BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2030

BAB I PENDAHULUAN. sampai saat ini telah dikenal lebih dari 25 penyakit berbahaya disebabkan oleh rokok.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan bahaya bagi kesehatan individu dan

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan sebuah kebiasaan yang dapat merugikan. kesehatan baik si perokok itu sendiri maupun orang lain di sekelilingnya.

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak menular salah satunya adalah kebiasaan mengkonsumsi tembakau yaitu. dan adanya kecenderungan meningkat penggunaanya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan tembakau bertanggungjawab terhadap sebagian besar kematian di seluruh dunia.

BAB 1 : PENDAHULUAN. tahun itu terus meningkat, baik itu pada laki-laki maupun perempuan. Menurut The

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. degeneratif seperti kanker, memperlambat pertumbuhan anak, kanker rahim dan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latarbelakang. merokok merupakan faktor risiko dari berbagai macam penyakit, antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Health Organization (WHO) pada tahun 2011 jumlah perokok laki-laki di

BAB I BAB 1 : PENDAHULUAN PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari TCSC (Tobacco Control Support Center) IAKMI (Ikatan Ahli. penyakit tidak menular antara lain kebiasaan merokok.

BAB I PENDAHULUAN. Merokok tidak hanya berdampak pada orang yang merokok (perokok aktif)

BAB I PENDAHULUAN. kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu (Kemenkes RI,

hari berdampak negatif bagi lingkungan adalah merokok (Palutturi, 2010).

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

BAB I PENDAHULUAN. salah satu negara konsumen tembakau terbesar di dunia.

PEMERINTAH KOTA PADANG PANJANG

Dukungan Masyarakat Terhadap Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meskipun terdapat larangan untuk merokok di tempat umum, namun perokok

BAB 1: PENDAHULUAN. ketergantungan) dan tar yang bersifat karsinogenik. (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan politik (Depkes, 2006). Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila

- 1 - BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN KAWASAN TANPA ROKOK

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesehatan. Kandungan rokok adalah zat-zat kimiawi beracun seperti mikrobiologikal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kemungkinan sebelas kali mengidap penyakit paru-paru yang akan menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Asap rokok mengandung 4000 bahan kimia dan berhubungan dengan

KAWASAN TANPA ROKOK (KTR) UNIVERSITAS UDAYANA DIPATUHI ATAU DIABAIKAN?

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut WHO, jumlah perokok di dunia pada tahun 2009 mencapai 1,1

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menyebabkan kematian baik bagi perokok dan orang yang ada

BAB 1 PENDAHULUAN. dunia yang sebenarnya bisa dicegah. Sepanjang abad ke-20, telah terdapat 100

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya adalah perubahan yang terus-menerus yang merupakan kemajuan dan

dalam terbitan Kementerian Kesehatan RI 2010).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Rokok sudah menjadi suatu barang konsumsi yang sudah familiar kita

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 94 TAHUN 2012 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

dr.h.suir SYAM, M.Kes, MMR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Rokok merupakan benda kecil yang paling banyak digemari dan tingkat

BUPATI BARITO KUALA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gangguan kesehatan. Beberapa masyarakat sudah mengetahui mengenai bahaya

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

Kawasan Tanpa Rokok sebagai Alternatif Pengendalian Dampak Rokok bagi Masyarakat

TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP PENGUNJUNG DI LINGKUNGAN RSUP Dr. KARIADI TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA KARYA TULIS ILMIAH

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

BAB I PENDAHULUAN. dihirup asapnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica

- 1 - BUPATI BERAU PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

PEMERINTAH KABUPATEN MERANGIN

BAB 1 PENDAHULUAN. dikeluarkan oleh asap rokok orang lain (Harbi, 2013). Gerakan anti rokok

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

BAB 1 : PENDAHULUAN. negara yang perlu dididik untuk menjadi manusia yang berkualitas. Remaja nantinya diharapkan

Ilmu Kesehatan Masyarakat 2. Quit Tobacco Indonesia (QTI), CBMH Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

BAB 1 : PENDAHULUAN. kualitas hidup manusia dan kesejahteraan masyarakat. (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Rokok sudah dikenal manusia sejak tahun sebelum Masehi. Sejak

PRAKTIK CERDAS PEMANFAATAN PAJAK ROKOK DIPROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Tembakau pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh bangsa Belanda

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran pengetahuan..., Rowella Octaviani, FKM UI, 2009

WALIKOTA TASIKMALAYA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat menganggap merokok sebuah perilaku yang bisa membuat. ditentukan tidak boleh merokok/ kawasan tanpa rokok.

PERATURAN DAERAH KOTA PALEMBANG

PERATURAN BERSAMA MENTERI KESEHATAN DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 188/MENKES/PB/I/2011 NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 27 TAHUN 2013 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR,

- 1 - WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DAN KAWASAN TERBATAS MEROKOK

BAB I PENDAHULUAN. oleh bagaimana orang menghabiskan waktu mereka, apa yang mereka pikirkan tentang

berkembang yang memiliki tingkat konsumsi rokok dan produksi rokok yang tinggi. Program anti tembakau termasuk dalam 10 program unggulan kesehatan.

BERITA DAERAH KOTA PEKALONGAN TAHUN 2010 NOMOR 5.A

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Merokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sudah dianggap

BAB 1 PENDAHULUAN. merokok namun kurangnya kesadaran masyarakat untuk berhenti merokok masih

PERATURAN WALIKOTA SEMARANG NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG

BAB II PENGATURAN MENGENAI KAWASAN TANPA ROKOK

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PETA JALAN PENGENDALIAN DAMPAK KONSUMSI ROKOK BAGI KESEHATAN BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. dunia. Menurut data World Health Organization (WHO) bahwa kurang lebih 3

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

BAB I PENDAHULUAN. upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pembangunan nasional

BAB I PENDAHULUAN. 2,7% pada wanita atau 34,8% penduduk (sekitar 59,9 juta orang). 2 Hasil Riset

BAB I PENDAHULUAN. merokok baik laki-laki, perempuan, anak kecil, anak muda, orang tua, status

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

BAB 6 : KESIMPULAN. implementasi Perda KTR di Kota Padang. Tenaga pelaksana kebijakan KTR di

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA PARIAMAN NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

BAB I PENDAHULUAN. disebut sebagai tobacco dependency sendiri dapat didefinisikan sebagai

BUPATI JEMBRANA PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan sebuah perilaku yang tidak asing ditemukan di kehidupan seharihari,

BUPATI POLEWALI MANDAR PROVINSI SULAWESI BARAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan analisis data dari Centers of Disease Control and

EVALUASI IMPLEMENTASI PERGUB NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN DILARANG MEROKOK DI PROV. DIY

BEBERAPA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU MEROKOK PADA SISWA SLTP DI KECAMATAN BENDOSARI KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2008

BUPATI TABANAN BUPATI TABANAN PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

PEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH

TINGKAT PENGETAHUAN DAN KEPATUHAN MASYARAKAT DIY TERHADAP PERATURAN GUBERNUR NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN DILARANG MEROKOK

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Global status report on NCD World Health Organization (WHO) menyatakan penyebab kematian semua umur di dunia 68% karena penyakit tidak menular. Perubahan pola gaya hidup merupakan pemicu timbulnya penyakit ini, seperti kurang aktivitas fisik, diet yang tidak sehat serta tidak seimbang, merokok, dan konsumsi alkohol (WHO, 2014). Perilaku merokok sudah menjadi masalah krusial, karena dampaknya berpengaruh pada kesehatan, beban ekonomi, lingkungan, kualitas udara, dan lainlain. Berdasarkan laporan WHO tahun 2011, konsumsi rokok dunia dapat membunuh hampir 6 miliar penduduk, 80% di antaranya berada di negara dengan pendapatan ekonomi menengah ke bawah (Usmanova & Mokdad, 2013). Rokok yang dihisap setiap hari dapat menyebabkan masalah kesehatan serius. Konsumsi tembakau di Asia dapat meningkatkan jumlah kematian sebanyak 4 kali lipat yaitu pada tahun 1990 sebanyak 1,1 juta orang dan tahun 2020 sebanyak 4,2 juta orang ( Radjab, 2013). Kondisi tersebut juga berdampak pada peningkatan total kerugian ekonomi secara makro. Data konsumsi penggunaan rokok di Malaysia, menunjukkan bahwa rokok lebih banyak digunakan oleh pria (43,9%), sedangkan wanita (1%). Kelompok umur yang paling banyak menggunakan rokok adalah umur 25 sampai 44 tahun. Penggunaan rokok tidak hanya menyebabkan efek kematian dan kesakitan, tetapi berdampak pada kualitas hidup, aktivititas di tempat kerja dan peningkatan untuk pengeluaran biaya kesehatan (Rasyid et al., 2014). Hasil survei di RSUP Sanglah Denpasar menunjukkan prevalensi pasien yang terpapar rokok masih tinggi dan sebagian besar pasien adalah mantan perokok. Pasien yang terpapar rokok mempunyai risiko lebih besar terkena penyakit paru. Pasien yang disebabkan karena paparan asap rokok sebanyak 71,3% terdiri dari perokok aktif sebanyak 11 pasien (14,3%), mantan 1

2 perokok 55 pasien (71,4%) dan perokok pasif 11 pasien (14,3%) (Sajinadiyasa dkk., 2010). Rata-rata jumlah rokok yang dihisap penduduk Indonesia per hari adalah 12,3 batang (setara 1 bungkus). Perokok paling banyak bekerja sebagai petani/buruh sebesar 44,5%. Menurut data di Provinsi Bali, kebiasaan merokok di masyarakat sebesar 18,0% per hari dengan rata-rata jumlah rokok yang dihisap sebanyak 12 batang. Masyarakat mempunyai kebiasaan merokok di dalam gedung atau ruangan (60,6%) dan kebanyakan berasal dari pedesaan (18,6%). Masyarakat juga menyetujui kebijakan kawasan tanpa rokok (94,3%) (Riskesdas, 2013a). Hasil survei tahun 2013 tentang tingkat kepatuhan Peraturan Daerah KTR Provinsi Bali dapat diketahui, peraturan KTR sudah diberlakukan sejak lama, namun tingkat kepatuhan terhadap larangan tersebut hanya 11,8%. Upaya preventif telah dilakukan, yaitu sosialisasi, penyebaran media larangan merokok di kawasan tanpa rokok serta penegakan hukum, namun penerapannya belum efektif (Wijana & Mudana, 2013). Data di Kabupaten Badung juga menyatakan bahwa rata-rata rokok yang dihisap per orang adalah 12,9 batang/hari dan menempati urutan terbanyak ke-2 di provinsi. Masyarakat juga mendukung kebijakan kawasan tanpa rokok sebesar 93,6% dan menempati urutan teratas di provinsi ( Riskesdas, 2013b). Hasil penelitian Devhy dkk. ( 2014) di Kabupaten Badung juga menyatakan bahwa tingkat kepatuhan terhadap pelaksanaan kawasan tanpa rokok (KTR) masih rendah. Oleh karena itu, perlu adanya dukungan untuk menerapkan kebijakan di kawasan tanpa rokok tersebut. Hasil survei di Kabupaten Badung, juga menunjukkan faktor yang mendorong perilaku merokok adalah latar belakang keluarga. Seseorang yang mempunyai anggota keluarga yang perokok kemungkinan menjadi perokok sebesar 3,146 kali. Alasan mereka merokok karena faktor lingkungan sebesar 36,4% dan ingin mencoba sebesar 42,9% (Bali Tobacco Control, 2012). Upaya preventif untuk melindungi masyarakat terhadap risiko paparan asap rokok adalah penetapan kawasan tanpa rokok. Kawasan tanpa rokok merupakan tempat atau area yang dilarang untuk kegiatan merokok, produksi, penjualan,

3 pengiklanan, dan promosi produk tembakau (Kemenkes, 2011). Peraturan yang telah dimiliki Provinsi Bali terkait dengan kawasan tanpa rokok adalah : a) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok, b) Peraturan Gubernur Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2012, dan c) Peraturan Bupati Badung Nomor 71 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok. Dalam peraturan tersebut telah ditetapkan beberapa tempat yang menjadi kawasan tanpa rokok, yaitu tempat kerja, tempat umum, fasilitas pelayanan kesehatan, tempat ibadah, angkutan umum, sarana belajar mengajar, dan tempat bermain anak. Peraturan Daerah Provinsi Bali, Peraturan Gubernur Bali, dan Peraturan Bupati Badung sudah disosialisasikan ke masyarakat. Kebijakan KTR di Provinsi sudah diterapkan di kawasan tempat kerja, fasilitas pelayanan kesehatan, tempat sarana belajar mengajar serta tempat umum (terminal, bandara, tempat wisata). Pengawasan dan penerapan sanksi sudah diberlakukan oleh tim pengawas. Perda KTR, yaitu denda Rp 50.000,- atau kurungan selama 3 bulan penjara. Kebijakan KTR di Kabupaten Badung saat ini belum diterapkan secara intensif, karena masih dalam proses pembentukan tim pengawas kebijakan KTR. Penerapan kebijakan KTR pada kawasan tempat ibadah juga belum dilaksanakan. Pengawasan secara internal diserahkan sepenuhnya pada pengelola tempat ibadah tersebut. Bali merupakan daerah objek wisata, terkenal dengan sebutan daerah Seribu Pura. Pulau Bali mempunyai ciri budaya yang kuat, yaitu tradisi upacara keagamaan yang dilaksanakan di pura. Oleh karena itu, pura sebagai salah satu tatanan tempat-tempat umum, seyogyanya dapat memenuhi indikator perilaku hidup bersih dan sehat. Berdasarkan hasil monitoring Dinas Kesehatan Provinsi Bali dengan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) tahun 2012, belum semua pura mewujudkan tempat ibadah yang ber-phbs, khususnya perilaku tidak merokok di kawasan tersebut. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan bulan Agustus 2015 pada pura kahyangan tiga di wilayah desa pakraman Kelurahan Abianbase, peneliti melihat masih ada perilaku merokok yang dilakukan di areal pura. Berdasarkan hasil

4 wawancara singkat dengan masyarakat desa pakraman, diperoleh informasi bahwa wilayah desa pakraman belum mempunyai peraturan hukum adat (awigawig) terkait dengan larangan merokok di areal pura. Masyarakat tidak mengetahui pura sebagai salah satu kawasan tanpa rokok. Sanksi atau teguran terkait dengan penggunaan rokok di pura, belum pernah diberikan. Di kawasan pura juga belum dipasang media terkait dengan larangan merokok, sehingga menjadi alasan masyarakat untuk tetap merokok di area tersebut. Desa pakraman Tangeb sudah memiliki awig-awig/hukum adat sejak tahun 1985, kemudian direvisi kembali tahun 2001. Dalam peraturan hukum desa adat diatur tentang norma atau peraturan yang berlaku di parhyangan, palemahan, dan pawongan. Dalam peraturan tersebut sudah tertuang tata krama, etika, kewajiban, tugas, dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan masyarakat di desa tersebut. Awigawig/peraturan hukum adat yang ada di desa, kemudian ditindaklanjuti di tingkat banjar adat sesuai dengan kesepakatan masyarakat serta situasi kondisi yang ada. Dalam peraturan hukum adat juga diberlakukan sanksi, jika ada masyarakat melanggar peraturan yang berlaku di desa. Strategi untuk menetapkan kebijakan tentu sesuai dengan kearifan lokal dan sosial budaya yang ada. Faktor yang sangat kuat mendukung perilaku individu adalah pengaruh norma sosial di masyarakat. Perlu adanya pendekatan komprehensif untuk membatasi perilaku merokok di kawasan tersebut, sehingga ada peluang untuk berhenti merokok serta berkurangnya pemasaran untuk konsumsi rokok (Hargreaves et al., 2010). Hasil penelitian lain juga menyatakan bahwa kebijakan pengaturan perilaku merokok dapat menggunakan pelaksanaan serta pengawasan budaya itu sendiri dan norma sosial yang ada, sebab faktor ini memiliki pengaruh besar terhadap risiko untuk merokok (Egbe et al., 2014). Salah satu strategi untuk mendukung penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok adalah dukungan masyarakat untuk menerima serta mengadopsi kebijakan KTR yang ada. Kebijakan tersebut dibuat dalam bentuk peraturan hukum adat/awig-awig kawasan tanpa rokok, serta dapat diterapkan di wilayah desa adat/pakraman, khususnya pura. Desa adat/pakraman merupakan salah satu organisasi masyarakat yang berkembang di Bali, serta mempunyai kewenangan

5 untuk mengatur wilayahnya sendiri. Potensi desa adat/pakraman mempunyai pengaruh kedudukan yang sangat kuat di masyarakat, karena dapat membuat peraturan hukum adat dalam bentuk awig-awig. Awig-awig dapat digunakan sebagai pedoman tata krama pergaulan masyarakat umat Hindu di Bali (Perda Nomor 3, 2003). Desa adat/pakraman berada di masing-masing wilayah desa dinas dan mempunyai tugas/peranan berbeda di masyarakat. Desa pakraman khusus menangani masalah hukum adat serta pelaksanaan upacara keagamaan di desa. Desa dinas melaksanakan tugas dan wewenang terkait administrasi pemerintahan. Bentuk hubungan kerjanya adalah sebatas melakukan konsultasi dan koordinasi (Sumarta dkk., 2014). Dukungan yang disertai peran serta atau keterlibatan masyarakat di dalamnya akan dapat meningkatkan keberlangsungan program. Dukungan masyarakat ini diaplikasikan dalam bentuk komitmen, kerja sama, kebersamaan serta adanya kesadaran anggota masyarakat untuk mengatasi permasalahan yang ada (Ornelas et al., 2012). Keberhasilan pengembangan kebijakan kawasan tanpa rokok di pura sangat didukung oleh peranaan masyarakat, yaitu dalam bentuk bantuan moril maupun material. Dukungan moril yang diberikan dalam bentuk sumbangan ide/pikiran, komitmen, kesepakatan, dan kebersamaan. Dukungan material diberikan dalam bentuk tenaga, harta, dana, dan materi/bahan. Dukungan tersebut dibutuhkan untuk proses pengembangan kebijakan KTR di pura. Penerimaan masyarakat merupakan keputusan yang diambil masyarakat, setelah mempunyai pandangan positif terhadap suatu ide/inovasi baru. Keputusan masyarakat untuk menerima atau menolak suatu ide/inovasi baru didasarkan atas kesadaran, ketertarikan, sikap, keinginan untuk melakukan uji coba (Rogers, 1983). Keputusan masyarakat desa pakraman untuk menerima serta rencana mengadopsi kebijakan KTR sangat dipengaruhi oleh dukungan dan partisipasi masyarakat. Dukungan yang dimaksud adalah kemauan, dan kesadaran masyarakat untuk mengembangkan kebijakan KTR dalam bentuk peraturan hukum adat/awig-awig, sehingga dapat diterapkan di wilayah desa pakraman, khususnya pura. Kebijakan ini berisi larangan untuk kegiatan merokok, mendistribusikan dan menjual rokok di sekitar areal pura kahyangan tiga milik

6 desa adat pakraman. Bentuk dan rancangan kebijakan/peraturan hukum adat yang akan dibuat sesuai dengan sistem sosial dan kesepakatan masyarakat di desa pakraman. Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Pakraman Tangeb, Kelurahan Abianbase, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Dasar pemilihan lokasi penelitian berdasarkan kearifan lokal budaya dan kebersamaan bermasyarakat ( manyama braya). Masyarakat juga sangat mendukung program pemerintah yang sifatnya memberikan perlindungan, penyehatan dan kesejahteraan bagi warganya. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti membuat rumusan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana dukungan masyarakat desa pakraman dalam pengembangan awig-awig kawasan tanpa rokok di pura? : studi kasus di Kelurahan Abianbase, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum : Mengeksplorasi dukungan masyarakat desa pakraman untuk pengembangan kebijakan KTR dalam bentuk peraturan hukum adat/awig-awig pada pura di Kelurahan Abianbase, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. 2. Tujuan khusus : a. Mendeskripsikan informasi terkait dengan pengembangan kebijakan KTR. b. Mengkaji bentuk dukungan masyarakat desa pakraman terkait dengan rencana pengembangan kebijakan KTR di pura. c. Mengkaji keputusan masyarakat desa pakraman terkait dengan rencana pengembangan kebijakan KTR di pura. d. Mengkaji penerimaan masyarakat desa pakraman terkait dengan rencana pengembangan kebijakan KTR di pura.

7 e. Mengkaji rencana adopsi kebijakan KTR dalam bentuk peraturan hukum adat/awig-awig di pura. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi institusi Memberi masukan kepada institusi/pihak terkait/desa pakraman agar dapat mengembangkan kebijakan kawasan tanpa rokok di pura. 2. Bagi peneliti a. Dapat mengaplikasikan ilmu perilaku dan promosi kesehatan yang dipelajari selama mengikuti pendidikan pascasarjana di Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. b. Dapat mengembangkan kemampuan peneliti di bidang ilmu perilaku dan promosi kesehatan khususnya pemberdayaan masyarakat dan implementasi program. E. Keaslian Penelitian Penelitian ini mengenai dukungan masyarakat desa pakraman dalam pengembangan kebijakan KTR yang dibuat dalam bentuk peraturan hukum adat/awig-awig di pura. Topik penelitian ini belum pernah ada yang meneliti, namun penelitian terkait dengan dukungan dan perubahan perilaku pada penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok yang sudah diteliti antara lain : 1. Mardhiah, 2011 meneliti dukungan stakeholder terhadap kawasan tanpa rokok di lingkungan kampus terpadu Politeknik Kesehatan Kemenkes Nanggroe Aceh Darussalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar stakeholder mendukung penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok di kampus, karena kebijakan tersebut dirasakan ada manfaatnya agar terhindar dari akibat dampak rokok. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan pada tema terkait dengan pengembangan kawasan tanpa rokok dan rancangan penelitian kualitatif. Perbedaan terletak pada 1okasi penelitian dan kerangka teori. 2. Sutopo (2009) meneliti sikap karyawan terhadap kawasan bebas rokok di Politeknik Kesehatan Tanjung Karang Bandar Lampung. Hasil penelitiannya

8 adalah : 1) ada hubungan antara sikap karyawan terhadap rokok dengan sikap karyawan terhadap area bebas rokok di Politeknik Kesehatan Tanjung Karang, 2) tidak ada hubungan antara pengetahuan karyawan dengan sikap terhadap area bebas rokok di Politeknik Kesehatan Tanjung Karang, 3) karyawan mendukung area bebas rokok di Politeknik Kesehatan Tanjung Karang. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan pada penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok. Perbedaan pada rancangan penelitian, lokasi penelitian dan sasaran. 3. Hargreaves (2010) melakukan penelitian berjudul The social context of change in tobacco consumption following the introduction of smoke free England legislation: A qualitative, longitudinal study. Hasil penelitian menyatakan bahwa pendekatan komprehensif dalam bentuk dukungan kebijakan yang sesuai dengan kearifan lokal dan sosial budaya untuk membatasi perilaku merokok di kawasan tanpa rokok. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan pada rancangan penelitian kualitatif dengan cara interview, focus group discussion pada stakeholder serta observasi di komunitas. Perbedaannya observasi dilakukan di berbagai jenis komunitas, sedangkan peneliti melakukan observasi dilakukan di 1 komunitas. 4. Zulkarnaen (2006) meneliti perubahan perilaku merokok melalui dakwah pada aktivitas dakwah di Masjid Al-Ittihaad Kabupaten Sleman Provinsi DIY. Hasil penelitian menyatakan bahwa gerakan anti merokok melibatkan tokoh agama atau orang yang berpengaruh. Adanya pesan yang disampaikan, sehingga dapat berpengaruh pada perilaku untuk berhenti merokok. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan pada rancangan penelitian kualitatif, perubahan perilaku merokok. Perbedaan pada tema penelitian, sasaran dan lokasi penelitian. 5. Gafar (2011) meneliti evaluasi proses penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Hasil penelitian menyatakan masyarakat mempunyai sikap positif serta mendukung penerapan kebijakan kawasan tanpa asap rokok dan kawasan tertib rokok. Peran dan keterlibatan elemen masyarakat (pemerintah, tokoh adat, tokoh agama, serta organisasi

9 massa) pada proses pembuatan sampai penerapan kebijakan. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan pada rancangan penelitian kualitatif, tema terkait kawasan tanpa rokok. Perbedaan pada lokasi, sasaran penelitian serta kerangka teori. Berdasarkan keaslian penelitian di atas, jika dibandingkan dengan penelitian peneliti terdapat hal yang berbeda dan khas, yaitu : 1. Peneliti melakukan penelitian terkait dengan dukungan masyarakat desa pakraman dalam mengembangkan kebijakan KTR untuk dibuat dalam bentuk peraturan hukum adat/ awig-awig kawasan tanpa rokok. 2. Peneliti menggunakan informan masyarakat yang tinggal di wilayah desa pakraman. 3. Peneliti mengambil lokasi penelitian di pura kahyangan tiga milik desa pakraman.