Pokja dalam melakukan pembahasan Raperdasus dapat mengundang dan menghadirkan para wakil unsur masyarakat yang menjadi sasaran pelaksanaan Raperdasus untuk mendapat penjelasan atau pandangan yang berkaitan dengan materi muatan Raperdasus dan utusan Pemerintah Provinsi dan/atau utusan DPRPB untuk mendapatkan penjelasan klarifikasi berkaitan dengan materi muatan Raperdasus. Pokja atau lintas Pokja menyampaikan hasil pembahasan Raperdasus kepada Pimpinan MRPB dalam bentuk persetujuan atau penolakan. Hasil pembahasan Pokja atau lintas Pokja yang memberikan persetujuan, dapat berupa persetujuan terhadap seluruh materi muatan dan persetujuan terhadap sebagian materi muatan disertai alasannya dan rumusan perbaikan. Hasil pembahasan Pokja atau lintas Pokja yang berupa penolakan, harus Tulisan Hukum-BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat 6

disertai alasan penolakan terhadap Raperdasus dan rumusan usulan pengganti. Pimpinan MRPB melakukan penetapan atas pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus hasil pembahasan Pokja atau Lintas Pokja dalam Rapat Pleno. Sekretaris MRPB atas persetujuan pimpinan MRPB, menyampaikan hasil penetapan atas pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus kepada DPRPB dan Pemerintah Daerah untuk ditetapkan menjadi Perdasus. Sekretaris MRPB atas persetujuan pimpinan MRPB menyampaikan hasil penetapan atas pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus yang berupa penolakan kepada DPRPB untuk dilakukan pembahasan bersama dalam waktu paling lama 8 (delapan) hari kerja. Pembahasan bersama dilakukan dalam Rapat Kerja MRPB yang harus diikuti oleh Pemerintah Provinsi dan DPRPB. Dalam hal terjadi kesepakatan dalam pembahasan bersama, MRPB menyampaikan rancangan Perdasus kepada DPRPB dan Pemerintah Daerah untuk ditetapkan menjadi perdasus. Dalam hal pembahasan bersama dengan Pemerintah Provinsi dan DPRPB tidak diperoleh kesamaan pandangan, MRPB wajib menyampaikan penjelasan lisan dan tertulis melalui media publik mengenai perbedaan pandangan disertai alasannya. Raperdasus yang tidak mendapatkan persetujuan MRPB tidak dapat ditetapkan menjadi Perdasus. Dalam hal MRPB tidak memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus yang disampaikan DPRPB untuk waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja, Raperdasus dianggap telah mendapat pertimbangan dan persetujuan MRPB. c. Gubernur menyampaikan kepada MRPB rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah atau Pemerintah Provinsi dengan pihak ketiga. Perjanjian kerjasama adalah perjanjian kerjasama yang menyangkut hak-hak orang asli papua yang meliputi hak ulayat dan hak adat. Pimpinan MRPB menunjuk Pokja atau Lintas Pokja untuk membahas rencana perjanjian kerjasama paling lama 20 (dua puluh) hari kerja. Kewajiban Pokja atau Lintas Pokja dalam melakukan pembahasan terhadap rencana perjanjian kerjasama ialah memperoleh pendampingan narasumber ahli yang berkaitan dengan materi perjanjian kerjasama, mendokumentasikan proses secara audiovisual dan tulisan, dan melakukan kajian terhadap materi rencana perjanjian kerjasama berkaitan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua. Pokja atau Lintas Pokja dalam melakukan pembahasan terhadap rencana perjanjian kerjasama dapat mengundang dan menghadirkan wakil unsur masyarakat adat, unsur masyarakat perempuan, dan unsur masyarakat agama yang menjadi sasaran rencana perjanjian kerjasama, materi rencana perjanjian kerjasama; dan utusan pemerintah dan/atau utusan Pemerintah Provinsi Tulisan Hukum-BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat 7

untuk mendapatkan penjelasan atau pandangan yang berkaitan dengan klarifikasi terkait materi perjanjian kerjasama. Pokja atau Lintas Pokja menyampaikan hasil pembahasan terhadap rencana perjanjian kerjasama kepada Pimpinan MRPB dalam bentuk persetujuan atau penolakan. Hasil pembahasan Pokja atau lintas Pokja dapat berupa persetujuan terhadap seluruh materi rencana perjanjian kerjasama dan persetujuan terhadap sebagian materi rencana perjanjian kerjasama disertai alasan dan rumusan perbaikan. Hasil pembahasan Pokja atau Lintas Pokja berupa penolakan, harus disertai alasan penolakan terhadap rencana perjanjian kerjasama dan rumusan usulan perbaikan. MRPB wajib menyampaikan penjelasan lisan dan tertulis melalui media publik mengenai alasan persetujuan dan/atau penolakan terhadap rencana perjanjian kerjasama. Sekretaris MRPB atas persetujuan Pimpinan MRPB menyampaikan hasil penetapan rencana perjanjian kerjasama yang berupa persetujuan atau penolakan kepada Gubernur. MRPB wajib menyampaikan penjelasan lisan dan tertulis melalui media publik mengenai alasan persetujuan dan/atau penolakan terhadap rencana perjanjian kerjasama. Rencana Perjanjian Kerjasama yang berupa penolakan MRPB tidak dapat ditetapkan menjadi perjanjian. Dalam hal MRPB tidak memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja, rencana kerjasama dianggap telah mendapat pertimbangan dan persetujuan MRPB. d. Masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan maupun unsur masyarakat lainnya, secara orang per-orang atau kelompok orang berhak menyampaikan aspirasi dan pengaduan kepada MRPB melalui Sekretariat MRPB atau melalui anggota MRPB yang melakukan tugas di luar Sekretariat MRPB. Kewajiban dalam menyampaikan aspirasi dan pengaduan ialah menyampaikan sesuai ketentuan yang berlaku, melampirkan identitas yang jelas, dan menjelaskan isi, tujuan dan disertai bukti-bukti terkait yang dibutuhkan. Pimpinan MRPB menetapkan Pokja atau Lintas Pokja untuk membahas aspirasi dan pengaduan masyarakat dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja. Kewajiban dalam melakukan pembahasan ialah memperoleh pendampingan narasumber ahli yang berkaitan dengan isi aspirasi dan/atau pengaduan, mendokumentasikan proses secara audiovisual dan tulisan, dan melakukan kajian terhadap isi dan tujuan aspirasi dan/atau pengaduan. Hasil pembahasan Pokja atau Lintas pokja dibuat dalam rapat pleno. Pimpinan MRPB memberikan jawaban tertulis kepada pihak yang menyampaikan aspirasi dan/atau pengaduan berdasarkan hasil penetapan pleno. Jawaban tersebut dapat berupa menerima seluruh isinya dan Tulisan Hukum-BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat 8

menjelaskan bentuk tindak lanjut yang dilakukan MRPB, menerima sebagian isinya, menjelaskan bagian dari isi yang tidak diterima, serta menjelaskan bentuk tindak lanjut yang dilakukan MRPB, dan menolak seluruh isinya disertai alasan penolakan dan saran yang seharusnya dilakukan pihak yang menyampaikan aspirasi atau pengaduan. Penyampaian jawaban kepada pihak yang menyampaikan aspirasi dan/atau pengaduan ditujukan kepada yang bersangkutan sesuai dengan identitas. Pimpinan MRPB wajib menyampaikan tindak lanjut penyelesaian aspirasi dan/atau pengaduan yang membutuhkan tindakan penyelesaian. Pelaksanaan Kewajiban dilakukan dengan cara menawarkan bentuk forum penyelesaian yang dapat dipilih dan disepakati, waktu dan tempat penyelesaian yang dapat dipilih dan disepakati, dan fasilitator yang dapat dipilih dan disepakati. Pihak yang menyampaikan aspirasi dan/atau pengaduan wajib memberi tanggapan terhadap tawaran tindak lanjut penyelesaian aspirasi dan/atau pengaduan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima jawaban dari MRPB. Setiap Anggota MRPB pada waktu menerima aspirasi dan/atau pengaduan dapat memberikan jawaban langsung mengenai sikap MRPB setelah memahami isi dan tujuan penyampaian aspirasi. e. Sekretaris MRPB menyampaikan kepada Pimpinan MRPB produk hukum daerah yang dinilai bertentangan dengan kebijakan perlindungan hak-hak orang asli Papua dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja setelah diterima dari Anggota MRPB atau dari orang per orang atau kelompok orang. Pimpinan MRPB berdasarkan informasi menunjuk Pokja atau Lintas Pokja yang bertugas membahas dalam waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja. Pokja atau Lintas Pokja dalam melakukan pembahasan wajib memperoleh pendampingan narasumber ahli yang berkaitan dengan produk hukum daerah yang menjadi obyek kajian, mendokumentasikan proses secara audiovisual dan tulisan, dan melakukan kajian terhadap produk hukum daerah yang menjadi obyek kajian terkait perlindungan hak-hak orang asli Papua. Pokja atau Lintas Pokja dalam melakukan pembahasan dapat mengundang utusan Lembaga Pemerintah Provinsi dan/atau utusan Lembaga Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mendapatkan penjelasan klarifikasi berkaitan dengan materi produk hukum terkait. Pokja atau Lintas pokja dalam melakukan pembahasan wajib menghasilkan pertimbangan yang memuat uraian penyebab produk hukum daerah tersebut dinilai bertentangan dengan kebijakan perlindungan hak-hak orang asli Papua, materi muatan Pasal yang dinilai bertentangan dengan kebijakan perlindungan hak-hak orang asli Papua, dampak pelaksanaan produk hukum yang menjadi obyek kajian, dan rekomendasi perbaikan Pasal yang dinilai Tulisan Hukum-BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat 9

bertentangan dengan kebijakan perlindungan hak-hak orang asli Papua. Pokja atau Lintas Pokja menyerahkan hasil pertimbangan produk hukum yang dituangkan dalam berita acara untuk ditetapkan dalam Rapat Pleno. Pimpinan MRPB menetapkan hasil pertimbangan produk hukum daerah yang dinilai bertentangan dengan kebijakan perlindungan hak-hak orang asli Papua berdasarkan hasil penetapan dalam Rapat Pleno. Sekretaris MRPB menyampaikan hasil penetapan dalam Rapat Pleno kepada pimpinan lembaga pembuat produk hukum yang bersangkutan untuk ditindaklanjuti. 3. Hak dan Kewajiban MRPB Dalam Pasal 27 Perdasus Provinsi Papua Barat Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Tugas, Wewenang, Hak dan Kewajiban Majelis Rakyat Papua Barat disebutkan bahwa MRPB mempunyai hak: a. meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua; b. meminta peninjauan kembali Perdasi atau Peraturan/Keputusan Gubernur yang dinilai bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua; c. mengajukan rencana Anggaran Belanja MRPB kepada DPRPB sebagai satu kesatuan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Papua Barat; dan d. menetapkan Peraturan Tata Tertib MRP/MRPB. Selanjutnya Pasal 28-40 Perdasus Provinsi Papua Barat Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Tugas, Wewenang, Hak Dan Kewajiban Majelis Rakyat Papua Barat menjelaskan bahwa : a. Setiap anggota MRPB berhak meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hakhak orang asli Papua. Permintaan keterangan diajukan kepada pimpinan MRPB yang sebelumnya telah memenuhi 2 syarat, yaitu adanya penjelasan secara tertulis mengenai kebijakan yang dinilai bertentangan dengan kebijakan perlindungan hak-hak orang asli papua dan mendapat dukungan dalam bentuk tanda tangan anggota MRPB paling sedikit sembilan orang yang terdiri dari unsur adat, unsur perempuan, dan unsur agama. Permintaan keterangan tersebut disampaikan pada rapat pleno MRPB untuk mendapat penjelasan dari pengusul mengenai substansi permintaan keterangan disertai alasannya, penyampaian pandangan peserta rapat pleno, dan pengambilan keputusan yang dilakukan secara musyawarah untuk mufakat. Apabila tidak tercapai, maka pengambilan keputusan dilakukan melalui pemungutan suara. Pimpinan MRPB Tulisan Hukum-BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat 10

menetapkan hasil pembahasan rapat pleno berupa persetujuan atau penolakan terhadap permintaan yang diajukan. Apabila permintaan disetujui, Pimpinan memerintahkan kepada Sekretaris MRPB untuk menyampaikan permintaan keterangan kepada Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota pembuat kebijakan yang dinilai bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua.Permintaan keterangan dituangkan dalam surat yang ditandatangani oleh Pimpinan MRPB, yang dilengkapi uraian tentang substansi, penjelasan tempat dan waktu pemberian keterangan, dan berita acara hasil rapat pleno. Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota yang dimintai keterangan wajib memberikan jawaban terhadap permintaan keterangan yang diajukan oleh MRPB dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya permintaan keterangan. Jawaban tertulis terhadap permintaan untuk memberikan keterangan ditujukan kepada Pimpinan MRPB. Berdasarkan jawaban tertulis, pimpinan MRPB menetapkan waktu rapat pleno yang menghadirkan pimpinan instansi pemerintah daerah terkait. Dalam hal Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota menolak memberikan jawaban, pimpinan MRPB mengadakan rapat pleno untuk membahas penolakan tersebut. Pimpinan MRPB wajib menyampaikan hasil rapat pleno kepada masyarakat melalui media publik. Penyampaian hasil rapat pleno paling sedikit memuat penjelasan mengenai hal-hal yang dimintai keterangan, pentingnya memberikan keterangan dari pemerintah daerah, dan akibat yang timbul karena pemerintah daerah tidak memberikan jawaban. b. Permintaan peninjauan kembali Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) atau Peraturan/Keputusan Gubernur diajukan kepada pimpinan MRPB yang sebelumnya telah memenuhi 2 syarat, yaitu adanya materi muatan Perdasi maupun Peraturan/Keputusan Gubernur yang dinilai bertentangan dengan kebijakan perlindungan hak-hak orang asli papua dan mendapat dukungan dalam bentuk tanda tangan anggota MRPB paling sedikit dua belas orang yang terdiri dari unsur adat, unsur perempuan, dan unsur agama. Kemudian permintaan keterangan tersebut disampaikan pada rapat pleno MRPB untuk memperoleh keputusan yang dilakukan secara musyawarah untuk mufakat. Apabila musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka pengambilan keputusan dilakukan melalui pemungutan suara. Pemerintah Provinsi dan DPRPB wajib memberikan tanggapan secara tertulis atas permintaan peninjauan kembali Perdasi yang disampaikan oleh MRPB dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya permintaan. Namun, apabila Gubernur dan Pimpinan DPRPB menolak memberikan jawaban, maka pimpinan MRPB mengadakan Tulisan Hukum-BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat 11

rapat pleno untuk membahas penolakan tersebut dan Pimpinan MRPB wajib menyampaikan hasil rapat pleno kepada masyarakat melalui media publik. c. Rencana Anggaran Belanja (RAB) MRPB terdiri atas anggaran belanja program dan anggaran belanja seketariat. RAB tersebut disusun untuk periode 1 (satu) tahun yang ditetapkan dalam rapat pleno. RAB yang telah mendapat persetujuan pimpinan MRPB, diajukan oleh Sekretaris MRPB kepada DPRPB untuk dibahas bersama dengan Gubernur untuk ditetapkan sebagai anggaran belanja MRPB. d. Hak untuk menetapkan peraturan tata tertib bertujuan untuk memperlancar pelaksanaan tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban MRPB. Penetapan peraturan tata tertib dilakukan setelah melalui pembahasan dalam rapat pleno. MRPB wajib melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan peraturan tata tertib paling sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun, dalam rangka meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban MRPB. Selain hak yang dimiliki oleh MRPB, terdapat juga kewajiban yang melekat. Kewajiban MRPB diatur dalam Pasal 41 Perdasus Provinsi Papua Barat Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Tugas, Wewenang, Hak Dan Kewajiban Majelis Rakyat Papua Barat yang menyatakan bahwa MRPB mempunyai kewajiban: a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua; b. mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mentaati segala peraturan perundang-undangan; c. membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya asli Papua; d. membina kerukunan kehidupan beragama; e. mendorong pemberdayaan perempuan. Pada Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 dikatakan bahwa pelaksanaan kewajiban diatur dengan Perdasus dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Hal ini tertuang dalam Pasal 42-47 Perdasus Provinsi Papua Barat Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Tugas, Wewenang, Hak dan Kewajiban Majelis Rakyat Papua Barat yang menjelaskan bahwa: a. Dalam mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan melalui pelaksanaan program kerja yang mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, terutama memperhatikan rakyat Provinsi Papua Barat. Tulisan Hukum-BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat 12

b. Dalam mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mentaati segala peraturan perundang-undangan dilakukan melalui pengamalan nilai-nilai Pancasila dan dalam menyusun program kerja yang dilakukan melalui penyusunan produk hukum yang selaras dengan Undang-Undang 1945 dan peraturan perundang-undangan. c. Dalam membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya asli Papua, membina kerukunan kehidupan beragama, dan mendorong pemberdayaan perempuan dilakukan melalui pengajuan usulan kegiatan oleh Pokja Adat, melalui 2 tahapan yaitu merumuskan identifikasi masalah dan menyusun usulan kegiatan sebagai jawaban atas masalah yang dihadapi. Kemudian pengajuan usulan kegiatan tersebut dirumuskan dalam bentuk program kerja disertai jadwal pelaksanaan untuk dibahas dan ditetapkan dalam rapat pleno. d. Dalam menyusun dan melaksanakan program kerja yang bertujuan membina dan melestarikan kerukunan kehidupan beragama di Papua dilakukan melalui pengajuan usulan kegiatan oleh Pokja Agama melalui tahapan merumuskan identifikasi masalah dan menyusun usulan kegiatan sebagai jawaban atas masalah yang dihadapi. Pengajuan usulan kegiatan tersebut dirumuskan dalam bentuk program kerja disertai jadwal pelaksanaan untuk dibahas dan ditetapkan dalam rapat pleno. e. Dalam menyusun dan melaksanakan program kerja yang bertujuan memberdayakan perempuan orang asli Papua dilakukan melalui pengajuan usulan kegiatan oleh Pokja Perempuan melalui tahapan merumuskan identifikasi masalah dan menyusun usulan kegiatan sebagai jawaban atas masalah yang dihadapi. Pengajuan usulan kegiatan tersebut dirumuskan dalam bentuk program kerja disertai jadwal pelaksanaan untuk dibahas dan ditetapkan dalam rapat pleno. IV. PENUTUP Provinsi Papua adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki otonomi khusus. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Otonomi Khusus yang dimiliki oleh Papua memberikan kewenangan bagi Provinsi Papua untuk mengatur roda pemerintahannya sendiri. Pilar utama dalam penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Papua terdiri dari tiga komponen, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP/DPRD), Pemerintah Daerah (gubernur beserta perangkatnya), dan MRP. Semenjak terbentuknya Provinsi Papua Barat dan berdasarkan Pasal 74 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua, maka terbentuk Tulisan Hukum-BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat 13

juga MRPB yang merupakan satu komponen pemerintahan yang hanya dimiliki oleh Provinsi Papua Barat. Adapun kedudukan MRPB adalah sejajar dengan DPRPB dan berkedudukan di ibukota Provinsi Papua Barat. Tujuan dibentuknya MRPB untuk memberikan kepastian terhadap hak-hak asli orang papua. Keanggotaan MRPB terdiri dari wakil-wakil adat, wakilwakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang berasal asli orang Papua yang jumlahnya tidak lebih dari 3/4 (tiga per empat) jumlah anggota DPRPB dan masa keanggotaan dari MRPB adalah selama 5 tahun. Tugas dan kewenangan MRPB ialah memberikan pertimbangan dan persetujuan atas bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRPB, calon anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia utusan daerah Provinsi Papua Barat yang diusulkan oleh DPRPB, dan rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRPB bersama-sama dengan Gubernur. Selain itu juga memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan pihak ketiga, memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, perempuan dan masyarakat, memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya, dan memberikan pertimbangan kepada DPRPB, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota serta Bupati/Walikota yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua Selain dari pada itu, MRPB juga memiliki hak dan kewajiban. Hak MRPB ialah meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua, meminta peninjauan kembali Perdasi atau Peraturan/Keputusan Gubernur yang dinilai bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua, mengajukan rencana Anggaran Belanja MRPB kepada DPRPB sebagai satu kesatuan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Papua Barat, dan menetapkan Peraturan Tata Tertib MRPB. Kewajiban yang melekat pada MRPB ialah mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua, mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mentaati segala peraturan perundang-undangan, membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya asli Papua, membina kerukunan kehidupan beragama, dan mendorong pemberdayaan perempuan Tugas, kewenangan, hak dan kewajiban yang dimiliki oleh MRPB membuat kedudukannya menjadi sangat penting dalam roda pemerintahan Provinsi Papua Barat. Hal ini dikarenakan setiap keputusan yang diambil dalam pemerintahan Provinsi Papua Barat dibutuhkan pertimbangan dari MRPB. Jadi, dapat dikatakan bahwa fungsi MRPB sebagai Tulisan Hukum-BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat 14

lembaga perwakilan budaya yang juga sekaligus sebagai lembaga fungsi kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan tata pemerintahan sangat berpengaruh untuk mendorong proses demokrasi yang baik di tanah Papua. Tulisan Hukum-BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat 15

DAFTAR PUSTAKA Peraturan 1. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang- Undang 4. Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua 5. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang perubahan Nama Provinsi Irian Jaya Barat Menjadi Provinsi Papua Barat 6. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua 7. Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat Nomor 4 Tahun 2012 tentang Keanggotaan dan Jumlah Anggota Majelis Rakyat Papua Barat 8. Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Tugas, Wewenang, Hak dan Kewajiban Majelis Rakyat Papua Barat Internet 1. http://kbbi.web.id, Majelis, Kamis, 24 Juli 2015 2. http://kbbi.web.id, Rakyat, Kamis, 24 Juli 2015 3. http://mrp.papua.go.id, Majelis Rakyat Papua, 24 Juli 2015 Penulis: Tim JDIH BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat Disclaimer: Seluruh informasi yang disediakan dalam Tulisan Hukum adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi. Tulisan Hukum-BPK Perwakilan Provinsi Papua Barat 16