BAB I PENDAHULUAN. daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH PADA BADAN USAHA MILIK DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Salah satu upaya untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang baik

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH PADA BADAN USAHA MILIK DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. daerah dilaksanakan melalui berbagai arah kebijakan, utamanya adalah: berbagai lembaga ekonomi dan masyarkat di daerah;

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 3 TAHUN 2012

BAB II KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. II.1.1 Pengertian Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah tentang Otonomi Daerah, yang dimulai dilaksanakan secara efektif

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya desentralisasi fiskal. Penelitian Adi (2006) kebijakan terkait yang

BUPATI TIMOR TENGAH UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB II KINERJA SEKTOR PUBLIK. hendak dicapai. Tujuan tiap-tiap organisasi sangat bervariasi tergantung pada

RARANCANGAN) (Disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH PADA PIHAK KETIGA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 06 TAHUN 2007 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH DAERAH KOTA PALU PADA PT. BANK SULTENG

1 UNIVERSITAS INDONESIA

daerah, maka Pemerintah Daerah mengadakan penyertaan modal pada

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

WALIKOTA TIDORE KEPULAUAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH,

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN BARAT,

NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH PADA PT. JAMKRIDA NTB BERSAING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

yang namanya Otonomi Daerah. Otonomi daerah di Indonesia sangat memegang peranan penting dalam

PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN USAHA MILIK DAERAH (BUMD) PERSEROAN TERBATAS (PT) LAMPUNG JASA UTAMA

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN PERUSAHAAN DAERAH BATANG HARI MITRA HUTAN LESTARI

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG

WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU

LEMBARAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN BARAT,

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BUPATI TIMOR TENGAH UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

WALIKOTA BANDAR LAMPUNG PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2015

WALIKOTA PALANGKA RAYA

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREO PADA BADAN USAHA MILIK DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi sektor publik merupakan suatu entitas yang aktivitasnya

PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 12 TAHUN 2015

PROFIL KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL

BUPATI PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0076

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

BUPATI PULANG PISAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PULANG PISAU NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTAENG TAHUN 2015 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTAENG NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH DAERAH KOTA PALU PADA PT. PUSAKA JAYA PALU POWER (PJPP)

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PENAMBAHAN PENYERTAAN MODAL DAERAH KEPADA PT. BANK PEMBANGUNAN DAERAH BALI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN TAHUN 2008 NOMOR 8

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dari segala bidang. Pembangunan tersebut bertujuan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG

Bab I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam pelaksanaan urusan ini membutuhkan banyak. sumber daya dan kemampuan, diantaranya diperlukan kemampuan

I. PENDAHULUAN. Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH KEPADA BADAN USAHA MILIK DAERAH TAHUN ANGGARAN

WALIKOTA PEMATANGSIANTAR PROVINSI SUMATERA UTARA

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH DAERAH KOTA PALU PADA PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM (PDAM)

PENDAHULUAN. yang sangat besar, terlebih lagi untuk memulihkan keadaan seperti semula. Sesuai

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DOMPU NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DOMPU,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENYERTAAN MODAL KEPADA BUMD PT PERDANA MULTIGUNA SARANA BANDUNG BARAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS TAHUN 2013 NOMOR 5

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAIRI NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG PENAMBAHAN PENYERTAAN MODAL DAERAH PADA PT. BANK SUMUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA BATU

PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG,

LEMBARAN DAERAH KOTA PEKALONGAN TAHUN 2011 NOMOR 2

BAB I PENDAHULUAN. adanya akuntabilitas dari para pemangku kekuasaan. Para pemangku. penunjang demi terwujudnya pembangunan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi pemerintah merupakan salah satu bentuk organisasi non

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era otonomi daerah telah diberikan kewenangan lebih besar pada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, sehingga daerah menjadi lebih mandiri. Akan tetapi dalam rangka desentralisasi pemerintah pusat tidak begitu saja melepaskan tanggungjawabnya kepada pemerintah daerah untuk membiayai urusan pemerintahannya. Hal ini mengingat dana yang diberikan dalam beberapa bentuk, seperti dana perimbangan, dana otonomi khusus maupun dana penyesuaian ternyata belum cukup untuk menutupi kebutuhan belanja daerah. Oleh karenanya pemerintah daerah dituntut mempunyai kemampuan untuk mencukupi kebutuhan belanja daerah tersebut yaitu dengan cara mengoptimalkan penerimaan pendapatan asli daerah (PAD). Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan unit usaha milik pemerintah yang bertujuan untuk mengoptimalisasi potensi ekonomi di daerah dalam upaya menggali dan mengembangkan sumberdaya daerah, memberikan pelayanan masyarakat atau publik services serta mencari keuntungan atau profit motif. Alasan strategis mendirikan BUMD adalah mendirikan lembaga usaha yang melayani kepentingan publik, namun masyarakat atau swasta tidak mampu atau belum mampu melakukannya, baik karena investasi sangat besar, risiko usaha yang sangat besar maupun karena eksternalitasnya sangat besar dan luas. Alasan budget merupakan alasan bagi pemerintah bahwa daerah perlu mempunyai sumber 1

pendapatan diluar pajak, retribusi dan alokasi dana dari pemerintah pusat untuk mendukung anggaran belanja dan pembangunan daerah. Dalam mengantisipasi pasar bebas dan menghadapi derasnya arus globalisasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dituntut untuk selalu berorientasi pada pemikiran dan perilaku bisnis kewirausahaan serta dituntut untuk selalu berlaku efisien efektif, produktif dan antisipatif. BUMD juga dituntut mampu bersaing untuk memenangkan persaingan yang semakin ketat sekaligus membangun keunggulan komparatif. Sebagai alat otonomi daerah BUMD harus dapat berperan dalam mendorong perekonomian daerah (agent of development), BUMD juga diharuskan memiliki kedudukan yang strategis dalam sistem dan struktur perekonomian daerah dan dapat berperan sebagaimana mestinya tanpa meninggalkan fungsi sosialnya. Peranan BUMD dalam sistem perekonomian daerah diharapkan dapat berperan tidak hanya sebagai penyeimbang kekuatan pasar, melainkan juga diharapkan mampu memberikan sumbangan dalam meningkatkan pendapatan melalui penyetoran laba BUMD. BUMD sebagai sumber pendapatan daerah secara legal formal diakui dalam peraturan perundang-undangan, sehingga muncul rekening bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah (BUMD) yang terdapat pada lampiran A.IV Permendagri Nomor 13/2006. Namun hal ini juga bermakna bahwa jika BUMD tidak memperoleh laba, maka pemerintah daerah juga tidak akan memperoleh PAD dari BUMD tersebut. Dengan demikian, besaran PAD yang diperoleh pemerintah daerah dari BUMD tergantung pada besaran laba yang diperoleh BUMD Dengan demikian pembentukan BUMD mempunyai nilai strategis dengan maksud dan tujuan : 2

1. Sebagai unit perekonomian daerah yang berfungsi mengisi otonomi daerah secara nyata dan bertanggung jawab. Perusahaan Daerah/BUMD harus dapat membantu kelancaran perkembangan dan pembangunan daerah. 2. Sebagai unit perekonomian daerah harus mampu berfungsi sebagai aparat pengembangan dan pembangunan ekonomi daerah yang secara aktif dan langsung melakukan usaha-usaha diberbagai sektor industri, jasa, perdagangan tanpa mengenyampingkan penyelenggarakan usaha pelayanan bagi masyarakat dan kemanfaatan umum yang sekaligus sebagai penyedia lapangan kerja. 3. Sebagai sumber keuangan daerah guna meningkatkan kemampuan dan kekuatan daerah dalam menyelenggarakan pelayanan umum. Dari sini dapat diketahui bahwa misi BUMD adalah menjadi agent of development yang multi fungsi : perintis pelayanan publik, membuka lapangan kerja, hingga mencari laba untuk mengisi kas daerah. Berdasarkan dinamika hasil rapat internal panitia khusus pembahasan raperda tentang perusahaan daerah pengelolaan properti di DPRD Kota Yogyakarta pada tanggal 2 Desember 2010 telah menyetujui ditetapkannya rancangan peraturan daerah kota Yogyakarta tentang Perusahaan Daerah Pengelolaan Properti atau pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dengan adanya Peraturan daerah tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tersebut, maka selanjutnya pihak eksekutif dalam hal ini Pemerintah Kota Yogyakarta mengajukan rancangan peraturan daerah mengenai penyertaan modal pada BUMD. Kemudian pihak eksekutif bersama dengan pihak legislatif melakukan proses pembahasan atas rancangan peraturan daerah tentang penyertaan modal tersebut. Selanjutnya apabila telah disepakati bersama maka dilakukan legislasi atas rancangan peraturan 3

daerah penyertaan modal pada BUMD kota Yogyakarta yang bernama PD. Jogjatama Vishesha. Penyertaan modal pemerintah merupakan pengalihan kepemilikan aset milik negara yang semula merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham negara atau daerah pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan hukum lainnya, sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006. Mengacu pada peraturan pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang standar akuntansi pemerintah dijelaskan lingkup penyertaan modal pemerintah tidak hanya penyertaan modal dalam bentuk aset fisik, melainkan juga dalam bentuk aset finansial, yaitu dapat berupa surat berharga (saham) pada suatu perseroan terbatas dan non surat berharga. Sampai dengan tahun 2012, jumlah investasi daerah (penyertaan modal) Pemerintah Kota Yogyakarta pada investasi permanen dengan rincian di tabel 1.1, sebagai berikut : Tabel 1.1 Penyertaan Modal Pemerintah Kota Yogyakarta Sampai Dengan Tahun 2012 Penyertaan Modal pada : Jumlah Penyertaan Modal 1. Bank BPD DIY Rp 29.246.000.000,00 2. PD. BPR Bank Jogja Rp 25.000.000.000,55 3. PDAM Tirta Marta Rp 15.499.156.979,38 4. BUKP Rp 411.000.000,00 5. PT. Swara Adhiloka Rp 690.000.000,00 6. PD. Jogjatama Vishesha Rp 115.168.720.000,00 Jumlah penyertaan Rp 186.014.876.979,93 Sumber : DPDPK Kota Yogyakarta, diolah 4

Laba dari penyertaan modal pemerintah daerah merupakan salah satu komponen PAD selama ini keberadaannya belum mampu menjadi tulang punggung sumber penerimaan daerah. Ketidakefektifan Badan Usaha BUMD tercermin pada kecilnya laba bersih yang dihasilkan. Secara Agregat penerimaan laba BUMD kota Yogyakarta memberi kontribusi laba dari total PAD mulai tahun 2008 adalah 6,38%, pada 2009 (6,33 %), pada 2010 (6,15 %), pada 2011 (4,42%) dan pada 2012 sebesar 3,39 %. Sementara pajak daerah masih merupakan komponen penyumbang terbesar PAD yakni berkisar antara 47,16 persen sampai dengan 61,48 persen, kemudian berturut-turut diikuti retribusi daerah dan penerimaan lain-lain. Masih relatif kecilnya bagian laba dari BUMD terhadap penerimaan PAD, mengindikasikan masih sarat dengan berbagai persoalan. Sementara besar kecilnya alokasi dana pembangunan di daerah sangat tergantung pada besar kecilnya jumlah penerimaan daerah. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka dapat diproyeksikan andil Badan BUMD dalam menunjang pembangunan daerah cenderung semakin kecil, bahkan tidak mustahil keberadaan perusahaan daerah akan tergulung oleh perusahaan-perusahaan swasta yang lebih competitive advantage. Tesis ini terutama akan membahas bagaimana pemerintah daerah bersama dengan DPRD dalam proses perumusan kebijakan penyertaan modal yang akan dilakukan pada BUMD Perusahaan Daerah Jogjatama Vishesha. Penyertaan modal tersebut berupa uang dan berupa aset tetap beserta kelengkapannya. Untuk aset dan kelengkapannya dilakukan atau didahului dengan penghapusan atau pemisahan aset dari inventaris/kepemilikan pemerintah kota Yogyakarta karena semua penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas daerah yang dikelola oleh Bendahara 5

Umum Daerah. Penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah diatur lebih lanjut dengan peraturan daerah yang berpedoman pada peraturan pemerintah. Penyertaan modal pada BUMD merupakan bagian dari investasi jangka panjang daerah yang jumlah akumulatifnya disajikan dalam neraca pada sisi aset. Dalam penganggarannya, penyertaan modal atau investasi tersebut tidak diakui sebagai belanja, namun dimasukkan sebagai pengeluaran pembiayaan. Hasil yang diterima dari investasi yang telah dilakukan dikategorikan sebagai PAD yang berasal dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 1 tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah mengamanatkan bahwa investasi pemerintah perlu dilakukan dengan proses manajerial yang baik, sehingga memberikan manfaat ekonomi, sosial dan manfaat lainnya. Sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44, Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas disebutkan dana untuk melakukan investasi harus dipisahkan dari APBD. Hal tersebut berarti aktivitas investasi akan menyebabkan terjadinya pengurangan porsi dana untuk aktivitas belanja (konsumsi) yang dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat sehingga harus dikelola secara efektif, efisien dan ekonomis, serta tidak melanggar ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Berdasarkan data Badan Kerjasama BUMD seluruh Indonesia (BKBUMDSI) hingga tahun 2009 jumlah BUMD mencapai 1.174 yang terdiri dari sektor perbankan, rumahsakit daerah, PDAM, pasar, properti, logistik dan sebagainya. Seiring dengan semangat otonomi tersebut kemudian bermunculan BUMD-BUMD 6

baru. Namun dalam kenyataannya tidak sedikit dari BUMD yang didirikan itu hanya sekedar pajangan karena belum memiliki core busines yang jelas. Hal ini mengingat banyak diantara BUMD sudah berdiri, namun belum ada kegiatannya, karena merupakan bagian dari struktur birokrasi pemerintah daerah yang kebanyakan pegawai tidak memiliki pengalaman dan wawasan entrepreneurship. Ditambah lagi banyak diantara BUMD tersebut tidak memiliki otonomi manajemen, sehingga sulit untuk mendapatkan fasilitas dari lembaga penunjang, seperti pinjaman bank, karena kreditur sulit menetapkan siapa yang bertanggungjawab atas kolateral yang diminta (www.businessreview.co.id, 15/12/2009). Dari beberapa penelitian yang dilakukan, antara lain oleh Robert (2000) dalam Tae (2009) di PD Pasar Jaya Propinsi DKI. Jakarta menunjukkan bahwa perkembangan tingkat kesehatan perusahaan daerah ibukota Jakarta tersebut mengalami fluktuasi. Pada tahun 1997 tidak ada perkembangan yang dicapai hanya 5,88 persen dan pada tahun 1999 turun sebesar 14,81 persen. Selanjutnya pada tahun 2000 meningkat 6,52 persen. Perkembangan kesehatan PD. Pasar Jaya tersebut dari tahun 1996-2000 menunjukkan trend yang menurun. Penelitian yang dilakukan Tae (2009) pada PD. Flobamor di propinsi Nusa Tenggara Timur menunjukkan hasil rekapitulasi perhitungan antara pendapatan usaha dan biaya operasional perusahaan diketahui bahwa perusahaan tersebut mengalami kerugian selama 3 tahun berturut-turut. Pada tahun tahun 2003 kerugian yang dialami sebesar Rp 209.105.253 (-247 persen), tahun 2004 sebesar Rp 161.005.932 (-113 persen), dan tahun 2006 dengan jumlah kerugian sebesar Rp 1.154.969.738 (-190). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PD. Flobamor 7

belum dikelola dengan baik dan perlu pembenahan internal manajemen perusahaan. Penyertaan modal/investasi di BUMD sudah sering menjadi perdebatan politik di parlemen daerah (DPRD). Pihak legislatif mengetahui bahwa BUMD adalah milik daerah dan sering terjadi penggelontoran dana APBD yang dianggap sebagai pemborosan. Hal ini mengingat manajemen BUMD umumnya tidak bekerja secara profesional, sehingga tidak menguntungkan secara finansial. Seperti diketahui BUMD merupakan perusahaan/bisnis yang tidak menimbulkan kewajiban bagi Pemda untuk mendanai dari APBD (bersifat diskresional) dan dipandang sebagai unit yang hanya menghasilkan dana non-budgeter atau dana taktis bagi kepala daerah. (http://syukriy.wordpress.com,26/01/2010). Pengelolaan atas kekayaan daerah yang dipisahkan menjadi sangat penting ketika pemerintah daerah berusaha meningkatkan pendapatannya untuk membiayai pelayanan publik yang outcomes-nya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Namun dalam kenyataannya hasil yang diperoleh dari aset yang dipisahkan ini sering sangat kecil, sehingga investasi yang dilakukan secara terus menerus justru hanya seperti sunk costs yang terus membebani APBD dan tidak memberikan kontribusi terhadap peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Dari fakta-fakta empiris tentang BUMD diatas menunjukkan lemahnya kinerja BUMD yang pada akhirnya tidak dapat memberikan kontribusi terhadap PAD. Hal yang terjadi pada Pemerintah Kota Yogyakarta setelah berdirinya BUMD PD Jogjatama Vishesha pada tahun 2010 dan baru ditahun 2012 diambil keputusan untuk dilakukannya penyertaan modal. Dengan lambatnya proses pengambilan keputusan untuk penyertaan modal tersebut menyebabkan hilangnya peluang yang bisa diperoleh. Selain itu juga pemda harus menanggung beban 8

pemeliharaan selama menunggu hasil keputusan penyertaan modal. Dengan tidak beroperasinya XT Square untuk biaya pemeliharaan dalam enam bulan mencapai 100 juta lebih (www.harianjogja.com, 08/06/2012) Berdasarkan informasi salah seorang dari Bagian Perekonomian Pengembangan Pendapatan Asli Daerah dan Kerjasama, pendapatan bersih yang bisa diperoleh dari operasional pengelolaan XT Square yang dikelola oleh PD Jogjatama Vishesha seandainya bisa segera dioperasikan sampai dengan tahun 2012 adalah sebesar Rp 4.060.135.264,01. Memperhatikan fenomena tersebut kiranya sangat relevan untuk mengkaji lebih jauh berbagai upaya-upaya yang ditempuh pemerintah kota Yogyakarta dalam pengambilan keputusan penganggaran penyertaan modal ditahun 2012 pada Perusahaan Daerah (PD) Jogjatama Vishesha. Hal ini mengingat lambatnya proses pengambilan keputusan penyertaan modal yang dibutuhkan untuk operasional Perusahaan Daerah (PD) Jogjatama Vishesha dimana belum pernah dilakukan penelitian tentang hal tersebut. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang diuraikan diatas maka permasalahan yang dibahas di dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah proses pembahasan bersama antara pemerintah daerah dengan DPRD dalam rangka perumusan kebijakan penyertaan modal Pemerintah Kota Yogyakarta pada PD. Jogjatama Vishesha tahun 2012 dalam? 2. Faktor-faktor apasajakah yang mempengaruhi proses perumusan kebijakan penyertaan modal tersebut? 9

1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui proses yang terjadi dalam perumusan kebijakan penyertaan modal Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta pada PD. Jogjatama Vishesha tahun 2012. 2. Diharapkan dari penelitian ini dapat menjelaskan faktor- faktor yang mempengaruhi lambatnya proses perumusan kebijakan penyertaan modal tersebut 1.4. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Dari segi akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan masukan secara ilmiah dan sistematis bagi pengembangan ilmu administrasi khususnya bagi ilmu Administrasi Publik 2. Sebagai sarana di dalam menambah pengetahuan dan referensi bagi penulis berkaitan dengan investasi dalam penyertaan modal Pemerintah Daerah pada BUMD 3. Sebagai referensi bagi peneliti lain di dalam melakukan penelitian sejenis. 10