Faradila Keiko Yulia Rosa. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, Indonesia. Abstrak

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Penelitian. Enterobacteriaceae merupakan patogen yang dapat menyebabkan infeksi

I. PENDAHULUAN. atas yang terjadi pada populasi, dengan rata-rata 9.3% pada wanita di atas 65

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif. yang normalnya hidup sebagai flora normal di sistem

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012). dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012).

ABSTRAK PREVALENSI GEN OXA-24 PADA BAKTERI ACINETOBACTER BAUMANII RESISTEN ANTIBIOTIK GOLONGAN CARBAPENEM DI RSUP SANGLAH DENPASAR

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Antibiotik merupakan substansi yang sangat. bermanfaat dalam kesehatan. Substansi ini banyak

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi

DAFTAR ISI. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Klebsiella pneumoniae... 9 B. 10 C.

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

POLA KEPEKAAN BAKTERI PENYEBAB VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) DI ICU RSUP H. ADAM MALIK PERIODE JULI-DESEMBER Oleh :

KEJADIAN KOLONISASI METHICILLIN-RESISTANT STAPHYLOCOCCUS AUREUS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pelayanan kesehatan umum seperti rumah sakit dan panti jompo. Multidrugs

BAB I PENDAHULUAN. dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri

ABSTRAK PERBANDINGAN POLA RESISTENSI KUMAN PADA PENDERITA PNEUMONIA DI RUANGAN ICU DAN NON ICU RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2012

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

POLA KEPEKAAN ANTIBIOTIK BAKTERI EXTENDED SPECTRUM BETA LAKTAMASES-PRODUCING ESCHERICHIA COLI

Arcci Pradessatama. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Indonesia, Salemba Abstrak

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia)

: NATALIA RASTA MALEM

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi

ANGKA KEJADIAN KLEBSIELLA PNEUMONIAE PENYANDI KLEBSIELLA PNEUMONIAE CARBAPENEMASE PADA PASIEN INFEKSI DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah. kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. yang resisten terhadap minimal 3 kelas antibiotik. 1 Dari penelitian yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK ANTIBIOGRAM INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT DI LABORATORIUM MIKROBIOLOGI KLINIK RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI -DESEMBER 2008

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Infeksi nosokomial atau Hospital-Acquired Infection. (HAI) memiliki kontribusi yang besar terhadap tingkat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. seseorang selama di rumah sakit (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut perkiraan World Health Oraganization (WHO) ada sekitar 5 juta

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Diabetes melitus (DM) terutama DM tipe 2 merupakan masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. ventilasi bagi pasien dengan gangguan fungsi respiratorik (Sundana,

DISTRIBUSI DAN POLA KEPEKAANENTEROBACTERIACEAE DARI SPESIMEN URIN DI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA PERIODE JANUARI JUNI 2015

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah bidang Ilmu. Mikrobiologi Klinik dan ilmu penyakit infeksi.

BAB I PENDAHULUAN. paru. Bila fungsi paru untuk melakukan pembebasan CO 2 atau pengambilan O 2 dari atmosfir

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Maya Savira* Keywords: Extended spectrum beta lactamases, MacConkey, cefpodoxim, Mueller-Hinton, ChromID TM ESBL

MEDIA MEDIKA INDONESIANA

Bab I Pendahuluan. Penyakit infeksi merupakan masalah di Indonesia. Salah satu penanganannya adalah dengan antibiotik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama. morbiditas dan mortalitas di dunia.

ALUR GYSSEN Analisa Kualitatif pada penggunaan Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang

Pasien kritis adalah pasien dengan kondisi

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

25 Universitas Indonesia

BAB IV METODE PENELITIAN. 1. Pengambilan data berupa sampel swab nasofaring dan kuesioner diadakan di

FAKTOR RISIKO TERKAIT PERAWATAN MEDIS INFEKSI OLEH BAKTERI PENGHASIL EXTENDED-SPECTRUM BETA-LACTAMASE (ESBL) DI RSUP DR.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PREVALENSI DAN POLA RESITENSI BAKTERI BATANG GRAM NEGATIF PENGHASIL EXTENDED SPECTRUM BETALACTAMASE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prevalensi penyakit paru akibat nontuberculous. mycobacterium (NTM) semakin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus adalah bakteri gram positif. berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, berdasar data Riskesdas tahun 2007, pneumonia telah menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia. 1. merupakan pneumonia yang didapat di masyarakat. 1 Mortalitas pada penderita

I. PENDAHULUAN. penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012). Infeksi nosokomial dapat terjadi

BAB 1. Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis

ABSTRAK. Michael Jonathan, 2012; Pembimbing I : dr. Fanny Rahardja, M.Si Pembimbing II: dr. Rita Tjokropranoto, M.Sc

Wani Devita Gunardi, dr. SpMK RS EKA BSD

LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH. Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti seminar hasil Karya Tulis Ilmiah mahasiswa Program Strata-1 Kedokteran Umum

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian

GAMBARAN POPULASI BAKTERI PADA CHEST PIECE STETOSKOP DI RUANGAN ICU DAN HCU RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG DAN SENSITIVITASNYA TERHADAP MEROPENEM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pneumonia adalah penyakit infeksi yang menyerang. parenkim paru-paru. Menurut Kollef et.al.

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

3. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. invasif secara umum dikenal sebagai infeksi daerah operasi (IDO). 1. dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

PANDUAN PENGENDALIAN MULTIDRUG- RESISTANT ORGANISM (MDRO)

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. adalah penyakit infeksi pada saluran pernapasan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian penyakit infeksi

Klebsiella pneumoniae. Gamma Proteobacteria Enterobacteriaceae. Klebsiella K. pneumoniae. Binomial name Klebsiella pneumoniae

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Enterobacter sp. merupakan bakteri gram negatif. berbentuk batang. Enterobacter sp.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Antibiotik merupakan pengobatan utama dalam. manajemen penyakit infeksi. Namun, akibat penggunaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. bermakna (Lutter, 2005). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit

ABSTRAK AKTIVITAS TEH HIJAU SEBAGAI ANTIMIKROBA PADA MIKROBA PENYEBAB LUKA ABSES TERINFEKSI SECARA IN VITRO

BAB IV METODE PENELITIAN. Ilmu Kesehatan Anak, dan Ilmu Kesehatan Masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare,

Transkripsi:

KEJADIAN INFEKSI ENTEROBACTERIACEAE PENGHASIL EXTENDED-SPECTRUM BETA-LACTAMASE (ESBL) DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGGUNAAN TRACHEAL TUBE PADA PASIEN ICU PUSAT RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO TAHUN 2011 Faradila Keiko Yulia Rosa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, Indonesia Abstrak Enterobacteriaceae merupakan salah satu penyebab terpenting infeksi nosokomial dan komunitas. Resistensi Enterobacteriaceae terhadap agen antimikroba menyulitkan tatalaksana penyakit serta meningkatkan biaya pelayanan kesehatan. Salah satu mekanisme resistensinya adalah produksi enzim extended-spectrum beta-lactamase (ESBL). Salah satu faktor yang memudahkan timbulnya infeksi bakteri resisten adalah penggunaan alat medis invasif, contohnya tracheal tube. Oleh karena itu, diperlukan data mengenai kejadian infeksi ESBL di rumah sakit Indonesia yang dihubungkan dengan penggunaan tracheal tube sehingga dapat dilakukan usaha pencegahan dan kontrol ESBL. Penelitian ini merupakan studi cross sectional analitik menggunakan data sekunder hasil pemeriksaan kultur mikrobiologi sputum serta rekam medik 111 pasien ICU Pusat RSCM bulan Januari 2011 sampai bulan Agustus 2011. Kultur sputum pasien yang menggunakan tracheal tube maupun tidak diuji resistensinya. Data dianalisis dengan uji Chi-square, p=0,05. Hasil perbandingan data antara proporsi pasien yang positif terinfeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL dan menggunakan tracheal tube dengan proporsi pasien yang positif terinfeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL dan tidak menggunakan tracheal tube adalah RR >1 dengan nilai kemaknaan p=0.003. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan tracheal tube merupakan faktor risiko terhadap kejadian infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL. Kata Kunci: ESBL; alat invasif; tracheal tube; ICU Abstract Enterobacteriaceae is one of the most important cause of nosocomial and communityacquired infection. Resistance of Enterobacteriaceae to antimicrobial agents causes difficult choice of antimicrobial agents and increase healthcare cost. One of the mechanism of resistance is the production of extended-spectrum beta-lactamase (ESBL) enzyme. One of the factors contributing to the infection of resistant bacteria is the use of invasive medical devices, for example tracheal tube. Therefore, data for the emergence of ESBL-producing Enterobacteriaceae infection associated with the use of tracheal tube in hospitals in Indonesia

is needed so that prevention and control of infection can be established. This research is an analytic cross sectional study. It uses secondary data results from medical records of 111 patients from the Adult ICU RSCM in January 2011 until August 2011 and microbiological examination of sputum culture. Sputum culture of patients using and not using tracheal tube were tested for resistance. The data is analyzed with Chi-square, p=0,05. The data comparison between proportion of patients with positive ESBL-producing Enterobacteriaceae infection using tracheal tube to the proportion of patients not using tracheal tube is RR > 1 with significance value p=0.003. This suggests that the use of tracheal tube is the risk factor of ESBL-producing Enterobacteriaceae infection. Keywords: ESBL; invasive devices; tracheal tube; ICU Pendahuluan Kejadian dan penyebaran resistensi pada Enterobacteriaceae menyulitkan tatalaksana penyakit terutama infeksi yang berat dan kritisi, apalagi dengan munculnya spesies yang resisten terhadap hampir seluruh agen antimikroba yang ada. Salah satu mekanisme resistensi bakteri gram negatif dari famili Enterobacteriaceae adalah produksi extended-spectrum betalactamase (ESBL). Resistensi ini disebabkan akuisisi plasmid yang mengandung gen yang mengkode enzim extended-spectrum beta lactamase (ESBL). 1 ESBL terutama diproduksi oleh Eschericia coli dan Klebsiellae spp. 2 Enterobacteriaceae yang memproduksi ESBL semakin banyak ditemukan di pusat pelayanan kesehatan dan bahkan di komunitas. 1 Di PICU RSAI Harkit, prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL di PICU mencapai 16% dengan penyebab utama Klebsiella pneumoniae (45%), dan diikuti oleh E. coli (19%). Sedangkan di Singapura, angka ESBL masih mencapai 40%. 3 Menurut data dari Meropenem Yearly Susceptibility Test Information Collection di Eropa dan USA, prevalensi penghasil ESBL tahun 2006 dan 2007 adalah: E.coli: 8,2 dan 6,0%; Klebsiella spp.: 9,8 dan 12 %; dan Proteus Mirabilis: 1,4% dan 0%. 4 Resistensi antimikroba merupakan penentu penting keberhasilan pengobatan pasien infeksi di intensive care unit (ICU). Hal ini meningkatkan biaya pelayanan kesehatan dikarenakan pertambahan lama rawat dan kegagalan terapi antibiotik. 5 Pilihan terapi empirik infeksi oleh Enterobacteriaceae yang memproduksi ESBL sulit dan terbatas. 1 Untuk mengatasi hal ini diperlukan pengendalian pengunaan antimikroba, implementasi kontrol infeksi yang lebih luas, serta intervensi kesehatan masyarakat yang ditujukan untuk mencegah penyebaran. 5

Pada penelitian yang dilakukan Trouillet dkk, 77 dari 135 (57%) pasien dengan Ventilator Associated Pneumonia disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik. 5 Salah satu faktor yang memudahkan timbulnya bakteri resisten tersebut adalah penggunaan alat invasif, salah satunya adalah tracheal tube. Diduga pada tracheal tube terdapat pembentukan biofilm pada permukaannya sehingga menyebabkan bakteri sulit ditembus oleh antimikroba dan sulit dieradikasi. 6 Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan alat invasif yaitu tracheal tube dengan kejadian Enterobacteriaceae penghasil ESBL. Dengan begitu peneliti berharap kejadian infeksi di ICU terutama infeksi mikroba yang resisten terhadap antimikroba dapat ditekan dengan cara membatasi penggunaan alat invasif seperti tracheal tube. Dengan mengetahui hubungan faktor risiko yaitu penggunaan tracheal tube dengan kejadian Enterobacteriaceae penghasil ESBL, diharapkan para praktisi kesehatan lebih waspada dalam menangani pasien infeksi terutama di ICU. Didasari dengan latar belakang yang dikemukakan, peneliti merumuskan masalah pada penelitian, yaitu: Bagaimana prevalensi kejadian Enterobacteriaceae penghasil ESBL di ICU Pusat RSCM? Bagaimana hubungan antara prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL dengan penggunaan alat medis invasif tracheal tube? Tujuan umum penelitian ini adalah mencegah terjadinya infeksi oleh Enterobacteriaceae penghasil ESBL yang diakibatkan penggunaan tracheal tube di ICU Pusat RSCM tahun 2011. Tujuan khusus penelitian ini adalah mengetahui data mengenai prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL di ICU Pusat RSCM tahun 2011 serta mengetahui hubungan infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL dengan penggunaan alat medis invasif tracheal tube. Tinjauan Teoritis Multidrug Resistant Organism (MDRO)

Multidrug Resistant Organism atau MDRO merupakan bakteri yang resisten terhadap lebih dari satu golongan antibiotik yang berbeda. Apabila masuk ke dalam tubuh manusia, dapat melalui luka, ginjal, darah maupun paru, MDRO dapat mengakibatkan timbulnya penyakit. 7 Apabila bakteri hidup di dalam tubuh inangnya namun tidak menimbulkan penyakit maka dikatakan bahwa bakteri tersebut berkolonisasi di dalam tubuh. Akan tetapi, apabila bakteri yang berada di dalam tubuh inangnya menimbulkan penyakit, hal ini dikatakan sebagai infeksi. 8 Salah satu contoh MDRO adalah Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL). 7 Penyebaran MDRO biasanya melalui kontak baik secara langsung maupun tidak langsung. Deteksi infeksi MDRO dapat dilakukan dengan cara mengkultur spesimen dari bagian tubuh yang terinfeksi seperti urin, darah, sputum, atau cairan dari luka terbuka. 7 Oleh karena antibiotik yang biasa digunakan tidak dapat bekerja lagi untuk mengobati MDRO, pengobatan MDRO sangat sulit dan terbatas. Antibiotik lain harus digunakan sebagai alternatif. 9 Enterobacteriaceae Penghasil Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL) Enterobacteriaceae atau batang gram negatif enterik merupakan kelompok batang gram negatif aerobik yang memfermentasi laktosa. Enterobacteriaceae normal berada di dalam saluran gastrointestinal bawah. Terapi antibiotik dan penyakit yang kritis dapat mensupresi flora normal sehingga menyebabkan pertumbuhan Enterobacteriaceae berlebih di usus dan kolonisasi pada kulit, saluran gastrointestinal atas, dan saluran pernapasan. 10 Enterobacteriaceae merupakan salah satu penyebab terpenting infeksi nosokomial dan komunitas yang serius pada manusia, dan resistensi terhadap agen antimikroba pada spesiesspesies ini telah menjadi masalah yang penting. Antibiotik seperti beta lactam dan fluoroquinolone adalah kelas obat penting yang digunakan untuk menatalaksana infeksi yang disebabkan Enterobacteriaceae. 11 Salah satu mekanisme resistensi bakteri gram negatif dari famili Enterobacteriaceae adalah produksi enzim extended-spectrum beta-lactamase (ESBL). 1 ESBL terutama diproduksi oleh Eschericia coli dan Klebsiellae spp. 2 Beta-lactamase merupakan enzim yang diproduksi bakteri gram negatif dan bakteri gram positif tertentu. 8 Cincin beta-lactam yang terdapat pada antibiotik beta-lactam dipecah oleh beta-lactamase sehingga kemampuan antibiotik tersebut dirusak. 12 Beta lactamase yang dimediasi plasmid yang pertama pada bakteri gram negatif yaitu TEM-1 yang terdapat pada

strain E. coli di Yunani. Beta lactamase ini menyebar dengan cepat ke famili Enterobacteriaceae yang lain. Pada waktu yang bersamaan, beta lactamase yang dimediasi plasmid lain yaitu SHV-1 (sulfhydryl variable) ditemukan pada Klebsiella pneumoniae dan E. coli. Oxyimino-cephalosporin menunjukkan stabilitas yang baik terhadap beta lactamase TEM-1 dan SHV-1. 13 Pada tahun 1980-an beta-lactamase jenis baru yaitu SHV-2 diproduksi oleh Klebsiella pneumoniae dan Eschericia coli sehingga membuat extended spectrum cephalosporin tersebut yang tadinya resisten terhadap aktivitas beta-lactamase menjadi tidak efektif. 12,13 Organisme-organisme yang memproduksi beta-lactamase jenis baru tersebut dinamakan Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL). 14 Hingga saat ini, terdapat lebih dari 130 beta lactamase tipe TEM dan lebih dari 50 beta lactamase tipe SHV. Beta lactamase ini terutama ditemukan pada E.coli, K. pneumoniae, dan Proteus mirabilis. Mereka dapat menghidrolisis beta lactam oxyimino seperti ceftazidime, cefpodoxime, ceftriaxone, dan cefotaxime, serta monobactam (aztreonam). Tipe beta lactamase lainnya yaitu CTX-M yang aktivitasnya lebih besar pada cefotaxime dibandingan dengan ceftazidime serta carbapenemase yang juga aktif melawan carbapenem. Selain memiliki beta lactamase, bakteri-bakteri tersebut juga mengalami delesi porin. 14 Data dari Meropenem Yearly Susceptibility Test Information Collection menunjukkan prevalensi penghasil ESBL di Eropa (2006) dan USA (2007) adalah: E.coli: 8,2 dan 6,0%; Klebsiella spp.: 9,8 dan 12 %; dan Proteus Mirabilis: 1,4 dan 0%. 4 Menurut studi MYSTIC tahun 2003, Klebsiella pneumoniae yang menghasilkan ESBL sebanyak 30,6%. Lebih dari 50% isolat Klebsiella pneumoniae merupakan penghasil ESBL di Eropa Timur dan Amerika Selatan. 13 Sekitar 20% infeksi Klebsiella pneumoniae di ICU di United States juga mencakup strain yang menghasilkan ESBL ini. Di Singapura, angka kejadian ESBL mencapai 40%. 1 Sementara di RSIA Harkit, prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL di PICU mencapai 16% dengan penyebab utama Klebsiella pneumoniae (45%), dan diikuti oleh E. coli (19%). 3 Mekanisme Resistensi Enterobacteriaceae Penghasil ESBL Pada bakteri gram negatif, mekanisme resistensi beta lactam terutama mencakup hidrolisis yang dimediasi beta lactamase yang menyebabkan inaktivasi antibiotik. Selain itu terjadi peningkatan efluks yang efeknya diperkuat oleh impermeabilitas yang meningkat seiring dengan hilangnya porin sehingga menurunkan jumlah antibiotik yang masuk kedalam sel bakteri tersebut. Resistensi didapatkan melalui transfer plasmid yang dapat mengandung

gen-gen yang resisten, termasuk gen yang mengkode beta lactamase multipel dari kelas-kelas fungsional yang berbeda. 2,15 Beta lactam harus berdifusi melalui membran luar sel bakteri gram negatif menggunakan pori-pori yang dibentuk protein porin, kemudian menyeberangi periplasma yang dapat mengandung beta lactamase. Setelah melewati keduanya, beta lactam mencapai targetnya yaitu PBP yang berada pada permukaan terluar membran sitoplasma. Resistensi terjadi dikarenakan faktor impermeabilitas dan keberadaan beta-lactamase. 15 Jenis enzim beta-lactamase berjumlah lebih dari 950. Enzim-enzim ini dapat berupa beta lactamase spesifik-spesies seperti pada Klebsiella oxytoca, atau diproduksi oleh elemen ekstra kromosomal dimana delapan beta lactamase yang berbeda dapat dimiliki oleh satu organisme. Empat kelompok besar beta lactamase diidentifikasi berdasarkan spesifisitas substrat, yaitu: penicillinase, AmpC-type cephalosporinase, extended spectrum beta lactamase (ESBL), dan carbapenemase. ESBL dan cephalosporinase yang dapat menghidrolisis expanded-spectrum cephalosporin seperti cefotaxime atau ceftazidime merupakan kelompok yang terbesar. Enzim-enzim ini dihasilkan Enterobacteriaceae dengan kemampuannya untuk menghidrolisis semua penicillin dan cephalosporin. 2 Contoh awal ESBL adalah mutan penisilinase yang dimediasi plasmid TEM dan SHV dengan satu atau lebih substitusi asam amino. Mutasi menyebabkan pembesaran situs aktif sehingga terjadi defleksi kelompok oxyimino dan penyerangan terhadap cincin beta lactam. Mutasi ini paling sering terjadi pada Klebsiella spp., epidemiologinya merefleksikan gabungan antara ekspansi klonal transfer plasmid dan kejadian mutasi berulang. Beberapa produsen klon menyebar di rumah sakilt, contohnya Klebsiella pneumoniae serotipe K25 dengan SHV-4. 15 Tracheal Tube Sebagai Faktor Risiko Kejadian Enterobacteriaceae Penghasil ESBL Ventilator-associated pneumonia (VAP) didefinisikan sebagai pneumonia yang berkembang ketika pasien menerima ventilasi mekanis yang menggunakan tracheal tube untuk mendukung kegagalan pernapasan akut. 10 Tracheal tube dipasang melalui orofaring dan laring yang merupakan tempat kolonisasi mikroba ke trakheobronkial yang steril pada keadaan normal, membuat jalur langsung dari ventilator eksternal ke paru-paru. 16 Kewaspadaan terhadap mikroba penyebab potensial VAP dan konfirmasi penyebab spesifik diperlukan sebagai dasar pemilihan terapi antibiotik yang optimal. Terapi antibiotik yang inadekuat dapat menyebabkan peningkatan prevalensi resistensi antibiotik. Organisme

penyebab VAP banyak yang resisten terhadap antibiotik, salah satunya adalah Enterobacteriaceae penghasil ESBL. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional harus diminimalkan untuk mencegah perkembangan resistensi yang lebih luas. 10 Pada penelitian yang dilakukan Trouillet dkk, 77 dari 135 (57%) pasien dengan ventilator associated pneumonia disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Salah satu faktor risiko fenomena ini adalah penggunaan alat yang invasif seperti tracheal tube. 5 Diduga pada permukaan tracheal tube terdapat pembentukan biofilm pada permukaannya. 6 Biofilm mikroba merupakan reservoir patogen, menyebabkan bakteri yang terdapat dibawah lapisan biofilm sukar ditembus antibiotik dan menjadi resisten. 6,17 Biofilm ditemukan pada permukaan luar dan dalam tracheal tube setelah dipasang dalam waktu kurang dari 24 jam. 16 Jalur infeksi nosokomial utama adalah aspirasi bakteri patogen yang berkolonisasi di orofaring dan saluran gastrointestinal. Ketika mikroorganisme mencapai paru-paru distal, mikroorganisme tersebut bermultiplikasi dan menyebabkan penyakit. 18 Mikroba ini dapat merusak paru-paru pasien yang diintubasi, kejadian infeksi tergantung dari imunitas pasien, integritas paru-paru, kualitas dan jenis mikroba serta kemampuan mekanisme pertahanan tubuh pasien untuk mencegah proliferasi dan penyebaran bakteri. Komunitas mikroba berubah pada saat antibiotik diberikan. Seleksi bakteri yang resisten dapat terjadi pada komunitas bakteri ini yang dapat menyebabkan kerusakan paru dan kematian. 19 Pertahanan tubuh seperti filtrasi dan humidifikasi udara pada saluran napas atas, refleks epiglotis dan batuk, transpor silia oleh epitel saluran pernapasan, fagosit dan opsonin pada paru-paru distal, serta imunitas selular dan humoral sistemik mencegah invasi bakteri. Di ICU, pertahanan tubuh pasien terganggu karena penyakit penyerta dan alat medis invasif yang digunakan. Tracheal tube membuka pita suara sehingga memfasilitasi aspirasi. Tracheal tube mengganggu pertahanan tubuh, mengganggu klirens mekanis saluran pernapasan, menyebabkan inflamasi dan trauma lokal, dan menyebabkan berkumpulnya sekresi di sekitar cuff. 18 Untuk menurunkan kejadian VAP, dapat dilakukan hal-hal seperti mengatur kemiringan bagian kepala di tempat tidur sebesar lebih dari 30 derajat, pemberian chlorhexidine oral setiap 12 jam, serta penyedotan subglotis berkelanjutan. 20 Tekanan cuff harus optimal untuk mencegah bocornya sekresi subglotis yang berkolonisasi ke saluran napas bawah. Penyedotan sekresi orofaring dan saluran napas atas di atas endotracheal cuff dapat mencegah aspirasi, namun dalam penelitian lain penyedotan ini tidak berpengaruh terhadap kejadian VAP karena hanya mereduksi bukan mengeliminasi volume cairan yang

teraspirasi ke paru-paru. 18 Deteksi Enterobacteriaceae Penghasil ESBL Deteksi mikroba yang resisten dilakukan dengan uji kepekaan terhadap antimikroba. Tes ini ditujukan agar klinisi dapat memberikan terapi antibiotik yang sesuai. Dua metode dasar uji kepekaan terhadap antimikroba adalah yaitu tes yang bersifat kualitatif atau kuantitatif. 21 Deteksi ESBL didasarkan kepada resistensi terhadap substrat oxyimino-beta-lactam (cefotaxime, ceftazidime, ceftriaxone, atau cefepime) dan kemampuan inhibitor beta-lactamase, biasanya clavulanate, untuk memblok resistensi ini. CLSI merekomendasikan skrining isolat E. coli, K. pneumoniae, K. oxytoca atau Proteus spp. dengan disk diffusion atau broth dilution untuk resistensi, dilanjutkan dengan tes konfirmasi dimana terjadi peningkatan kepekaan dengan keberadaan clavulanate. 22 Disk diffusion (difusi cakram) merupakan metode kualitatif uji kepekaan terhadap antimikroba. Pada metode ini, molekul antibiotik berdifusi dari cakram ke dalam agar, sehingga menciptakan gradien konsentrasi antibiotik yang berubah-ubah sementara organisme yang diuji mulai berproliferasi dan bertumbuh. Zone edge merupakan dimana konsentrasi antibiotik mulai menghambat organisme. Zone margin merupakan area dimana tidak ada pertumbuhan yang terlihat dengan mata telanjang. 21 Broth microdilution dan agar dilution adalah metode kuantitatif karena mereka dapat menghitung minimum inhibitory concentration (MIC). MIC merupakan konsentrasi terendah antibiotik yang menginhibisi pertumbuhan mikroorganisme. Pada infeksi yang kritis, penentuan nilai MIC kuantitatif yang akurat diperlukan sebagai pemandu terapi. Larutan agen antimikrobial dimasukkan ke dalam tabung uji (makrodilusi), sumur multipel (mikrodilusi), atau medium agar. Setiap tabung, sumur, atau agar mengandung konsentrasi antibiotik yang berbeda-beda yang diinokulasikan dengan spesimen. MIC dapat ditentukan berdasarkan tingkat pertumbuhan yang dapat dilihat. 21 Tes skrining inisial: 1. Disk diffusion 23

Disk diffusion dilakukan menggunakan agar MHA. Konsentrasi agen antimikroba yang digunakan untuk K. pneumoniae, K. oxytoca, dan E.coli adalah cefpodoxime 10 µg atau ceftazidime 30 µg atau aztreonam 30 µg atau cefotaxime 30 µg atau ceftriaxone 30 µg. Untuk P. mirabilis, cefpodoxime 10 µg atau ceftazidime 30 µg atau cefotaxime 30 µg. Inkubasi dilakukan pada suhu 35 + 2 0 C selama 16-18 jam. Hasil tes positif ESBL pada K. pneumoniae, K. oxytoca, dan E.coli apabila zona cefpodoxime < 17 mm, zona ceftazidime < 22 mm, zona aztreonam < 27 mm, zona cefotaxime < 27 mm, zona ceftriaxone < 25 mm. Untuk P. mirabilis, zona cefpodoxime < 22 mm, zona ceftazidime < 22 mm, zona cefotaxime < 27 mm. 2. Broth microdilution 23 Broth microdilution dilakukan menggunakan agar CAMHB. Konsentrasi agen antimikroba yang digunakan untuk K. pneumoniae, K. oxytoca, dan E.coli adalah cefpodoxime 4 µg atau ceftazidime 1 µg atau aztreonam 1 µg atau cefotaxime 1 µg atau`ceftriaxone 1 µg. Untuk P. mirabilis, cefpodoxime 1 µg atau ceftazidime 1 µg atau cefotaxime 1 µg. Inkubasi dilakukan pada suhu 35 + 2 0 C selama 16-20 jam. Pertumbuhan pada atau di atas konsentrasi skrining mengindikasikan produksi ESBL. Untuk E. coli, K. pneumoniae, dan K. oxytoca, MIC > 8 µg/ml untuk cefpodoxime atau MIC > 2 µg/ml untuk ceftazidime, aztreonam, cefotaxime, atau ceftriaxone; dan untuk P. mirabilis, MIC > 2 µg/ml untuk cefpodoxime, ceftazidime, atau cefotaxime. Tes konfirmasi fenotip: 23 1. Disk diffusion 23 Disk diffusion dilakukan menggunakan agar MHA. Konsentrasi agen antimikroba yang digunakan yaitu ceftazidime 30 µg, ceftazidime-clavulanic acid 30/10 µg dan cefotaxime 30 µg, cefotaxime-clavulanic acid 30/10 µg. Tes ini dilakukan dengan dan tanpa kombinasi dengan clavulanic acid. Inkubasi dilakukan pada suhu 35 + 2 0 C selama 16-18 jam. Peningkatan zona diameter > 5 mm pada salah satu agen antimikrobial yang diuji pada kombinasi dengan clavulanic acid dibandingkan dengan besar zona saat diuji sendiri mengkonfirmasi hasil positif ESBL. 2. Broth microdilution 23

Broth microdilution dilakukan menggunakan agar CAMHB. Konsentrasi agen antimikroba yang digunakan yaitu ceftazidime 0.25-128 µg/ml, ceftazidimeclavulanic acid 0.25/4 128/4 µg/ml dan cefotaxime 0.25 64 µg/ml, cefotaximeclavulanic acid 0.25/4 64/4 µg/ml. Tes ini dilakukan dengan dan tanpa kombinasi dengan clavulanic acid. Inkubasi dilakukan pada suhu 35 + 2 0 C selama 16-20 jam. Penurunan konsentrasi > 3 pengenceran ganda pada salah satu agen antimikrobial yang diuji pada kombinasi dengan clavulanic acid dibandingkan dengan MIC saat diuji sendiri mengkonfirmasi hasil positif ESBL. Tes-tes lainnya yaitu: 21 Double disk test. Cakram clavulanate yang ditempatkan di dekat cakram dengan oxyimino-beta-lactam memperkuat kepekaan terhadap oxyimino-beta-lactam. Strip etest. Strip etest mengandung oxyimino-beta-lactam bergradien dengan tambahan kandungan clavulanate di salah satu sisi. Tes tiga dimensi yang menguji kemampuan kultur organisme mendistorsi zona inhibisi di sekeliling cakram oxyimino-beta-lactam. Kebanyakan lab menggunakan automated system yang ditunjang oleh satu atau lebih metode manual. Sistem ini mengandung algoritma terkomputerisasi untuk menginterpretasikan hasil dan mengidentifikasi kerentanan terhadap antibiotik, menggunakan panel komersial yang mengandung faktor-faktor pertumbuhan untuk mempercepat pertumbuhan organisme. Sistem ini juga menggunakan software untuk menganalisis tingkat pertumbuhan dan MIC antibiotik. 21 Pencegahan, Kontrol, dan Tatalaksana Enterobacteriaceae Penghasil ESBL Pencegahan kerusakan paru yang diinduksi bakteri salah satunya dapat dilakukan dengan melepas tracheal tube. Cara lain adalah dengan menghentikan penggunaan antibiotik apabila data kultur negatif, serta menurunkan kuantitas patogen pada sekresi oral dengan antiseptik seperti clorhexidine. 19 Keberadaan Enterobacteriaceae yang memproduksi ESBL mempersulit terapi karena organisme ini resisten terhadap beberapa obat. Hal pertama yang harus dikonfirmasi pada isolat pasien yang mengindikasikan adanya Enterobacteriaceae yang memproduksi ESBL adalah apakah pasien mengalami infeksi. Pasien dengan isolat positif dari urin atau saluran

pernapasan dapat mengalami kolonisasi saja dimana pemberian terapi antibiotik tidak diindikasikan. 1 Pilihan terapi empirik infeksi oleh Enterobacteriaceae yang memproduksi ESBL sulit karena kecenderungan resistensi terhadap berbagai obat. Pemberian imipenem terhadap 10 dari 10 pasien (100%) pneumonia yang disebabkan mikroorganisme yang memproduksi ESBL memberikan respon klinis positif, sementara 9 dari 13 (69%) pasien memberikan respon positif setelah diberikan cefepime. Pada pasien yang terinfeksi oleh Klebsiella pneumoniae, tingkat kematian selama 14 hari adalah 4,8% (2 dari 42) pada pasien yang diberikan monoterapi atau terapi kombinasi carbapenem, dan 27,6% (8 dari 29) pada pasien yang diberikan antibiotik non-carbapenem. Produsen ESBL sering resisten terhadap quinolon, aminoglycosides, dan trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX). 1 Tigecycline menunjukkan aktivitas in-vitro terhadap Enterobacteriaceae yang memproduksi ESBL, namun data klinis yang menunjukkan efektivitas tigecycline terhadap infeksi sangat kurang. Farmakokinetik tigecycline membatasi perannya pada infeksi saluran kemih, selain itu tigecycline juga tidak dapat digunakan pada anak-anak dikarenakan efeknya pada deposisi tulang dan gigi yang berkembang. Sekarang, belum ada antimikroba lain dengan aktivitas yang bermakna secara klinis terhadap strain bakteri Gram negatif yang resisten. 24 Metode Penelitian Desain penelitian ini merupakan studi cross-sectional analitik yang digunakan untuk melihat hubungan prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL dengan penggunaan tracheal tube pasien-pasien di ICU Pusat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Populasi target pada penelitian ini adalah pasien ICU RSCM, sementara populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien ICU Pusat RSCM. Sampel penelitian ini adalah pasien yang dirawat di ICU RSCM pada tahun 2011 bulan Januari 2011 sampai bulan Oktober 2011. Pemilihan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling. Data diolah menggunakan program SPSS 17.0. Data dianalisis menggunakan analisis bivariate (x 2 / fischer) yang digunakan dengan tujuan mengetahui hubungan variable independen dengan variabel dependen. Hubungan tersebut diketahui dengan risiko relatif yang dihitung dengan formula rasio prevalens. Penghitungan risiko relatif disertai dengan penghitungan interval kepercayaan.

Hasil Penelitian dan Pembahasan Data penelitian didapatkan dari data sekunder, terdiri atas hasil kultur Enterobacteriaceae penghasil ESBL dan rekam medis pasien ICU Pusat RSCM tahun 2011. Dalam jangka waktu selama 7 bulan pada tahun 2011 (bulan Januari sampai Agustus 2011) terdapat 755 pasien yang terdaftar dirawat di ICU Pusat RSCM. Untuk data penelitian ini, didapatkan 111 pasien yang terdaftar di ICU dari tanggal 10 Januari 2011 sampai 9 Agustus 2011. Dari 111 pasien, 57 pasien berjenis kelamin laki-laki dan 54 pasien berjenis kelamin perempuan. Pasien yang berusia 0-10 tahun berjumlah 1 orang, 11-20 tahun berjumlah 13 orang, 21-30 tahun berjumlah 11 orang, 31-40 tahun bersumlah 18 orang, 41-50 tahun berjumlah 27 orang, 51-60 tahun berjumlah 26 orang, 61-70 tahun berjumlah 13 orang, dan 71-80 tahun berjumlah 4 orang. Pada pasien-pasien ini dilakukan kultur oleh Departemen Mikrobiologi FKUI. Pasien-pasien tersebut mewakili populasi terjangkau penelitian, yaitu pasien ICU Pusat RSCM tahun 2011. Penelitian dilakukan pada 111 sampel yang mewakili populasi terjangkau pasien ICU Pusat RSCM tahun 2011. Data yang diambil dari pasien antara lain identitas dan pemakaian alat medis invasif berupa tracheal tube dari rekam medis ICU serta hasil kultur mikrobiologi yaitu apakah pasien terinfeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL atau tidak. Spesimen infeksi yang digunakan untuk kultur berupa sputum. Pada pasien ICU Pusat RSCM tahun 2011, prevalensi infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL adalah 7 dari 111 (6,3%). (Diagram 4.1) Apabila dibandingkan dengan prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL di RSIA Harkit yaitu 16%, prevalensi di ICU Pusat RSCM lebih rendah. 3 Begitu juga bila dibandingkan dengan prevalensi di Singapura, dimana angka kejadian ESBL mencapai 40%. 1

Prevalensi infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL pada pasien ICU Pusat RSCM 120 100 80 60 40 20 0 Terinfeksi Tidak terinfeksi Gambar 1 Prevalensi infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL pada pasien ICU Pusat RSCM Enterobacteriaceae penghasil ESBL yang terdeteksi pada penelitian ini diantaranya adalah Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL sebanyak 57,1% (4 dari 7 pasien), Klebsiella oxytoca penghasil ESBL sebanyak 28,6% (2 dari 7 pasien), Enterobacter sakazakii penghasil ESBL sebanyak 14,3 % (1 dari 7 pasien), dan Serratia marcescens penghasil ESBL sebanyak 14,3% (1 dari 7 pasien). Total pasien yang terinfeksi ada 7 orang, namun ada 1 orang yang terinfeksi Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL dan Klebsiella oxytoca penghasil ESBL. (Grafik 4.1) Sebanyak 3 pasien (42,8%) yang terinfeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL adalah laki-laki, sementara 4 pasien (57,1%) adalah perempuan. Pada penelitian ini infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL cenderung pada perempuan. Pasien yang terinfeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL berusia 56 tahun, 17 tahun, 58 tahun, 74 tahun, 44 tahun, 8 tahun, dan 48 tahun. Pada penelitian ini infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL cenderung pada usia di atas 40 tahun. Sebanyak 49 (44%) pasien menggunakan tracheal tube, sementara 62 pasien tidak menggunakan tracheal tube. Sebanyak 7 yang menggunakan tracheal tube terinfeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL, sementara 0 pasien yang tidak menggunakan tracheal tube terinfeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL. Tabel 1. Persebaran spesies Enterobacteriaceae penghasil ESBL pada Pasien ICU Pusat

RSCM Enterobacteriaceae ESBL (n%) Ya Tidak Klebsiella pneumoniae 4 (57,1%) 3 (42,9%) Klebsiella oxytoca 2 (28,6%) 5 (71,4%) Enterobacter sakazakii 1 (14,3%) 6 (85,7%) Serratia marcescens 1 (14,3%) 6 (85,7%) Tabel 2. Hasil Kultur ESBL pada Pasien yang Menggunakan dan Tidak Menggunakan Tracheal Tube Kolonisasi Positif Negatif Uji kemaknaan MRSA Pasien yang Chi square menggunakan tracheal tube 7 42 Pasien yang tidak menggunakan tracheal tube 0 62 p=0.003 Nilai rasio prevalens penelitian ini adalah tak terhingga. Karena nilai rasio prevalens > 1, maka penggunaan tracheal tube merupakan faktor risiko dari infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL. Interval kepercayaan dari penelitian ini adalah dari NaN (not a number) sampai tak terhingga. Pada penelitian ini uji hipotesis yang digunakan yaitu uji chi-square (uji x 2 ) untuk dua kelompok independen. Persyaratan dari uji x 2 untuk dua kelompok independen pada penelitian ini tidak terpenuhi dikarenakan nilai expected count kurang dari 5 pada 2 sel sehingga digunakan Fisher s Exact Test. Menurut tabel di atas, nilai p=0.003. Interpretasi nilai p=0.003 adalah apabila penggunaan tracheal tube tidak berhubungan dengan kejadian infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL, kemungkinan hasil tersebut (atau hasil yang lebih ekstrem) disebabkan semata-mata oleh faktor peluang (chance) adalah 0,03%. Oleh karena nilai nilai p<0.05, maka

hasil tersebut bermakna secara statistika. Berdasarkan data penelitian yang didapatkan, penggunaan tracheal tube merupakan faktor risiko dari infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL. Hasil tersebut sesuai penelitian yang dilakukan oleh Trouillet dkk, dimana penggunaan tracheal tube disebut sebagai faktor risiko infeksi bakteri yang resisten terhadap antibiotik. 5 Trouillet mengevaluasi faktor risiko infeksi oleh patogen yang berpotensi resisten pada 135 kasus yang sudah dikonfirmasi VAP. Isolat yang berpotensi resisten terdapat pada 77 (57%) kasus. Penelitian tersebut mengidentifikasi 3 variabel independen yang berhubungan dengan infeksi patogen yang berpotensi resisten, yaitu durasi ventilasi mekanis lebih dari tujuh hari (odds ratio 6.0), penggunaan antibiotik sebelumnya (odds ratio 13.5), dan penggunaan antibiotik spektrum luas sebelumnya (odds ratio 4.1). 10 Beberapa penelitian lain juga mendukung hasil penelitian ini. 25,26 Menurut Alp dan Voss, penggunaan intubasi trakheal diasosiasikan dengan risiko relatif 3-21 kali lipat terhadap kejadian pneumonia nosokomial. 18 American Thoracic Society mengungkapkan bahwa penggunaan intubasi dan ventilasi mekanis meningkatkan risiko HAP (hospital associated pneumonia) sebanyak 6-21 kali lipat. 17 Peningkatan risiko ini terjadi dikarenakan trauma dan sinusitis nasofaring (nasotracheal tube), mengganggu penelanan sekresi, berperan sebagai reservoir untuk proliferasi bakteri, meningkatkan penempelan dan kolonisasi bakteri pada saluran napas, trauma epitel orofaring, serta mengganggu klirens silia dan batuk. 18 Hal ini menjelaskan bahwa penggunaan tracheal tube meningkatkan risiko infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL dengan cara memberikan jalan masuk bakteri ke saluran pernapasan bawah serta mengganggu mekanisme pertahanan tubuh terhadap masuknya bakteri tersebut. Menurut penelitian Cook dkk, durasi penggunaan ventilator mekanis meningkatkan risiko kumulatif VAP. Kejadian VAP sebanyak 3% per hari pada minggu pertama penggunaan ventilator mekanis, 2% per hari pada minggu ke dua, dan 1% per hari pada minggu ke tiga. Pada studi lain, dikatakan bahwa risiko pneumonia meningkat seiring durasi penggunaan ventilasi mekanis dan risiko tertinggi adalah saat 8-10 hari pertama. 18 Penelitian lain yang dilakukan oleh Park juga mendukung pernyataan Cook, dimana dikatakan bahwa determinan tunggal terpenting VAP serta kecenderungan terjadinya resistensi multi obat adalah durasi ventilasi mekanis sebelum onset pneumonia. Peningkatan resistensi juga terjadi seiring peningkatan durasi ventilasi mekanis dan paparan antibiotik sebelumnya. Sebanyak

90-100% isolat dari pasien yang menggunakan ventilasi mekanis selama kurang dari 7 hari sensitif terhadap antibiotik yang biasa digunakan di ICU, sementara hanya 32-64% isolat yang sensitif pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanis selama lebih dari 7 hari. 10 Namun, menurut data dari Canadian Critical Trials Group, terjadi penurunan risiko VAP per hari, dimana saat minggu pertama risiko VAP 3% perhari sementara saat minggu ketiga dan seterusnya risiko VAP perhari turun menjadi 1%. Hal ini mengindikasikan bahwa pasien yang menggunakan ventilasi mekanis jangka panjang memiliki risiko VAP per hari lebih rendah dibandingkan penggunaan ventilasi mekanis jangka pendek. 27 Selain penggunaan ventilasi mekanis, VAP yang resistensi terhadap antibiotik juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain. Faktor dari pasien yaitu imunitas pasien, integritas paru-paru, kualitas dan jenis mikroba, kemampuan mekanisme pertahanan tubuh pasien untuk mencegah proliferasi dan penyebaran bakteri, jenis kelamin laki-laki, penyakit paru-paru yang sudah ada, serta kegagalan multi organ 17,19 Faktor eksternal yaitu penggunaan antibiotik, lama rawat di rumah sakit, pernah tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang, praktek kontrol infeksi yang tidak adekuat, posisi tubuh (posisi berbaring), serta pemberian nutrisi enteral. 17,28 Kesimpulan Di ICU Pusat RSCM tahun 2011, prevalensi infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL adalah 6,3% Penggunaan tracheal tube merupakan faktor risiko infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL. Saran Diperlukan edukasi mengenai tracheal tube sebagai faktor risiko dari infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL serta dampak dari infeksi tersebut. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor risiko infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai cara penurunan angka infeksi dan pengendalian infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara penggunaan tracheal tube dengan infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL yang dikaitkan dengan durasi penggunaan tracheal tube. Kepustakaan 1. Paterson DL. Resistance in gram-negative bacteria: Enterobacteriaceae. Pennsylvania: Elsevier; 2006. 2. Bush K. Alarming beta lactamase-mediated resistance in multidrug-resistant Enterobacteriaceae. Current Opinion in Microbiology (13). Elsevier; 2010. p. 558-564 3. Farmasia. Menggantung harapan pada antibiotik anyar. Diunduh dari http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?idnews=508. Diakses pada 20 Juni 2010, pk. 21.20 WIB. 4. Rodriguez-Bano J, Pascual A. Clinical significance of extended-spectrum betalacamases. Expert Rev. Anti Infect. Ther. 6(5), 671-683 (2008) 5. Kollef MH, Fraser VJ. Antibiotic resistance in the intensive care unit. Ann Intern Med 134; 2001. p. 298-314 6. Fauzia D. Strategi optimasi penggunaan antibiotik di rumah sakit sebagai upaya pengendalian resistensi terhadap antibiotik. Jakarta: FKUI; 2010. 7. Lifespan. 2010. A Multi-drug resistant organism (MDRO). Diunduh dari http://www.lifespan.org/services/infectious/diseases/mdro/default.htm.diakses pada tanggal 12 Juni 2010. 8. Czaja C. Multi-drug resistant organisms (MDRO):overview. National Jewish Health. Diunduh dari http://www.nationaljewish.org/healthinfo/conditions/mdro/index.aspx. Diakses pada tanggal 12 Juni 2010. 9. Siegel JD, Rhinehart E, Jackson M, Chiarello L. Management of multidrug-resistant organisms in healthcare settings, 2006. CDC. 2006: p. 5-6. 10. Park DR. The microbiology of ventilator-associated pneumonia. Respiratory Care 50 (6); 2005. 11. Pitout JDD. Multiresistant Enterobacteriaceae: new threat of an old problem. Expert Rev. Anti Infect, Ther. 6 (5), 657-669 (2008)

12. Brooks JF, Carrol KC, Butel JS, Morse SA. Jawetz, Melnick, & Adelbergs Medical Microbiology. 24 th ed. San Fransisco: McGraw-Hill Companies; 2007. 13. Turner PJ. Extended-spectrum beta lactamases. United Kingdom: Clinical Infectious Diseases (41); 2005. p. 273-275 14. Struthers JK, Westran RP. Clinical Bacteriology. London: Manson Publishing; 2003. p.58 15. Livermore DM, Woodford N. The beta lactamase threat in Enterobacteriaceae, Pseudomonas, and Acinetobacter. TRENDS in Microbiology Vol. 14 No.9. Elsevier; 2006. 16. Perkins SD, Woeltje KF, Angenent LT. Endotracheal tube biofilm inoculation of oral flora and subsequent colonzation of opportunistic pathogens. International Journal of Medical Microbiologi 300; 2010. 17. American Thoracic Society Documents. Guidelines for the management of adults with hospital-acquired, ventilator-associated, and healthcare-associated pneumonia. Am J Respir Crlt Care Med 171; 2005. 18. Alp E, Voss A. Ventilator associated pneumonia and infection control. Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials 5 (7); 2006. 19. Wiener-kronish JP, Dorr HI. Ventilator-associated pneumonia: Problems with diagnosis and therapy. Best Pactice & Research Clinical Anaesthesiology Vol. 22 No. 3. Elsevier; 2008. p. 437-449 20. Sundar KM, Nielsen D, Sperry P. comparison of ventilator-associated pneumonia (VAP) rates between different ICUs: Implications of a zero VAP rate. Journal of Critical Care 27; 2012. 21. Kuper KM, Boles DM, Mohr JF, Wanger A. Antimicrobial susceptibility testing: A primer for clinicians. Pharmacotherapy 29(11); 2009. p. 1326-1343 22. Munoz-Prica LS, Jacoby GA, Snydman DR. Extended spectrum beta lactamases. Erasmus Medisch Centrum UMCR; 2008. 23. Cockerill FR, et al. Performance standards for antimicrobial susceptibility testing; twenty first informational supplement. Wayne, PA: Clinical and Laboratory Standards Institute; 2011. 24. Chopra I, et al. Treatment of health-care-associated infections caused by Gramnegative bacteria: a consensus statement. Lancet Infect Dis (8); 2008. p. 133-139

25. Pitout JDD, Laupland KB. Extended-spectrum beta-lactamase-producing Enterobacteriaceae: an emerging public-health concern. Lancet Infect Dis (8); 2008. 26. Duffy J, et al. Elements of effective state-based surveillance for multidrug-resistant organisms related to healthcare-associated infections: Summary of discussions from a council of state and territorial epidemiologists and centers for disease control and prevention experts meeting. CDC; 2009. 27. Buckley JD. Hospital-acquired and ventilator-associated pneumonia in adults. Critical Care Medicine 8 (1); 2005. 28. Kollef MH. The importance of antimicrobial resistance in hospital-acquired and ventilator-associated pneumonia. Current Anaesthesia & Critical Care 16; 2005.