II. TINJAUAN PUSTAKA. sejak Indonesia merdeka pada tahun Pasal 18 UUD 1945 berbunyi ;

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA;

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH

UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

PENDAHULUAN Latar Belakang

DAMPAK PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM BARU TEHADAP KEBIJAKAN ALOKASI DANA PERIMBANGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari sumber-sumber pendapatan di dalam wilayahnya sendiri. penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya yang

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

TINJAUAN PUSTAKA. Pelaksanaan desentralisasi yang ditandai dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN. Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu

II. TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan menggali sumber-sumber daya yang ada di setiap daerah untuk

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah alokasi (transfer)

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. dan kewajiban setiap orang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pembangunan

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kajian Perda Provinsi Bali Tentang Bagi Hasil Pajak Provinsi kepada Kab./Kota

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan

Transkripsi:

17 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Desentralisasi: Napak Tilas Desentralisasi, yang bergema kembali sejak reformasi tahun 1998, yang terkenal dengan otonomi daerah sesungguhnya secara konstitusional sudah ada sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945. Pasal 18 UUD 1945 berbunyi ; pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, adalah salah satu bukti dan landasan penting otonomi daerah. Untuk mengakomodir amanat konsitutusi tentang desentralisasi tersebut, pemerintah Orde Lama, dan Orde Baru, hingga kini telah mengeluarkan berbagai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah antara lain : 1. Undang-undang No.32 tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah 2. Undang-undang No.5 tahun 1974 tentang Pokok Pokok Pemerintah di Daerah 3. Berbagai Peraturan Pemerintah, yang mengatur INPRES, seperti; (a). INPRES Desa mulai tahun 1969, (b). INRES Dati I, II (1974), (c). INPRES SD (1973), (d). INPRES Kesehatan (1974), (e). INPRES Penghijauan (1976), (f). INPRES Pasar (1976), (g). INPRES Peningkatan Jalan Provinsi (1979), (h). INPRES Desa Tertinggal (1994/95). Tiga faktor penting dalam alokasi INPRES adalah (1) Jumlah penduduk, (2) Panjang Jalan, (3) Luas Daerah. Selain itu dalam periode 1965 1974 itu ada juga berbagai jenis transfer (yang lebih bersifat politis dibanding ekonomis) dari pusat ke daerah antara lain,

18 pemberian Subsidi Perimbangan Keuangan, yang diberikan murni berdasarkan beban gaji pegawai negeri daerah, dikenal dengan SDO ( Mahi dan Adriansyah (2002). Sejak tahun anggaran 1972/73 sistem SDO (subsidi daerah otonom) kembali diberlakukan. Besaran SDO dialokasikan 2/3 untuk provinsi, sisanya 1/3 untuk dati II. Besarnya SDO ke provinsi karena pembayaran sebagian gaji pegawai (pegawai daerah otonom, pegawai diperbantukan, pegawai dipekerjakan, dan honor) dibayarkan di provinsi. Bantuan INPRES mulai diberlakukan tahun 1969. INPRES dimaksudkan untuk membiayai pembangunan di daerah. Dasar pemberiannya adalah adanya penyerahan sebagian urusan kepada daerah, dan untuk membiayai urusan-urusan tersebut. Beberapa tujuan program INPRES adalah; (a) mencapai pemerataan kesempatan kerja, (b) pemerataan berusaha, (c) pemerataan hasil pembangunan dan (d) pemerataan partisipasi dalam pembangunan. Berdasarkan uraian diatas, isu desentralisasi di Indonesia bukanlah masalah baru, namun sebagai isu lama dengan pendekatan baru ( Lewis 2001: ;Tambunan dan Seldayo 1999 ; Smoke and Lewis 1996). Menurut Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998, penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Otonomi daerah berarti pemerintah pusat menyerahkan sebagian wewenang pelaksanaan tugas

19 pemerintahan. Implikasi langsung dari pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah desentralisasi fiskal. Artinya pelimpahan wewenang (otonomi daerah) diikuti dengan pelimpahan pembiayaan (otonomi keuangan), atau yang dikenal dengan istilah money follows function. Tabel 3. Historis Undang-Undang Otonomi Daerah sebelun dan sesudah Orde Reformasi di Indonesia No Undang-Undang Tekanan Pada 1 UU No.22 Tahun 1948 Daerah dibagi menjadi; a. Daerah Otonom dan daerah Istimewa Pemerintah terdiri dari; b. Provinsi, Kabupaten, Kota dan Desa 2 UU No.44 Tahun 1950 Daerah dibagi menjadi; Daerah, Daerah Bagian dan Daerah Anak Bagian 3 UU No.1 Tahun 1957 Daerah dibagi menjadi; Daerah Tingkat I, Provinsi Kotapraja Jakarta Raya Daerah Tingkat II/Kabupaten Daerah Tingkta III 4 UU No.18 Tahun 1965 Pemerintah Daerah terdiri; Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan 5 UU No.5 Tahun 1974 Pemerintah Daerah terdiri dari: DPRD dan Kepala Daerah Kepala Daerah Penguasa Tunggal Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Presiden bukan DPRD 6. UU No.22 Tahun 1999 Pemerintah Daerah terdiri dari: Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah otonom Pemerintah Daerah Otonom dan DPRD adalah peyelenggara pemerintah menurut azas desentralisasi 7 UU No.32 Tahun 2004 (Revisi dari UU no.22 /1999 Pemerintah Daerah terdiri dari: Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah otonom Pemerintah Daerah Otonom dan DPRD adalah peyelenggara pemerintah menurut azas desentralisasi Otonom Yang Dapat Mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri UU Pemda Indonesia Timu dan Daerah Otonom Otonomi Riil Sumber : UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004 Yudoyono (2002) Otonomi riil dan seluas-luasnya Otonomi Nyata dan Bertanggung jawab Otonomi nyata, luas dan bertanggungjawab Otonomi nyata, luas dan bertanggungjawab

20 Desentralisasi Fiskal dititikberatkan kepada daerah kabupaten dan kota, atau daerah tingkat dua (Dati II), menurut istilah UU No.14 tahun 1974. Desentralisasi fiskal ini memberi kabupaten dan kota kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Landasan operasional Desentralisasi Fiskal adalah: 1. Undang-Undang No.22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur desentralisasi politik dan 2. Undang-Undang No. 25 tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (PKPPD), yang mengatur desentralisasi fiskal. Dengan diundangkannya kedua Undang-undang ini, maka bertambah panjanglah deretan undang-undang ataupun aturan-aturan yang pernah mengatur tentang otonomi di Indonesia (Tabel 3). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 memberikan dampak yang relatif besar terhadap keuangan daerah, khususnya dari sisi penerimaan dan wewenang alokasi penggunaannya. Penerimaan yang dikelola langsung oleh pemerintah daerah baik jenis dan jumlah maupun wewenang penggunaannya semakin besar. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) misalnya, sekarang pembagiannya menjadi 90% dialokasikan untuk daerah dan sisanya 10% untuk pusat. Jenis penerimaan lain seperti Minyak Bumi dan Gas dialokasikan lebih banyak kepada daerah (Tabel 4). Sejak diberlakukannya UU No.25 Tahun 1999 terjadi perubahan dan pembagian yang signifikan pada penerimaan daerah jika dibandingkan dengan undang-undang perimbangan keuangan sebelumya. (UU No.32 Tahun 1956) Perubahan sangat besar terjadi misalnya pada bidang sumberdaya alam. Dimana

21 sebelumnya seluruh penerimaan dari sektor tersebut tidak dibagikan, artinya 100% masuk kedalam penerimaan pemerintah pusat, dengan UU No.25 Tahun 1999 telah dibagihasilkan ke daerah. Selain jumlah penerimaaan daerah yang bertambah besar, sumber-sumber penerimaan daerah telah mengalami perubahan kearah yang lebih baik, dalam arti basis penerimaan yang semakin luas sebagaimana diterangkan pada Tabel 5. Tabel 4. Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 (UU-PKPD) dan UU No.32 Tahun 1956 (%) Sesudah Desentralisasi Fiskal Sebelum Desentralisasi Jenis Penerimaan 1. Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) 2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 3. Iuran Hasil dan Pemeliharan Hutan (IHPH) 4. Provisi Sumberdaya Hutan 5. Iuran Tetap Pertambangan Umum (Landrent) 6. Iuran Eksploitasi dan eksplorasi 7. Perikanan 8. Minyak 9. Gas Alam 10.Pajak Penghasilan Perorangan(PPH) Pusat Prov Kab/ Kota 10* 10 20 20 20 20 20 85 70 80 Sumber: UU No.25 Tahun 1999 UU No. 32 Tahun 1956 Keterangan; 16.2 16 16 16 16 16-3 6 8 64.8 64 64 32 64 32-6 12 12 Fiskal Saldo Pusat Dati I Dati II ** 10-32 - 32 80 6 12-10 10 55 55 20 20 100 100 100 100 *, dibagi ratakan kepada kabupaten seluruh Indonesia **, biaya pemungutan PBB 16.2 16 30 30 16 16 - - - - 64.8 Catatan: Untuk Otonomi Khusus Papua dan NAD Bagi Hasil Minyak dan Gas Alam 70% Daerah, 30% Pusat 64 15 15 64 32 - - - - Porsi penerimaan dan pengeluaran daerah pun menjadi meningkat terhadap Penerimaan dan pengeluaran nasional. Pada Tahun 1990-an penerimaan

22 dan pengeluaran masing-masing 24.69% dan 16.62% dari penerimaan dan pengeluaran nasional. Pada tahun 1994/1995 penerimaan daerah turun menjadi hanya 6.11% dari penerimaan nasional sedangkan pengeluaran naik menjadi 22.97% dari pengeluaran nasional. Tabel 5. Sumber penerimaan daerah menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 1956 dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 Keterangan Sumber Pendapatan Daerah Pendapatan Berasal dari Pemerintah Undang-undang Nomor 32 tahun 1956 Pasal 3; Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari Hasil Pajak Daerah Hasil Retribusi Daerah Hasil Laba Perusahaan Daerah Lain-lain Hasil Usaha Daerah yang syah Sumbangan dari pemerintah Sumbangan lain yang diatur dengan Peraturan PerUndang-undangan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 Pasal 55; Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari Hasil Pajak Daerah Hasil Retribusi Daerah Hasil Laba Perusahaan Daerah Lain-lain Hasil Usaha Daerah yang syah Dana Perimbangan terdiri: Bagian dari Pajak Bumi dan Bangunan Bagian dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Bagi Hasil Sumber Daya Alam Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Pinjaman Daerah Diberi hak daerah untuk Daerah diberi hak untuk meminjam meminjam Lain-lain Lain-lain Penerimaan yang syah Lain-lain Penerimaan yang Penerimaan yang syah syah Sumber: 1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 2. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 Sedangkan pada tahun 2001, saat awal kebijakan fiskal, persentase penerimaan daerah menjadi 3.30 % dari penerimaan total nasional, sedangkan pengeluaran daerah sebesar 27.78 % dari pengeluaran total nasional. Artinya semakin banyak anggaran yang di daerahkan (Tabel 6).

23 Porsi penerimaan pajak dan retribusi daerah pun mengalami perubahan, sebagaimana diatur dengan Undang-undang No.34 tahun 2000 (Tabel 7). Dengan perubahan sumber-sumber penerimaan daerah serta adanya keleluasaan penggunaan uang oleh pemerintah daerah, maka daerah dapat melakukan fungsi pelayanan dengan baik Tabel 6. Porsi Penerimaan dan Pengeluaran Lokal Terhadap Nasional pada negara berkembang dan Negara lain tahun 1990-an. (%) No Negara Penerimaan Pengeluaran 1 2 3 4 5 6 7 Berkembang Transisi OECD (1990-an) Indonesia (1989/1990-an) Indonesia (1994/1995) Indonesia TA 2001 Indonesia TA 2001* 9.22 16.59 19.13 24.69 6.11 3.30 7.50 13.78 26.12 32.41 16.62 22.97 27.78 27.78 Sumber: World bank (2005), Bird dan Vaillancourt (2000). Catatan: Desentralisasi dari PBB, BPHTB, dan PPh Diyakini bahwa pemerintah daerah yang lebih dekat dan lebih mengenal kebutuhan daerahnya, akan dapat mengalokasikan anggaran semakin efisien, yang pada gilirannya akan meningkatkan kinerja ekonomi daerah. Berbagai negara telah membuktikan bahwa desentralisasi fiskal telah memberikan keajaiban pada perekonomiannya. Cina misalnya, sebagai salah satu negara dengan desentralisasi fiskal paling sukses, mencapai petumbuhan ekonomi yang tinggi selama implemetasi desentralisasi (dimulai sejak akhir tahun 1970- an), sekitar 10% (Lin and Liu,2000), bahkan dimasa krisis awal tahun 1997 hingga 2002 pertumbuhan ekonomi Cina mencapai (7-9%) per tahun (Simanjuntak dalam Siddik 2002).

24 Menurut Bahl dan Lin 1992; Shah 1994; Ahmad 1997, peralihan (switching) ke bentuk desentralisasi fiskal adalah salah satu cara untuk meloloskan diri dari berbagai jebakan ketidakefektifan, seperti;(1) ketidakefisienan pemerintahan, (2) ketidakstabilan makroekonomi dan (3) ketidakcukupan pertumbuhan ekonomi. Tabel 7. Pajak dan Retribusi Daerah Menurut UU No.34 Tahun 2000 Jenis Pajak Milik Tarif Maks Kenderaan Bermotor Provinsi 5% BBMKB Provinsi 10% Bahan Bakar KM Provinsi 5% Penggunaan Air Provinsi 20% Hotel Kab/Kota 10% Restoran Kab/Kota 10% Hiburan Kab/Kota 35% Advertensi Kab/Kota 25% Penerangan Jalan Kab/Kota 10% Penambangan Mineral Kab/Kota 20% Parkir Kab/Kota 20% Sumber: UU No.34 Tahun 2000 Pembagian Minimum 30% untuk Kab/Kota 30% untuk Kab/Kota 70% untuk Kab/Kota 70% untuk Kab/Kota 10% untuk desa terkait 10% untuk desa terkait 10% untuk desa terkait 10% untuk desa terkait 10% untuk desa terkait 10% untuk desa terkait 10% untuk desa terkait Selain dari pada itu kebijakan desentralisasi fiskal diperlukan untuk perbaikan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas dan peningkatan mobilisasi dana. Karena menurut mereka, pelayanan masyarakat setempat yang dilakukan daerah cenderung lebih efisien dibandingkan pemerintah pusat. Menurut Bahl dan Lin (1994) keberhasilan desentralisasi fiskal, membutuhkan prasyarat seperti (1) kapasitas administrasi daerah yang tepat, (2) pejabat daerah yang responsif dan bertanggung jawab atas besarnya otoritas keuangan daerah mereka. Sementara Bird dan Vaillancourt (2000), menyebut dua

25 syarat keberhasilan desentralisasi fiskal yaitu (1) proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, artinya pengambilan keputusan biaya dan manfaat harus transfaran dan melibatkan pihak-pihak terkait, (2) biaya-biaya dari keputusan yang diambil sepenuhnya ditanggung oleh masyarakat setempat, sehingga tidak perlu terjadi ekspor pajak dan tidak ada transfer dari jenjang pemerintahan lain. Bahl dan Mc Mullen (1999 ) mengatakan ada 12 aturan yang harus dipenuhi suatu daerah agar kebijakan desentralisasi fiskal dapat berhasil. Keduabelas syarat itu adalah; (1). Desentralisasi fiskal harus dilihat sebagai suatu sistem yang komprehensif; artinya melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, DPRD, sistem transfer dan wewenang dan tanggung jawab secara benar, (2) Uang mengikuti fungsi (money follow function); artinya penyerahan tanggung jawab kepada daerah harus disertai dengan penyerangan wewenang keuangan, pemungutan maupun penggunaannya, (3) Pemerintah pusat memiliki kemampuan untuk memantau dan mengevaluasi proses desentralisasi fiskal; artinya proses desentralisasi dikendalikan dan dibimbing secara bertahap, (4) Diperlukan sistem antar pemerintah yang berbeda untuk sektor perkotaan dan sektor pedesaan; artinya tahap implemetasi sebaiknya dimulai dari unit-unit pemerintah yang lebih besar, dan membiarkan yang kecil menjadi besar, (5) Desentralisasi fiskal memerlukan kewenangan besar bagi daerah untuk mengelola pajak, (6) Pemerintah pusat harus mematuhi aturan-aturan desentralisasi fiskal yang dibuatnya, (7) Pertahankan kesederhanaan, (8) Desain transfer antar pemerintah seharusnya sesuai dengan tujuan reformasi desentralisasi; besarnya dana yang dibagikan mencerminkan keseimbangan fiskal secara vertikal, dan alokasi

26 mencerminkan keseimbangan fiskal secara horizontal, (9) Desentralisasi fiskal harus mempertimbangkan ketiga tingkatan pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota), (10) Terapkan batasan anggaran yang ketat; artinya pemerintah daerah yang diberi otonomi dituntut menyeimbangkan anggarannya, (11) Sistem fiskal antar pemerintah selalu dalam transisi dan antisipatif terhadap perubahanperubahan yang terjadi, dan (12) Harus ada pelopor bagi desentralisasi fiskal Jika desentralisasi fiskal berhasil dilaksanakan maka akan tercapailah : (1) efisiensi ekonomi, mobilitas dana, (2) stabilitas makroekonomi, pertumbuhan ekonomi yang cukup dan (3) efisiensi dan efektivitas pemerintahan (Bahl and Lin 1992; Shah 1994; Ahmad 1997). Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap kinerja perekonomian Indonesia telah dilakukan oleh peneliti (Wuryanto 1996: Shah dalam Bird dan Vaillancourt 2000 : Kawagoe 1998 ; Lewis 2001). Studi pada tingkat provinsi pun sudah pernah dilakukan. Penelitian tentang Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian Daerah pada level provinsi telah dilakukan oleh Pardede (2004) di Sumatera Utara, khususnya Tapanuli Utara dan Medan, dengan pendekatan Input-Output. Pakasi (2005) di Sulawesi Utara dengan pendekatan Ekonometrika. SMERU (2002) juga melakukan studi dampak desentralisasi fiskal terhadap investasi di Jawa Barat dan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Nusa Tenggara Timur, dengan pendekatan kualitatif. 2.2. Desentralisasi Politik Sesungguhnya desentralisasi mencakup berbagai aspek, yakni aspek politik (political decentralization), administratif (administrative decentralization),

27 fiskal (fiscal decentralization), dan ekonomi (economic or market decentralization). Secara umum, desentralisasi diartikan sebagai suatu penyerahan (difusi) pendelegasian kekuasaan dan kewenangan, dan pendelegasian tanggung jawab, dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk membuat keputusankeputusan. Ada tiga variasi desentralisasi dalam kaitannya dengan derajat kemandirian pengambilan keputusan yang dilakukan daerah. Pertama, desentralisasi berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkup pemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah atau ke pemerintah daerah. Ini dinamakan dekonsentrasi. Kedua, delegasi yaitu daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga, devolusi (pelimpahan) berhubungan dengan suatu situasi yang bukan saja implementasi tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan di daerah (Bird and Vaillancourt, 2000). Dalam kaitan dengan desentralisasi fiskal, desentralisasi berarti pendelegasian kewenangan dan tanggung jawab fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Sebagai landasan operasional desentralisasi fiskal,pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan azas desentralisasi. Kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi disertai

28 dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia. Bidang pemerintahan yang diserahkan kepada daerah (kabupaten dan kota) adalah: (1) pekerjaan umum, (2) kesehatan, (3) pendidikan dan kebudayaan, (4) pertanian, (5) perhubungan, (6) industri dan perdagangan, (7) penanaman modal, (8) lingkungan hidup, (9) pertanahan, (10) koperasi, dan (11) tenaga kerja. Sedangkan urusan yang menyangkut (1) pertahanan keamanan, (2) hubungan luar negeri, (3) agama, (4) peradilan, dan (5) keuangan dan moneter tetap dipegang oleh pemerintah pusat. Undang-undang No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (PKPPD), adalah sebagai konsekuensi logis dari adanya pengalihan pembiayaan, sarana-prasarana dan sumberdaya manusia kepada daerah. Undang-undang ini mengatur wewenang daerah untuk melakukan pembelanjaan, dan kewenangan memungut pajak. Penyerahan wewenang ini yang dikenal dengan nama desentralisasi fiskal (fiscal decentralization). Dalam konteks ini, desentralisasi fiskal memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut : (a) mengurangi peran dan tanggung jawab diantara pemerintah pada semua tingkat; (b) memperhitungkan bantuan atau transfer antar pemerintahan; (c) memperkuat sistem penerimaan daerah/lokal atau merumuskan penyediaan jasa-jasa lokal, (d) memprivatisasi BUMD; dan (e) menyediakan suatu jaringan pengaman bagi fungsi redistrubusi. Oleh karena itu, keberhasilan dari desentralisasi fiskal juga dapat dinilai dari sejauhmana fungsi-fungsi tersebut di atas telah dilaksanakan.

29 Menurut Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998, penyelenggaraan desentralisasi dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dengan diberlakukannya desentralisasi, berarti pula dituntut kemandirian daerah dalam menggerakkan roda pembangunan wilayahnya masing-masing baik dari segi perencanaan, pembiayaan maupun pelaksanaannya. Peran pemerintah pusat lebih sebagai fasilitator pembangunan. Kesempatan diberikan seluasluasnya kepada pemerintah daerah untuk dapat lebih memberdayakan peran serta masyarakat dalam proses pembangunan. Partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan tersebut secara langsung berpotensi untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan. Artinya desentralisasi memberikan stimulus bagi daerah untuk bertumbuh secara optimal. Optimal dalam pengertian daerah ialah mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan dan dengan cara mereka sendiri. 2.3. Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal, merupakan komponen utama dari desentralisasi. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik, maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat.

30 Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-faktor; (1).Pemerintah Pusat yang mampu melakukan pengawasan dan law enforcement, (2). SDM yang kuat pada Pemda guna menggantikan peran Pemerintah Pusat, (3). Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah. Implikasi langsung dari diserahkannya berbagai fungsi pelayanan kepada daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk membiayai tugas yang menjadi tanggungjawabnya, daerah diberikan sumber-sumber pembiayaan melalui pemberian kewenangan memungut pajak/retribusi, sistem transfer, dan kewenangan melakukan pinjaman. Maka disusunlah UU N0.25 Tahun 1999 yang mengatur dan menjamin adanya Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Implemetasi desentralisasi fiskal versi UU No.25 tahun 1999 itu sendiri diduga membutuhkan empat fase yaitu; (1) fase inisiasi (tahun 2001), (2) fase instalasi (bongkar pasang; tahun 2002-2003), (3) fase konsolidasi (penguatan dan pengembangan; tahun 2004-2007), (4) fase stabilisasi (perampungan; sesudah tahun 2007) (Siregar 2004) 6. Dengan diberlakukannya UU N0.25 tahun 1999, yang mengatur tentang PKPPD (Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah), maka sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi menjadi ; 1. Pendapatan Asli daerah (PAD) 2. Dana Perimbangan 6 Seminar Forum EPN 2004. Reorientasi Pembangunan Pertanian dalam Persfektif Desentralisasi Fiskal

31 3. Pinjaman daerah, dan 4 Lain-lain penerimaan yang syah Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada dasarnya bertujuan untuk ; 1. Menjaga kesinambungan kebijakan fiskal (fiscal sustainability) dalam konteks kebijakan ekonomi makro 2. Mengoreksi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) keuangan antar pemerintah pusat dan daerah 3. Mengoreksi ketimpangan horinzontal (horizontal imbalance) keuangan antar pemerintah daerah 4. Meningkatkan akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi dalam rangka peningkatan kinerja pemerintah daerah 5. Meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat 6. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan disektor Publik 2.3.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber dalam wilayahnya sendiri, yang dipungut berdasarkan peraturan daerah (PERDA). PAD diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Dengan demikian, daerah mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dari sumbersumber yang berasal dari daerahnya sendiri pula.

32 Kewenangan daerah untuk memungut PAD diatur dalam UU No.18 tahun 1997 sebagaimana telah disempurnakan dalam UU No.34 tahun 2000. Undangundang tadi mencerminkan keleluasaan daerah untuk menggali sumber-sumber pembiayaan dari daerahnya sendiri seperti pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan lainlain PAD yang syah. 2.3.1.1. Pajak Daerah Dengan UU No. 34 tahun 2000 tersebut, yang ditindaklanjuti aturan pelaksanaannya, PP No. 65 tahun 2001 tentang pajak daerah dan PP No.66 tahun 2001 tentang retribusi daerah, Kabupaten/Kota diberi peluang dalam menggali potensi sumber-sumber keuangan daerah dengan menetapkan jenis pajak dan retribusi selain yang ditetapkan dalam undang-undang dan sesuai dengan aspirasi rakyat. Tabel 8. Jenis Pajak Provinsi dan Kabupaten/Kota Provinsi 1. Pajak kendaraan bermotor dan kenderaan diatas 2. Bea Balik Nama Kenderaan Bermotor 3. Pajak Bahan Bakar Kenderaan Bermotor 4. Pajak Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan Kabupaten/Kota 1. Pajak Hotel 2. Pajak Restoran 3. Pajak Hiburan 4. Pajak Reklame 5. Pajak Penerangan Jalan 6. Pajak Pengambilan bahan galian C 7. Pajak Parkir Sumber: UU No.34 Tahun 2000 Demikian juga dengan provinsi, juga diberikan wewenang untuk memungut retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang. Berdasarkan undang-

33 undang dan peraturan pemerintah tersebut, daerah diberikan kewenangan untuk memungut berbagai jenis pajak dan retribusi sebagaimana dijelaskan Tabel 7 dan Tabel 8. 2.3.1.2. Retribusi Daerah Retribusi untuk daerah provinsi, kabupaten/kota ditetapkan sesuai kewenangan daerah yang terdiri dari; 10 jenis retribusi jasa umum, 4 jenis retribusi perizinan tertentu. Penetapan jenis pajak dan retribusi tersebut didasarkan pertimbangkan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut di hampir semua daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktek merupakan jenis pungutan yang baik. 2.3.1.3. Pendapatan Asli Daerah Lain Yang Syah Pendapatan yang termasuk kelompok ini adalah semua pendapatan yang tidak termasuk Pajak Daerah dan Retribusi, antara lain adalah penerimaan dari dinas-dinas laba BUMD, hasil penjualan aset daerah sewa properti milik daerah. 2.3.2. Dana Perimbangan (equalization transfer) Menurut UU No.25 tahun 1999 dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (pajak dan non pajak), Dana Alokasi Umum (DAU), dan DAK (Dana Alokasi Khusus). Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan bagian dari transfer pemerintah pusat ke daeah. 2.3.2.1. DAU (Dana Alokasi Umum) Sebagai salah satu bentuk transfer dari pemerintah pusat, alokasi DAU mempunyai peranan yang cukup besar bagi penerimaan daerah, mengingat DAU

34 menduduki porsi jumlah terbesar dibandingkan komponen lainnya dalam Dana Perimbangan. Dalam Penjelasan ayat (4) dan (5) UU Nomor 25 tahun 1999, Dana Alokasi Umum (DAU) untuk satu provinsi tertentu dihitung dengan formula: DAU Provinsi = Jumlah DAU untuk Seluruh Provinsi X Bobot Daerah Provinsi YBS Bobot Seluruh Daerah Provinsi Sedangkan besaran DAU yang diterima oleh kabupaten/kota dihitung dengan formula yang serupa yaitu: DAU Kab/Kota = Jumlah DAU untuk Seluruh Kabupaten/Kota X Bobot Daerah Kab/Kota YBS Bobot Seluruh Daerah Kab/Kota Bobot daerah ditetapkan berdasarkan, (1). Kebutuhan Wilayah Otonomi Daerah, yang dicerminkan paling sedikit oleh variabel Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, Keadaan Geografis, dan Tingkat Pendapatan dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin, (2). Potensi ekonomi daerah, antara lain dicerminkan oleh potensi penerimaan daerah seperti potensi Industri, potensi SDA, potensi SDM, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDDRB). Per definisi DAU adalah dana dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah. Salah satu tujuan keberadaan DAU dalam sistem perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah adalah sebagai equalization grant, terutama untuk menetralkan dampak disparitas yang

35 ditimbulkan oleh transfer lain, seperti Bagi Hasil Sumber Daya Alam (BHSDA) dan Bagi Hasil Pajak (BHP). Tolak ukur keberhasilan DAU salah satunya adalah tercapainya pemerataan total penerimaan daerah per kapita yang sebaikbaiknya. Peranan strategis alokasi DAU terletak pada kemampuannya untuk menciptakan pemerataan fiskal berdasarkan pertimbangan atas potensi fiskal dan kebutuhan nyata daerah. Menurut Mahi (2002), Kadjatmiko (2000,), karena fungsinya sebagai sebagai alat untuk mengurangi ketimpangan fiskal horizontal, maka seyogianya DAU dilihat secara keseluruhan sebagai bagian dari Dana Perimbangan dan juga kapasitas fiskal daerah (PAD). Artinya DAU tidak boleh dilihat secara terpisah (terutama dengan Bagi Hasil Pajak; PBB, BPHTB, PPh perorangan) dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam. Hal ini karena sifat DAU sebagai equalization grant. Oleh sebab itu daerah yang menerima Pendapatan Asli Daerah, Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam tinggi seyogianya mendapat Dana Alokasi Umum yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah yang menerima Pendapatan Asli Daerah, Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam rendah. 2.3.2.2. Bagi Hasil Pajak (BHP) dan Bukan Hasil Bukan Pajak (BHBP) Penerimaan Negara yang dibagi kepada daerah adalah (1) penerimaan pajak dan (2) penerimaaan negara bukan pajak atau bagi hasil sumber daya alam (UU No.25 Tahun 1999).

36 2.3.2.2.1. Bagi Hasil Pajak Penerimaan Pajak yang dibagi kepada pemerintah daerah adalah (1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan (2) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Penerimaan negara dari PBB dibagikan kepada daerah 90% dan sisanya (10%) dibagikan untuk pemerintah pusat. Bagian daerah yang 90% diberikan 16.2% untuk pemerintah provinsi, 64.8% kepada pemerintah kabupetn/kota, sedangkan 9% adalah sebagai biaya pemungutan pajak tersebut. Penerimaan negara dari BPHTB, dibagikan kepada pemerintah pusat 20%, dan pemerintah daerah mendapat bagian 80%, dengan rincian 16% untuk pemerintah provinsi, 64% untuk kabupaten/kota. Selain kedua pajak yang disebut diatas, jenis pajak yang dibagi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota adalah Pajak Bahan Bakar Kenderaan Bermotor. Pemerintah provinsi mendapatkan bagian 10% dan 90% untuk pemerintah kabupaten/kota. Tata cara pembagian diantara kabupaten/kota adalah panjang jalan yang dimiliki masing-masing pemerintah daerah. Pajak Bahan Bakar Kenderaan Bermotor dipungut oleh pemerintah provinsi. Pajak Penerimaan Perseorangan diberikan 80% untuk pemerintah pusat dan sisanya 20% adalah bagian pemerintah daerah 2.3.2.2.2. Bagi Hasil Bukan Pajak Penerimaan negara bukan pajak yang dibagikan kepada pemerintah daerah adalah penerimaan negara bukan pajak dari sumber daya alam. Karenanya jenis penerimaan ini disebut juga Bagi Hasil Sumber Daya Alam (BHSDA). Bagi

37 Hasil Sumber Daya Alam terdiri dari (1) minyak bumi, (2) gas alam, (3) kehutanan, (4) pertambangan umum dan (5) perikanan Sebelum UU No.25 Tahun 1999 Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari minyak bumi dan gas alam tidak dibagikan. Sejak implementasi desentralisasi fiskal dibagikan dengan rincian 85% untuk pemerintah pusat dan 15% untuk pemerintah daerah. Bagian pemerintah daerah dibagikan 3% untuk pemerintah provinsi, 6% untuk kabupaten/kota penghasil, sisanya 6% untuk kabupaten/kota lain dalam provinsi tersebut (Lihat kembali Tabel 4). Bagi hasil gas alam menjadi 70% untuk pemerintah pusat dan 30% untuk pemerintah daerah, dengan rincian 6% untuk provinsi, 12% untuk kabupaten/kota dan 12% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi. Penerimaan negara dari pertambangan umum dibagikan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk daerah, dengan rincian 16% untuk provinsi, 64% untuk daerah tingkat II. Penerimaan negara yang berasal dari sektor kehutanan adalah (1) royalty yaitu dari PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan) dan (2) Landrent yang bersifat license fee yaitu IHPH (Iuran Hak Pengusahaan Hutan) dan (3) Dana Reboisasi. Menurut UU No.25 tahun 1999, PSDH dan IHPH termasuk dalam penerimaan dari Sumber Daya Alam yang dibagikan kepada daerah, sedangkan dana reboisasi disalurkan kepada daerah dengan mekanisme DAK (Dana Alokasi Khusus). Setelah desentralisasi fiskal bagi hasil dari IHPH berubah. Tadinya dibagikan kepada pemerintah pusat 30% dan pemerintah daerah 70%, berubah menjadi 20% pusat dan 80% untuk pemerintah daerah. Bagi hasil IHH/PSDH yang tadinya pemerintah pusat mendapat bagian 55% dan daerah 45%, dengan

38 rincian 30% untuk provinsi dan 15% untuk kabupaten/kota, berubah menjadi 20% untuk pusat dan 80% untuk daerah. Sebelum UU No.25 Tahun 1999 penerimaan negara dari sektor perikanan tidak dibagikan. Namun sejak desentralisasi fiskal penerimaan tersebut dibagikan dengan rincian 20% untuk pemerintah pusat dan 80% dibagiratakan kepada seluruh kabupaten/kota se Indonesia. 2.3.2.2. DAK (Dana Alokasi Khusus) Pada hakikatnya Dana Alokasi Khusus (DAK), adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan ketersediaan dana dalam APBN. Menurut UU No.25 tahun 1999, kebutuhan khusus yang dapat dibiayai oleh DAK adalah; 1. Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum. 2. Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional 3. Empat puluh persen (40%) dari penerimaan Negara yang berasal dari Dana Reboisasi disediakan kepada daerah penghasil sebagai DAK, untuk membantu membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan. Menurut Kadjatmiko (2002), untuk mendapatkan DAK, khususnya butir (a) diatas diperlukan syarat-syarat sebagai berikut; 1. Adanya usulan daerah yang diajukan kepada menteri teknis/instansi terkait 2. Daerah tidak mampu membiayai keseluruhan kegiatan tersebut dari PAD, DAU, Bagi Hasil, dan Penerimaan lain yang syah.

39 3. Daerah menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10%,sementara untuk kegiatan penghijauan dan reboisasi tidak memerlukan pendamping. 4. Kegiatan tersebut memenuhi kriteria teknis sektor/kegiatan yang ditetapkan oleh menteri teknis/instansi terkait Sebagaimana disebutkan tadi, kebutuhan khusus yang dapat dibiayai oleh DAK adalah salah satunya kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan rumus Dana Alokasi Umum. Kebutuhan tersebut antara lain adalah; 1. Kebutuhan prasrana, dan sarana fisik di daerah yang berbatasan langsung dengan Negara lain. 2. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak mempunyai akses yang memadai ke daerah lain 3. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang terletak didaerah pesisir atau kepulauan dan tidak mempunyai prasarana dan sarana yang memadai 4. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah transmigrasi 5. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah guna mengatasi dampak kerusakan lingkungan Adapun kebutuhan yang merupakan komitmen nasional adalah, meliputi; 1. Kebutuhan yang sesuai dengan kegiatan yang menjadi komitmen pemerintah dengan lembaga donor 2. Kebutuhan yang sesuai dengan kegiatan yang menjadi prioritas Rencana Pembangunan Tahunan. Sedangkan kebutuhan daerah yang dapat dibiayai dengan DAK meliputi;

40 1. Kegiatan investasi, pengadaan dan atau peningkatan dan atau perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang serta bermanfaat bagi masyarakat 2. Kegiatan pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana untuk periode terbatas tidak melebihi tiga tahun yang bermanfaat bagi masyarakat, dan diberikan dalam kondisi tertentu dimana pada tahap awal daerah belum dapat melaksanakannya. 2.3.2.3. Pinjaman daerah Untuk membiayai kebutuhan daerah berkaitan dengan penyediaan prasarana yang produktif (pengeluaran modal), daerah juga dapat melakukan pinjaman baik dari dalam negeri dan luar negeri dengan persetujuan pusat. Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang, sehingga daerah tersebut dibebani kewajian untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim dalam perdagangan. Sumber pinjaman adalah dari dalam negeri (dari pemerintah pusat, atau penerbitan obligasi) dan dari luar negeri, yang digunakan; 1. Pinjaman jangka panjang, untuk membiayai pembangunan prasarana yang merupakan asset daerah, yang dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran pinjaman tersebut, serta memberikan manfaat bagi pelayanan umum 2. Pinjaman jangka pendek, untuk pengaturan arus kas dalam rangka pengeluaran kas daerah

41 Peraturan yang ada memungkinkan daerah meminjam langsung kepada sumber di luar negeri, tanpa jaminan pemerintah pusat. Namun pada kenyataannya sebagian besar lembaga internasional mensyaratkan pinjaman dilakukan dengan pemerintah pusat sebagai anggota. 2.3.2.4. Penerimaan Lain Yang Syah Jenis penerimaan yang termasuk pada bagian ini adalah semua penerimaan yang tidak termasuk kepada jenis penerimaan yang disebut terdahulu, penerimaan yang termasuk kesini antara lain adalah subsisi atau bantuan dari pemerintahan yang lebih tinggi, namun tetap tercatat dalan APBD daerah. 2.4. Formulasi DAU (Dana Alokasi Umum) Sebagaimana diamanatkan dalam UU No.25 tahun 1999 bahwa DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25 % dari Penerimaan Netto Dalam Negeri dengan rincian 90% untuk kabupaten/kota dan 10% untuk provinsi. Untuk mengalokasikan DAU yang cukup besar tersebut dipergunakan suatu formula, yang menggunakan pendekatan fiscal gap (celah fiskal), dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah (fiscal needs) dengan potensi daerah (fiscal capacity). Namun dalam perkembangannya DAU ditetapkan tidak hanya berdasarkan celah fiskal namun juga atas dasar faktor penyeimbang atau alokasi dasar. Alokasi dasar mengandung arti bahwa penerimaan DAU tahun berjalan setidaknya sama dengan DAU tahun sebelumnya. Sebagaimana disebutkan bahwa variabel kebutuhan daerah paling sedikit dicerminkan oleh jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat

42 pendapatan masyarakat, dengan memperhatikan masyarakat miskin. Sementara potensi daerah dicerminkan oleh potensi penerimaan daerah seperti potensi industri, potensi SDA, potensi SDM, dan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Selain itu untuk menghindari kemungkinan penurunan kemampuan daerah dalam membiayai pengeluarannya yang sudah menjadi tanggung jawabnya, maka alokasi DAU juga ditentukan oleh faktor penyeimbang, dan faktor Lump-sum, selain dari faktor formula yang telah disebutkan diatas. Sehingga alokasi DAU menurut Brojonegoro dan Pakpahan ( 2002) adalah ; DAU i = FF i + FPi + FL i, dimana : DAU : Dana Alokasi Umum FF : Faktor formula FP : faktor Penyeimbang FL : faktor lump-sum i ; provinsi, kabupaten/kota 2.4.1. Formulasi DAU 2001 Potensi Penerimaaan: *Potensi Industri *Potensi SDA *Potensi SDM *PDRB Variabel Potensi: *PDRB Non-Primer *PDRB Primer *Penduduk Usia Prod Amanat UU No.25/1999 Formula DAU 2001 Kebutuhan Fiskal: *Jumlah Penduduk *Luas Wilayah *Keadaan Geografi Penduduk Miskin Varibel Kebutuhan: *Jumlah Penduduk * Luas Wilayah *Indeks Harga Bang * Penduduk Miskin Gambar 1. Prosedur Penyusunan DAU 2001

43 Berbagai pendapat mengenai keterbatasan dalam formulasi DAU yang memiliki berbagai kelemahan. Kritik utama adalah bahwa formula yang dibuat cenderung kurang menghasilkan efek pemerataan dan keadilan ekonomi, padahal tujuan utama DAU dalam UU No.22 tahun 1999 adalah pemerataan. Belum lagi ditambah dengan nuansa politik yang cukup kental dalam proses persetujuan perumusan DAU tersebut, sehingga menyimpan potensi konflik (Simanjuntak 2001). 2.4.2. Formulasi DAU 2002 Formula DAU 2002, sebagai perbaikan terhadap formula DAU 2001, didasari oleh beberapa hal yaitu (1) formula DAU 2001 hanya berlaku satu tahun (sesuai Keppres No.181 Tahun 2000), (2) formulasi DAU 2001 masih banyak kelemahan, (3) perlu penyempurnaan DAU guna mengurangi celah fiskal antar daerah serta dapat mencerminkan azas keadilan dan pemerataan. Beberapa pedoman dasar bagi penyusunan formula DAU tahun 2002: 1. Tetap mengacu pada kaidah-kaidah dasar dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 2. Menggunakan pendekatan fiscal gap, yaitu DAU lebih diarahkan untuk membantu daerah yang kurang mampu secara keuangan. 3. Formulanya harus sederhana, sehingga mudah dipahami, sehingga daerah dapat menghitung sendiri DAU yang akan diterimanya. 4. Formulanya dapat dipertanggung jawabkan secara akademis 5. Memenuhi fungsi DAU sebagai penyeimbang keuangan antar daerah (equlization transfer).

44 Berdasarkan kriteria tersebut maka alur pemikiran dalam penyusunan formula DAU 2002 menjadi (Gambar 2). Beberapa penyempurnaan dilakukan dalam penyusunan DAU 2002 yang dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu (1) variabel potensi penerimaan dan (2) variabel kebutuhan pembiayaan daerah. Potensi Penerimaaan: *Potensi Industri *Potensi SDA *Potensi SDM *PDRB Variabel Potensi: *PDRB Ind & jasa *Bagi Hasil SDA,PBB, BPHTB *PPh Orang Pribadi Amanat UU No.25/1999 Formula DAU 2002 Kebutuhan Fiskal: *Jumlah Penduduk *Luas Wilayah *Keadaan Geografi Penduduk Miskin Varibel Kebutuhan: *Jumlah Penduduk * Luas Wilayah *Kepadatan Penduduk *Indeks Harga Bang * Proverty Gap Gambar 2. Prosedur Penyusunan DAU 2002 Variabel-variabel penentu potensi penerimaan adalah PAD, PBB dan BPHTB, PPh Orang Pribadi, dan Bagi Hasil Sumberdaya Alam. Variabel penentu kebutuhan pembiayaan daerah adalah Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, Indeks Harga Bangunan dan Penduduk Miskin. Nilai PAD dihitung sebagai fungsi dari PDRB sektor Jasa dengan formula ekonometrika: PAD = α 0 + α 1 PDRB Sektor Jasa. Nilai PBB dan BPHTB lebih dari 90% masuk ke kas daerah, walau jenis pajak ini termasuk pajak pemerintah pusat. Sebesar 20% dari PPh diserahkan kepada daerah. Nilai Bagi Hasil

45 Sumberdaya Alam (BHSDA) merupakan komponen dari Dana Perimbangan. Oleh karena itu BHSDA menentukan besarnya penerimaan daerah. Indeks Beban Penduduk, yang merupakan indikator perbedaan kebutuhan antar daerah berdasarkan jumlah penduduk dihitung dengan ; Populasi Daerah i Indeks Penduduk i = ------------------------------------------------------ Rata-rata populasi Daerah secara Nasional Indeks Luas Daerah menunjukkan perbedaan kebutuhan pembiayaan daerah atas dasar luas wilayahnya, dihitung berdasarkan rumus; Luas Daerah i Indeks Luas Daerah i = ------------------------------------------------- Rata-rata Luas Daerah secara nasional Indeks Harga Bangunan merupakan indikator tingkat kesulitan daerah. Makin sulit kondisi daerah makin besar biaya yang diperlukan untuk konstruksi. Untuk menghitung perbedaan suatu daerah dengan yang lain didasarkan atas rumus berikut; Indeks Konstruksi Daerah i Indeks Harga Bangunan i = ------------------------------------- Rerata Indeks Konstruksi Daerah Poverty Gap adalah indikator perbedaan tingkat kemiskinan antar daerah. Indikator ini mengukur jumlah dana yang diperlukan untuk mengangkat seluruh orang miskin keluar dari garis kemiskinan melalui transfer dana. Poverty gap yang diukur dalam persentase, adalah jarak rata-rata pendapatan penduduk dari garis kemiskinan, didefinisikan sebagai berikut;

46 PG = 1 q n i= 1 z z yi dimana; Yi : pendapatan individu ke i Z : Poverty line/garis kemiskinan N : jumlah penduduk suatu daerah Pengeluaran rata-rata daerah adalah indikator untuk mengukur biaya ratarata pengadaan pelayanan publik di daerah, yaitu jumlah biaya rutin gaji dan non gaji ditambah belanja pembangunan daerah. Pengeluaran rata-rata daerah diukur dengan rumus; (Belanja Rutin + Belanja Pembangunan} Seluruh Indonesia Pengeluaran Daerah Rata-Rata = ------------------------------------------------------------------------- Jumlah Daerah Variabel-variabel terpilih untuk menentukan kebutuhan daerah dikelompokkan menjadi variabel kependudukan dan variabel kewilayahan, yang masing-masing kelompok dibobot 50%. Variabel kependudukan terdiri atas Indeks Jumlah Penduduk (IP) dan Indeks Kemiskinan Relatif (IKR), sedangkan variabel kewilayahan terdiri dari Indeks Luas Wilayah (IW) dan Indeks Harga Bangunan (IHB). Bobot yang relevan bagi setiap indeks adalah ; 1. Indeks Jumlah Penduduk (IP) 0.1 2. Indeks Kemiskinan Relatif (IKR) 0.1 3. Indeks Luas Wilayah (IW) 0.1 4. Indeks Harga Bangunan (IHB) 0.4 Untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekurangan kemampuan daerah membiayai pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya (funding

47 mismatch), alokasi DAU 2002 disamping menggunakan formula atas dasar konsep fiscal gap, juga memperhitungkan faktor penyeimbang, yang terutama didasarkan atas besarnya kebutuhan belanja pegawai di daerah. Artinya semua daerah dapat DAU, walaupun sesungguhnya jika berdasarkan konsep fiscal gap daerah tersebut mendapat dapat nilai DAU Nol. Selengkapnya, Alokasi DAU ke daerah tertentu dihitung sebagai berikut; DAU i = Fp i + (BD i x DAU n ) Celah fiskal i BD i = ------------------------- Total Celah Fiskal dimana; DAU i DAU n FP BD i : DAU yang akan dialokasikan ke provinsi atau ke kab/kota : DAU yang akan dialokasikan ke seluruh provinsi atau kabupaten/kota setelah disesuaikan dengan faktor penyeimbang. : Faktor Penyeimbang : Bobot Daerah provinsi atau kabupaten/kota Bobot DAU dibentuk dari perhitungan celah fiskal yang didasarkan atas selisih antara kebutuhan pembiayaan daerah dan potensi penerimaan daerah dengan pendekatan sebagai berikut; dimana; Celah Fiskal i = (Kebutuhan Fiskal i Kapasitas Fiskal i ) Kebutuhan Fiskal i = TPR x [ 0.4 IP i + 0.1 IW i + 0.1 IKR i + 0.4 IHB i ] Kapasitas Fiskal i = PAD i + PBB i + BPHTB i + PPh i +0.75 SDA i PAD i = a 0 + a 1 PDRB jasa TPR : Total Pengeluaran rata-rata IP : Indeks Kepadatan Penduduk IW : Indeks Luas Wilayah IKR : Indeks Kemiskinan Relatif IHB : Indeks Harga Bangunan

48 PAD ; Pendapatan Asli Daerah PBB : Pajak Bumi dan Bangunan BPHTB: Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan PPh : Pajak Penghasilan Perorangan PDRB : Produk Domestik Regional Bruto SDA : Sumber Daya Alam Faktor penyeimbang DAU 2002, berupa alokasi minimum yang terdiri dari (1) Lump-sum, yang berasal dari sejumlah proporsi DAU yang akan dibagikan secara merata kepada seluruh daerah ( se provinsi atau se kabupaten/kota), (2) Transfer dari sejumlah proporsi DAU yang dialokasikan secara proporsional dari kebutuhan gaji masing-masing daerah dengan kebutuhan gaji daerah secara nasional. Dengan demikian maka rumus DAU 2002 menjadi; DAU = AM + ( BD i x DAU n ) AM = {LS + (α * Gaji)} sehingga DAU I = {LS + (α * Gaji)} + ( BD i x DAU n ) dimana; AM α * Gaji : Alokasi Minimum : Alokasi berdasarkan proporsi kebutuhan belanja pegawai (gaji) Dengan formula tersebut diatas, kombinasi Alokasi Minimum dan formula Celah Fiskal sebagai berikut; 1. Untuk provinsi, dengan proporsi 50% alokasi minimum; dimana 20% berdasarkan lumpsum, dan 30% berdasarkan kebutuhan gaji dan 50% celah fiskal. 2. Untuk Kabupaten/Kota, dengan proporsi 60% alokasi minimum ; dimann 10% berdasarkan Lumpsum dan 50% berdasarkan kebutuhan gaji serta 40% bedasarkan celah fiskal.

49 Formula DAU 2002 ini tetap masih dipergunakan untuk perhitungan DAU pada tahun 2003 dan 2004. 2.5. Transfer Keuangan Pusat ke Daerah Evolusi desentralisasi fiskal selalu diikuti pula dengan evolusi sistem transfer keuangan dari pusat ke daerah. Sistem transfer yang dipakai Indonesia saat ini adalah hasil evolusi sepanjang kurun waktu 50 tahun (dimulai sejak 1945). Menurut Mahi dan Adriansyah (2002), sejak 1945 1956 Indonesia menganut sistem Sluit post, yaitu rencana kebutuhan dikurangi dengan rencana pengeluaran. Dalam pengalaman, peranan sluit post 95% dalam keuangan provinsi, dan 70% untuk kabupaten. Walaupun dalam kenyataan sistem ini tidak pernah diterapkan secara murni, karena kenyataannya bantuan atau subsidi sepenuhnya ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sejak tahun 1956, hubungan keuangan pusat dan daerah diantur menurut Undang-Undang No.32 tahun 1956. Menurut Undang-Undang ini, pola hubungan antara pusat dan daerah meliputi tiga hal; 1. Penyerahan sumber pendapatan negara kepada daerah 2. Pemberian bagian tertentu dari penerimaan berbagai pajak kepada daerah (bukan bagi hasil) 3. Memberikan ganjaran, subsidi, dan sumbangan kepada daerah Pembagian pada butir (2), didasarkan pada faktor-faktor (a) luas daerah, (b) jumlah penduduk, (c) tingkat kecerdasan rakyat, (d) tingkat kemakmuran, (e)

50 panjang jalan yang diurus daerah, (f) panjang sungai yang diurus daerah, (g) pemilahan daerah kepulauan dan bukan kepulauan. Menurut Mahi dan Adriansyah (2002), pembagian seperti pada point (2) semestinya dilakukan menurut rumus (formula) tertentu, namun hal itu tidak diimplementasikan. Menurut Mahi dan Adriansyah (2002) secara umum terdapat tiga jenis transfer di Indonesia yaitu; 1. Subsidi (untuk mencukupi kebutuhan rutin, terutama gaji), 2. Bantuan (untuk pembangunan) dan 3. DIP (Daftar Isian Proyek) Kedua jenis pertama dikategorikan sebagai bantuan antar tingkat pemerintahan (intergovernmental grants) sebab menjadi bagian dari anggaran pemerintah daerah. Sementara Daftar Isian Proyek dikategorikan sebagai inkind allocation, sebab walaupun dana mengalir ke daerah namun tidak termasuk anggaran pemerintah daerah 2.6. Peranan Pemerintah Dalam Perekonomian Dalam setiap perekonomian, baik pada sistem kapitalisme maupun dalam sistem sosialisme, pemerintah selalu memainkan peranan penting. Pemerintah mempunyai peranan yang sangat besar dalam menjamin tercapainya kesejahteraan masyarakat yang optimum. Juga untuk mengoreksi perilaku masyarakat yang tidak efisien dalam alokasi sumber-sumber ekonomi. Selain itu adalah peranannya yang besar dalam bidang redistribusi pendapatan dan stabilisasi

51 ekonomi (tingkat kesempatan kerja dan tingkat inflasi). Secara garis besar peranan tersebut dapat dilihat pada gambar 3. DESENTRALISASI FISKAL DANA PERIMBANGAN (BAGI HASIL, DAU, DAK) PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PENERIMAAN DAERAH PENGELUARAN DAERAH PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH 1. PDRB 2. KESEMPATAN KERJA 3. TINGKAT INFLASI 4. DISTRIBUSI PENDAPATAN Non Faktor Ekonomi Gambar 3. Desentralisasi Fiskal, Peranan Negara dan Kinerja Perekonomian Dalam sebuah sistem perekonomian modern, peran pemerintah dapat diklassifikasikan menjadi tiga kategori (Musgrave and Musgrave, 1984), yaitu; 1. Peran alokasi, yaitu dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi untuk meningkatkan kapasitas produksi maupun efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi.

52 2. Distribusi, yaitu mendistribusikan kembali faktor-faktor produksi dan hasilnya, dan 3. Stabilisasi, yaitu menjamin stabilitas ekonomi dan politik 2.6.1. Peran Alokasi Peran alokasi, yaitu pemerintah mengambil peran dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi. Pemerintah melalui kebijakan-kebijakan ekonominya dapat mengarahkan arah alokasi sumber ekonomi, dengan kata lain pemerintah dapat menciptakan insentif maupun disinsentif agar kegiatan ekonomi sesuai dengan keinginan pemerintah. Khusus untuk sektor barang publik, yang manfaatnya dapat dirasakan oleh semua orang tanpa membayar, sehingga tidak diminati oleh swasta, maka pemerintah masuk sebagai investor. Peranan pemerintah dibidang alokasi sumberdaya ekonomi adalah agar alokasinya dilakukan secara efisien. 2.6.2. Peran distribusi Peran distribusi, yaitu mendistribusikan kembali faktor produksi dan hasilnya. Distribusi pendapatan tergantung pada pemilikan faktor-faktor produksi, sistem warisan dan kemampuan memperoleh pendapatan. Distribusi yang ditimbulkan oleh pasar sering dianggab tidak adil oleh masyarakat. Pemerintah melalui kebijakan fiskal dan moneter dapat merubah distribusi pendapatan sesuai dengan keinginan masyarakat. Merubah distribusi dapat dilakukan secara langsung maupun tak langsung. Secara langsung melalui pajak progressif, yaitu melalui pengenaan pajak yang lebih besar pada kelompok