I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan mempunyai

dokumen-dokumen yang mirip
KELAYAKAN PENGEMBANGAN USAHA AKARWANGI (Andropogon Zizanoid) PADA KONDISI RISIKO DI KABUPATEN GARUT. Oleh: NIA ROSIANA A

KELAYAKAN PENGEMBANGAN USAHA AKARWANGI (Andropogon Zizanoid) PADA KONDISI RISIKO DI KABUPATEN GARUT. Oleh: NIA ROSIANA A

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35)

I PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik 2009

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha pada Tahun * (Miliar Rupiah)

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PENDAHULUAN. (Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan ).

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tabel 1. Hortikultura

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2008

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pertanian merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting di Indonesia. Sektor pertanian merupakan

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II 2013

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor potensial yang memiliki peranan

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

I. PENDAHULUAN. Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB.

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BADAN PUSAT STATISTIK

1 PENDAHULUAN. Tabel 1. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha, ** (Miliar Rupiah)

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

Lapangan Usaha. Sumber : Badan Pusat Statistik (2012) 1

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pengamatan empiris menunjukkan bahwa tidak ada satupun

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN III/2012

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Triwulan-I Tahun

I. PENDAHULUAN. kontribusi besar dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Dalam beberapa

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2012

I. PENDAHULUAN. Industri nasional memiliki visi pembangunan untuk membawa Indonesia

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya dalam jangka panjang akan berdampak terhadap perubahan

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. bermakana. Peranansektor ini dalam menyerap tenaga kerja tetap menjadi yang

I. PENDAHULUAN. besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. ketertinggalan dibandingkan dengan negara maju dalam pembangunan

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. penghidupan bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Secara umum, pengertian

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

BAB IV GAMBARAN UMUM

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2013

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjang peningkatan ekspor nonmigas di Indonesia. Indonesia

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program

DAFTAR ISI. : 1. Metha Herwulan Ningrum 2. Ir. Wieta B. Komalasari, Msi 3. Ir. Rumonang Gultom 4. Rinawati, SE 5. Yani Supriyati, SE. 2.

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu subsektor pertanian yang berpotensi untuk dijadikan andalan

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

I. PENDAHULUAN. Indonesia terkenal dengan sebutan negara agraris, yang ditunjukkan oleh luas

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

PERTUMBUHAN EKONOMI GORONTALO TAHUN ,71 PERSEN

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN I. Latar Belakang Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Salah satunya sebagai sumber penerimaan negara. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 1 yaitu besarnya kontribusi sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan menurut lapangan usaha terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang berada pada urutan ketiga pada tahun 2002 sampai 2006 setelah industri pengolahan dan perdagangan, hotel, dan restoran. Tabel 1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Lapangan Usaha Tahun 2002-2006 (Miliar Rupiah) Lapangan Usaha 2002 2003 2004 2005 2006 Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan 231.613,5 240.387,3 (3,8) 247.163,6 (2,8) 253.726,0 (2,6) 261.296,8 (0,30) Perikanan Pertambangan dan Penggalian 169.932,0 167.603,8 (-1,4) 160.100,5 (-4,5) 165.085,4 (3,1) 168.729,9 (2,2) Industri Pengolahan 419.387,8 441.754,9 (5,3) 469.952,4 (6,4) 491.421,8 (4,6) 514.192,2 (4,6) Listrik, Gas, dan Air Bersih 9.868,2 10.349,2 (4,9) 10.897,6 (5,3) 11.584,1 (6,3) 12.263,6 (5,9) Konstruksi 84.469,8 89.621,8 (6,1) 96.334,4 (7,5) 10.483,7 (-89,1) 112.762,2 (97,57) Perdagangan, Hotel, dan Restoran 243.266,6 256.516,6 (5,4) 271.142,2 (5,7) 293.877,2 (8,4) 311.903,5 (6,1) Pengangkutan dan Komunikasi 76.173,1 85.458,4 (12,2) 96.896,7 (13,4) 109.467,1 (13,0) 124.399,0 (13,6) Keuangan, Real Estate 131.523,0 140.374,4 151.123,3 161.384,3 170.495,6 dan Jasa Perusahaan (6,7) Jasa-jasa 138.982,4 145.104,9 (4,4) Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan pertumbuhan (%) Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007 (Angka diolah) (7,7) 152.906,1 (5,4) (6,8) 160.626,5 (5,0) (5,6) 170.612,1 (6,2)

2 Dalam jangka panjang, pengembangan lapangan usaha pertanian difokuskan pada produk-produk olahan hasil pertanian yang memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional, seperti pengembangan agroindustri. Salah satu lapangan usaha pertanian yang berorientasi ekspor dan mampu memberikan nilai tambah adalah tanaman perkebunan. Hal ini terlihat pada kontribusi tanaman perkebunan menurut lapangan usaha terhadap PDB. Tanaman perkebunan menurut lapangan usaha tahun 2002 sampai 2006 memberikan kontribusi terbesar kedua setelah tanaman bahan makanan setiap tahunnya. Hal ini ditunjukan pada Tabel 2. Tabel 2. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Tahun 2002-2006 (Miliar Dolar) Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, 2002 2003 2004 2005 2006 Kehutanan, dan Perikanan Tanaman Bahan Makanan 115.925,5 119.164,8 (2,8) 122.611,7 (2,9) 125.801,8 (2,6) 129.211,2 (2,7) Tanaman Perkebunan 36.585,6 38.693,9 (5,8) 38.849,3 (0,4) 39.810,9 ( 2,5) 41.081,5 (3,2) Peternakan dan Hasilhasilnya 29.393,5 30.647,0 (4,3) 31.672,5 (3,3) 32.346,5 (2,1) 33.309,9 (2,9) Kehutanan 17.986,5 17.213,7 17.433,8 17.176,9 16.784,1 (-4,3) Perikanan 33.082,3 34.667,9 (4,8) Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan pertumbuhan (%) Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007 (Angka diolah) (1,3) 36.596,3 (5,6) (-1,4) 38.589,9 (5,4) (-2,3) 40.909,8 (6,0) Persentase nilai PDB tanaman perkebunan berfluktuasi pada kurun waktu 2002 hingga tahun 2006. Hal ini tidak terlepas dari besarnya persentase ekspor pada tanaman tersebut. Pada Tabel 3, menjelaskan bahwa volume ekspor untuk

3 tanaman perkebunan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dari 11.974.201.918 kg pada tahun 2003 menjadi 18.579.806.335 kg pada tahun 2006. Tabel 3. Perkembangan Ekspor-Impor Tanaman Perkebunan, Tahun 2003-2006 Tahun 2003 Volume (Kg) Ekspor Impor Neraca 11.974.201.918 2.088.748.566 9.885.453.352 15.556.889.495 1.353.601.447 2004 (299) (-35,1) 18.579.806.335 2.091.654.011 2005 (19,4) (54,5) 15.150.170.864 1.346.496.425 2006* (18,5) (53,6) Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan pertumbuhan (%) Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007 (Angka diolah) *) Angka Sementara 14.203.288.048 (43,6) 16.488.152.324 (16,0) 13.803.674.439 (16,2) Minyak aromatik merupakan salah satu olahan tanaman perkebunan. Minyak aromatik memiliki aroma yang kuat karena sifatnya yang mudah menguap pada suhu ruang. Minyak aromatik banyak digunakan untuk bahan dasar wewangian dan minyak gosok. Salah satu olahan tanaman perkebunan penghasil minyak aromatik adalah minyak atsiri dan minyak jarak. Minyak jarak yang dimanfaatkan dalam berbagai industri seperti: sabun, pelumas, minyak rem dan hidrolik, cat, pewarna, plastik tahan dingin, pelindung (coating), tinta, malam dan semir, nilon, farmasi, dan parfum. Tahun 2003 sampai 2006, ekspor minyak atsiri menunjukan trend yang meningkat. Sedangkan volume ekspor minyak jarak menunjukan adanya fluktuasi. Volume ekspor minyak atsiri lebih besar setiap tahunnya dibandingkan dengan minyak jarak. Hal ini menunjukan permintaan minyak atsiri lebih besar dibandingkan dengan minyak jarak. Hal ini dapat dilhat pada Tabel 4.

4 Tabel 4. Perbandingan Ekspor dan Impor Tanaman Perkebunan Penghasil Minyak Aromatik Indonesia, Tahun 2003-2006 (Kg) Tahun 2003 Minyak Atsiri Volume (Kg) Minyak Jarak * Volume (Kg) Ekspor Impor Ekspor Impor 1.967.736 321.333 200.622 2.489.689 3.230.401 1.596.474 1.019.176 2004 (64,1) (396,8) (408,0) 3.767.561 942.860 16.112 2005 (16,6) (-40,9) (-98,4) 2.945.384 1.233.938 32.856 2006** (-21,8) (30,8) (103,9) Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan pertumbuhan (%) Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007 (Angka diolah) *) Termasuk Bahan Baku Minyak Aromatik **) Angka Sementara 4.504.806 (80,9) 3.985.890 (11,5) 2.952.866 (-25,9) Pasar minyak atsiri sangat potensial bagi Indonesia. Indonesia menjadi salah satu negara pengekspor minyak atsiri dunia yang berada pada urutan ketiga di dunia. Ekspor minyak atsiri Indonesia tahun 2002 menghasilkan nilai sebesar US$ 47.940.000 atau 17,6 persen dari total nilai ekspor minyak atsiri di pasar dunia. Hal ini dapat ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Negara-Negara Pengekspor Minyak Atsiri Dunia, Tahun 2002 Negara pengekspor Nilai (Ribuan US$) (%) Perancis 93.842 34,5 China 50.517 18,6 Indonesia 47.940 17,6 USA 34.011 12,5 Inggris 24.346 8,9 Singapura 21.090 7,9 Total 271.746 100 Sumber: ITC/Comtrade Statistic, 2003

5 Berdasarkan nilai impor tahun 2002, permintaan terhadap minyak atsiri dari semua negara pengimpor cukup tinggi. Indonesia hanya menghasilkan nilai US$ 47.940.000 padahal total nilai impor minyak atsiri dari negara- negara pengimpor mencapai US$ 354.496.000. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Negara-Negara Pengimpor Minyak Atsiri Dunia, Tahun 2002 Negara pengimpor Nilai (Ribuan US$) (%) USA 120.220 33,9 Perancis 87.573 24,7 Inggris 48.149 13,6 Swiss 36.237 10,2 Jerman 32.906 9,3 Spanyol 29.411 8,6 Total 354.496 100 Sumber: ITC/Comtrade Statistic, 2003 Minyak atsiri dihasilkan dari proses pengolahan secara penyulingan dari tanaman atsiri. Berbagai jenis minyak atsiri dikembangkan di Indonesia salah satunya minyak akarwangi yang dikembangkan di Provinsi Jawa Barat. Tahun 2004, produktivitas tanaman akarwangi paling rendah bila dibandingkan dengan jenis tanaman penghasil minyak atsiri lain. Hal ini dapat ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Jenis Minyak Atsiri yang Diusahakan di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2004 No Komoditas Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas(Kg/Ha) 1. Akarwangi 2.250,00 72,00 32,00 2. Cengkeh 32.549,99 12.683,42 606,59 3. Jahe 4.023,01 30.860,43 11.045,25 4. Kayu Manis 74,50 21,78 792,00 5. Kenanga 231,16 25,89 444,23 6. Lada 3.364,53 1.064,35 778,80 7. Nilam 1.442,75 3.283,52 4.082,68 8. Pala 2.658,39 604,06 309,25 9. Sereh Wangi 492,50 776,54 1.584,78 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, 2005

6 Perkembangan luas lahan di Jawa Barat tahun 2000 hingga 2006 berfluktuatif. Tahun 2004 merupakan tahun yang memiliki luas lahan terbesar yaitu 32 kg/ha dan 2.250 Ha. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 8. Akar wangi sebagai salah satu tanaman perkebunan yang bernllai ekonomis tinggi selayaknya terus dikembangkan agar dapat meningkatkan pendapatan petani, peningkatan kesempatan kerja, dan peningkatan penerimaan devisa. Tabel 8. Perkembangan Luas Lahan Akar Wangi di Jawa Barat, Tahun 2002-2006 Tahun Luas Lahan (Ha) (%) 2002 1.253-2003 1.917 52,9 2004 2.250 17,3 2005 2.035-9,5 2006 2.045 0,49 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, 2006 1.2. Perumusan Masalah Akarwangi merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan Kabupaten Garut yang memiliki arti penting bagi perekonomian daerah. Sekitar 89 persen produksi minyak akarwangi Indonesia dihasilkan dari Kabupaten Garut (Bappeda Kabupaten Garut, 2005). Hal ini didukung oleh potensi areal seluas 2.400 Ha dan realisasi luas tanam mencapai 1.733 Ha pada tahun 2006 yang tersebar di empat kecamatan. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 9. Tabel 9. Penyebaran Luas Tanam Akarwangi di Kabupaten Garut No Kecamatan Potensi Realisasi Luas Produksi Produktivitas Areal (Ha) Tanam (Ha) (Ton) (Ton/Ha) 1. Leles 750 683 8.196 12 2. Samarang 1.200 850 10.200 12 3. Bayongbong 250 85 1.020 12 4. Cilawu 200 115 1.380 12 Jumlah 2.400 1.733 20.796 12 Sumber: Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Garut, 2006

7 Penanaman akarwangi dan pemberian izin usaha penyulingan minyak akarwangi diatur dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Barat No.249/A.II/5/SK/1974 dan SK Bupati Garut No.125/HK.021.1?SK/1978 jo. SK Bupati Garut No.191/HK.021.1/SK/1978. Berdasarkan SK tersebut, luas lahan penanaman akarwangi di Kabupaten Garut tidak boleh melebihi 2.400 Ha. Namun, pada tahun 2006 realisasi luas lahan yang digunakan untuk menanam akarwangi baru mencapai 1.733 Ha. Oleh karena itu, masih tersedia potensi lahan yang dapat dikembangkan sesuai dengan SK.Bupati KDH Garut No.520/SK.196- HUK/90 tentang penanaman dan penyulingan akarwangi di Kabupaten Garut seluas 2.400 Ha yang tersebar di empat kecamatan. Meskipun prospek akarwangi cukup cerah, namun pada kenyataannya di lapangan upaya pengembangan usaha akarwangi masih mengalami kendala. Pengusahaan budidaya akarwangi masih dijalankan secara sederhana/tradisional oleh petani dan luas lahan yang diusahakan baru mencapai 1.733 Ha. Padahal potensi areal mencapai 2.400 Ha sesuai dengan SK Bupati KDH Garut No.520/SK.196-HUK/90. Hal ini mengindikasikan areal penanaman seluas 667 Ha belum termanfaatkan dan masih berpotensi untuk dikembangkan. Selain itu, dibutuhkan modal yang besar dalam melakukan pengembangan usaha akarwangi. Kendala lain yaitu dalam melakukan budidaya dan penyulingan yaitu adanya fluktuasi harga dan produksi. Gambar 1 merupakan gambar yang menunjukkan adanya fluktuasi harga akarwangi di Kabupaten Garut tahun 1996 hingga 2000.

8 450 Harga Akarwangi (Rp/kg) 400 350 300 250 200 1996 1997 1998 Year 1999 2000 Gambar 1. Perkembangan Harga Akarwangi di Kabupaten Garut Pada Tahun 1996-2000 Selain fluktuasi harga akarwangi, adanya fluktuasi harga minyak akarwangi tahun 1996 hingga 2000 menyebabkan adanya risiko produksi. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2. Selama kurun waktu 1996 hingga 1998 terjadi peningkatan harga minyak akarwangi, namun tahun 1996 hingga tahun 1999 terdapat penurunan akarwangi. Tahun 1999 hingga tahun 2000 terdapat kenaikan harga minyak akarwangi hingga mencapai Rp.220.000/kg. 220000 g g y g p Harga Minyak Akarwangi (Rp/ltr) 200000 180000 160000 140000 120000 100000 1996 1997 1998 Year 1999 2000 Gambar 2. Perkembangan Harga Minyak Akarwangi di Kabupaten Garut Pada Tahun 1996-2004

9 Selain adanya risiko harga, terdapat risiko produksi yang menyebabkan berfluktuasinya produksi akarwangi dan minyak akarwangi. Gambar 3 menunjukkan bahwa terdapat risiko produksi akarwangi. Tahun 2002 hingga tahun 2004 terjadi peningkatan produksi akarwangi. Namun, tahun 2004 hingga 2005 terdapat penurunan produksi. Tahun 2005 hingga tahun 2006 terdapat peningkatan produksi meskipun peningkatannya cenderung kecil. 70 Produksi Akarwangi (ton/ha) 60 50 40 30 20 10 2002 2003 2004 Year 2005 2006 Gambar 3. Perkembangan Produksi Akar Wangi di Jawa Barat, Tahun 2002-2006 Perkembangan harga akarwangi dan minyak akarwangi, pada dasarnya menunjukkan berfluktuasinya harga dari tahun ke tahun. Harga akarwangi tertinggi sebesar Rp.425/kg dan terendah Rp. 175/kg Sedangkan harga minyak akarwangi tertinggi sebesar yaitu Rp. 220.000/kg dan harga minyak akarwangi terendah sebesar Rp. 105.000/kg harga terendah. Data terakhir yang diperoleh dari kegiatan survei diperoleh informasi bahwa harga tertinggi pada tahun 2007 yang

10 diterima oleh penyuling adalah sebesar Rp.582.000/kg dan terendah Rp. 466.923/kg. Kendala-kendala yang dihadapi menjadi tantangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Garut untuk berupaya mengembangkan tanaman akarwangi. Hal ini dikarenakan akarwangi menjadi salah satu komoditas unggulan tanaman perkebunan di Kabupaten Garut. Pengembangan usaha akarwangi merupakan bagian dari strategi pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis dan agroindustri (Bappeda Kabupaten Garut,1994). Berdasarkan latar belakang dan permasalahan diatas, maka pengembangan usaha akarwangi, yang terdiri dari kegiatan budidaya dan penyulingan di Kabupaten Garut dilakukan dengan memanfaatkan lahan yang belum diusahakan seluas 667 Ha. Hal ini sesuai dengan kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut yaitu luas areal penanaman maksimal 2.400 Ha yang baru termanfaatkan seluas 1.733 Ha. Lahan yang belum diusahakan tersebut diharapkan dapat digunakan secara optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi kelayakan pengembangan usaha yang memperhatikan aspek budidaya dan pasca panen yakni kegiatan penyulingan. Penyulingan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang tidak terpisahkan dari kegiatan usaha akarwangi. tanaman akar wangi akan diolah lebih lanjut menjadi minyak akar wangi yang dilakukan oleh beberapa petani penyuling yang memiliki modal yang relatif besar bila dibandingkan dengan petani lainnya. Perhitungan atau penilaian dilakukan agar menghindari kerugian dalam penanaman modal yang terlalu besar dan melihat sasaran dari kebijakan pemerintah dalam pengembangan usaha akar

11 wangi. Selain itu, studi kelayakan usaha akarwangi di Kabupaten Garut diperlukan untuk meminimalkan risiko dalam pengembangan usaha. Dengan melakukan analisis kelayakan usaha maka dapat membandingkan antara tingkat keuntungan yang diperoleh pada kondisi normal dengan kondisi risiko. Dengan demikian, diharapkan hasil studi kelayakan usaha ini dapat memberikan informasi kepada investor untuk menarik minatnya menanamkan modal pada usaha akarwangi. Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah usaha akarwangi di Kabupaten Garut layak diusahakan? 2. Bagaimana dampak adanya risiko volume produksi dan harga output terhadap kelayakan usaha akarwangi? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan: 1. Menganalisis kelayakan usaha akarwangi di Kabupaten Garut 2. Menganalisis dampak adanya risiko volume produksi dan harga output terhadap kelayakan usaha akarwangi di Kabupaten Garut. 1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan, yaitu : 1. Bagi petani dan penyuling akarwangi, penelitian ini memberikan alternatif dalam meminimalkan risiko yang terjadi dalam pengembangan usaha akarwangi.

12 2. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Garut, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan yang terkait dengan pengembangan usaha akarwangi. 3. Bagi investor/masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu referensi dalam mempertimbangkan penanaman modal di usaha akarwangi. 4. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk mengembangkan daya analisis kelayakan usaha berdasarkan konsep studi kelayakan usaha.