BAB I PENDAHULUAN Pertama pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselengaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Kedua unsur-unsur pembiayaan kesehatan sebagai mana dimaksut pada ayat pertama terdiri atas sumber pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan. Ketiga sumber pembiayaan kesehatan berasal dari pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, swasta, sumber lain (Depkes RI, 2009). Pelayanan kesehatan masyarakat yang bermutu ialah harapan dari masyarakat serta berkembangnya kesadaran akan pentingnya mutu yang lebih baik, maka UU kesehatan Nomor 23 tahun 1992 meningkatkan pentingnya mutu pelayanan kesehatan, khususnya untuk Fisioterapi (Nadesul, 2008). Fisioterapi adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektro terapeutis dan mekanis), pelatihan fungsi, serta komunikasi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2001). 1
2 A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya pembangunan di bidang industri yang sangat maju yang diiringi dengan kemajuan yang pesat dari ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan masyarakat untuk berpikir praktis. Misalnya ketika hendak bepergian masyarakat tidak lagi berjalan kaki tetapi lebih memilih untuk mengendarai sepeda motor maupun mobil. Dengan adanya kemudahan transportasi ini tentu masyarakat lebih merasa nyaman serta lebih efektif dan efisien. Namun di samping adanya keuntungan seperti di atas adanya kemudahan transportasi juga menimbulkan kerugian salah satunya adalah terjadinya peningkatan kecelakaan lalu lintas. Akibat dari kecelakaan lalu lintas dapat menyebabkan kematian atau terjadi patah tulang yang sering disebut dengan fraktur. Fraktur disebabkan karena adanya trauma atau benturan dengan benda keras, salah satunya adalah fraktur pada tulang bawah yaitu fraktur tibia 1/3 proximal. Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup.fraktur tertutup yaitu perpatahan yang tidak berhubungan dengan udara luar sedangkan fraktur terbuka adalah fraktur yang disertai perobekan jaringan kulit (Mc Rae, 1994). Fraktur terbuka dapat diklasifikasikan menjadi 3 type yaitu type I, luka biasanya kecil, kurang dari 1 cm dan bersih. Type 2 yaitu luka biasanya lebih dari 1 cm panjangnya dan tidak terdapat kerusakan jaringan.type 3 terdapat kerusakan jaringan yang luas pada kulit, jaringan lunak, saraf dan terkontaminasi (Appley, 2010).
3 Adapun penanganan fraktur dapat melalui 2 metode yaitu metode konservatif dan metode operatif. Pada metode operatif dapat menggunakan internal fixaxi dan eksternal fixaxi.internal fixaxi digunakan apabila terdapat fraktur yang tidak stabil dan adanya kesalahan letak misal dengan pemakaian plate and screw dan eksternal fixaxi dipakai apabila terdapat fraktur yang berbentuk comminuted dan terkontaminasi (Bloch, 1986). Menurut data dari RSO. Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta pada bulan Januari sampai Desember 2005 didapat data yaitu fraktur femur 2436 pasien, fraktur antebrachii 1130 pasien, fraktur cruris 1613 pasien, fraktur humeri 1366 pasien, fraktur collum femur 79 pasien dan fraktur supracondylair 19 pasien. Salah satu penanganan fraktur tibia 1/3 proximaladalah dengan operasi, operasi pemasangan ORIF maupun OREF.Tingkat gangguan yang disebabkan dilakukannya operasi pada fraktur tibia 1/3 proximal digolongkan menjadi beberapa tingkat dimulai dari impairment atau kelemahan yang dirasakan pada tingkat organ, misalnya adanya nyeri dan bengkak yang mengakibatkan terjadinya keterbatasan Lingkup Gerak Sendi (LGS) dan terjadinya kelemahan otot. Gangguan berikutnya adalah timbul permasalahan functional limitation atau adanya kelainan pada organ di atas mengakibatkan terganggunya aktivitas fungsional, misalnya fungsi dari tungkai dalam jongkok, berdiri dan berjalan akan mengalami keterbatasan atau bahkan hilang dalam beberapa waktu tertentu. Di samping itu akan timbul pula disability atau terganggunya dalam melakukan aktifitas sosial, sehingga tidak bisa melakukan aktifitas di luar rumah secara mandiri, misalnya gotong royong.
4 Modalitas yang digunakan oleh fisioterapi untuk penanganan kasus paska operasi pada fraktur tibia 1/3 proximaladalah infra red dan terapi latihan. Terapi dengan radiasi infrared akan menghasilkan efek pemanasan pada jaringan kulit superficial sehingga terjadi vasodilatasi yang meningkatkan sirkulasi darah di daerah itu, suplai oksigen dan nutrisi di daerah tersebut ikut meningkat. Sehingga menimbulkan efek sedatif dan menghilangkan nyeri (Jagmohan, 2005), Sementara terapi latihan dapat bermanfaat dalam mengurangi rasa nyeri, mengurangi adanya pembengkakan atau oedem pada daerah di sekitar fraktur, dengan berkurangnya oedem maka rasa nyeri juga akan berkurang, dapat memelihara atau menambah lingkup gerak sendi pada lutut, meningkatkan kekuatan otot yang disebabkan karena oedem dan nyeri serta melatih aktifitas jalan sehingga diharapkan pasien dapat beraktivitas seperti semula. Fisioterapi sangat berperan dalam mengatasi permasalahan atau gangguan pada kasus fraktur tibia 1/3 proximal. Untuk mengatasi masalah tersebut fisioterapi memberikan infra red dan terapi latihan berupa (1) Infra red untuk mengurangi oedem, (2) Static contraction untuk mengurangi oedem, (3) Relax passive exercise untuk mengurangi nyeri, (4) Free active exercise untuk memelihara lingkup gerak sendi (LGS), (5) Resisted active exercise untuk meningkatkan kekuatan otot, (6) Hold relax untuk menambah lingkup gerak sendi (LGS), (7) Latihan jalan dengan metode partial weight bearing dapat meningkatkan aktifitas fungsional jalan.
5 B. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang penulis kemukakan adalah 1. Apakah ada manfaat penatalaksanaan fisioterapi pada kasus fraktur tibia 1/3 proximal terhadap penurunan nyeri? 2. Apakah ada manfaat penatalaksanaan fisioterapi pada kasus fraktur tibia 1/3 proximal terhadap Luas Gerak Sendi (LGS)? 3. Apakah ada manfaat penatalaksanaan fisioterapi kasus fraktur tibia 1/3 proximal terhadap meningkatnya kemampuan fungsional? 4. Apakah ada manfaat penatalaksanaan fisioterapi pada kasus fraktur tibia 1/3 proximal terhadap penurunan odema? C. Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah yang penulis kemukakan, maka susunan Proposal Karya Tulis Ilmiah mempunyai tujuan untuk: 1. Untuk mengetahui apakah manfaat penatalaksanaan fisioterapi pada kasus fraktur tibia 1/3 proximal terhadap penurunan nyeri? 2. Untuk mengetahui apakah ada manfaat penatalaksanaan fisioterapi pada kasus fraktur tibia 1/3 proximal terhadap Luas Gerak Sendi (LGS)? 3. Untuk mengetahui apakah ada manfaat penatalaksanaan fisioterapi pada kasus fraktur tibia 1/3 proximal terhadap meningkatnya kemampuan fungsional? 4. Untuk mengetahui apakah ada manfaat penatalaksanaan fisioterapi pada kasus fraktur tibia 1/3 proximal terhadap penurunan odema?