BAB II PENGATURAN KEJAHATAN INTERNET DALAM BEBERAPA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku

dokumen-dokumen yang mirip
Perbuatan yang Dilarang dan Ketentuan Pidana UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK [LN 2008/58, TLN 4843]


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINDAK PIDANA DI BIDANG MEDIA SOSIAL Oleh : Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KEJAHATAN PEMBOBOLAN WEBSITE SEBAGAI BENTUK KEJAHATAN DI BIDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

PENUNJUK UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

MATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN

MELINDUNGI PENGGUNA INTERNET DENGAN UU ITE

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TINDAK PIDANA CYBER CRIME (MAYANTARA)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN. melalui kebijakan hukum pidana tidak merupakan satu-satunya cara yang. sebagai salah satu dari sarana kontrol masyarakat (sosial).

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG

Seminar Nasional IT Ethics, Regulation & Cyber Law III

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG - UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Perpustakaan LAFAI

JURNAL ILMIAH TINJAUAN TENTANG CYBER CRIME YANG DIATUR DALAM UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK BAB I KETENTUAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Carding KELOMPOK 4: Pengertian Cyber crime

MATERI MUATAN REGULASI INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M/KOMINFO/2/ TAHUN 2010 TENTANG KONTEN MULTIMEDIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II KAJIAN HUKUM TENTANG DELIK PENIPUAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

UU no.11/2008 Inf Transaksi Elk Pertemuan ke-8

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. : BRIPTU Yayan Sopiyan. : Anggota Krimsus Polda Lampung

15 Februari apa isi rpm konten

CAKRAWALA HUKUM Perjalanan Panjang Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Oleh : Redaksi

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Pembahasan : 1. Cyberlaw 2. Ruang Lingkup Cyberlaw 3. Pengaturan Cybercrimes dalam UU ITE

Makalah Kejahatan E-Commerce "Kasus Penipuan Online" Nama : Indra Gunawan BAB I PENDAHULUAN

Widaningsih 1 Abstrak

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA CYBERCRIME. A. Pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime.

INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

[ Cybercrime ] Presentasi Kelompok VI Mata Kuliah Etika Profesi STMIK El-Rahma Yogyakarta

MODEL PENGATURAN INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

I. PENDAHULUAN. mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perubahan hukum baru. Perkembangan teknologi

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Teknologi informasi saat ini semakin berkembang dan berdampak

informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional

Berdasarkan keterangan saya sebagai saksi ahli di bidang Hukum Telematika dalam sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Maret 2009, perihal Pengujian

ANALISIS KASUS CYBERCRIME YANG TERPUBLIKASI MEDIA KASUS PENANGKAPAN WNA YANG DIDUGA KELOMPOK CYBERCRIME INTERNASIONAL

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. dan media elektronik yang berfungsi merancang, memproses, menganalisis,

Dibuat Oleh A F I Y A T I NIM Dosen DR. Ir Iwan Krisnadi MBA

Keamanan Sistem Informasi

BAB I PENDAHULUAN. tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu bangsa, maka semakin

Rancangan Undang Undang Nomor Tahun Tentang Tindak Pidana Di Bidang Teknologi Informasi DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Oleh Prihatin Effendi ABSTRAK. a. PENDAHULUAN

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN CYBERCRIME (CRIMINAL LAW POLICY IN PREVENTING CYBERCRIME)

MAKALAH UU ITE DI REPUBLIK INDONESIA

ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCURIAN DANA NASABAH BANK MELALUI MODUS PENGGANDAAN KARTU ATM (SKIMMER) DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 363 AYAT (5) KITAB UNDANG-

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

Penyalahgunaaan TIK serta Dampaknya

FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI Universitas Mercu Buana Yogyakarta Program Studi : 1. Teknik Informatika

INFORMATION SYSTEM AND SOCIAL ETHICS

CYBER CRIME : KENALI, ANTISIPASI Norma Sari, S.H.,M.Hum.

BAB 1 PENDAHULUAN. itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia di kenal sebagai salah satu negara yang padat penduduknya.

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Tugas I Keamanan Sistem Informasi

Ancaman UU ITE terhadap Pengguna Media Sosial

Bab 2 Etika, Privasi

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

SINERGI KAWAL INFORMASI UNTUK MENANGKAL BERITA HOAX

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB V PENUTUP. 1. Tanggung Jawab Bank Dan Oknum Pegawai Bank Dalam. Melawan Hukum Dengan Modus Transfer Dana Melalui Fasilitas

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR TAHUN TENTANG PENGELOLAAN WARUNG INTERNET DI KABUPATEN KUDUS

CYBER LAW & CYBER CRIME

BAB I PENDAHULUAN. sadar bahwa mereka selalu mengandalkan komputer disetiap pekerjaan serta tugastugas

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB I PENDAHULUAN. macam informasi melalui dunia cyber sehingga terjadinya fenomena kejahatan di

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DATA ELEKTRONIK

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

NCB Interpol Indonesia - Fenomena Kejahatan Penipuan Internet dalam Kajian Hukum Republik Indonesia Wednesday, 02 January :00

Transkripsi:

BAB II PENGATURAN KEJAHATAN INTERNET DALAM BEBERAPA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global. Selain itu, perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi arena efektif perbuatan melawan hukum. 10 Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan Hukum Cyber, yang diambil dari kata cyber law adalah istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah lain yang digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law) dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi berbaris virtual. Istilah hukum cyber digunakan dalam tulisan ini dilandasi pemikiran bahwa cyber jika diidentikan dengan dunia maya akan cukup menghadapi persoalan jika harus membuktikan suatu persoalan yang diasumsikan sebagai maya, sesuatu yang tidak terlihat dan semu. 10 http://www.setkab.go.id/artikel-6249-upaya-pemerintah-melawan-cybercrime.html diakses pada 22 juli 2014. 24

25 Melihat fakta hukum sebagaimana yang ada pada saat ini, dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah disalahgunakan sebagai sarana kejahatan ini menjadi teramat penting untuk diantisipasi bagaimana kebijakan hukumnya, sehingga cyber crime yang terjadi dapat dilakukan upaya penanggulangannya dengan hukum pidana, termasuk dalam hal ini adalah mengenai sistem pembuktiannya. Dikatakan teramat penting karena dalam penegakan hukum pidana dasar pembenaran seseorang dapat dikatakan bersalah atau tidak melakukan tindak pidana, di samping perbuatannya dapat dipersalahkan atas kekuatan undang-undang yang telah ada sebelumnya (asas legalitas), juga perbuatan yang didukung oleh kekuatan bukti yang sah dan kepadanya dapat dipertanggungjawabkan (unsur kesalahan). Pemikiran demikian telah sesuai dengan penerapan asas legalitas dalam hukum pidana (KUHP) kita, yakni sebagaimana dirumuskan secara tegas dalam Pasal I ayat (1) KUHP nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali atau dalam istilah lain dapat dikenal dengan tiada pidana tanpa kesalahan. Bertolak dari dasar pembenaran sebagaimana diuraikan di atas, bila dikaitkan dengan cybercrime, maka unsur membuktikan dengan kekuatan alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana merupakan masalah yang tidak kalah pentingnya untuk diantisipasi di samping unsur kesalahan dan adanya perbuatan pidana. Menjawab tuntutan dan tantangan komunikasi global lewat internet, undang-undang yang diharapkan ( ius konstituendum) adalah perangkat hukum yang akomodatif terhadap perkembangan serta antisipatif terhadap permasalahan,

26 termasuk dampak negatif penyalahgunaan internet dengan berbagai motivasi yang dapat menimbulkan korban-korban seperti kerugian materi dan non materi. Saat ini, Indonesia belum memiliki undang-undang khusus atau cyber law yang mengatur mengenai cybercrime. Tetapi, terdapat beberapa hukum positif lain yang berlaku umum dan dapat dikenakan bagi para pelaku cybercrime terutama untuk kasus-kasus yang menggunakan komputer sebagai sarana, antara lain: 11 A. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Kebijakan hukum pidana adalah penerapan hukum pidana untuk menangulangi kejahatan pengertian kebijakan hukum pidana sama dengan kebijakan penal (penal policy), sehingga pengertian kebijakan hukum pidana terhadap cybercrime adalah penerapan hukum pidana untuk menanggulangi cybercrime. Berikut ini penjelasan secara hukum kejahatan cybercrime: 1. Pasal 362 KUHP yang dikenakan untuk kasus carding. Untuk menangani kasus carding diterapkan pasal 362 KUHP yang dikenakan untuk kasus carding dimana pelaku mencuri nomor kartu kredit milik orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang diambil dengan menggunakan software setelah card generator di internet untuk melakukan transaksi di e-commerce. Setelah dilakukan transaksi dan barang 11 Balianzahab.wordpress.com/artikel/penegakan-hukum-positif-di-indonesia-terhadapcybercrime diakses tanggal 15 september 2014.

27 dikrimkan, kemudian penjual yang ingin mencairkan uangnya di bank ternyata ditolak karena pemilik kartu bukanlah orang yang melakukan transaksi. 12 2. Pasal 378 KUHP dapat dikenakan untuk penipuan. Penipuan secara online pada prinsipnya sama dengan penipuan konvensional, yang membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya yakni menggunakan sistem elektronik (komputer, internet, perangkat telekomunikasi). Sehingga secara hukum, penipuan secara online dapat diperlakukan sama sebagaimana delik konvensional yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 13 Dasar hukum yang digunakan untuk menjerat pelaku penipuan saat ini adalah Pasal 378 KUHP yang berbunyi Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. 3. Pasal 335 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pengancaman dan pemerasan yang dilakukan melalui e-mail yang dikirimkan oleh pelaku untuk memaksa korban melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkannya. Akhirnya, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 335 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1946 tentang KUHP terkait delik perbuatan tidak 12 http://kelompokcarding.blogspot.com/2012/11/undang-undang-dan-cara-pencegahanhtml, diakses pada 8 Juli 2014. 13 www.hukumonline.com/klinik/detail/cara-penyidik-melacak-pelaku-penipuan-dalamjual-beli-online, diakses pada 8 Juli 2014.

28 menyenangkan dan Pasal 21 ayat (4) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. MK membatalkan frasa perbuatan tidak menyenangkan dalam Pasal 335 KUHP, tetapi MK tak membatalkan Pasal 335 ayat (1) KUHP dan Pasal 21 ayat (4) KUHAP sebagai pasal yang bisa dilakukan penahanan. MK menyatakan bahwa frasa, Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, ucap Ketua MK, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 1/PUU-XI/2013 di ruang sidang MK. Sehingga Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP selengkapnya berbunyi, Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain. 14 4. Pasal 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan media internet, modusnya adalah pelaku menyebarkan email kepada teman-teman korban tentang suatu cerita yang tidak benar atau mengirimkan email ke suatu mailing list sehingga banyak orang mengetahui cerita tersebut. 5. Pasal 303 KUHP dapat dikenakan untuk menjerat permainan judi yang dilakukan secara online di internet dengan penyelenggara dari Indonesia. 14 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52d80ab053501/mk-cabut-aturan-delikperbuatan-tidak-menyenangkan, diakses pada 16 September 2014.

29 6. Pasal 282 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi maupun website porno yang banyak berdar dan mudah diakses di internet. Walaupun berbahasa Indonesia, sangat sulit sekali untuk menindak pelakunya karena mereka melakukan pendaftaran domain tersebut diluar negri dimana pornografi yang menampilkan orang dewasa bukan merupakan hal yang ilegal. 7. Pasal 282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus penyebaran foto atau film pribadi seseorang yang vulgar di internet, misalnya kasus Sukma Ayu-Bejah. 8. Pasal 406 KUHP dapat dikenakan pada kasus deface atau hacking yang membuat sistem milik orang lain, seperti website atau program menjadi tidak berfungsi atau dapat digunakan sebagaimana mestinya. Dalam konteksnya bahwa sudah ada kebijakan hukum pidana yang dapat digunakan untuk menanggulangi cybercrime terutama dalam penyalahgunaan informasi. KUHP, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1992 tentang Perfilman, Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun tentu setiap kebijakan tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan. 15 Saat ini pengaturan mengenai yurisdiksi tidak diatur dengan jelas serta perlunya pengaturan lebih jelas dengan pertanggungjawaban dari subjek hukum terutama korporasi. Kelemahan tersebut menuntut kebijakan formulasi hukum 15 http://bolmerhutasoit.wordpress.com/2012/06/27/kebijakan-hukum-pidana-terhadapkejahatan-penyalahgunaan-informasi-data-di-dunia-maya/, diakses pada 17 Agustus 2014.

30 yang mudah dan tepat dalam penanggulangan kejahatan pada umumnya serta penyalahgunaan informasi pada khususnya. Dalam pembentukan kebijakan hukum pidana tersebut haruslah memperhatikan dengan baik karakteristik dari cybercrime yang berbasis pada teknologi informasi yang terjadi di dunia maya dan bersifat transnasional. Dengan langkah awal kriminalisasi, maka penentuan yurisdiksi, subjek dan objek tindak pidana, perumusan tindak pidana, perumusan pertanggungjawaban pidana, perumusan sanksi pidana, dan perumusan sistem pemidanaan harus dilakukan dengan tetap sasaran. Mengingat kejahatan dunia maya tidak bisa dilawan dengan cara dunia nyata. Orientasi dari formulasi kebijakan pidana yang baru juga harus jauh ke depan memikirkan kemungkinan besar dampak buruk bentuk kejahatan baru. tidak semata-mata hanya memikirkan untuk melahirkan aturan baru memang. Tetapi juga harus dimaksimalkan upaya penanggulangan dan pencegahan dengan instrumen hukum yang ada saat ini. Memaksimalkan faktanya kejahatan tradisonal yang sekarang menjadi konvensional ternyata mampu melahirkan kejahatan dunia maya yang memerlukan cara baru dalam penanggulangannya. Dengan adanya kejahatan dunia maya saat ini, dimungkinkan akan lahir bentuk kejahatan lain diluar jangkauan manusia dalam beberapa waktu ke depannya. B. Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

31 Keberadaan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik berfungsi sebagai pedoman, norma dan kontrol terhadap perilaku para pengguna internet. Hal ini bertujuan untuk merevensi, mendeteksi atau mereduksi kejahatan internet, kecurangan dan perilaku pengguna internet yang tidak etis, yang dilakukan melalui penggunaan teknologi informasi. Pedoman, norma dan fungsi kontrol tercermin pada ketentuan yang terdapat dalam bab dan pasal-pasal Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ketentuan ini mengacu pada upaya regulator untuk mengarahkan dan mengendalikan perilaku para pengguna internet serta meningkatkan kepatuhan para pengguna terhadap Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Peningkatan kepatuhan para pengguna internet diharapkan mampu mereduksi terjadinya kejahatan internet (cybercrime) dan perilaku negatif para pengguna internet. Perlakuan hukum pelaku cybercrime (fraud) jika dijerat menggunakan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka pasal yang dikenakan adalah Pasal 28 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Ancaman pidana dari pasal tersebut adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 45 ayat [2] UU ITE). Untuk pembuktiannya, aparat penegak hukum bisa menggunakan bukti elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai perluasan bukti sebagaimana Pasal 5

32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, di samping bukti konvensional lainnya sesuai dengan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 5 (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia Sebagai catatan, beberapa negara maju mengkategorikan secara terpisah delik penipuan yang dilakukan secara online (computer related fraud) dalam ketentuan khusus cybercrime. Berdasarkan ruang lingkupnya pengaturan tindak pidana cyber dapat di bagi menjadi dua bagian, yakni : 1. Pengaturan Tindak Pidana Cyber Materil di Indonesia. Berdasarkan instrumen Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), maka pengaturan tindak pidana cyber di Indonesia juga dapat dilihat dalam arti luas dan arti sempit. Secara luas, tindak pidana cyber ialah semua tindak pidana yang menggunakan sarana atau dengan bantuan sistem elektronik. Itu artinya semua tindak pidana konvensional dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sepanjang dengan menggunakan bantuan atau sarana Sistem Elektronik seperti pembunuhan, perdagangan orang, dapat termasuk dalam kategori tindak pidana cyber dalam arti luas. Demikian juga tindak pidana dalam

33 Cybercrimes, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga tidak memberikan definisi juga mengenai cybercrimes, tetapi membanginya menjadi beberapa pengelompokkan yang mengacu pada Convention on Cybercrimes. a. kesusilaan Pasal 27 (1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusiakan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Ancaman pidana pasal 45 (1) KUHP. Pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Diatur pula dalam KUHP pasal 282 mengenai kejahatan terhadap kesusilaan. b. perjudian Pasal 27 (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentramisikan dan/atau mebuat dapat diaksesenya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian. c. penghinaan atau pencemaran nama baik Pasal 27 (3) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentramisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik

34 dan/dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik d. pemerasan atau pengancaman Pasal 27 (4) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentramisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. e. berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen Pasal28 (1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. f. menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA Pasal 28 (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau prmusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku. agama, ras, dan antar golongan (SARA). g. mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi Pasal 29 Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menggrimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti

35 yang ditujukan secara pribadi (Cyber Stalking). Ancaman pidana pasal 45 (3) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dipidana dengan penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00. h. dengan cara apapun melakukan akses ilegal Pasal 30 Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/ atau sistem elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol system pengamanan (cracking, hacking, ilegal access). Ancaman pidana pasal 46 ayat 3 setiap orang yang memebuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) i. intersepsi illegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan sistem elektronik Pasal 31 (1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam

36 suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan. (3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah j. tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), yaitu: 1. Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik (data interference Pasal 32 (1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah, tranmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyebunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik. (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentrasfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem elektronik orang lain yang tidak berhak. (3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bersifat

37 rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana semestinya. k. gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference) Pasal 33 Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya system elektronik dan/atau mengakibatkan system elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya. l. tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang Pasal 34 Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melawan memproduksi, menjual, mengadakan untuk untuk digunakan mengimpor, mendistribusikan, menyediakan atau memiliki. m. tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik Pasal 35 Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut seolah-olah data yang autentik (phising= penipuan situs) n. tindak pidana tambahan (accessoir) Pasal 36

38 Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum dengan melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain. o. penyelesain sengketa Pasal 38 (1) Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelengarakan Sitem Elektronik dan/atau menggunakan Tekhnologi Informasi yang menimbulkan kerugian. (2) Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menyelengarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 39 (1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan. (2) Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. p. peran pemerintah dan peran masyarakat Pasal 40 (1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

39 (2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang menggangu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. (3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data elektronik strategis yang wajib dilindungi. Pasal 41 (1) Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan Teknologi Informasi melalui penggunaan dan penyelengaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. q. penyidikan Pasal 42 Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam Undang-undang ini. Pasal 43 (1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenag khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan Penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 44

40 Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). r. ketentuan pidana Pasal 45 (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2) ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Setiap Orang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 s. terhadap ancaman pidana Pasal 52 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 sampai dengan pasal 37 ditujukan terhadap komputer dan/atau sistem elektronik serta informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik pemerintah dan/atau digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana dengan pidana pokok ditambah sepertiga.

41 (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap komputer dan/atau sistem elektronik serta informasi elektronik dan/atau milik pemerintah dan/atau badan strategis termasuk dan tidak terbatas pada lembaga pertahanan, bank sentral, perbankan, keuangan, lembaga internasional, otoritas penerbangan diancam dengan pidana maksimal ancaman pidana pokok masing-masing pasal ditambah dua pertiga. (4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga. t. ketentuan peralihan Pasal 53 Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan dan kelembagaan yang berhubungan dengan pemanfaatan Teknologi Informasi yang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku. u. ketentuan penutup Pasal 54 (1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. (2) Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapakan paling lama 2 (dua) tahun setelah diundangkanya Undang-Undang ini. 2. Pengaturan Tindak Pidana Cyber Formil di Indonesia Selain mengatur tindak pidana cyber materil, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur tindak pidana

42 cyber formil, khususnya dalam bidang penyidikan. Pasal 42 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur bahwa penyidikan terhadap tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Artinya, ketentuan penyidikan dalam KUHAP tetap berlaku sepanjang tidak diatur lain dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kekhususan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam penyidikan antara lain: a. Penyidik yang menangani tindak pidana cyber ialah dari instansi Kepolisian Negara RI atau Kementerian Komunikasi dan Informatika. b. Penyidikan dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data. c. Penggeledahan dan atan penyitaan terhadap Sistem Elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat. d. Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan Sistem Elektronik, penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum. Ketentuan penyidikan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik berlaku pula terhadap penyidikan

43 tindak pidana cyber dalam arti luas. Sebagai contoh, dalam tindak pidana perpajakan, sebelum dilakukan penggeledahan atau penyitaan terhadap server bank, penyidik harus memperhatikan kelancaran layanan publik, dan menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Apabila dengan mematikan server bank akan mengganggu pelayanan publik, tindakan tersebut tidak boleh dilakukan. Selain UU ITE, peraturan yang landasan dalam penanganan kasus cyber crime di Indonesia ialah peraturan pelaksana UU ITE dan juga peraturan teknis dalam penyidikan di masing-masing instansi penyidik. C. Dalam Undang-Undang Hukum Positif Lainya 1. Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Menurut Pasal 1 angka (8) Undang - Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, program komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi-instruksi tersebut. Hak cipta untuk program komputer berlaku selama 50 tahun (Pasal 30). Harga program komputer/software yang sangat mahal bagi warga negara Indonesia merupakan peluang yang cukup menjanjikan bagi para pelaku bisnis guna menggandakan serta menjual software bajakan dengan harga yang sangat

44 murah. Misalnya, program anti virus seharga $ 50 dapat dibeli dengan harga Rp20.000,00. Maraknya pembajakan software di Indonesia yang terkesan dimaklumi tentunya sangat merugikan pemilik hak cipta. Tindakan pembajakan program komputer tersebut juga merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (3) yaitu Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 2. Undang-Undang No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Menurut Pasal 1 angka (1) Undang - Undang No 36 Tahun 1999, telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. Melalui definisi tersebut, maka internet dan segala fasilitas yang dimilikinya merupakan salah satu bentuk alat komunikasi karena dapat mengirimkan dan menerima setiap informasi dalam bentuk gambar, suara maupun film dengan sistem elektromagnetik. Penyalahgunaan Internet yang mengganggu ketertiban umum atau pribadi, terutama para hacker, dapat dikenakan sanksi dengan menggunakan undang-undang ini, sebagaimana diatur pada Pasal 22, yaitu setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi: a. Akses ke jaringan telekomunikasi. b. Akses ke jasa telekomunikasi. c. Akses ke jaringan telekomunikasi khusus.

45 Apabila anda melakukan hal tersebut seperti yang pernah terjadi pada website KPU www.kpu.go.id, maka dapat dikenakan Pasal 50 yang berbunyi Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) 3. Undang-Undang No 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret 1997 tentang Dokumen Perusahaan, pemerintah berusaha untuk mengatur pengakuan atas mikrofilm dan media lainnya (alat penyimpan informasi) yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan. Misalnya Compact Disk-Read Only Memory (CD-ROM), dan Write-Once-Read-Many (WORM), yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang tersebut sebagai alat bukti yang sah. 4. Undang-Undang No 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-undang ini merupakan undang-undang yang paling ampuh bagi seorang penyidik untuk mendapatkan informasi mengenai tersangka yang melakukan penipuan melalui internet, karena tidak memerlukan prosedur birokrasi yang panjang dan memakan waktu yang lama, sebab penipuan merupakan salah satu jenis tindak pidana yang termasuk dalam pencucian uang (Pasal 2 Ayat (1) Huruf q). Penyidik dapat meminta kepada bank yang menerima transfer untuk memberikan identitas dan data perbankan yang dimiliki oleh tersangka tanpa harus mengikuti peraturan sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang

46 perbankan. Dalam undang-undang pencucian uang proses tersebut Kapolda cukup mengirimkan surat kepada pemimpin Bank Indonesia di daerah tersebut dengan tembusan kepada Kapolri dan Gubernur Bank Indonesia, sehingga data dan informasi yang dibutuhkan lebih cepat didapat dan memudahkan proses penyelidikan terhadap pelaku, karena data yang diberikan oleh pihak bank, berbentuk: aplikasi pendaftaran, jumlah rekening masuk dan keluar serta kapan dan dimana dilakukan transaksi maka penyidik dapat menelusuri keberadaan pelaku berdasarkan data-data tersebut. Undang-undang ini juga mengatur mengenai alat bukti elektronik atau digital evidence sesuai dengan Pasal 38 huruf b yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. 5. Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme Selain Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, Undang-undang ini mengatur mengenai alat bukti elektronik sesuai dengan Pasal 27 huruf b yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Digital evidence atau alat bukti elektronik sangatlah berperan dalam penyelidikan kasus terorisme, karena saat ini komunikasi antara para pelaku di lapangan dengan pimpinan atau aktor intelektualnya dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas di internet untuk menerima perintah atau menyampaikan kondisi di lapangan karena para pelaku mengetahui pelacakan terhadap internet lebih sulit dibandingkan pelacakan melalui handphone.