PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga

BAB I PENDAHULUAN. strategis secara geografis dimana letaknya berada diantara Australia dan benua Asia

BAB 1 : PENDAHULUAN. Samudera Pasifik yang bergerak kearah barat-barat laut dengan kecepatan sekitar 10

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan dikepung oleh tiga lempeng utama (Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik),

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Australia dan Lempeng Pasifik (gambar 1.1). Pertemuan dan pergerakan 3

BAB I PENDAHULUAN. lempeng raksasa, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah

BAB I PENDAHULUAN. subduksi yaitu pertemuan Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng

BAB I P E N D A H U L U A N

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PENGADAAN, PENGELOLAAN, DAN PENYALURAN CADANGAN PANGAN

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam

BAB I PENDAHULUAN Posisi Indonesia dalam Kawasan Bencana

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kehancuran lingkungan yang pada akhirnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Modul tinjauan umum manajemen bencana, UNDRO

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menempati wilayah zona tektonik tempat pertemuan tiga

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 : PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, sehingga

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana

PENGEMBANGAN MODEL SIG PENENTUAN KAWASAN RAWAN LONGSOR SEBAGAI MASUKAN RENCANA TATA RUANG Studi Kasus; Kabupaten Tegal TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. letaknya berada pada pertemuan lempeng Indo Australia dan Euro Asia di

Dengan demikian, maka kerangka pemikiran penulisan ini dapat digambarkan sebagai berikut:

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

BAB I PENDAHULUAN. Gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api merupakan refleksi fenomena

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG CADANGAN PANGAN PEMERINTAH DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana,

2015 PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGURANGAN RESIKO BENCANA GEMPA BUMI DI KOTA BUKITTINGGI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. digaris khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH KABUPATEN BIMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan 10 Kelurahan, dengan luas ha. Kabupaten Klaten merupakan BT dan LS LS.

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. berpotensi rawan terhadap bencana longsoranlahan. Bencana longsorlahan akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak pada 6º LU 11º LS dan 95º BT - 141º BT, antara

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Kepulauan Indonesia secara geografis terletak di 6 LU - 11 LS dan

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN I. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Tentara Nasional Indonesia ( TNI ) berdasarkan Undang-Undang Republik

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia berada di tiga lempeng tektonik dunia, yaitu: Lempeng Indo-

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan mereka, termasuk pengetahuan bencana longsor lahan.

BUPATI TANAH BUMBU PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH KABUPATEN TANAH BUMBU

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng Euro-Asia di. tsunami, banjir, tanah longsor, dan lain sebagainya.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2010 TENTANG MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR : 15 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. semakin kuat gempa yang terjadi. Penyebab gempa bumi dapat berupa dinamika

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah

BAPPEDA Kabupaten Probolinggo 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional.

PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGANAN BENCANA

BUPATI MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 75 TAHUN 2016 TENTANG CADANGAN PANGAN PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. karena itu Indonesia memiliki potensi bencana gempa bumi dan dapat menimbulkan ancaman bencana yang sangat besar.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN,

BAB I PENDAHULUAN. banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1)

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. mengenai bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB1 PENDAHULUAN. Krakatau diperkirakan memiliki kekuatan setara 200 megaton TNT, kira-kira

Transkripsi:

PENDAHULUAN Latar Belakang Memperoleh pangan yang cukup merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia agar berada dalam kondisi sehat, produktif dan sejahtera. Oleh karena itu hak untuk memperoleh pangan merupakan hak azasi setiap manusia, sehingga ketersediaan pangan bagi suatu wilayah mempunyai arti yang sangat strategis. Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Ketahanan Pangan adalah: Kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pembangunan ketahanan pangan diharapkan mampu menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, terutama berasal dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman yang cukup, aman dan terjangkau dari waktu ke waktu. Permasalahan dalam pengembangan ketahanan pangan antara lain: 1) jumlah penduduk yang cukup besar dengan laju pertumbuhan yang cukup besar, membawa konsekuensi adanya peningkatan permintaan pangan terusmenerus dengan jumlah besar, 2) meningkatnya kompetisi pemanfaatan sumberdaya lahan dan air, menyebabkan terganggunya kapasitas produksi pangan, 3) pola konsumsi pangan masyarakat masih belum beragam (didominasi sumber karbohidrat beras dan sumber protein nabati), 4) kebijakan pengembangan pangan yang selama ini masih terfokus pada beras sehingga mengurangi penggalian dan pemanfaatan potensi pangan yang lain, 5) masyarakat di beberapa daerah masih terdapat yang mengalami kerawananan pangan, baik karena musim paceklik ataupun karena bencana alam (Krisnamurti, 2003; Suryana 2004). Permasalahan ini, apabila tidak diantisipasi dan dikelola dengan baik akan mengakibatkan timbulnya ketidaktahanan pangan ditingkat rumah tangga. Secara teoritis, dikenal dua bentuk ketidaktahanan/ kerawanan pangan (food insecurity) tingkat rumah tangga: 1) kerawanan pangan kronis yaitu terjadi dan berlangsung secara terus menerus yang bisa disebabkan oleh rendahnya daya beli dan rendahnya kualitas sumberdaya dan sering terjadi di daerah-daerah terisolir

2 dan gersang, 2) kerawanan pangan tingkat akut (transitory), terjadi secara mendalam yang disebabkan oleh antara lain: bencana alam, kegagalan produksi dan kenaikan harga yang mengakibatkan masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk menjangkau pangan yang memadai (Amojo, dkk, 1995). Tahun 2007, data menunjukkan masih terdapat 5,71 juta jiwa atau 2,55% penduduk Indonesia rawan pangan dan 48% daerah yang tergolong rawan pangan (Kaman Nainggolan, 2008). Pemenuhan kebutuhan pangan bagi individu, keluarga dan masyarakat menjadi lebih penting lagi disaat situasi dan kondisi tidak normal, seperti saat terjadi bencana. Ketahanan pangan penduduk di Indonesia menghadapi tantangan yang besar mengingat Indonesia merupakan negara yang rawan bencana alam. Salah satu kabupaten yang rawan bencana adalah Kabupaten Lampung Barat. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng benua, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik dan Lempeng Australia. Konsekuensi dari tumbukan antar lempeng tersebut, terbentuk palung samudera, lipatan, punggungan dan patahan di busur kepulauan, sebaran gunung api dan sebaran sumber gempa bumi. Beberapa pantai di Indonesia, dengan morfologi sedang dan curam, jika terjadi gempa bumi dengan sumber berada didasar laut/samudera dapat menimbulkan tsunami/gelombang pasang. Tanah pelapukan yang berada diatas batuan kedap air pada perbukitan/pegunungan dengan kemiringan sedang hingga terjal, jika musim hujan dengan kuantitas tinggi berpotensi terjadi bencana tanah longsor/gerakan tanah. Jika perbukitan tersebut tidak ada tanaman keras berakar kuat dan dalam, maka kawasan tersebut rawan bencana tanah longsor (Pudjiono, 2003). Wilayah Kabupaten Lampung Barat secara geografis terletak pada koordinat 4 derajat 47 16-5 derajat 56 42 Lintang Selatan dan 130 derajat 35 08-104 derajat 33 51 Bujur Timur, meliputi areal seluas kurang lebih 459.040 ha, terdiri dari daerah berdataran rendah (0-600 dpl), daerah berbukit (600-1000 dpl) dan daerah pegunungan (1000-2000 dpl). Keadaan disepanjang pantai pesisir barat umumnya datar dan berombak dengan kemiringan berkisar pada 3-5%, yang langsung berhadapan dengan Samudera Indonesia. Di bagian barat laut terdapat beberapa gunung dan bukit.

3 Secara geologi, Kabupaten Lampung Barat dilalui oleh Sesar/Patahan Semangko yang merupakan salah satu sesar utama di Pulau Sumatera. Patahan ini mengakibatkan seluruh wilayah kabupaten merupakan daerah yang rawan terhadap gempa bumi dan tanah longsor. Patahan aktif ini akan terus bergerak/mengalami pergeseran, sehingga akan menimbulkan kerusakan di dalam dan di atas permukaan tanah. Pada siklus waktu tertentu, pergeseran ini akan menimbulkan bencana gempa bumi dengan kekuatan yang cukup besar dan pada daerah pantai akan akan menyebabkan tsunami. Berdasarkan keadaan wilayah tersebut, Kabupaten Lampung Barat merupakan daerah yang sangat rawan terhadap bencana alam, terutama bencana gempa bumi, tanah longsor serta banjir dan tsunami (Pedoman Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Kabupaten Lampung Barat, 2004). Bencana alam gempa bumi di Liwa Lampung Barat (Tahun 1994), gempa bumi dan tsunami di Nangroe Aceh Darussalam (Tahun 2004), bahkan yang terbaru gempa bumi di Yogyakarta (Tahun 2007) telah membuka kesadaran bagi kita bersama bahwa manajemen bencana di negara kita masih sangat jauh dari yang kita harapkan. Pemahaman terhadap manajemen bencana dirasakan saat ini semakin luntur, karena dianggap bukan prioritas dan bencana hanya datang sewaktu-waktu saja. Dapat diasumsikan bahwa pemahaman dasar tentang manajemen bencana belum dikuasai dan dimengerti oleh banyak kalangan, baik birokrat maupun masyarakat. Penanganan bencana selama ini dapat dikatakan Bagaimana nanti saja. Padahal negara kita adalah negara yang memiliki ancaman bahaya bencana dengan klasifikasi sangat bervariasi. Suatu ketika bila terjadi bencana dan menelan korban jiwa dan harta, kita selalu terkejut dan mengatakan kita telah kecurian. Pada umumnya bencana yang terjadi di daerah selalu mengakibatkan penderitaan di kalangan masyarakat, korban jiwa manusia dan kerugian harta benda, disamping rusaknya lingkungan serta hasil-hasil pembangunan yang telah dengan susah payah diupayakan. Mengingat kejadian bencana selalu menimbulkan penderitaan yang salah satunya adalah kerawanan pangan, maka pemerintah harus melakukan upaya untuk meminimalisir bahkan mencegah

4 timbulnya kerawanan pangan saat terjadi bencana, dengan melakukan pengelolaan pangan yang terarah melalui penyediaan akses terhadap pangan. Konsep kecukupan pangan dapat ditunjukkan oleh tingkat konsumsi minimum pangan untuk memenuhi keperluan gizi. Kecukupan kalori tidak hanya untuk keperluan agar manusia dapat hidup, akan tetapi juga untuk bekerja dan hidup sehat. Inti dari konsep akses pangan adalah setiap individu dan rumah tangga dapat memperoleh pangan yang cukup. Oleh karena itu, ketahanan pangan bukanlah semata fenomena makro yaitu diperoleh dari konsumsi agregat, akan tetapi ketahanan pangan adalah terkait dengan rumah tangga dan individu manusia. (Sawit dan Ariani, 1997). Salah satu prioritas dalam Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana (RAN PRB) 2006-2009 adalah mengurangi faktor-faktor penyebab resiko bencana dengan kegiatan diantaranya pengembangan sosial ekonomi, yang salah satu sub kegiatannya adalah meningkatkan ketahanan pangan. Hal ini mengandung arti bahwa peningkatan ketahanan pangan merupakan salah satu upaya untuk mengurangi faktor-faktor penyebab resiko bencana. Pasal 8 huruf a dan c Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dinyatakan bahwa tanggungjawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum serta pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan. Selain itu, dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan bahwa: Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak azasi rakyat Indonesia. Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB) 2006-2009 menegaskan bahwa, perlindungan masyarakat dari ancaman bencana oleh pemerintah merupakan wujud pemenuhan hak azasi rakyat dan bukan sematamata karena kewajiban pemerintah. Dilain pihak, Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2005-2009 menyebutkan bahwa salah satu prioritas pembangunan ketahanan pangan adalah mengembangkan cadangan pangan.

5 Berdasarkan undang-undang dan rencana aksi nasional, pemerintah daerah diwajibkan untuk melakukan tindakan bantuan pangan dan peningkatan cadangan pangan pemerintah untuk mencegah timbulnya kerawanan pangan, sehingga ketahanan pangan masyarakat yang terkena bencana tetap terjamin. Mempertimbangkan uraian sebelumnya serta mengingat Kabupaten Lampung Barat yang secara geografis merupakan daerah rawan bencana, maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian tentang pengelolaan pangan untuk penanggulangan bencana di Kabupaten Lampung Barat. Perumusan Masalah Permasalahan dan tantangan dalam pembangunan ketahanan pangan secara umum selain menyangkut pertambahan penduduk, semakin terbatasnya sumberdaya alam, masih terbatasnya sarana dan prasarana usaha di bidang pangan, semakin ketatnya persaingan pasar dengan produk impor, serta besarnya proporsi penduduk miskin, ternyata juga sangat terpengaruh oleh kejadian bencana alam yang akhir-akhir ini sering terjadi. Kabupaten Lampung Barat sebagai daerah yang sangat rawan terhadap terjadinya bencana alam harus dapat mengatasi permasalahan dan tantangan ini. Pada penelitian ini, kesiapsiagaan Pemerintah Kabupaten Lampung Barat akan dikaji untuk melakukan pengelolaan pangan sebagai langkah antisipatif menghindari kerawanana pangan saat terjadi bencana, dengan mendayagunakan kemampuan serta sumberdaya yang dimiliki. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah peta daerah rawan bencana di Kabupaten Lampung Barat? 2. Berapakah ketersediaan pangan aktual di Kabupaten Lampung Barat? 3. Berapakah kebutuhan pangan untuk tanggap darurat bencana bencana di Kabupaten Lampung Barat? 4. Berapakah cadangan pangan pemerintah yang diperlukan untuk pangan, guna penanggulangan bencana di Kabupaten Lampung Barat?

6 5. Berapakah anggaran yang harus disiapkan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Barat untuk memenuhi cadangan pangan guna penanggulangan bencana? 6. Bagaimanakah mekanisme distribusi pangan untuk penanggulangan bencana di Kabupaten Lampung Barat? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melakukan pengelolaan pangan untuk penanggulangan bencana di Kabupaten Lampung Barat. Tujuan Khusus Penelitian Sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk : 1. Memetakan wilayah rawan bencana di Kabupaten Lampung Barat. 2. Menghitung ketersediaan pangan aktual di Kabupaten Lampung Barat. 3. Menghitung kebutuhan pangan untuk tanggap darurat bencana di Kabupaten Lampung Barat. 4. Menghitung cadangan pangan pemerintah untuk penanggulangan bencana di Kabupaten Lampung Barat. 5. Menghitung anggaran yang dibutuhkan pemerintah Kabupaten Lampung Barat untuk pangan guna penanggulangan bencana. 6. Merumuskan mekanisme distribusi pangan untuk penanggulangan bencana di Kabupaten Lampung Barat. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dilakukannya penelitian ini adalah : 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi bagi daerah yang rawan bencana, terutama Kabupaten Lampung Barat dalam merumuskan penyusunan perencanaan pengelolaan pangan untuk

7 penanggulangan bencana, sehingga kerawanan pangan ketika terjadi bencana dapat diminimalisir. Selain itu implikasi dari hasil penelitian ini dapat menjadi bahan penyusunan perencanaan berbagai bidang yang terkait dengan pangan dan penanggulangan bencana. 2. Menjadi masukan bagi kepentingan akademis, sebagai bahan informasi untuk menambah referensi tentang pengelolaan pangan untuk penanggulangan bencana.