utang atau mengambil sebagian manfaat barang tersebut. Secara etimologis rahn Syari at Islam memerintahkan umatnya supaya tolong-menolong yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENAHANAN SAWAH SEBAGAI JAMINAN PADA HUTANG PIUTANG DI DESA KEBALAN PELANG KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP MEKANISME PEMBIAYAAN EMAS DENGAN AKAD RAHN DI BNI SYARIAH BUKIT DARMO BOULEVARD CABANG SURABAYA

BAB IV PEMANFAATAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT DESA SANDINGROWO DILIHAT DARI PENDAPAT FATWA MUI DAN KITAB FATH}UL MU I<N

BAB VI ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI GADAI SAWAH DI DESA MORBATOH KECAMATAN BANYUATES KABUPATEN SAMPANG

BAB II MEKANISME GADAI SYARIAH (RAHN) harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISA DATA A. Praktek Gadai Sawah di Kelurahan Ujung Gunung Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang

Elis Mediawati, S.Pd.,S.E.,M.Si.

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN, PERBEDAAN, DAN AKIBAT HUKUM ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA DALAM MENGATUR OBJEK JAMINAN GADAI

Rahn - Lanjutan. Landasan Hukum Al Qur an. Al Hadits

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP GADAI KTP SEBAGAI JAMINAN HUTANG

BAB I PENDAHULUAN. Melakukan kegiatan ekonomi dan bermuamalah merupakan tabi at. manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam melakukan kegiatan

BAB II LANDASAN TEORITIS. " artinya menggadaikan atau merungguhkan. 1 Gadai juga diartikan

Prosiding Keuangan dan Perbankan Syariah ISSN:

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN AKAD QARD\\} AL-H\}ASAN BI AN-NAZ AR DI BMT UGT SIDOGIRI CABANG WARU SIDOARJO

BAB I PENDAHULUAN. yang membentuk pandangan hidup manusia. Islam hadir dalam bentuk

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN GADAI SAWAH DIDESA UNDAAN LOR KECAMATAN KARANGANYAR KABUPATEN DEMAK

BAB II GAMBARAN UMUM GADAI EMAS (AR-RAHN) DALAM FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL-MAJLIS UALAMA INDONESI (DSN-MUI) TENTANG RAHN DAN RAHN EMAS

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI SAWAH BERJANGKA WAKTU DI DESA SUKOMALO KECAMATAN KEDUNGPRING KABUPATEN LAMONGAN

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN BAGI HASIL DALAM PEMBIAYAAN MUSHA>RAKAH DI BMT AN-NUR REWWIN WARU SIDOARJO

BAB IV ANALISIS FATWA DSN-MUI NOMOR 25/III/2002 TERHADAP PENETAPAN UJRAH DALAM AKAD RAHN DI BMT UGT SIDOGIRI CABANG WARU SIDOARJO

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP IMPLEMENTASI IJĀRAH JASA SIMPAN DI PEGADAIAN SYARIAH CABANG BLAURAN SURABAYA

Rahn /Gadai Akad penyerahan barang / harta (marhun) dari nasabah (rahin) kepada bank (murtahin) sebagai jaminan sebagian atau seluruh hutang

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM PINJAM MEMINJAM UANG DENGAN BERAS DI DESA SAMBONG GEDE MERAK URAK TUBAN

BAB IV. A. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek Utang Piutang Dengan Jaminan. bab sebelumnya, bahwa praktek utang piutang dengan jaminan barang

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN SEWA MENYEWA POHON UNTUK MAKANAN TERNAK

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP OPERASIONALISASI DANA DEPOSITO DI BNI SYARI AH CAB. SURABAYA

murtahin dan melibatkan beberapa orang selaku saksi. Alasan

BAB IV PRAKTIK UTANG-PIUTANG DI ACARA REMUH DI DESA KOMBANGAN KEC. GEGER BANGKALAN DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. ingin tahu, Man is corious animal. Dengan keistimewaan ini, manusia dengan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP UTANG PIUTANG SISTEM IJO (NGIJO) DI DESA SEBAYI KECAMATAN GEMARANG KABUPATEN MADIUN

BAB II GADAI DALAM HUKUM ISLAM. etimologi mengandung pengertian menggadaikan, merungguhkan. 1

BAB IV ANALISIS PENERAPAN BIAYA IJARAH DI PEGADAIAN SYARIAH SIDOKARE SIDOARJO MENURUT PRINSIP NILAI EKONOMI ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. melalui Rasulullah saw yang bersifat Rahmatan lil alamin dan berlaku

BAB IV ANALISIS SADD AH TERHADAP JUAL BELI KREDIT BAJU PADA PEDAGANG PERORANGAN DI DESA PATOMAN ROGOJAMPI BANYUWANGI

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP IMPLEMENTASI HUTANG PUPUK DENGAN GABAH DI DESA PUCUK KECAMATAN DAWARBLANDONG KABUPATEN MOJOKERTO

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP HAK KHIYA>R PADA JUAL BELI PONSEL BERSEGEL DI COUNTER MASTER CELL DRIYOREJO GRESIK

BAB IV. Sejalan dengan tujuan dari berdirinya Pegadaian Syariah yang berkomitmen

BAB IV ANALISIS PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP APLIKASI QARD} BERAGUN EMAS DI BANK BRI SYARIAH KANTOR CABANG (KC) SIDOARJO

dibanding penelitian yang disebutkan diatas, dan juga di luar Bank Umum Syariah

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP UTANG PIUTANG HEWAN TERNAK SEBAGAI MODAL PENGELOLA SAWAH DI DESA RAGANG

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA. wawancara kepada para responden dan informan, maka diperoleh 4 (empat) kasus

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI QARD} UNTUK USAHA TAMBAK IKAN DI DESA SEGORO TAMBAK KECAMATAN SEDATI KABUPATEN SIDOARJO

A. Analisis Tentang Tata Cara Akad Manusia tidak bisa tidak harus terkait dengan persoalan akad

BAB IV ANALISIS LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK MURA>BAH}AH PROGRAM PEMBIAYAAN USAHA SYARIAH (PUSYAR) (UMKM) dan Industri Kecil Menengah (IKM)

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH DENGAN SISTEM KELOMPOK DI BMT KUBE SEJAHTERA KRIAN SIDOARJO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Nadhifatul Kholifah, Topowijono & Devi Farah Azizah (2013) Bank BNI Syariah. Hasil Penelitian dari penelitian ini, yaitu:

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA TERHADAP PENGALIHAN BARANG GADAI KEPADA PIHAK KETIGA DI DESA KLOPOSEPULUH KABUPATEN SIDOARJO

RAHN, DAN KETENTUAN FATWA DEWAN SYARIAH

BAB IV PENERAPAN AKTA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN AL QARDH. A. Analisis Penerapan Akta Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan Al

BAB IV ANALISIS DUA AKAD (MURA>BAH}AH DAN RAHN) DALAM PEMBIAYAAN MULIA (MURA>BAH}AH EMAS LOGAM MULIA UNTUK INVESTASI ABADI) MENURUT HUKUM ISLAM

BAB III STUDI PUSTAKA. Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JAMINAN HUTANG BERUPA AKTA KELAHIRAN ANAK DI DESA WARUREJO KECAMATAN BALEREJO KABUPATEN MADIUN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI PELAKSANAAN UTANG PIUTANG BENIH PADI DENGAN SISTEM BAYAR GABAH DI

BAB II GADAI DALAM HUKUM ISLAM. A. Pengertian Gadai Dalam fiqih muamalah, perjanjian gadai disebut rahn. Istilah rahn

BAB IV ANALISIS TERHADAP JUAL BELI IKAN BANDENG DENGAN PEMBERIAN JATUH TEMPO DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENUKARAN UANG DENGAN JUMLAH YANG TIDAK SAMA JIKA DIKAITKAN DENGAN PEMAHAMAN PARA PELAKU

TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENGUASAAN BARANG GADAI OLEH RAHIN (STUDY KASUS DI DESA KUMESU KEC. REBAN KAB. BATANG) SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Islam adalah agama yang amat damai dan sempurna telah diketahui dan dijamin

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan Umum (Perum). Perusahaan tersebut milik pemerintah (BUMN), berada

BAB I PENDAHULUAN. satu sama lain agar mereka tolong-menolong dalam semua kepentingan hidup

BAB III LANDASAN TEORI. tersebut. Motif berasal dari bahasa latin movere yang berarti bergerak atau to

Bagi YANG BERHUTANG. Publication: 1434 H_2013 M. Download > 600 ebook Islam di PETUNJUK RASULULLAH

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTIK PEMANFAATAN BARANG TITIPAN. A. Analisis Praktik Pemanfaatan Barang Titipan di Kelurahan Kapasari

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PENGULANGAN PEKERJAAN BORONGAN PEMBUATAN TAS DI DESA KRIKILAN KECAMATAN DRIYOREJO KECAMATAN GRESIK

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PEMBIAYAAN MURA<BAH{AH DI BMT MADANI TAMAN SEPANJANG SIDOARJO

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KLAIM ASURANSI DALAM AKAD WAKALAH BIL UJRAH

MUD{A<RABAH DALAM FRANCHISE SISTEM SYARIAH PADA KANTOR

BAB IV ANALISA HUKUM ISLAM TERHADAP SIMPAN PINJAM BERGULIR PADA P2KP (PROYEK PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PERKOTAAN)

waka>lah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunnahkannya dengan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PENGEMBALIAN SISA PEMBAYARAN DI KOBER MIE SETAN SEMOLOWARU

Pembiayaan Multi Jasa

murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik. Dari

BAB II PEMBIAYAAN AR-RAHN

BAB I PENDAHULUAN. berupa uang atau barang yang akan dibayarkan diwaktu lain sesuai dengan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP UTANG PIUTANG DALAM BENTUK UANG DAN PUPUK DI DESA BRUMBUN KECAMATAN WUNGU KABUPATEN MADIUN

BAB IV. A. Tinjauan terhadap Sewa Jasa Penyiaran Televisi dengan TV Kabel di Desa Sedayulawas

BAB IV. A. Analisis Hukum Islam terhadap Pasal 18 Ayat 2 Undang-Undang. memberikan pelayanan terhadap konsumen yang merasa dirugikan, maka dalam

BAB IV. A. Analisis terhadap Sistem Bagi Hasil Pengelolaan Ladang Pesanggem Antara

BAB III PERBANDINGAN HUKUM JAMINAN FIDUSIA MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 DENGAN HUKUM RAHN TASJÎLÎ

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM JUAL BELI IKAN DENGAN PERANTAR PIHAK KEDUA DI DESA DINOYO KECAMATAN DEKET KABUPATEN LAMONGAN

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan. Narasumber: DR. Ahmad Lutfi Fathullah, MA Video kajian materi ini dapat dilihat di

BAB I PENDAHULUAN. Para ahli hukum Islam memberikan pengertian harta ( al-maal ) adalah. disimpan lama dan dapat dipergunakan waktu diperlukan.

Pada hakikatnya pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Bank. pemenuhan kebutuhan akan rumah yang disediakan oleh Bank Muamalat

BAB 1 PENDAHULUAN. mengatur hubungan manusia dan pencipta (hablu min allah) dan hubungan

adalah suatu transaksi yang sering terjadi saat masyarakat membutuhkan adalah penjual mencari seorang pembeli melalui jasa makelar.

BAB I PENDAHULUAN. piutang dapat terjadi di dunia. Demikian juga dalam hal motivasi, tidak sedikit. piutang karena keterpaksaan dan himpitan hidup.

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HADIAH/ UANG YANG DIBERIKAN OLEH CALON ANGOTA DPRD KEPADA MASYARAKAT DI KECAMATAN DIWEK

Solution Rungkut Pesantren Surabaya Perspektif Hukum Islam

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP GADAI GANDA KENDARAAN BERMOTOR DI KELURAHAN PAGESANGAN KECAMATAN JAMBANGAN KOTA SURABAYA

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI BARANG SERVIS DI TOKO CAHAYA ELECTRO PASAR GEDONGAN WARU SIDOARJO

BAB II KERJASAMA USAHA MENURUT PRESPEKTIF FIQH MUAMALAH. Secara bahasa al-syirkah berarti al-ikhtilath (bercampur), yakni

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KERJASAMA BUDIDAYA LELE ANTARA PETANI DAN PEMASOK BIBIT DI DESA TAWANGREJO KECAMATAN TURI KABUPATEN LAMONGAN

BAB I PENDAHULUAN. bentuk penyaluran dana kemasyarakat baik bersifat produktif maupun konsumtif atas dasar

BAB IV\ ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP MEKANISME PENGUPAHAN PEMOLONG CABE DI DESA BENGKAK KECAMATAN WONGSOREJO KABUPATEN BANYUWANGI

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAYARAN KODE UNIK DALAM JUAL BELI ONLINE DI TOKOPEDIA. A. Analisis Status Hukum Kode Unik di Tokopedia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB III LANDASAN TEORI A. Pengertian Ar-rahn Rahn menurut istilah syariat adalah menjadikan benda yang memiliki nilai menurut syariat sebagai jaminan utang, sehingga seseorang boleh mengambil utang atau mengambil sebagian manfaat barang tersebut. Secara etimologis rahn berarti tetap atau lestari. Sedangkan menurut syara gadai artinya menyandra sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali dengan tebusan. 1 Syari at Islam memerintahkan umatnya supaya tolong-menolong yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang tidak mampu. Bentuk tolong-menolong ini bisa berbentuk pemberian dan bisa berbentuk pinjaman. Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan kreditur, jangan sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu, ia dibolehkan meminta barang dari debitur sebagai jaminan utangnya. Sehingga apabila debitur itu tidak mampu melunasi pinjamannya, barang jaminan dapat dijual oleh kreditur. Konsep tersebut dalam fiqih Islam dikenal dengan istilah Rahn. 2 Definisi ar-rahn secara syara adalah menjaminkan utang dengan sesuatu yang bisa menjadi pembayar utang utang tersebut, atau nilainya bisa membayar 1 Heri sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta : Ekanisa, 2004), Edisi 2, h. 156 2 Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer,(Jakarta: Lembaga Studi dan Kemasyarakatan (LSIK),2004), Cet. Ke-3, h. 78. 1

2 utang tersebut. Artinya, menjadikan sesuatu yang bernilai uang sebagai jaminan terhadap hutang. Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama fikih, ulama mazhab maliki mendifinisikan rahn sebagai harta yang oleh pemiliknya dijadikan jaminan utang yang bersifat mengikat. Ulama Mazhab Hanafi mendifinisikan rahn dengan menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, b aik seluruhnya maupun sebagian. Sedangkan Ulama Mazhab Syafi i dan Mazhab Hanbali mendefinisikan rahn dalam arti akad, yaitu menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutang itu. 3 Dalam sebuah hadits rasulullah SAW bersabda: ع ن ع اي ش ة ر ض ي الل ه ع ن ه ا ق ال ت اش ت ر ى ر س ول الل ه ص ل ى الل ه ع ل ي ه و س ل م م ن ي ه ود ي ط ع ام ا و ر ه ن ه د ر ع ه Artinya : Aisyah r.a berkata bahwa rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi dan menjaminkan kepadanya baju besi. (H.R. Bukhari). 4 Dari definisi yang dikemukakan oleh ulama-ulama fiqih tadi ada persamaannya adalah menukarkan suatu benda dengan uang, tetapi ada perbedaannya bagi umat islam uang tersebut adalah pinjaman dan barang yang diterima adalah sebagai tanggungan. Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang berpiutang atas suatu barang yang bergerak, yang diserahkan padanya oleh seseorang atau oleh orang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang 3 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam, (Jakarta : Yayasan Adikarya IKAPI,2007), Cet. Ke-3, h.76. 4 Imam Az Zabidi, Ringkasan Shahih Bukhari, (Jakarta: Mizan,2001), Cet ke-5, h. 391.

3 berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya; dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan. 5 Pengertian gadai menurut syariat Islam berbeda dengan pengertian gadai menurut ketentuan hukum adat yang mana dalam ketentuan hukum adat pengertian gadai yaitu menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan si penggadai tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali. Dalam Ensiklopedi Indonesia, disebutkan bahwa gadai atau hak gadai adalah hak atas benda terhadap benda bergerak milik si berhutang yang diserahkan ketangan si piutang sebagai jaminan pelunasan hutang si berhutang tadi (Pasal 1150-1160 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Jaminan dengan benda tak bergerak disebut hepotek (hak benda terhadap suatu benda tak bergerak yang memberi hak prefensi kepada seseorang yang berpiutang/pemegang hepotek untuk memungut piutangnya dari hasil penjualan tersebut). Gadai diadakan dengan persetujuan dan hak itu hilang jika gadai itu lepas dari kekuasaan piutang. Si pemegang gadai berhak menguasai benda yang digadaikan kepadanya selama hutang si berhutang belum lunas, tetapi ia tidak berhak mempergunakan benda itu. Selanjutnya ia berhak menjual gadai itu, jika si berhutang tidak mau membayar hutangnya. Jika hasil penjualan barang yang 5 Frianto Fandia, Elly Santi Ompusunggu, Achmad Abror, Lembaga Keuangan, (Jakarta : PT. Rineka Cipta,2005), Cet. Ke-1, h.72.

4 digadaikan tersebut lebih besar dari hutang yang harus dibayar, maka kelebihan tersebut harus dikembalikan kepada si penggadai. 6 B. Landasan hukum rahn Rahn boleh berdasarkan Al-Qur an, Sunah, dan ijmak, Allah berfirman: Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para s aksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 283). 7 Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Ummul Mukminin Aisyah, ia berkata: Rasulullah membeli makanan dari seorang yahudi dengan menggadaikan baju perang beliau. Ulama telah sepakat atas hal itu dan tidak ada perbedaan pendapat diantara tentang pemberlakuan rahn bagi orang yang tidak berpergian. Jumhur ulama berpendapat bahwa gadai disyariatkan bagi orang yang tidak berpergian sebagaimana ia juga disyariatkan bagi orang yang berpergian. 6 Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,2004),Edisi 1, Cet. Ke-2, h. 254. 7 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung: PT Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h. 49

5 Hal ini berdasarkan perbuatan rasulullah terhadap orang yahudi tersebut saat berada dimadinah. Adapun pembatasan rahn bagi orang yang berpergian dalam ayat Al-Qur an adalah pada umumnya seperti itu, karna biasanya gadai ( rahn) terjadi pada saat berpergian. a. Rukun Gadai Dalam menjalankan pegadaian syariah, pegadaian harus memenuhi rukun gadai syariah. Rukun gadai tersebut antara lain : 1) Ar-Rahin (yang menggdaikan). Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang akan digadaikan. 2) Al-Murtahin (yang menerima gadai). Orang, bank atau lembaga yang dipercaya rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai). 3) Al-Marhun/ Rahn (barang yang digadaikan). Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan hutang. 4) Al-Marhun Bih (hutang). Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun. 5) Sighat, Ijab dan Qabul. Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai. b. Syarat Gadai 1) Rahin dan Murtahin Pihak-pihak yang melakukan perjanjian rahn, yaitu rahin dan murtahin harus mengikuti syarat-syarat berikut kemampuan, yakni berakal sehat. Kemampuan juga berarti kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi pemilikan.

6 2) Syarat Gadai a. Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan suatu waktu dimasa depan. b. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian hutang seperti halnya akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu waktu dimasa depan. 3) Marhun Bih (hutang) a. Harus merupakan hak yang wajib diberikan atau diserahkan kepada pemiliknya. b. Memungkinkan pemanfaatan. Bila sesuatu menjadi hutang tidak bisa dimanfaatkan, maka tidak sah. c. Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya. Bila tidak dapat diukur atau kuantifikasi rahn itu tidak sah. 4) Marhun (barang) Aturan pokok dalam mazhab Maliki tentang masalah ini ialah bahwa gadai itu dapat dilakukan pada semua macam harga pada semua macam jual beli, pada jual beli mata uang (sharf) dan pokok modal pada salam yang berkaitan dengan tanggungan. Demikian itu karena pada sarf diisyaratkan tunai yakni kedua belah pihak saling menerima. Oleh karena itu, tidak boleh terjadi akad gadai padanya. Begitu pula pada harta modal salam, meskipun menurut pendapatnya agak kurang penting dalam masalah ini. 8 h. 84. 8 Mawardi, Lembaga Perekonomian Umat, ( Pekanbaru : Suska Press, 2008), Cet ke-1,

7 Menurut Imam Syafi i, syarat-syarat gadai terbagi menjadi dua bagian: Pertama, syarat yang menjadi keharusan, yaitu penyerahan barang yang digadaikan. Dengan demikian, jika seseorang mengadaikan sebuah rumah, lalu dia tidak menyerahkannya, maka akad tersebut batal karenanya. Dan jika barang yang digadaikan itu sudah berada ditangan orang yang memberikan pinjaman sebelum akad dilaksanakan, baik karena disewa, dipinjam, ghasab, atau yang lainnya, berarti barang tersebut telah berada ditangannya setelah melaksanakan akad. Dengan demikian, syarat sahnya penarikan barang gadai adalah penggadai itu sendiri. Kedua, syarat-syarat yang berkaitan dengan sahnya gadai, yaitu terdiri dari beberapa macam: a. Yang berkaitan dengan akad, yaitu tidak tergantung pada suatu syarat yang tidak diperlukan dalam akad ketika menyelesaikan hutang piutang, karena hal itu dapat membatalkan gadai. b. Yang berkaitan dengan kedua belah pihak yang melaksanakan akad, yaitu yang menyerahkan dan yang menerima gadai. Syarat bagi keduanya adalah baligh dan berakal. Dengan demikian, suatu akad tidak boleh dilakukan oleh orang gila, anak-anak atau orang idiot. 9 c. Ulama fikih mengemukakan syarat-syarat bagi sahnya rahn menyangkut beberapa hal, yaitu menyangkut syarat-syarat para pihak yang terkait 9 Rachmat Syafe i, Fiqih Muamalah, ( Bandung : Pustaka Setia, 2001), h. 164.

8 dengan akad rahn, menyangkut syarat-syarat dari akad itu sendiri, menyangkut syarat-syarat utang, dan menyangkut syarat-syarat aguanan. Syarat-syarat tersebut tersebut sebagaimana dijelaskan dibawah ini: Syarat yang terkait dengan orang yang membuat akad rahn adalah bahwa orang itu harus cakap bertindak hukum, menurut jumhur ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal. Sedangkan menurut ulama mazhab hanafi, kedua belah pihak yang berakad tidak diisyaratkan baligh, tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab itu, menurut mereka, anak kecil yang mumayiz boleh melakukan akad rahn yang dilakukan anak kecil yang mumayiz ini mendapat persetujuan dari walinya. Ulama Madzhab Hanafi mengatakan dalam akad rahn tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, karena akad rahn sama dengan akad jual beli. Apabila akad tersebut dibarengi dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syarat itu menjadi batal, namun akad tetap sah. Misalnya, debitur mensyaratkan apabila tenggang waktu hutang telah habis dan hutang belum terbayar, maka rahn itu diperpanjang satu bulan atau kreditur mensyaratkan barang agunan itu dapat dimanfaatkan. Ulama Mazdhab Maliki, Madhzab Syafi i dan Madzhab Hanbali mengatakan bahwa apabila syarat itu adalah yang mendukung kelancaran akad tersebut, maka syarat tersebut diperbolehkan, tetapi apabila syarat tersebut bertentangan dengan tabiat akad rahn, maka syarat yang demikian itu batal. Kedua syarat dalam contoh diatas (perpanjangan rahn satu bulan dan agunan boleh dimanfaatkan), termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat rahn, sehingga syarat tersebut dinyatakan batal. Syarat yang diperbolehkan adalah,

9 misalnya untuk sahnya rahn tersebut pihak kreditur meminta agar dalam pembuatan akad itu hendaknya disaksikan oleh dua orang saksi. Sedangkan syarat yang batal, misalnya apabila diisyaratkan bahwa agunan tersebut tidak boleh dijual ketika rahn tersebut jatuh tempo, padahal debitur tidak mampu membayar utangnya. 10 C. Akad Perjanjian Gadai Ulama Syafi iyah berpendapat bahwa pegadaian dapat dinyatakan sah apabila memenuhi tiga persyaratan, yaitu : a. Harus berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan b. Penetapan kepemilikan pegadaian atas barang yang digadaikan tidak terhalang seperti mushaf c. Barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah masa pelunasan hutang gadai Berdasarkan tiga syarat di atas, maka dapat diambil alternatif dalam mekanisme perjanjian gadai, yaitu dengan menggunakan tiga akad perjanjian. Ketiga akad perjanjian tersebut: a. Akad Qard Al-Hasan. Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menginginkan mengadaikan barang untuk keperluan konsumtif. Dengan demikian, nasabah (rahin) akan memberikan biaya upah atau fee kepada pegadaian ( murtahin) telah menjaga atau merawat barang-barang gadaian (marhun). 10 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., h. 79

10 b. Akad Mudharabah. Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikanjaminannya untuk menambah modal usaha. Dengan demikian, rahin akan memberikan bagi hasil kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan, sampai modal yang pinjam terlunasi. c. Akad bai Muqayyadah.Untuk sementara akad ini dapat dilakukan jika rahin yang menginginkan menggadaikan barangnya untuk keperluan produktif. Artinya dalam menggadaikan, rahin tersebut menginginkan modal kerja berupa pembelian barang. Sedangkan barang jaminan dapat dimanfaatkan. Dengan demikian, murtahin akan membelikan barang yang sesuai dengan keinginan rahin atau rahin akan memberikan mark up kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan pada saat akad berlangsung sampai batas waktu yang telah ditentukan. 11 D. Pemanfaatan Dan Penjualan Barang Gadaian 1. Pemanfaatan rahin atas borg (barang yang digadaikan) a. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang tanpa seizin murthahin, begitu pula murthahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin rahin. Pendapat ini senada dengan pendapat Ulama Hanabilah. b. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika borg sudah berada ditangan murthahin, rahin mempunyai hak memanfaatkannya. c. Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang jika tidak menyebabkan borg berkurang, tidak perlu 11 Ibid. h. 86.

11 meminta izin, seperti mengendarainya, menempatinya dan lain-lain. Akan tetapi jika menyebabkan barang berkurang, seperti sawah, kebun, rahin harus meminta izin pada murtahin. 2. Pemanfaatan murtahin atas borg a. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan borg sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya. b. Ulama Malikiyah membolehkan murtahin memanfaatkan borgjika diizinkan oleh rahin atau diisyaratkan ketika akad dan barang tersebut barang yang dapat diperjual belikan serta ditentukan waktunya secara jelas. Pendapat ini hampir senada dengan pendapat ulama safiiyah. c. Pendapat ulama Hanabilah berbeda dengan jumhur. Mereka berpendapat, jika borg berupa hewan, murtahin boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar mengganti biaya meskipun tidak dizinkan oleh rahin. Adapun borg selain hewan tidak boleh memanfaatkan kecuali atas izin rahin. 12 Rasulullah SAW bersabda : و ع ن أ ب ي ه ر ي ر ة رضي االله عنه ق ال : ق ال ر س ول ا لل ه صلى االله عليه وسلم ) ا لظ ه ر ي ر ك ب ب ن ف ق ت ه إ ذ ا ك ان م ر ه ون ا,و ل ب ن ا ل د ر ي ش ر ب ب ن ف ق ت ه إ ذ ا ك ان م ر ه ون ا,و ع ل ى ا ل ذ ي ي ر ك ب و ي ش ر ب ا لن ف ق ة ( ر و اه ا ل ب خ ار ي Artinya : Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Punggung hewan yang digadaikan boleh dinaiki dengan membayar dan susu hewan yang 12 Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah Di Indonesia, ( Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2006), Cet ke-1, h. 94.

12 digadaikan boleh diminum dengan membayar. Bagi orang yang menaiki dan meminumnya wajib membayar." 13 Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat, diantaranya jumhur fuqaha dan Ahmad. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil sesuatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahinmengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba. 14 E. Berakhirnya Akad Gadai ( Rahn ) Menurut ketentuan syariat bahwa apabila masa yang telah diperjanjikan untuk pembayara utang telah terlewati maka si berhutang berkewajiban untuk membayar hutangnya. Namun seandainya si berhutang tidak punya kemauan untuk mengembalikan pinjamannya hendaklah ia memberi izin kepada pemegang gadai untuk menjual barang gadaian. Dan seandainya izin ini tidak diberikan oleh si pemberi gadai maka si penerima gadai dapat meminta pertolongan hakim untuk memaksa si pemberi gadai untuk melunasi hutangnya atau memberikan izin kepada si penerima gadai untuk menjual barang gadaian tersebut. Apabila batas waktu pegadaian berakhir dan hutang harus dibayar, pemegang gadai dapat mengajukan permohonan kepada lembaga peradilan agar gadaian itu dijual dan utang akan dibayar dengan hasil penjualan barang tanggungan tersebut. Untuk menghindari kesulitan dan pembiayaan, maka ke-1, h.108 13 Imam Bukhari, Al-Jami Ash Shahih, (Beirut : Dar Thauqin Najah, 2001), juz 3, h.143 14 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), Cet

13 pengurus pegadaian mempunyai wakil yang memiliki kekuasaan untuk bertindak dan dapat dipercayai untuk menjual barang gadaian. 15 Apabila pemegang gadai telah menjual barang gadaian tersebut dan ternyata ada kelebihan dari yang seharusnya dibayar oleh si pegadai, maka kelebihan tersebut harus diberikan kepada si pegadai. Sebaliknya sekalipun barang gadaian telah dijual dan ternyata belum dapat melunasi hutang si pegadai, maka si pegadai masih punya kewajiban untuk membayar kekurangannya. Sayyid Sabiq mengatakan jika terdapat klausula murthahin berhak menjual barang gadai pada waktu jatuh tempo perjanjian gadai, maka ini dibolehkan. Argumentasi yang diajukan adalah bahwa menjadi haknya pemegang barang gadaian untuk menjual barang gadaian tersebut. Pendapat ini berbeda dengan pendapat Imam as Syafi i yang memandang dicantumkannya klausula tersebut dalam perjanjian gadai adalah batal demi hukum. Dahulu pada zaman tradisi Arab sebelum Islam datang, jika orang yang menggadaikan barang tidak mampu mengembalikan pinjaman, maka hak kepemilikan barang gadai beralih ke pemegang gadai. Praktek semacam inilah yang kemudian dibatalkan oleh Islam. sebagai berikut : Dapat disimpulkan bahwa akad gadai (rahn) berakhir dengan hal -hal 1. Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya 15 Muhammad Muslehuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam, ( Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2004), Cet ke-1, h. 90.

14 2. Rahin membayar hutangnya 3. Dijual dengan peintah hakim atas perintah rahin 4. Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin. 16 Ibnu al Mundzir mengatakan semua yang alim sependapat, bahwa siapa yang memborgkan sesuatu harta, kemudian dia melunasi sebagiannya, dan ia menghendaki mengeluarkan sebagian borg (lagi), sesungguhnya yang demikian itu (masih) bukan miliknya sebelum ia melunasi sebagian lain dari haknya atau pemberi hutang membebaskannya. Jika marhun mengalami kerusakan karena keteledoran murthahin, maka murthahin wajib mengganti marhun tersebut. Tetapi jika bukan disebabkann oleh murtahin maka murtahin tidak wajib mwngganti dan piutangnya tetap menjadi tanggungan rahin Jika rahin meninggal dunia atau pailit maka murtahin lebih berhak (preferen) atas marhun dari pada semua kreditur. Jika hasil penjualan marhun tidak mencukupi piutangnya, maka murthahin memiliki hak yang sama bersama para kreditur harta peninggalan rahin. Kematian salah satu pihak, orang yang menyerahkan barang gadai atau pemegang barang gadai, bahkan juga kematian mereka berdua, tidak berpengaruh terhadap perjanjian gadai. Perjanjian tetap berlaku sampai batas waktu yang telah ditentukan. Sepeninggal pihak-pihak bersangkutan, dilanjutkan oleh ahli waris 16 Abdul Ghofur Anshori, op.cit, h. 97.

15 yang bersangkutan. Barang gadai selama ada ditangan pemegang barang gadai berkedudukan sebagai amanat. Untuk menjaga jangan sampai ada pihak-pihak yang dirugikan, dalam perjanjian gadai tidak boleh diadakan syarat, dalam perjanjian gadai tidak boleh diadakan syarat, apabila orang yang menyerahkan barang gadai (pemilik barang) tidak melunasi utangnya pada waktu yang telah ditentukan, dengan sendirinya barang gadai menjadi milik pemegang barang gadai sebagai pembayaran utang. Sebab ada kemungkinan bahwa pada waktu yang telah ditentukan untuk membayar utang itu harga gadai kurang dari jumlah utang yang harus dibayar, yang berakibat kerugian pada pihak pemegang barang gadai, sebaliknya ada kemungkinan juga bahwa harga barang gadai pada waktu itu lebih besar dari jumlah utang yang harus dibayar, yang akan berakibat kerugian pada pihak orang yang menyerahkan barang gadai (pemilik barang). Apabila ada waktu yang telah ditentukan orang yang menyerahkan barang gadai (pemilik bara ng) tidak membayar utangnya, hak pemegang barang gadai adalah menjual barang gadai. Pembelinya boleh pemegang barang gadai sendiri, tetapi dengan harga umum yang ada pada waktu itu. Dari harga penjualan barang gadai itu, hak pemegang barang gadai hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat bila apabila harga penjualan barang gadai lebih besar dari jumlah utangnya, sisanya dikembalikan kepada orang yang menyerahkan barang gadai (pemilik barang), dan apabila sebaliknya, harga penjualan barang gadai kurang dari jumlah utang, orang yang menyerahkan barang gadai (pemilik barang) nasih menanggung pembayaran kekurangannya.

16 Barang gadai yang berkedudukan sebagai tanggungan utang itu, selama ada ditangan pemegang barang gadai hanya merupakan amanat, pemiliknya masih tetap pada orang yang menyerahkan barang gadai, meskipun tidak merupakan milik sempurna yang memungkinkan pemiliknya bertindak sewaktu-waktu terhadap miliknya itu. Dengan demikian, pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh orang yang meyerahkan barang gadai sebagai pemilik maupun oleh pemegang barang gadai sebagai pemegang amanat, kecuali apabila mendapatkan izin masing-masing pihak bersangkutan. Hak pemegang barang gadai terhadap barang gadai hanya pada keadaan atau sifat kebendaannya yang mempunyai nilai, tidak pada guna dan pemungutanhasilnya. Pemegang barang gadai hanya berhak menahan barang gadai, tidak berhak menggunakan atau memungut hasilnya. Demikian pula orang yang menyerahkan barang gadai (pemilik barang), selama barang gadai ada di tangan pemegang barang gadai, tetapi sebagai pemilik apabila barang gadai mengeluarkan hasil maka hasil itu adalah menjadi miliknya. 17 Pemegang barang gadai tidak dibenarkan menggunakan barang gadai kecuali dengan izin orang yang menyerahkan barang gadai (pemilik barang), dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai pihak orang yang menyerahkan barang gadai dirugikan, sebab sebagai pemilik, orang yang menyerahkan barang gadai lah yang berhak menikmati hasil-hasil tambahan yang terjadi pada barang gadai selama ada di tangan pemegang barang gadai. 17 Syafi,I jafri, Fiqh Muamalah, (Pekanbaru : Suska Press, 2008), Cet. Ke-1, h.53.

17