HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2

dokumen-dokumen yang mirip
Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

A. KESIMPULAN. Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, Universitas Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB III PENUTUP KESIMPULAN. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil,

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016. EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015

GUGATAN GANTI RUGI DALAM UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA YANG TERKAIT DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III PENUTUP. Berdasarkan analisa kasus diatas dapat disimpulkan bahwa ada. keterkaitan antara jumlah kerugian negara dengan berat ringannya pidana

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. Sedangkan hukum perdata itu dibagi menjadi dua macam yaitu hukum perdata

Lex Administratum, Vol. III/No.1/Jan-Mar/2015

P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian dan analisis pada bab-bab sebelumnya, maka

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap Negara

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB III PENUTUP. dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Eksekusi putusan pengadilan tindak pidana korupsi yang telah

BAB I PENDAHULUAN. putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selamalamanya,

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017. Kata kunci: Tindak Pidana, Pendanaan, Terorisme.

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

BAB 1V PENUTUP. sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37.

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

SUATU TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. :

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai extra ordinary crime karena merupakan tindak pidana yang

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH

UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164]

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan

BAB I PENDAHULUAN. dapat terlihat dengan adanya pembangunan pada sektor ekonomi seperti

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

BAB I PENDAHULUAN. proses beracara yang sesuai dengan hukum acara perdata. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara atau perekonomian negara yang akibatnya menghambat

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ada tata hukum yaitu tata tertib dalam pergaulan hidup

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB III PENUTUP. korupsi dan kekuasaan kehakiman maka penulis menarik kesimpulan. mengenai upaya pengembalian kerugian negara yang diakibatkan korupsi

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. ditetapkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang. Undang Nomor 20 Tahun 2001 selanjutnya disebut dengan UUPTPK.

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

Transkripsi:

HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hak negara untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara setelah putusan bebas dalam tindak pidana korupsi dan bagaimana prosedur atau mekanisme untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara setelah putusan bebas dalam tindak pidana korupsi. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, maka dapat disimpulkan: 1. Dengan adanya pasal 32 ayat (2) undangundang pemberantasan tindak pidana korupsi negara berhak untuk menuntut dikembalikannya aset hasil tindak pidana korupsi, meskipun telah dijatuhkan putusan bebas yang berkekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam pasal 191 KUHAP. Penuntutan pengembalian kerugian terhadap keuangan negara tersebut dilakukan oleh jaksa pengacara negara melalui jalur perdata yang tunduk secara keseluruhan terhadap hukum perdata materiil dan formil. 2. Prosedur dalam menuntut pengembalian kerugian terhadap keuangan negara setelah putusan bebas dalam tindak pidana korupsi, dimulai saat jaksa pengacara negara menerima berkas perkara dari penuntut umum. Selanjutnya jaksa pengacara negara mengajukan gugatan perdata kepada pengadilan yang berwenang. Selanjutnya Penetapan hari sidang dan pemanggilan para pihak. sidang diawali dengan mediasi dan dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan. Kemudian hakim mempersilahkan 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Grees Thelma Mozes, SH, MH; Rudy Regah, SH, MH; Prof. Dr. Wulanmas A.P.G Frederik, SH, MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, Manado. NIM. 100711362 tergugat atau kuasanya untuk mengajukan jawaban terhadap surat gugatan penggugat. terhadap jawaban tersebut penggugat dapat memberi tanggapan, dan terhadap tanggapan penggugat tergugat juga diberi kesempatan yang sama untuk dapat menanggapi. Selanjutnya masuk dalam pembuktian dan diakhiri dengan putusan akhir oleh majelis hakim. Kata kunci: Kerugian keuangan negara, Putusan bebas, Korupsi. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 mengatur relatif lebih lengkap mengenai perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yaitu dalam pasal 18 Ayat (1), tegas menjelaskan mengenai pidana tambahan termasuk perampasan segala barang berwujud atau tidak dari hasil tindak pidana korupsi. Begitu juga dalam pasal 38 B Ayat (2) mengenai kewenangan hakim untuk memutus perampasan harta benda hasil tindak pidana korupsi. Permasalahannya bagaimana jika dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi meninggal dunia? Solusi dari permasalahan tersebut terdapat dalam ketentuan pasal 33, dan pasal 34 yang menjelaskan mengenai penggunaan instrument perdata dalam pengembalian kerugian Negara setelah tersangka atau terdakwa meninggal dunia. Penggunaan instrumen perdata dalam perkara Tindak Pidana Korupsi sudah pernah dipraktekan dalam lingkup penegakan hukum. Salah satu contoh kasus yang menggunakan instrumen perdata dalam penegakannya yaitu kasus mantan presiden Soeharto. Dalam Kasus tersebut, mantan presiden soeharto digugat membayar ganti rugi materiil sebesar 400.000.000 dollar AS (empat ratus juta 191

dollar Amerika) dan Rp. 185.900.000.000,- (seratus delapan puluh lima milyar sembilan ratus juta rupiah) juga mengganti kerugian imateriil Rp. 10.000.000.000.000,- (sepuluh trilyun rupiah). 3 Ditahap akhir kasus ini soeharto meninggal dunia sehingga secara hukum posisinya diganti oleh ahli waris, yakni enam anak soeharto. Akan tetapi dalam perkembangan kasus tersebut hakim memutuskan soeharto tidak terbukti merugikan keuangan Negara secara melawan hukum. Penuntutan kerugian keuangan Negara tidak hanya dapat dilaksanakan saat tersangka atau terdakwa meninggal dunia saja tapi dapat juga dilakukan ketika pelaku tindak pidana korupsi di putus bebas oleh pengadilan. Bagaimana ketentuan mengenai Hak Negara dalam Menuntut Kerugian setelah Putusan Bebas dalam perkara Tindak Pidana Korupsi? Dan Bagaimana prosedurnya? Untuk hal tersebut mendorong penulis untuk membahas mengenai Hak Menuntut Kerugian Keuangan Negara Setelah Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana hak negara untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara setelah putusan bebas dalam tindak pidana korupsi? 2. Bagaimana prosedur atau mekanisme untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara setelah putusan bebas dalam tindak pidana korupsi? C. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat Yuridis Normatif, oleh karena didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu dengan tujuan mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum tertentu dan menganalisisnya. PEMBAHASAN A. Hak Menuntut Kerugian Terhadap Keuangan Negara Setelah Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Korupsi Korupsi yang mensyaratkan adanya kerugian keuangan negara hanya terdapat dalam dua pasal, yaitu pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Salah satu unsur penting dalam kedua pasal tersebut adalah unsur dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. konsekuensinya untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat maka tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya agar koruptor dijatuhi pidana penjara tetapi juga harus dapat mengembalikan kerugian keuangan Negara yang dikorup. Berikut dikemukakan beberapa unsur penting pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi: 1. Pengembalian aset merupakan system penegakan hukum; 2. Penegakan hukum tersebut dilakukan baik melalui jalur pidana maupun jalur perdata; 3. Melalui kedua jalur tersebut aset hasil tindak pidana korupsi dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan kepada Negara korban tindak pidana korupsi; 4. Pelacakan, pembekuan, perampasan penyitaan, penyerahan dan pengembalian dilakukan terhadap aset hasil tindak pidana korupsi baik ditempatkan didalam maupun diluar negeri; 5. System penegakan hukum dilakukan oleh Negara korban tindak pidana korupsi yang dilaksanakan oleh institusi penegak hukum; 6. System ini memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut: 3 Ibid, hal 7 192

a. Mengembalikan kerugian Negara korban tindak pidana korupsi yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana korupsi; b. Mencegah penggunaan atau pemanfaatan aset-aset tersebut sebagai alat atau sarana oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk melakukan tindap pidana lainnya, misalnya, tindak pidana pencucian uang, terorisme, dan tindak pidana lintas Negara lainnya; c. Memberikan efek jera bagi pihak lain yang beritikad melakukan tindak pidana korupsi.4 Menurut undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001, penuntutan pengembalian kerugian keuangan Negara dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu jalur pidana dan jalur perdata. 1. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Jalur Pidana Pengembalian kerugian keuangan Negara melalui jalur pidana sering disebut dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi. Jika terdakwa tindak pidana korupsi tidak dapat membuktikan harta benda miliknya bukan diperoleh dari perbuatan tindak pidana korupsi maka hakim berwenang memutus untuk merampas harta benda tersebut untuk Negara. hal ini sebagaimana dikatakan dalam pasal 38B ayat (2) Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berbunyi: Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi 4 Mahrus Ali, Asas, Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013, hal. 84 dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk Negara. 2. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Jalur Perdata Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime) yang dapat merusak sendi-sendi penting dalam suatu Negara, oleh sebab itu dalam pemberantasannya perlu upaya yang luar biasa. Dimungkinkannya instrument perdata dalam tindak pidana korupsi merupakan salah satu upaya yang luar biasa dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Ketentuan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi melalui jalur gugatan perdata dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan jalan alternatif manakala perampasan aset melalui jalur tuntutan pidana tidak dapat dilakukan karena alasan yang dibenarkan oleh undang-undang. 5 Dengan kata lain pengembalian kerugian keuangan Negara akibat korupsi melalui jalur perdata dapat dilakukan setelah proses pemeriksaan perkara korupsi melalui jalur pidana selesai atau tidak dapat dilanjutkan karena alasan-alasan tertentu, seperti meninggalnya tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi selama pemeriksaan, yang secara otomatis menyebabkan hilangnya kewenangan menuntut, sebagaimana bunyi pasal 77 KUHP. Hal-hal yang menyebabkan dapat dilakukannya pengembalian kerugian keuangan Negara melalui jalur perdata berdasarkan undang-undang tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut: a. Penyidik berpendapat tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan unsurunsur tindak pidana korupsi, tetapi 5 Muhammad Yusuf, Merampas Aset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2013, hal 165 193

secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (1) undang-undang korupsi yang berbunyi: Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. b. Tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, tetapi secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 undang-undang korupsi yang berbunyi: Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara, penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. c. Terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di siding pengadilan, tetapi secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 undang-undang korupsi yang berbunyi: Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan disidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. d. Setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 38C undang-undang korupsi yang berbunyi: Apabila setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana, yang diduga atau patut diduga juga berasal dari hasil tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 38B ayat (2), maka Negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. e. Putusan bebas terhadap terdakwa, tetapi secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (2) yang berbunyi: Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapus hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan Negara. Dalam hal terdakwa tindak pidana korupsi diputus bebas karena jaksa penuntut umum tidak dapat membuktikan kepada hakim keseluruhan dari unsur-unsur pasal tindak pidana korupsi tetapi secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara maka Negara dapat mengajukan penuntutan kerugian terhadap keuangan Negara melalui jalur perdata berdasarkan ketentuan pasal 32 ayat (2) undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi yang menyatakan putusan bebas tidak menghapus hak untuk menuntut kerugian negara. Penggunaan instrumen perdata 194

sebagaimana diatur dalam pasal 32 ayat (2) tentunya menjadi sangat penting untuk mengantisipasi putusan bebas terhadap terdakwa yang kemungkinan besar membebaskan mantan terdakwa dari segala tuntutan kerugian keuangan negara. selain itu pasal 32 ayat (2) merupakan dasar hukum bagi Negara dalam mengajukan gugatan perdata terhadap mantan terdakwa yang diputus bebas oleh hakim tindak pidana korupsi. Penuntutan pengembalian kerugian keuangan Negara terhadap mantan terdakwa yang diputus bebas, sesuai dengan pasal 32 ayat (2) dilakukan oleh jaksa pengacara Negara melalui jalur perdata. Kewenagan jaksa pengacara negara untuk menjadi wakil negara dalam upaya penuntutan pengembalian kerugian terhadap keuangan negara melalui jalur perdata diatur dalam ketentuan pasal 30 ayat (2) undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan yang berbunyi: Dibidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Dalam menempuh jalur perdata undangundang korupsi tidak memberikan kekhususan. upaya pengembalian kerugian keuangan Negara dilakukan melalui proses perdata biasa 6 artinya penggunaan jalur perdata dalam upaya menuntut kerugian keuangan Negara tunduk secara keseluruhan pada hukum perdata formil dan materil. B. Prosedur Atau Mekanisme Untuk Menuntut Kerugian Terhadap Keuangan Negara Setelah Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Korupsi Undang-undang tindak pidana korupsi dalam pasal 32 ayat (2) menentukan bahwa mantan terdakwa tindak pidana korupsi 6 Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara, Sinar grafika, Jakarta, 2013, hal. 189 yang diputus bebas oleh hakim dalam persidangan tindak pidana korupsi, dapat digugat perdata oleh negara untuk mengembalikan kerugian terhadap keuangan Negara yang dikorup, jika secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara. Mantan terdakwa yang diputus bebas oleh hakim tersebut digugat Negara yang diwakili oleh jaksa pengacara Negara melalui jalur perdata. Proses perdata yang digunakan tunduk secara keseluruhan terhadap hukum perdata materiil dan formil. Artinya dalam proses persidangan nanti ketentuanketentuan yang digunakan jaksa pengacara Negara adalah ketentuan-ketentuan dalam kitab undang-undang hukum perdata (Burgelijk Wetboek) sebagai hukum perdata materiil, dan ketentuan-ketentuan yang dipakai sebagai dasar dalam melaksanakan sidang yaitu Het Herziene Indonesisch Reglement yang singkat H.I.R. berlaku untuk daerah jawa dan Madura dan Rechtsreglement Buitengewesten yang disingkat R.Bg., berlaku untuk luar jawa dan madura sebagai hukum perdata formil. Karena perbedaan pemberlakuan dalam hukum perdata formil tersebut, maka dalam hal ini penulis memakai R.Bg. sebagai dasar hukum perdata formil mengingat manado merupakan wilayah diluar jawa dan madura. Ketentuan pasal 32 ayat (2) undang-undang tindak pidana korupsi tidak mengatur secara jelas mengenai penyerahan berkas perkara terhadap jaksa pengacara Negara jika hakim menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa tindak pidana korupsi, namun merupakan hal yang mustahil bagi jaksa pengacara Negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap mantan terdakwa korupsi, jika tidak mengetahui secara jelas duduk perkara tindak pidana korupsi yang termuat didalam berkas perkara. Sehingga untuk memperlancar proses penuntutan pengembalian kerugian terhadap keuangan keuangan Negara, jaksa penuntut umum 195

harus menyerahkan berkas perkara tindak pidana korupsi yang terdakwanya telah diputus bebas oleh hakim, kepada jaksa pengacara Negara dan kemudian digugat perdata. Setelah jaksa pengacara Negara menerima berkas perkara, jaksa pengacara Negara langsung membuat gugatan ke pengadilan terhadap mereka yang pernah dituntut dalam tindak pidana korupsi tetapi oleh hakim diputus bebas. Dalam mengajukan gugatan jaksa pengacara harus memperhatikan kewenangan pengadilan dalam mengadili suatu perkara. Dalam hukum acara perdata dikenal 2 macam kewenangan yaitu, kewenangan mutlak (Absolute Competentie) dan kewenangan relatif (Relative Competentie). 7 Berdasarkan pasal 145 ayat (1) R.Bg. setelah gugatan dicatat oleh panitera maka ketua pengadilan negeri dimana gugatan diajukan menetapkan hari sidang dan memanggil para pihak yang berperkara untuk datang pada hari sidang yang ditentukan oleh ketua pengadilan negeri. Jika pada hari sidang yang ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri penggugat tidak hadir maka sesuai dengan ketentuan pasal 148 R.Bg., gugatan penggugat dinyatakan gugur dan penggugat dihukum membayar biaya perkara. Sebaliknya jika pada hari sidang yang ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri tergugat tidak hadir maka sesuai dengan ketentuan pasal 149 R.Bg., gugatan penggugat dikabulkan oleh hakim tanpa kehadiran tergugat (Verstek). Lain halnya jika Pada hari sidang yang ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri, jaksa pengacara negara yang selanjutnya disebut penggugat hadir dan mantan terdakwa tindak pidana korupsi yang selanjutnya disebut tergugat hadir, maka proses persidangan dilanjutkan dengan mediasi kemudian pembacaan 7 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung 2009, hal. 11 surat gugatan oleh pihak penggugat. Ditahap ini penggugat diberi kesempatan untuk merubah gugatannya jika diperlukan sepanjang tidak merubah pokok gugatan. Setelah pembacaan surat gugatan oleh penggugat maka tergugat atau kuasanya dapat mengajukan jawaban. Jawaban tergugat dapat berisi: a. Bantahan terhadap dalil-dalil gugatan b. Eksepsi mengenai kewenangan mengadili c. Gugatan balik (rekonvensi) Eksepsi mengenai kewenangan mengadili dibagi menjadi 2 macam yaitu, eksepsi kewenangan mutlak dan eksepsi kewenangan relatif. Eksepsi mengenai kewenangan mutlak adalah eksepsi yang menyatakan pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara tertentu karena bukan merupakan kewenangan pengadilan negeri akan tetapi merupakan wewenang peradilan yang lain. 8 Lain halnya dengan eksepsi kewenangan relatif yaitu eksepsi yang menyatakan, bahwa pengadilan negeri tertentu adalah tidak berkuasa mengadili perkara tertentu. 9 Contohnya perkara perdata yang seharusnya diadili oleh pengadilan negeri bitung tapi oleh penggugat diajukan ke pengadilan negeri manado. Gugatan balik (rekonvensi) pada umumnya diselesaikan secara bersamaan dengan gugat asal dalam satu putusan. Sesuai dengan ketentuan pasal 167 R.Bg., gugatan balik (rekonvensi) dapat diajukan dalam segala hal kecuali: 1. Bila penggugat dalam konvensi bertindak dalam suatu kedudukan, sedangkan gugatan balik mengenai diri pribadinya atau sebaliknya; 2. Bila pengadilan negeri yang menangani gugatan asalnya tidak berwenang mengadili persoalan yang menjadi inti gugatan balik yang bersangkutan; 8 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.Cit., hal. 40 9 Ibid, hal. 39 196

3. Tentang perselisihan mengenai pelaksanaan suatu putusan hakim; 4. Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak mengajukan gugat balik maka dalam tingkat banding tidak boleh mengajukan gugat balik. Selanjutnya penggugat dapat mengajukan tanggapan terhadap jawaban tergugat dalam bentuk Replik. Replik adalah tanggapan penggugat terhadap jawaban tergugat yang pada pokoknya menguatkan dalil-dalil penggugat dalam surat gugatannya. Setelah replik, tergugat atau kuasa hukumnya diberi kesem[atan untuk mengajukan duplik. Duplik adalah tanggapan tergugat atau kuasanya terhadap Replik penggugat yang pada pokoknya menguatkan bantahan atau eksepsi dalam jawaban tergugat atau kuasanya. Selanjutnya hakim dapat menjatuhkan putusan sela jika dalam jawaban tergugat atau kuasanya berisi eksepsi mengenai kewenangan mengadili, yaitu pengadilan yang mengadili perkara tersebut tidak berwenang memeriksa perkara yang bersangkutan. Sebaliknya jika dalam jawaban tergugat atau kuasanya hanya berisi bantahan terhadap surat gugatan atau gugatan balik (rekonvensi) maka majelis hakim melanjutkan pemeriksaan perkara ke tahap selanjutnya yaitu tahap pembuktian. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Dengan adanya pasal 32 ayat (2) undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi negara berhak untuk menuntut dikembalikannya aset hasil tindak pidana korupsi, meskipun telah dijatuhkan putusan bebas yang berkekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam pasal 191 KUHAP. Penuntutan pengembalian kerugian terhadap keuangan negara tersebut dilakukan oleh jaksa pengacara negara melalui jalur perdata yang tunduk secara keseluruhan terhadap hukum perdata materiil dan formil. 2. Prosedur dalam menuntut pengembalian kerugian terhadap keuangan negara setelah putusan bebas dalam tindak pidana korupsi, dimulai saat jaksa pengacara negara menerima berkas perkara dari penuntut umum. Selanjutnya jaksa pengacara negara mengajukan gugatan perdata kepada pengadilan yang berwenang. Selanjutnya Penetapan hari sidang dan pemanggilan para pihak. sidang diawali dengan mediasi dan dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan. Kemudian hakim mempersilahkan tergugat atau kuasanya untuk mengajukan jawaban terhadap surat gugatan penggugat. terhadap jawaban tersebut penggugat dapat memberi tanggapan, dan terhadap tanggapan penggugat tergugat juga diberi kesempatan yang sama untuk dapat menanggapi. Selanjutnya masuk dalam pembuktian dan diakhiri dengan putusan akhir oleh majelis hakim. B. Saran 1. Sebagai penegak hukum Kejaksaan Republik Indonesia maupun Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia harus meningkatkan perannya dalam upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi yang memperhambat pembangunan nasional di Indonesia, lebih khusus peran jaksa dalam mengembalikan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi yang dikorup oleh para koruptor, baik itu melalui jalur pidana maupun perdata. 197

2. Penggunaan jalur perdata terhadap mantan terdakwa tindak pidana korupsi yang secara nyata telah merugikan negara dan diputus bebas oleh hakim harus lebih dioptimalkan, mengingat pentingnya pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi tersebut untuk menunjang pembangunan nasional dan aspek-aspek lainnya di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Ali Mahrus, Azas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2013. Arsyad Jawade Hafidz, Korupsi dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2013. Hamzah Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2014. Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi Buku saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2006. Makawimbang Hernol Ferry, Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi Suatu Pendekatan Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta, 2014. Mulyadi Lilik, Hukum Acara Pidana Indonesia Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012. Prakoso Djoko dan Suryati Ati, Upetisme Ditinjau dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 1971, Bina Aksara, Jakarta, 1986. Samosir Djisman, Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana, Nuansa Aulia, Bandung, 2013. Siahaan Monang, Korupsi Penyakit Sosial yang Mematikan, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2013. Sutantio Retnowulan dan Oeripkartawinata Iskandar, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung 2009. Yusuf Muhammad, Merampas Aset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2013. Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999, tentang Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg.) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003. Sumber lain: http://www.asiarisk.com/subscribe/exsum1.pd f http://www.voaindonesia.com/content/icw- pemberantasan-korupsi-di-indonesia-dalam- 3-tahun-terakhir-meningkat/1847983.html http://korup.wordpress.com/korupsi-adalah/ http://kbbi.web.id/korupsi http://www.pn-yogyakota.go.id/pnyk/infohukum/artikel-hukum/2073-hukum-acaraperdata.html 198