BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Tempat Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. apendisitis di Asia dan Afrika pada tahun 2004 adalah 4,8% dan. 2,6% penduduk dari total populasi. Penelitian Asif (2008) di RS

RSUD Umbu Rara Meha Waingapu.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Salatiga yang berletak di jalan Hasanuddin No.806, Kelurahan Ngawen,

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. April 2006 oleh Gubernur Gorontalo. Rumah Sakit Umum Daerah

SOP PERAWATAN LUKA GANGREN

Lembar Persetujuan Menjadi Peserta Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. (Permenkes RI No. 340/MENKES/PER/III/2010). Dalam memberikan

SATUAN ACARA PENYULUHAN ( SAP ) PERAWATAN LUKA POST OPERASI APPENDIKTOMI PADA ANAK

165

DAFTAR PUSTAKA. Arikunto, S Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik. Ed. Rev., cet.14. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

maupun sebagai masyarakat profesional (Nursalam, 2013).

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diselenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat yang berfungsi untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SOP PERAWATAN LUKA A. KLASIFIKASI LUKA BEDAH

BAB I PENDAHULUAN. pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan catatan keperawatan (Depkes

BAB 3 ANALISA KECENDERUNGAN INTERNAL

PENJELASAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang No. 36 tahun 2014 bahwa kesehatan. harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien


2. STRUKTUR ORGANISASI RSUD INDRASARI RENGAT, KAB.INDRAGIRI HULU

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN WALIKOTA SEMARANG

BAB III ELABORASI TEMA

BAB 1 PENDAHULUAN. sakit dan unit kesehatan. Rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan

PENDAHULUAN. derajat kesehatan dilakukan dengan berbagai upaya salah satunya dengan

BAB I PENDAHULUAN. menambah tingginya biaya perawatan dan angka kesakitan pasien (Anonim, 2005).

BAB 1 PENDAHULUAN. mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu.

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN

BAB IV HASIL PENELITIAN. 1. Sejarah Singkat Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Soeselo Slawi

Kegiatan Belajar TUJUAN. Pembelajaran Umum

TINDAKAN PEMBEDAHAN SOP. 1. Pengertian. 2. Tujuan. 3. Kebijakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat. darurat (Permenkes RI No. 147/ Menkes/ Per/ 2010).

VULNUS LACERATUM. 1. Pengertian

BAB I PENDAHULUAN. Namun seiring berkembangnya zaman, rumah sakit pada era globalisasi

BAB I PENDAHULUAN. nyata penyediaan layanan publik di bidang kesehatan adalah adanya rumah

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 44 tahun 2009 menyatakan bahwa rumah sakit. merupakan pelayanan kesehatan yang paripurna (UU No.44, 2009).

PANDUAN PENUNDAAN PELAYANAN DI RUMAH SAKIT PUPUK KALTIM BONTANG

BAB II PROFIL PERUSAHAAN. A.Sejarah Singkat Perkembangan Rumah Sakit Dr. H. Kumpulan Pane Kota

GAMBARAN UMUM RSUD INDRASARI RENGAT

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan, perubahan dalam pelayanan kesehatan terjadi sangat cepat, tumbuhnya beberapa rumah

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan-kebutuhan baru sebagai kebutuhan dasar mutu layanan. Salah satu

LAPORAN AKHIR Survey Indeks Kepuasan Masyarakat sesuai Kepmenpan Nomor 25/M.PAN/2/2004 RSUD Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. sistemik (Potter & Perry, 2005). Kriteria pasien dikatakan mengalami infeksi

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT (JAMKESMAS) Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) adalah program jaminankesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah sakit sebagai pusat pelayanan kesehatan harus memberikan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. Rumah Sakit (RS) merupakan suatu unit yang sangat kompleks. Kompleksitas ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Keselamatan pasien (Patient Safety) adalah isu global dan nasional bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. bidang, termasuk kesehatan dituntut agar lebih berkualitas. Rumah sakit juga berubah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

LAMPIRAN 1 INSTRUMEN PENELITIAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh seluruh

BAB 1 PENDAHULUAN. asuransi sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan gawat darurat, yang merupakan salah satu tempat pasien berobat atau dirawat, di tempat

BAB I PENDAHULUAN. prasarana UPT Kesmas Tegallalang I telah dilengkapi dengan Poskesdes, Pusling,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2012 NOMOR 7 SERI D NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 7 TAHUN 2012 TENTANG

EVALUASI KINERJA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) PATUT PATUH PATJU KABUPATEN LOMBOK BARAT TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. adanya mutu pelayanan prima rumah sakit. Mutu rumah sakit sangat dipengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan masalah kesehatan benar-benar merupakan kebutuhan. penting. Oleh karena itu, organisasi pelayanan kesehatan diharapkan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN PERAWAT DALAM PENERAPAN PROTAP PERAWATAN LUKA POST OPERASI DI RUANG CENDANA RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN

1V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. menuntut tiap organisasi profit dan non profit untuk saling berkompetisi

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dinilai melalui berbagai indikator. Salah satunya adalah terhadap upaya

BAB I PENDAHULUAN Kondisi Umum Identifikasi Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit (K3RS). Dampak dari proses pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan penunjang. Rumah sakit dalam menjalankan fungsinya

TESIS Untuk memenuhi persyaratan Mencapai derajat Sarjana S 2. Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada era globalisasi ini teknologi berkembang semakin pesat, begitu

BAB I PENDAHULUAN. care and acritical component of quality management.. Keselamatan pasien

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. melakukan penelitian dan pengambilan data di bangsal Marwah. Bangsal

PROFIL RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

PERAWATAN KOLOSTOMI Pengertian Jenis jenis kolostomi Pendidikan pada pasien

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu fenomena yang harus di respon oleh perawat. Respon yang ada

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan (Depkes RI, 1999). Peningkatan kebutuhan dalam bidang kesehatan ini

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pusat latihan tenaga kesehatan, serta untuk penelitian biososial.

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PERAWATAN JENASAH

PEDOMAN PENGORGANISASIAN UNIT LINEN DAN LAUNDRY

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 66 TAHUN : 2004 SERI : D NOMOR : 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bab IV. Hasil dan Pembahasan

MISI MENJADI RUMAH SAKIT BERSTANDAR KELAS DUNIA PILIHAN MASYARAKAT KEPUASAN DAN KESELAMATAN PASIEN ADALAH TUJUAN KAMI

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Gambaran Umum Rumah sakit Umum Daerah Mandailing Natal

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN. Nama :Rumah Sakit Kusta Dr. Sitanala. Alamat :Jl.Dr. Sitanala No.99 Tangerang 15001

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. proses selama 4 tahun akhirnya pada tanggal 17 April 2008 RSUD Kota Depok

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. juga untuk keluarga pasien dan masyarakat umum. (1) Era globalisasi yang menjadi

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN 2016

Transkripsi:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Umbu Rara Meha Waingapu yang terletak di jalan Adam Malik No. 54 Kelurahan Kambajawa, Kecamatan Kota Waingapu, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Rumah Sakit Umum Daerah Umbu Rara Meha mulai dioperasionalkan pada tanggal 19 Desember 1983 dengan luas bangunan 4.637m 2 dan luas tanah 41.000m 2. Rumah Sakit ini adalah rumah sakit tipe D+ dengan kapasitas tempat tidur 121 buah dan memiliki fasilitas pelayanan yaitu satu unit ruangan perawatan rawat jalan (poli umum, poli bedah, poli anak, poli gigi dan mulut, poli kebidanan dan KB, poli mata), satu unit instalasi medik central (instalasi gawat darurat, instalasi bedah sentral, instalasi ICU) dan instalasi penunjang medis (Instalasi Farmasi, Instalasi Laboratorium, Instalasi Gizi, Instalasi Radiologi, Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah Sakit, Instalasi Rehabilitasi Medik, Instalasi Pemulasara-an Jenasah, Instalasi Dokter Jaga, Instalasi Ruangan Oksigen, Gudang Farmasi). Rumah Sakit Umum Daerah Umbu Rara Meha memiliki ruang rawat inap berjumlah 7 ruangan yaitu

Ruangan Dahlia untuk penyakit dalam, Ruangan Anggrek untuk pasien anak, Ruangan Bogenvile untuk semua pasien bedah, Ruangan Kemuning untuk kebidanan, ICU untuk pasien emergency, Ruangan VIP dan Utama (RSUD Umbu Rara Meha Waingapu, 2013). Dari 7 ruangan Instalasi Rawat Inap, peneliti melakukan penelitian di satu ruangan yaitu ruangan Bogenvile. Ruangan Bogenvile merupakan tempat perawatan bagi pasien pre dan pasca bedah termasuk pasien post apendiktomi. Ruangan Bogenvile memiliki 12 orang perawat dengan kapasitas 20 tempat tidur. Sebagian besar pasiennya menggunakan Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS). Saat penelitian berlangsung peneliti melihat ruang ini memiliki satu buah set sterilisator, pinset 3 buah, gunting kassa 2 buah, gunting plester 2 buah, bengkok 1 buah dan korentang 2 buah. Jumlah pasien di ruang Bogenvile rata-rata 20 pasien tiap bulannya dengan 14 orang tenaga kesehatan yaitu 1 orang dokter umum, 12 orang perawat termasuk kepala ruangan Bogenvile dan pegawai administrasi. Perawat yang berpendidikan S1 1 orang, D3 5 orang, SPK 6 orang. Rumah Sakit ini memiliki tenaga paramedis dan tenaga medis Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tenaga para

medis sebanyak 198 orang yaitu S1 Keperawatan 8 orang, D3 Keperawatan 69 orang, SPK 35 orang, D3 Kebidanan 8 orang, Perawat Gigi 2 orang, dan D4 Keperawatan sebanyak 4 orang. Tenaga medis yang terdiri dari dokter ahli bedah 1 orang, dokter ahli obgyn 1 orang, dokter umum 9 orang, dan apoteker 4 orang. 4.2. Karakteristik Responden Penelitian tentang gambaran pelaksanaan perawatan luka post apendiktomi di ruang rawat inap Bogenvile RSUD Umbu Rara Meha Waingapu telah dilakukan pada tanggal 2 Juli 2013 sampai dengan 19 Agustus 2013 terhadap 12 orang responden perawat. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan masa kerja selengkapnya disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan masa kerja (n:12) Karakteristik Responden Frekuensi Prosentase Jenis Kelamin : Pria Wanita Usia : 20-30 Tahun 31-40 Tahun Tingkat Pendidikan : SPK/C D3 S1 Masa Kerja : < 5 Tahun >5 Tahun 2 10 3 9 6 5 1 2 10 16,7 83,3 25 75 50 41,7 8,3 16,7 83,3 Sumber : Data Sekunder, 2013 Tabel 1, menunjukkan mayoritas responden berjenis kelamin perempuan (83,3%). 75% responden berada pada rentang usia antara 31-40 tahun. Tingkat pendidikan responden didominasi oleh lulusan SPK/C (50%) dan sebagian besar (83,3%) responden bekerja selama lebih dari 5 tahun. 4.3. Gambaran Pelaksanaan Perawatan Luka Post Apendiktomi di Ruang Rawat Inap Bogenvile RSUD Umbu Rara Meha Waingapu Observasi tindakan perawatan luka apendiktomi dilakukan sebanyak tiga kali untuk setiap responden. Ditemukan setiap pasien post apendiktomi yang tidak

mengalami infeksi mendapat perawatan luka sebanyak dua kali selama dirawat di rumah sakit. Tetapi bagi pasien yang mengalami komplikasi atau infeksi akan dirawat lebih dari tiga atau empat hari dan mendapat perawatan luka lebih dari dua kali. A. Tahap Prainteraksi Pada tahap ini, perawat sebelum melakukan tindakan perawatan luka apendiktomi, terlebih dahulu melihat catatan perawatan pasien kemudian mencuci tangan, dan mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti set alat steril, sarung tangan steril, pinset anatomis, pinset chirurgis, kassa steril, kapas lidi, alkohol 70%, NaCl 0,9%, povidone iodine/betadin, gunting plester, bengkok, perlak, sarung tangan bersih, kapas alkohol, dan obat luka sesuai advis dokter. Hasil pengamatan disajikan pada tabel 2. Tabel 2. Tahap Prainteraksi (n:12) Kriteria Frekuensi Prosentase Baik (76-100) 3 25 Cukup (56-75) 9 75 Kurang (< 56) 0 0 Jumlah 12 100 Sumber : Data Sekunder, 2013 Berdasarkan tabel 2, tidak ada responden yang masuk dalam kategori kurang pada fase prainteraksi.

Sesuai data pada lembar check list, dari 36 tindakan pada tahap prainteraksi perawatan luka apendiktomi, terdapat 28 prosedur tidak membawa sarung tangan steril dikarenakan sarung tangan steril di ruangan maupun di apotik rumah sakit tidak tersedia (sering kehabisan stok). Prosedur tidak menyiapkan bengkok sebanyak 16 kali, dikarenakan keterbatasan jumlah bengkok yaitu hanya satu buah, artinya saat melakukan perawatan luka bengkok masih dipakai oleh perawat lain untuk melakukan perawatan luka apendiktomi pada pasien. B. Tahap Orientasi Pada tahap ini perawat memberikan salam dan memanggil nama pasien dengan namanya kemudian menjelaskan prosedur dan tujuan tindakan yang akan dilakukan untuk mendapat persetujuan pasien. Hasil pengamatan disajikan pada tabel 3. Tabel 3. Tahap Orientasi Kriteria Frekuensi Prosentase Baik (76-100) 4 33,3 Cukup (56-75) 5 41,7 Kurang (< 56) 3 25 Jumlah 12 100 Sumber : Data Sekunder, 2013

Tabel 3, menunjukkan hanya 1/3 dari keseluruhan responden yang mengorientasikan tindakan secara baik kepada pasien. Berdasarkan data dari lembar observasi, dari 36 kali observasi, 5 tindakan (13,9%) di antaranya tidak memberikan salam dan memanggil klien dengan namanya. Prosedur tindakan tidak menjelaskan tujuan, cara dan waktu sebanyak 16 tindakan (44,4%). C. Tahap Kerja Pada tahap ini sebelum perawat melakukan tindakan perawatan luka apendiktomi, terlebih dahulu perawat cuci tangan kemudian menjaga privasi pasien selama tindakan dilakukan, mengatur posisi pasien agar luka terlihat jelas dan mudah untuk dilakukan tindakan perawatan luka post apendiktomi dan berikan perlak di bawah luka pasien kemudian membuka plester dan balutan dengan menggunakan sarung tangan bersih, pinset, dan kapas alkohol kemudian memasukkan balutan kotor ke dalam bengkok. Selanjutnya melakukan pengkajian terhadap kondisi luka jahitan kemudian membuka alat-alat steril dengan tetap mempertahankan supaya tidak terkontaminasi. Dilanjutkan menuangkan larutan NaCl, memakai sarung tangan steril,

membersihkan daerah di sekitar luka jahitan sesuai dengan prinsip pembersihan luka dengan pinset dan kapas yang sudah dibasahi NaCl, menutup luka dengan kassa steril menggunakan pinset steril, melepas sarung tangan, fiksasi kassa dengan plester, kemudian merapikan pasien ke posisi semula. Hasil pengamatan tahap kerja disajikan pada tabel 4. Tabel 4. Tahap Kerja (n:12) Kriteria Frekuensi Prosentase Baik (76-100) 0 0 Cukup (56-75) 11 91,7 Kurang (< 56) 1 8,3 Jumlah 12 100 Sumber : Data Sekunder, 2013 Berdasarkan tabel 4, pada tahap kerja tidak seorangpun dari responden masuk dalam kategori baik, sementara jumlah terbanyak terdapat pada kategori cukup yaitu sebanyak 11 responden (91,7%) disusul oleh kategori kurang sebanyak 1 orang (8,3%). Berdasarkan data pada lembar hasil observasi, tindakan yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh semua responden selama 36 kali observasi adalah prosedur memberi kesempatan kepada klien untuk bertanya sebelum tindakan dimulai. 19 tindakan (52,8%) tidak menjaga privasi klien saat melakukan perawatan luka post apendiktomi. 10 tindakan (27,8%) tidak mencuci

tangan sebelum melakukan tindakan perawatan. Tindakan memasang perlak saat melakukan perawatan luka sebanyak 0% artinya tidak dilakukan sama sekali oleh responden. Dan tindakan tidak menggunakan sarung tangan steril sebanyak 29 tindakan (80,5%). D. Tahap Terminasi Pada tahap ini perawat mengembalikan posisi pasien seperti semula/merapikan, mengevaluasi perasaan pasien setelah dilakukan tindakan perawatan luka, menyampaikan rencana tindak lanjut, mengakhiri kegiatan dan merapikan kembali peralatan yang telah dipakai, kemudian mencuci tangan. Pada tabel 5 tersaji hasil tahapan terminasi. Tabel 5. Tahap Terminasi (n:12) Kriteria Frekuensi Prosentase Baik (76-100) 9 75 Cukup (56-75) 2 16,7 Kurang (< 56) 1 8,3 Jumlah 12 100 Sumber : Data Sekunder, 2013 Tabel 5, menunjukkan bahwa mayoritas responden berada dalam kriteria baik yaitu sebanyak 9 responden (75%) dari seluruh jumlah responden yang diteliti. E. Tahap Dokumentasi Pada tahap ini perawat mendokumentasikan tindakan yang telah dilakukan sebagai langkah tanggung

jawab dengan mencatat waktu dilakukan tindakan/perawatan luka apendiktomi dan kondisi luka operasi apendiktomi, serta menulis nama terang dan tanda tangan perawat di dalam buku catatan asuhan keperawatan. Hasil observasi disajikan pada tabel 6. Tabel 6. Tahap Dokumentasi (n:12) Kriteria Frekuensi Prosentase Baik (76-100) 1 8,3 Cukup (56-75) 3 25 Kurang (< 56) 8 66,7 Jumlah 12 100 Sumber : Data Sekunder, 2013 Tabel 6 menunjukkan bahwa mayoritas responden berada dalam kategori kurang (66,7%) dan hanya terdapat 1 orang (8,3%) yang masuk dalam kategori baik. Berdasarkan data dari lembar hasil observasi, cukup banyak tindakan menulis nama terang dan tanda tangan petugas kesehatan di dalam buku catatan asuhan keperawatan yang tidak dilakukan responden yaitu sebanyak 34 tindakan (94,4%). F. Perawatan Luka Apendiktomi Berikut adalah distribusi gambaran pelaksanaan perawatan luka post apendiktomi oleh seluruh perawat di ruang Bogenvile Rumah Sakit Umum Daerah Umbu

Rara Meha Waingapu. Hasil penelitian selengkapnya disajikan dalam tabel 7. Perawatan luka dimulai dari tahap prainteraksi, orientasi, kerja, terminasi, sampai dokumentasi. Dari 36 tindakan perawatan luka yang diobservasi didapatkan hasil dalam tabel 7. Tabel 7. Perawatan Luka Apendiktomi (n:12) Kriteria Frekuensi Prosentase Baik (76-100) 1 8,3 Cukup (56-75) 10 83,4 Kurang (< 56) 1 8,3 Jumlah 12 100 Sumber : Data Sekunder, 2013 Tabel di atas menunjukkan bahwa yang masuk dalam kategori cukup memiliki jumlah terbanyak yaitu 10 orang (83,4%) dan jumlah responden yang masuk dalam kategori baik dan kurang memiliki angka yang sama yaitu masingmasing sebanyak 1 orang (8,3%). 4.4. Pembahasan 4.4.1. Karakteristik Responden a. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin Jumlah perawat di ruang Bogenvile RSUD Umbu Rara Meha Waingapu yang berjenis kelamin

laki-laki yaitu 2 orang (16,7%) dan perempuan yaitu 10 orang (83,3%). Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Muchlas (2004) yang menyatakan bahwa proporsi perempuan dalam personel keperawatan jauh lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Aryani (2008) mengatakan bahwa tidak ada batas ideal perbandingan antara perawat laki-laki dan perempuan. Namun dalam manajemen keperawatan mengenai pengaturan jadwal dinas, dianjurkan dalam satu shift ada perawat laki-laki dan perempuan, sehingga apabila melakukan tindakan yang bersifat privacy bisa dilakukan oleh perawat yang sama jenis kelaminnya misalnya personal higiyene, eliminasi, perekaman EKG, pemasangan asesoris bed side monitor dan lain-lain. b. Karakteristik responden berdasarkan usia Secara fisiologis pertumbuhan dan perkembangan seseorang dapat digambarkan dengan pertumbuhan umur. Dengan peningkatan umur diharapkan terjadi pertumbuhan kemampuan motorik sesuai dengan tumbuh kembangnya, yang identik

dengan idealisme tinggi, semangat tinggi dan tenaga yang prima (Monks, 2000). Pada usia-usia yang relatif tua, meskipun sudah memiliki pengalaman kerja yang lebih banyak, namun kondisi fisik yang menurun mengakibatkan penurunan produktivitas (Adisetiawan, 2010). Hal ini sesuai dengan keadaan di ruangan Bogenvile, perawat yang paling dominan di ruangan adalah perawat yang umurnya di atas 30 tahun dan dari hasil penelitian didapatkan bahwa hampir seluruh responden dari jumlah perawat mengalami penurunan motivasi kerja. c. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan perawat di ruang Bogenvile RSUD Umbu Rara Meha Waingapu mayoritas lulusan SPK/C (Sekolah Penjenang Keperawatan) yang mana setara dengan pendidikan SMA (Sekolah Menengah Atas) yaitu sebesar 50%, diploma tiga sebesar 41,7% dan hanya 8,3% yang berpendidikan sarjana keperawatan. Menurut Saragih (2010) dalam jurnalnya yang berjudul hubungan karakteristik perawat dengan tingkat kepatuhan perawat melakukan cuci tangan di

Rumah Sakit Columbia Asia Medan yang mengatakan bahwa pada saat ini dasar penataan pendidikan perawat adalah menuju tatanan profesionalisme dan globalisasi. Profesionalisme menuntut perawat harus menyelesaikan pendidikan akademik dan profesi sebagaimana profesi lain yang berkembang. Rendahnya pendidikan perawat dapat menjadi rendahnya pelayanan keperawatan dan daya saing perawat tersebut dengan perawat asing. Untuk itu dituntut kesadaran dari perawat RSUD Umbu Rara Meha Waingapu untuk memikirkan tindak lanjut pendididikannya agar eksistensi mereka dalam pelayanan keperawatan di era globalisasi saat ini dapat dipertahankan dan ditingkatkan. Manajemen rumah sakit juga diharapkan memberikan perhatian dan dukungan bagi perawat-perawat yang ingin meningkatkan taraf pendidikannya. d. Karakteristik responden berdasarkan masa kerja Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas perawat ruang Bogenvile RSUD Umbu Rara Meha Waingapu mempunyai masa kerja lebih dari lima tahun (83,3%).

Menurut Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1991) masa kerja (lama kerja) adalah merupakan pengalaman individu yang akan menentukan pertumbuhan dalam pekerjaan dan jabatan. Kreitner dan Kinichi (2004) dalam bukunya yang berjudul Organizational Behavior menyatakan bahwa masa kerja yang lama akan cenderung membuat seseorang betah dalam sebuah organisasi hal ini disebabkan karena telah beradaptasi dengan lingkungan yang cukup lama sehingga akan merasa nyaman dalam pekerjaannya. Semakin lama seseorang bekerja maka tingkat prestasi akan semakin tinggi, prestasi yang tinggi didapat dari perilaku yang baik. Kondisi ini apabila dikaitkan dengan pendapat Kreitner dan Kinichi di atas terdapat kesenjangan. Berdasarkan hasil observasi peneliti terhadap seluruh responden perawat ada beberapa faktor yang berpengaruh pada pelaksanaan perawatan luka post apendiktomi belum dapat dikategorikan baik, antara lain yaitu SOP perawatan luka apendiktomi yang masih memilki banyak kekurangan, fasilitas penunjang/alat perawatan luka apendiktomi yang kurang memadai dan pendidikan perawat pelaksana

kebanyakan lulusan SPK/C. Jadi, masa kerja yang lama belum tentu akan menyebabkan tingkat prestasi semakin tinggi. 4.4.2. Pelaksanaan Perawatan Luka Apendiktomi di RSUD Umbu Rara Meha Waingapu Peneliti telah melakukan observasi pada 12 orang responden perawat, masing-masing sebanyak 3 kali sehingga jumlah observasi total yaitu sebanyak 36 kali. Gambaran pelaksanaan perawatan luka apendiktomi, dapat dilihat dari hasil penelitian pada tabel 7 dari 12 responden di Ruang Bogenvile didapatkan pada tahap terminasi dalam kriteria baik sebanyak 75%, sedangkan pada tahap prainteraksi, orientasi, dan tahap kerja masuk dalam kriteria cukup dengan proporsi masingmasing 75%, 41,7%, 91,7%. Pada tahap dokumentasi pelaksanaan perawatan luka pada pasien post apendiktomi dalam kriteria kurang dengan proporsi 66,7%. Hal ini disebabkan oleh SOP perawatan luka apendiktomi RSUD Umbu Rara Meha Waingapu yang masih memiliki banyak kekurangan. Pada saat peneliti melakukan observasi, ditemukan terdapat banyak kesenjangan dalam

pelaksanaan SOP tersebut. Setelah peneliti melihat dan membandingkan SOP RSUD Umbu Rara Meha Waingapu dengan SOP Prodi Keperawatan Waingapu, terdapat banyak kekurangan pada SOP RSUD Umbu Rara Meha Waingapu seperti : tidak ada tindakan mencuci tangan sebelum melakukan tindakan perawatan luka, tidak ada persiapan sarung tangan bersih, perlak, menjaga privasi klien dan mencuci tangan setelah melakukan tindakan. Prodi Keperawatan Waingapu adalah satu-satunya institusi sekolah diploma tiga keperawatan yang ada di Waingapu dan memiliki hubungan kerjasama dengan RSUD Umbu Rara Meha Waingapu. Alasan peneliti menggunakan SOP Prodi Keperawatan Waingapu sebagai SOP pembanding adalah untuk lebih meminimalkan perbedaan-perbedaan yang ada dengan perbandingan SOP di lain tempat, terlebih pula karena kedua instansi tersebut memiliki hubungan kerjasama secara formal. Perry dan Potter (2005) mengatakan Standar Operasional Prosedur merupakan tatacara atau tahapan yang dibakukan dan harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu. Berdasarkan teori tersebut, pelaksanaan suatu tugas diperlukan gambaran langkahlangkah kerja (sistem, mekanisme dan tata kerja internal)

yang tentunya memuat tentang proses dan prosedur suatu kegiatan yang bersifat efektif dan efisien berdasarkan suatu standar yang sudah baku untuk mencapai tujuan. Dengan adanya SOP diharapkan pekerjaan dapat terlaksana dengan baik, tepat waktu dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebaliknya, jika tata laksana rumah sakit tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, akan mengakibatkan kerugian yang besar pada pasien, pengunjung, bahkan pihak rumah sakit. Atas persetujuan dari Kepala Bidang Keperawatan RSUD Umbu Rara Meha Waingapu peneliti menggunakan SOP Prodi Keperawatan Waingapu sebagai lembar observasi dalam melakukan penelitian. Hal ini menjadi salah satu faktor sehingga gambaran pelaksanaan perawatan luka pada pasien post apendiktomi sebagian besar masuk dalam kriteria cukup. Jadi menurut peneliti, RSUD Umbu Rara Meha Waingapu perlu meninjau kembali SOP yang digunakan khususnya SOP perawatan luka pasien post apendiktomi dan menyesuaikan dengan SOP Standar Propinsi serta perlu juga mengadakan pelatihan untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan tindakan keperawatan tersebut.

Disamping itu hal ini dipengaruhi juga oleh fasilitas penunjang yang kurang memadai. Kelengkapan fasilitas dalam suatu instansi sangat mendukung berjalannya intansi tersebut. Menurut Depkes RI (2001) bahwa untuk dapat terlaksananya pelayanan yang sesuai dengan standar tentunya harus didukung dengan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan yang memadai dari Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada. Disamping itu pula ditunjang dengan fasilitas dan sarana rumah sakit yang memadai sehingga pelayanan menjadi berkualitas dan berdampak besar terhadap citra pelayanan rumah sakit yang pada akhirnya dapat memuaskan masyarakat. Fasilitas alat perawatan luka apendiktomi di RSUD Umbu Rara Meha Waingapu khususnya di ruang Bogenvile yang terbatas, misalnya satu set alat untuk beberapa pasien, dapat dipastikan segi aseptiknya dilanggar, ketersediaan bengkok masih terbatas (1 unit), ketersediaan handscoon steril di ruangan yang masih terbatas (sering kehabisan stok), sehingga dalam melakukan perawatan luka perawat sering kali hanya menggunakan handsoon bersih dan oleh karena keterbatasan set steril perawat melakukan perawatan luka secara bergantian tanpa melakukan sterilisasi ulang.

Hal lain yang menjadi faktor penyebab gambaran pelaksanaan perawatan luka pada pasien post apendiktomi di ruang bogenvile RSUD Umbu Rara Meha Waingapu belum dapat dikategorikan baik yaitu karena tingkat pengetahuan responden yang masih kurang. Menurut Notoatmodjo (2003), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu tingkat pendidikan, pengalaman diri sendiri maupun orang lain, lingkungan dan media masa. Berdasarkan teori tersebut, jelas bahwa tingkat pendidikan seseorang merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap pengetahuan yang dimilikinya. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa kebanyakan dari responden adalah lulusan SPK/C yaitu 50%. Menurut Azwar S, (2000) pengetahuan dapat menumbuhkan sikap positif tentang sesuatu sehingga dapat melahirkan minat dan kesadaran seseorang untuk melakukan sesuatu (mengubah perilaku). Kurangnya pengetahuan responden hal ini dikarenakan dalam melaksanakan perawatan luka pada pasien post apendiktomi ada beberapa tindakan keperawatan yang sebenarnya dapat dimodifikasi oleh responden apabila terbatasnya fasilitas di ruang bogenvile. Sebagai contoh,

karena keterbatasan bengkok, ketika melakukan perawatan luka apendiktomi sering kali responden harus menunggu yang sebenarnya masih dapat dimodifikasi, seperti dapat digantikan dengan plabot infus bekas, kesadaran akan pentingnya mencuci tangan sebelum melakukan tindakan perawatan luka oleh responden masih sangat minim sehingga sebagian besar tidak melakukan tindakan cuci tangan sebelum melakukan tindakan bahkan setelah tindakan perawatan luka pada satu pasien apendiktomi tidak lagi mencuci tangan tetapi langsung melakukan perawatan luka selanjutnya. Kurangnya kesadaran responden akan pentingnya perawatan luka apendiktomi yang sesuai standar telah berlangsung lama, sehingga sulit untuk mengubah perilaku seperti itu dalam waktu singkat. Hal ini pula yang mengakibatkan gambaran pelaksanaan perawatan luka pada pasien post apendiktomi masuk dalam kriteria yang cukup. Niat dari diri sendiri, bukti ilmiah, proses belajar mengajar dan fasilitas yang memadai diharapkan mampu memperbaikinya. Hal tersebut juga sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurkusuma (2009) yaitu tentang faktor yang berpengaruh terhadap kejadian Meticillin-Resistant

Staphylococcus aureus (MRSA) pada kasus infeksi luka pasca operasi, dimana hasil dari penelitiannya mengatakan bahwa 17 prosedur tidak memakai sarung tangan, 10 prosedur di antaranya disertai keadaan sarung tangan steril di ruangan tidak tersedia. Teknik ganti balut yang tidak standar sebanyak 25 prosedur, 10 prosedur di antaranya disertai dengan kondisi petugas yang tergesa-gesa. Selain keterbatasan fasilitas rumah sakit, didapatkan pula data tingkat kesadaran yang rendah dan ketidaktahuan tentang prosedur ganti balut yang standar. Petugas yang tidak mencuci tangannya disebabkan karena kurangnya kesadaran akan arti pentingnya cuci tangan (80%), namun dapat juga karena handscrub alcohol habis (20%). Hasil penelitian Mukhadiono (2011) dalam Jurnal Keperawatan Soedirman, volume 6 No.1 tentang pengaruh prosedur dan fasilitas pelayanan terhadap kualitas pelayanan peserta program JAMKESMAS di puskesmas 1 Cilongok, yakni berdasarkan hasil analisis korelasi majemuk dapat diketahui bahwa koefesien korelasi (R) antara prosedur pelayanan dan fasilitas pelayanan dengan kualitas pelayanan menunjukkan angka sebesar 0,740. Jadi ada korelasi positif sebesar 0,740 antara prosedur pelayanan dan fasilitas pelayanan dengan kualitas pelayanan. Hal

demikian berarti, semakin baik prosedur pelayanan dan fasilitas pelayanan maka akan semakin baik pula kualitas pelayanan. Ratminto dan Winarsih (2005) menyatakan bahwa Pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Kep MENPAN) Nomor 63 Tahun 2003, dan disempurnakan melalui Kep MENPAN NOMOR 63 Tahun 2004, memberikan ukuran kualitas pelayanan bagi organisasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ukuran ini merupakan hal wajib yang harus dipenuhi oleh organisasi publik dalam pelaksanaan pelayanannya. Ukuran kualitas pelayanan adalah 1) Prosedur pelayanan, 2) Waktu penyelesaian, 3) Biaya Pelayanan, 4) Produk pelayanan, 5) Sarana dan prasarana, 6) Kompetensi petugas pemberi pelayanan. Dengan demikian jelas bahwa prosedur pelayanan merupakan salah satu ukuran penting dalam menentukan kualitas pelayanan. Pengaruh fasilitas pelayanan terhadap kualitas pelayanan perawatan luka apendiktomi sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Moenir (2001) mengenai fungsi-fungsi dari fasilitas kerja. Dikatakan oleh Moenir bahwa fungsi-fungsi dari fasilitas kerja adalah : 1) Mempercepat proses pelaksanaan pekerjaan,

2) Meningkatkan produktivitas, baik barang atau jasa; 3) Kualitas produk yang lebih baik/terjamin; 4) Ketepatan susunan dan stabilitas ukuran terjamin; 5) Lebih mudah/sederhana dalam gerak para pelakunya; 6) Menimbulkan rasa kenyamanan bagi orang-orang yang berkepentingan; 7) Menimbulkan rasa puas pada orang-orang yang berkepentingan sehingga dapat mengurangi sifat emosional mereka. Jadi jelas bahwa fasilitas pelayanan sangat penting artinya dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas. Fasilitas pelayanan yang lengkap dan memadai merupakan kondisi yang harus diwujudkan agar pelayanan yang disajikan mampu mencapai kualitas yang tinggi. Sebaliknya, dengan keterbatasan fasilitas pelayanan maka proses pelayanan akan sulit dilakukan secara optimal sehingga akan sulit pula diharapkan terwujud kualitas pelayanan yang tinggi. Keselamatan pasien (patient safety) dalam hal ini tindakan perawatan luka post apendiktomi adalah suatu sitem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem ini perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya cedera pada pasien yang disebabkan oleh

kesalahan tindakan yang dilakukan oleh perawat terkait dengan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien (KKP-RS, 2005). Peninjauan kembali terhadap SOP yang digunakan secara periodik dan selalu mengevaluasi setiap tindakan perawatan luka post apendiktomi merupakan salah satu bentuk cara untuk mengimplementasikan standar keselamatan pasien.