PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG

dokumen-dokumen yang mirip
EVALUASI PELAYANAN APOTEK BERDASARKAN INDIKATOR PELAYANAN PRIMA DI KOTA MAGELANG PERIODE 2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG BULAN SEPTEMBER TAHUN 2014 LAPORAN HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat

EVALUASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN 2011 SESUAI PERUNDANGAN YANG BERLAKU NASKAH PUBLIKASI

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di

MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.

EVALUASI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35/MENKES/SK/2014 TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SLEMAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lampiran 1. Daftar Tilik Mutu Pelayanan Kefarmasian DAFTAR TILIK

Lampiran 1 Hasil lembar ceklist Puskesmas Helvetia, Medan-Deli dan Belawan Bagian II Nama puskesmas Kegiatan

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. dalam rangka keselamatan pasien (patient safety) (Menkes, RI., 2014).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek

KERANGKA ACUAN KERJA / TERM OF REFERENCE KEGIATAN EVALUASI DAN PENGEMBANGAN STANDAR PELAYANAN KESEHATAN TA. 2017

TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN OBAT DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN MERTOYUDAN KABUPATEN MAGELANG

1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN BREBES TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai apoteker (Presiden, RI., 2009).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sarana pelayanan kefarmasian oleh apoteker (Menkes, RI., 2014). tenaga teknis kefarmasian (Presiden, RI., 2009).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRATIF PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROFIL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN KEPUASAN KONSUMEN APOTEK DI KECAMATAN ADIWERNA KOTA TEGAL. Bertawati

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2012 di Apotek RSUD Toto

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1

INTISARI GAMBARAN TEMPAT PENYIMPANAN DAN KELENGKAPAN ADMINISTRATIF RESEP NARKOTIKA DI APOTEK KECAMATAN BANJARMASIN UTARA

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TUJUAN. a. Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian. b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat,

ANALISIS KEPUASAN PASIEN TERHADAP STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS SEMPAJA SAMARINDA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MAKALAH FARMASI SOSIAL

Lampiran 1.Penilaian yang dirasakan dan harapan pada variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat kepuasan pasien

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Apoteker merupakan profesi kesehatan terbesar ketiga di dunia, farmasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Tujuan bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan

Kata Kunci : Medication Error, skrining resep, persentase ketidaklengkapan administrasi resep

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

resep, memberikan label dan memberikan KIE secara langsung kepada pasien. 4. Mahasiswa calon apoteker yang telah melaksanakan PKPA di Apotek Kimia

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 284/MENKES/PER/III/2007 TENTANG APOTEK RAKYAT MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

5. PKPA di Apotek memberikan pengetahuan, pengalaman, dan ketrampilan praktis bagi calon apoteker mengenai sistem managerial obat (pengadaan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk

pelayanan non resep, serta pengalaman dalam memberikan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada pasien. 5. Apoteker tidak hanya memiliki

SURAT KEPUTUSAN PENGURUS PUSAT IKATAN APOTEKER INDONESIA Nomor : PO. 002/ PP.IAI/1418/VII/2014. Tentang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PELAKSANAAN KONSELING OLEH APOTEKER DI APOTEK KECAMATAN TEMANGGUNG

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

satu sarana kesehatan yang memiliki peran penting di masyarakat adalah apotek. Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2014, tenaga kesehatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN ASPEK LEGALITAS DAN KELENGKAPAN RESEP DI 5 APOTEK KABUPATEN KLATEN TAHUN 2007 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

KIE di Rumah Riset Jamu. Dikompilasi dari materi Pelatihan Apoteker Saintifkasi Jamu di B2P2TOOT

SOSIALISASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI SARANA KESEHATAN

PERATURAN PERUNDANGAN PRAKTEK APOTEKER

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG Elmiawati Latifah 1, Prasojo Pribadi 2, Fitriana Yuliastuti 3 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penerapan standar pelayanan kefarmasian di Apotek Kota Magelang. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Sampel dalam penelitian ini adalah apotek di Kota Magelang. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang bertujuan menggambarkan atau mendeskripsikan pelaksanaan pelayanan kefarmasian di Kota Magelang. Data penelitian diperoleh dari kuesioner kemudian dilakukan observasi pada 15 apotek di Kota Magelang. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa 54% Apotek memiliki lebih dari 1 apoteker, 80% apotek memiliki lebih dari 1 tenaga teknis kefarmasian, 26% memiliki lebih dari 2 tenaga non kefarmasian, 80% apoteker datang setiap hari ke apotek (6 jam/ hari), 60% Apoteker pernah mengikuti pelatihan kefarmasian, 53% apotek melakukan pemeriksaan resep, 80% Apoteker dan 20% Tenaga Teknis Kefarmasian melakukan dispensing,73% apotek melaksanakan Pelayanan Informasi Obat (PIO) dengan lengkap, 60% apotek melakukan pencatatan dengan lengkap, 76% melakukan pengarsipan dengan lengkap dan 100% apotek melakukan pelaporan narkotika dan psikotropika secara reguler setiap bulan. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan penerapan standar pelayanan kefarmasian di Apotek Kota Magelang. Kata kunci : Standar pelayanan kefarmasian, Apotek Abstract This study aims to describe the implementation of standards in the pharmacy services in Magelang City. This study was a descriptive study. The sample in this study is a pharmacy in the city of Magelang. Analysis of the data in this research use descriptive method that aims to depict or describe the implementation of pharmacy services in Magelang. Data were obtained from questionnaires and then were observed in 15 pharmacies in Magelang. Based on the results of the study showed that 54% of pharmacies have more than one pharmacist, 80% of pharmacies have more than one technical personnel pharmacy, 26% had more than two resourches non-pharmacy, 80% of pharmacists come every day to the pharmacy (6 hours / day), 60% pharmacists been trained pharmacy, 53% pharmacies examination prescription, 80% of pharmacists and 20% technical pharmaceutical perform dispensing, 73% of pharmacies to implement Service Drug Information (PIO) to complete, 60% of the pharmacy shall register with the complete, 76% perform archiving with 100% complete and dispensary reporting narcotics and psychotropic substances on a regular basis every month. Given this research is expected to increase the implementation of standards in the pharmacy pharmacy services in Magelang City. Keywords: Standard pharmacy services, pharmacies 1 2 3 D3 Farmasi Universitas Muhammadiyah Magelang D3 Farmasi Universitas Muhammadiyah Magelang D3 Farmasi Universitas Muhammadiyah Magelang Jurnal Farmasi Sains dan Praktis, Vol. II, No. 1, September 2016 11

Elmiawati Latifah, Prasojo Pribadi, Fitriana Yuliastuti PENDAHULUAN Usaha peningkatan kesehatan masyarakat dapat dilakukan oleh apoteker di apotek dengan mengaplikasikan konsep pelayanan kearmasian (pharmaceutical care). Di Indonesia, konsep ini meliputi tanggung jawab apoteker terhadap outcome dari penggunaan obat pada pasien, misalnya dengan melakukan skrining resep, pemberian informasi obat yang lengkap, monitoring penggunaan obat dan kegiatan lain seperti telah termuat dalam Permenkes 1027 tahun 2004 (2) hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Standar pelayanan farmasi di apotek disusun atas kerjasama ISFI dengan Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Pelayanan Farmasi Departemen Kesehatan pada tahun 2003. Standar kompetensi apoteker di apotek ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar, sebagai pedoman dalam pengawasan praktek apoteker dan untuk pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek. Didalam standar tersebut pelaksanaan farmasi di apotek terdiri dari pelayanan obat non resep (bidang I), pelayanan komunikasi informasi edukasi pelayanan obat resep (bidang III) dan pengelolaan obat (bidang IV) (Direktorat Jenderal Pelayanan Farmasi, 2003). Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kota Magelang. Menurut Peraturan Perundang -Undangan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/ SK/IX/2004, pelayanan kefarmasian meliputi (Anonim, 2004a) : a. Pengelolaan Sumber Daya 1) Sumber Daya Manusia Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang professional. Dalam pengelolaan apotek, apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, mampu berkomunikasi antar profesi, kemampuan mengelola sumber daya manusia secara efektif, selalu belajar sepanjang karier dan membantu memberikan pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan. 2) Sarana dan Prasarana Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga. Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin. 3) Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan lainnya Pengeluaran obat memakai sistem FIFO (First in First out) dan FEFO (First Expire First out). Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi : perencanaan, pengadaan, penyimpanan, administrasi Apoteker melakukan skrining resep meliputi : persyaratan administrative, kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian, serta pertimbangan klinis b) Penyiapan Obat Peracikan, Etiket, Penyerahan Obat, Informasi Obat 1) Konseling Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. 2) Promosi dan Edukasi Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster, 12 Jurnal Farmasi Sains dan Praktis, Vol. II, No. 1, September 2016

Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kota Magelang penyuluhan, dan lain-lainnya. 3) Pelayanan reidensial (Home Care) Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record). c. Evaluasi Mutu Pelayanan Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah : 1) Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket atau wawancara langsung. 2) Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah telah ditetapkan). 3) Prosedur Tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan (Anonim, 2004a). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk membuat gambaran atau deskriptif tentang suatu yang objektif. Pengambilan data dengan menggunakan pendekatan Cross Sectionals Survey.Rancangan Cross Sectional ialah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktorfaktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2012). Instrumen pada penelitian ini berupa kuesioner (daftar pertanyaan). Jenis kuesioner yang digunakan peneliti adalah kuesioner tertutup. Data yang diperlukan dicatat meliputi karakteristik apotek, karakteristik apoteker, ketenagaan, pelayanan, administrasi, evaluasi mutu pelayanan. Data yang terkumpul kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis. Data yang sudah dianalisis kemudian dilakukan pembahasan karakteristik apotek, karakteristik apoteker, ketenagaan, pelayanan, administrasi, evaluasi mutu pelayanan. Selanjutnya di tarik kesimpulan bagaimana penerapan standar pelayanan kefarmasian di apotek Kota Magelang bulan September tahun 2014. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Data Apotek Apotek di Kota Magelang berjumlah 50 apotek. Sampel penelitian ini berjumlah 15 apotek di Kota Magelang. Tabel 1. Data Apotek Data apotek Persentase (%) Jumlah apoteker 1 7 (46) 2 8 (54) Jumlah Tenaga Teknis Kefarmasian >1 12 (80) 1 3 (20) Jumlah Tenaga Non Kefarmasian >1 4 (26) 1 1 (73) Berdasarkan tabel 1. dapat dilihat bahwa 46% dari sampel menunjukkan bahwa disetiap apotek terdapat 1 apoteker sedangkan untuk 54% lagi menunjukkan bahwa di apotek terdapat 2 apoteker. Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian pada pasal 14 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi berupa obat harus memiliki seorang apoteker. Dengan adanya apoteker lebih dari satu maka kegiatan pelayanan kefarmasian berjalan sesuai dengan ketentuan karena saat pelayanan kefarmasian selalu dalam pengawasan apoteker dan apoteker dapat berperan langsung dalam pelayanan kefarmasian. Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Jika jumlah Tenaga Teknis Kefarmasian lebih dari satu maka pelayanan kefarmasian dapat berjalan sebagaimana mestinya karena pembagian waktu kerja lebih seimbang dan pelayanan kefarmasian dapat berjalan sesuai dengan ketentuan. Jumlah tenaga kefarmasian terbanyak pada sampel apotek adalah sebanyak 2 tenaga Jurnal Farmasi Sains dan Praktis, Vol. II, No. 1, September 2016 13

Elmiawati Latifah, Prasojo Pribadi, Fitriana Yuliastuti teknis kefarmasian yaitu dengan prosentase sebesar 80%. Jumlah tenaga non kefarmasian di apotek tidak diatur dalam undang-undang jadi setiap apotek tidak memiliki batasan jumlah sehingga tiap-tiap apotek memiliki jumlah yang berbeda-beda sesuai dengan yang dibutuhkan untuk masing-masing apotek. 2. Data Apoteker Berdasarkan Tabel 2. Di bawah ini dapat di lihat bahwa apoteker di kota magelang ratarata berusia 34 tahun yang mana rentang usia tersebut merupakan usia produktif untuk masa kerja seseorang sehingga seseorang dalam menjalankan tugasnya dapat berjalan secara optimal. Menurut penelitian yang dilakukan Harvard Grawth Study, proses pertumbuhan dan perkembangan intelegensi diawali pada usia remaja dan mencapai puncaknya pada usia 30 tahun. Pada usia tersebut seseorang mampu berfikir hipotetik dan dapat menguji secara sistematik berbagai penjelasan mengenai kejadian-kejadian tertentu dan dapat memahami prinsip-prinsip abstrak yang berlaku Tabel 2. Data Apoteker Data apoteker Persentase (%) Usia apoteker 20 30 tahun 16 (69) 31-35 tahun 6 (26) >35 tahun 1 (5) Lama pengalaman di apotek <1 tahun 6 (40) >1 tahun 9 (60) Berdasarkan Tabel 2. diatas dapat dilihat bahwa apoteker rata- rata sudah memiliki pengalaman kerja lebih dari 1 tahun. Dengan pengalaman kerja yang lebih dari satu tahun maka apoteker lebih banyak memiliki pengetahuan dalam hal pelayanan kefarmasian, lebih mengetahui perkembangan pengetahuan terbaru tentang ilmu farmasi dan lebih sering mengikuti pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan pelayanan kefarmasian 3. Frekuensi Kehadiran Apoteker Di Apotek Dari hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan 80% Apoteker telah hadir setiap hari ke apotek pada jam tertentu sedangkan untuk 17% responden hanya hadir 2-3 x seminggu ke apotek. Tabel 3. Data frekuensi kedatangan Apoteker Frekunsi kehadiran/minggu (%) Selama apotek buka (12 jam/hari) 0 (0) Setiap hari pada jam tertentu (6 12 (80) jam/hari) 2-3 x seminggu(6 jam/ hari) 3 (20) 2-1 x seminggu(6 jam/ hari) 0 (0) 1 x seminggu(6 jam/hari) 0 (0) Berdasarkan Tabel 3. diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar Apoteker hadir setiap hari ke apotek pada jam tertentu. Sedangkan menurut KepMenKes No. 26 tahun 1981 pasal 18, menyatakan bahwa selama apotek tersebut buka maka Apoteker Pengelola Apotek harus berada di apotek. Apabila APA sedang berhalangan hadir untuk malakukan tugasnya pada hari-hari buka apotek maka ia dapat digantikan oleh apoteker pendamping. Tabel 4. Data Apoteker yang mengikuti pelatihan kefarmasian Jumlah Apoteker yang Jumlah Apoteker yang mengikuti pelatihan tidak mengikuti 9 (60%) 6 (40%) Berdasarkan Tabel 4. diatas dapat dilihat bahwa 60% apoteker di Kota magelang telah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan pelayanan kefarmasian di apotek. Seorang apoteker diharuskan untuk mengikuti perkembangan dalam praktik farmasi dan ilmuilmu farmasi, persyaratan standar kompetensi apoteker, pengetahuan dan teknologi yang berhubungan dengan penggunaan obat-obatan yang cukup pesat (Anonim, 2011). Tabel 5. Pemeriksaan Resep Lengkap Tidak Lengkap 8 (53%) 7 (47%) Pemeriksaan resep secara lengkap sesuai dengan ketentuan pemerintah terdapat 8 apotek, 3 apotek tidak melakukan medikasi rangkap, kontra indikasi, interaksi obat dan reaksi alergi 14 Jurnal Farmasi Sains dan Praktis, Vol. II, No. 1, September 2016

Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kota Magelang dan 4 apotek tidak melakukan pertimbangan interaksi obat. Hal ini dapat memicu terjadinya medication error seharusnya hal-hal seperti itu diantisipasi sedemikian mungkin untuk memperkecil terjadinya medication error. Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan sebagian apotek sudah sesuai dengan ketentuan pemerintah yaitu pemeriksaan resep dilakukan oleh apoteker dan sebagian apotek tidak melakukan pertimbangan klinis seperti medikasi rangkap, kontra indikasi, interaksi obat dan reaksi alergi sehingga kemungkinan terjadinya medication error sangat besar. Dalam prakteknya pertimbangan tentang medikasi rangkap, kontra indikasi, interaksi obat dan reaksi alergi jarang dilakukan mengingat akan keterbatasan sumber daya manusia dan juga waktu yang dibutuhkan lebih banyak. Pertimbangan klinik yang sering dilakukan hanya meliputi jumlah obat, aturan pakai dan dosis obat. Tabel 5. Data yang melakukan dispensing Apoteker Tenaga Teknis Kefarmasian 12 (80%) 3 (20%) Berdasarkan tabel 5, 80% yang melakukan dispensing adalah apoteker. Pada proses dispensing, Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) juga berwenang dalam pelayanan obat bebas dan obat bebas terbatas sedangkan untuk obat keras, narkotik dan psikotropik. TTK hanya berwenang dalam compounding, sehingga secara garis besar yang melakukan dispensing adalah apoteker. Pada pasal 22 ayat 2 PerMenKes No. 922 tahun 1993 menyatakan bahwa asisten apoteker melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek di bawah pengawasan apoteker. Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pemeriksaan akhir (medication review) dilakukan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya medication error terutama dispensing error yang menjadi tanggung jawab seorang farmasis. Tabel 6. Pelayanan Informasi Obat Lengkap Tidak lengkap 11 (73%) 4 (27%) Penyerahan informasi obat yang diberikan pada pasien meliputi dosis obat, frekuensi pemakaian obat, lama pengobatan, cara pemakaian, efek samping dan kontra indikasi sudah dilakukan oleh 73% apotek di Kota Magelang. Sedangkan untuk informasi cara penyimpanan obat terdapat 4 apotek yang tidak melakukannya. Home care pada pasien kronis tidak dilakukan mengingat adanya keterbatasan sumber daya manusia di Apotek Kota Magelang dan keterbatasan waktu untuk melakukannya selain itu informasi lengkap tentang penggunaan obat telah disampaikan.. Pemberian informasi seharusnya lebih diperhatikan oleh apoteker karena dengan memberikan informasi kepada pasien dapat meminimalisasi terjadinya medication error. Tenaga Teknis Kefarmasian hanya berwenang memberikan konseling sebatas pada obat bebas dan obat bebas terbatas, hal ini dikarenakan pada obat bebas dan obat bebas terbatas dosis yang terkandung tidak terlalu besar dan efek yang ditimbulkan tidak terlalu kuat. Pada pasal 22 ayat 2 PerMenKes No. 922 tahun 1993 menyatakan asisten apoteker melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek di bawah pengawasan apoteker. Sesuai standar pelayanan asisten apoteker, tenaga teknis kefarmasian terbatas dalam memberikan informasi obat pada obat bebas dan bebas terbatas. Tabel.8. Pendokumentasian administrasi umum Dokumentasi Persentase (%) Pencatatan 60 Pengarsipan 76 Pelaporan narkotika 100 dan psikotropika Pencatatan dan pengarsipan terkait Obat Wajib Apotek (OWA), pengobatan pasien, narkotika dan psikotropika serta resep wajib dilakukan di apotek. Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa apotek yang melakukan pencatatan dengan lengkap sebesar 60%. Sedangkan pengarsipan secara lengkap Jurnal Farmasi Sains dan Praktis, Vol. II, No. 1, September 2016 15

Elmiawati Latifah, Prasojo Pribadi, Fitriana Yuliastuti dilakukan oleh apotek sebesar 76%. Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat untuk pemakaian obat meliputi narkotik dan psikotropik sudah dilakukan dengan baik mengingat untuk pemakaian narkotik dan psikotropik memerlukan pengawasan yang lebih ketat untuk menghindari penyalahgunaan obat. KepMenKes Nomor 278 tahun 1981 pasal 13 menyebutkan bahwa dalam apotek harus tersedia buku pencatatan obat narkotik dan psikotropik. Pencatatan dan pelaporan psikotropik diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 pasal 33 yang menyatakan bahwa apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-masing yang berhubungan dengan psikotropik. Pengarsipan resep pemakaian obat meliputi narkotik, psikotropik dan generik sudah dilakukan pada setiap apotek. Pengarsipan resep dilakukan untuk mengetahui pengeluaran obat pada setiap bulannya. PerMenKes RI No. 26 tahun 1981 pasal 13 ayat 2 dan PerMenKes RI Nomor 922 tahun 1993 pasal 17 ayat 2 menyebutkan bahwa resep harus dirahasiakan dan disimpan diapotek dengan baik dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun. Sedangkan pasal 7 KepMenKes RI Nomor 280 tahun 1981 menyebutkan bahwa apoteker pengelola apotek mengatur resep yang telah dikerjakan menurut urutan tanggal, dan nomor urut penerimaan resep dan harus disimpan sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) tahun. Pelaporan obat yang dilakukan secara rutin meliputi pemakaian narkotik dan psikotropik. Pelaporan dilakukan dengan media online ke Dinas Kesehatan setempat. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 pasal 11 juga menyebutkan bahwa apotek wajib membuat laporan berkala mengenai pelaporan narkotik. Undang -Undang Nomor 9 tahun 1976 menyebutkan bahwa pencatatan narkotik dilakukan dengan menggunakan buku register apotek. Tabel 9. Evaluasi mutu pelayanan Referensi Persentase (%) Protap 60 Dimensi waktu 20 Kepuasan konsumen 26 Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa dari 9 apotek 15 apotek telah menyediakan SOP tertulis untuk setiap proses meliputi pemeriksaan resep, dispensing, penyerahan obat, pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, dengan tersedianya SOP diharapkan pelayanan dapat berjalan dengan baik dan tidak terjadi tugas dan wewenang yang rangkap. Pada setiap apotek telah disediakan kotak saran namun dari pihak pasien tidak memperhatikan sehingga kotak saran tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan evaluasi terhadap tingkat kepuasan konsumen tidak berjalan dengan baik di apotek hanya sebesar 26%. Sebagian besar apotek juga tidak melakukan evaluasi terhadap dimensi waktu pelayanan yang dilakukan. Beberapa apotek yang melakukan evaluasi mutu pelayanan adalah apotek yang digunakan sebagai sarana praktek kerja lapangan mahasiswa farmasi dan siswa SMK Farmasi di sekitar Kota Magelang. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa 54% Apotek memiliki lebih dari 1 apoteker, 80% apotek memiliki lebih dati 1 tenaga teknis kefarmasian, 26% memiliki lebih dari 2 tenaga non kefarmasian, 80% apoteker datang setiap hari ke apotek (6 jam/ hari), 60% Apoteker pernah mengikuti pelatihan kefarmasian, 53% apotek melakukan pemeriksaan resep, 80% Apoteker dan 20% Tenaga Teknis Kefarmasian melakukan dispensing,73% apotek melaksanakan Pelayanan Informasi Obat (PIO) dengan lengkap, 60% apotek melakukan pencatatan dengan lengkap, 76% melakukan pengarsipan dengan lengkap dan 100% apotek melakukan pelaporan narkotika dan psikotropika secara reguler setiap bulan. DAFTAR ACUAN Anief, M., 1995, Manajemen Farmasi, Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta Anonim, 2002, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/MENKES/ PER/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin Apotek, DepKes RI, Jakarta. Anonim, 2004a, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/ SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan 16 Jurnal Farmasi Sains dan Praktis, Vol. II, No. 1, September 2016

Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kota Magelang Kefarmasian di Apotek, DepKes RI, Jakarta Republik Indonesia Nomor 889/MENKES/ Anonim, 2004b, Standar Kompetensi Farmasis PER/V/2011, Departemen Kesehatan Indonesia, Badan Pimpinan Pusat Ikatan Republik Indonesia, Jakarta. Sarjana Farmasi Indonesia, Jakarta Anonim,2009b, Undang-Undang Republik Indonesia Anonim, 2009, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Republik Indonesia Nomor 376/MENKES/ Pemerintah Republik Indonesia, Jakarta. PER/2009, Departemen Kesehatan Republik Hartini, Y. S. dan Sulasmono, 2006, Apotek Indonesia, Jakarta. : U l a a n B e s e r t a N a s k a h P e r a t u r a n Anonim, 2009a, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Perundang- Undangan Terkait Apotek, Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Promosi kesehatan Jakarta. dan Perilaku Kesehatan.Jakarta : Rineka cipt Anonim, 2011, Peraturan Menteri Kesehatan