I. PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. komersial dengan beragam khasiat pada seluruh bagian tanamannya. Tanaman

BAB I PENDAHULUAN. penyakit. Sebagian besar masyarakat Indonesia banyak menggunakan tumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. kepopulerannya di masyarakat semakin meningkat. Salah satu penyebabnya adalah

Tanaman Artemisia Penakluk Penyakit Malaria

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. seni), dan tonik (mampu meningkatkan stamina tubuh). Seperti yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah suatu penyakit menular yang banyak diderita oleh penduduk di daerah tropis dan subtropis,

PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh Plasmodium vivax, P. falciparum, maupun P. malariae. Hampir

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk. atau Pimpinella alpine Molk.

BAB II 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia dan tubuh nyamuk.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Elly Herwana Departemen Farmakologi dan Terapi FK Universitas Trisakti

BAB I PENDAHULUAN. Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) merupakan tumbuhan obat asli

BAB I PENDAHULUAN. Taiwan, Hongkong, Korea dan negara-negara Timur lain. peduli untuk melakukan konservasi tanaman obat. Jepang memberi perhatian

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan (rehabilitatif) serta peningkatan kesehatan (promotif). Berbagai cara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Malaria ditemukan hampir di seluruh bagian dunia, terutama di negaranegara

Bidweel, R.G.S Plant Physiology. Macmilan Biology Series: New York

ginsenosides yaitu komposisi utama bioaktif (Jo et al., 1995; Sticher, 1998;

BAB I PENDAHULUAN. alami untuk pembuatan obat, pestisida, parfum, penyedap rasa dan zat

LAPORAN TAHUNAN HIBAH PENELITIAN KOMPETENSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Tanaman lidah buaya sudah dimanfaatkan sebagai tanaman hias, bahan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan. Malaria adalah penyakit yang disebabkan infeksi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati di Indonesia dikenal sangat tinggi baik untuk flora

TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Malaria

I. PENDAHULUAN. lalapan karena memiliki cita rasa yang khas. Daun muda pohpohan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja (Kemenkes, gejala malaria pada tahun 2013 (WHO, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG PENELITIAN. dengan defisiensi sekresi dan atau sekresi insulin (Nugroho, 2012). Organisasi

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa penelitian menyatakan bahwa malaria merupakan salah satu

PENDAHULUAN. Masyarakat kita sudah sejak lama mengenal tanaman obat. Saat ini

ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN PEGAGAN (Centella asiatica) HASIL PERBANYAKAN IN VITRO PUTRI KARINA LAILANI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan pangan penduduk selalu meningkat dari tahun ke tahun. Terdapat. yaitu beras merah dan beras hitam (Lee, 2010).

@BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Nutrien tersebut memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman perkebunan merupakan komoditas yang mempunyai nilai

BAB I PENDAHULUAN. biji. Setiap bagian tumbuhan akar, batang, daun dan biji memiliki senyawa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Tugas Kelompok. Bentuk tersedia bagi tumbuhan Fungsi Gejala Kahat. Kelompok: N, P, K, Ca, Mg, S, B, Cu, Cl, Fe, Mn, Mo, Zn

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2009 mencapai 1,85% per 1000 penduduk. Penyebab malaria yang tertinggi

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Induksi kalus Artemisia vulgaris L. dengan Pemberian Beberapa Konsentrasi 2,4-Dichlorophenoxyacetic Acid (2,4-D)

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan yaitu perbedaan pemberian konsentrasi ion logam Cu 2+

BAB I PENDAHULUAN. terutama disebabkan oleh kurangnya kebersihan. Penanganan penyakit yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan

BAB I PENDAHULUAN. Asam urat merupakan senyawa kimia hasil akhir dari metabolisme nucleic

Indonesia telah menjadi pengimpor minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stevia (Stevia rebaudiana) merupakan salah satu jenis tanaman obat di

TINJAUAN PUSTAKA Artemisia annua L.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. sintetis dan mulai beralih dengan mengkonsumsi obat-obatan herbal.

BAB I PENDAHULUAN. kedelai di Indonesia semakin meningkat seiring kesadaran masyarakat akan peran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (World Health Organization/WHO, 2009). Sekitar setengah populasi dunia

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2012

LAPORAN TAHUNAN HIBAH PENELITIAN KOMPETENSI

BAB I PENGANTAR. 1. Latar Belakang Permasalahan. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium sp.

ABSTRAK. Pembimbing I : Susy Tjahjani, dr., M.Kes. Pembimbing II : Ronald Jonathan, dr., M.Sc., DTM&H

I. PENDAHULUAN. sebutan lain seruni atau bunga emas (Golden Flower) yang berasal dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Santika Febri Wardani, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dunia setelah Brazil (Hitipeuw, 2011), Indonesia dikenal memiliki tanaman-tanaman

BAB I PENDAHULUAN. asli Indonesia. Daerah asalnya adalah India dan Afrika Tengah. Tanaman ini

BAB I PENDAHULUAN. mengonsumsi minuman beralkohol. Mengonsumsi etanol berlebihan akan

MODUL 2-1 NUTRISI MINERAL TUMBUHAN

ISOLASI, KARAKTERISASI SENYAWA METABOLIT SEKUNDER DARI FRAKSI ETIL ASETAT DAUN TUMBUHAN PACAR CINA (Aglaia odorata) SKRIPSI SARJANA KIMIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang tersebar hampir di beberapa Negara tropis dan subtropis saat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sumber plasma nutfah yang bernilai tinggi. Sejak lama telah diketahui

BAB I PENDAHULUAN. sebagai salah satu alternatif pengobatan (Rochani, 2009). Selain harganya

TATALAKSANA MALARIA. Dhani Redhono

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan, khususnya lingkungan perairan, dan memiliki toksisitas yang tinggi

Keragaman Somaklonal. Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP

BAB I PENDAHULUAN. banyak 2-3 kali lipat dibandingkan dengan negara maju (Simadibrata &

BAB III METODE PENELITIAN. Maulana Malik Ibrahim Malang pada bulan Januari-Juli 2014.

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Seiring dengan kebutuhan untuk menyerap dan. kehidupan, khususnya sebagai seorang pembelajar

II. TINJAUAN PUSTAKA. Melon (Cucumis melo L.) merupakan tanaman sayuran buah termasuk Famili

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan sektor industri menyebabkan peningkatan berbagai kasus

II. Pertumbuhan dan aktivitas makhluk hidup

Contoh Soal & Pembahasan Sel Volta Bag. I

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. mempunyai nilai gizi cukup tinggi (Simatupang et al., 2005). Di antara jenis

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

FISIOLOGI TUMBUHAN MKK 414/3 SKS (2-1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan di negaranegara. subtropis. Penyakit ini endemik dibeberapa negara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dunia perindustrian kini telah mengalami kemajuan yang sangat pesat.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT INFEKSI PARASIT. dr. Agung Biworo, M.Kes

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan sumber daya hayati dan merupakan salah satu negara

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, balita dan ibu hamil. Selain itu malaria secara langsung menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja. WHO (2010), melaporkan terdapat 247 juta kasus malaria yang terjadi di dunia yang menyebabkan kematian setidaknya 1 juta jiwa, dengan jumlah kematian terbanyak terjadi di Afrika. Penyakit ini juga masih endemis di sebagian besar wilayah Indonesia (Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan, 2011). Masalah pengobatan malaria hingga kini belum tuntas karena meluasnya populasi parasit Plasmodium yang resisten terhadap obat-obat antimalaria kuinin dan turunannya seperti klorokuin, sulfadoksin, primetamin, kina, amodiakuin, meflokuin, dan halofantrin. Untuk itu, penemuan obat antimalaria baru yang lebih efektif mengatasi Plasmodium yang resisten pada obat antimalaria turunan kuinin sangat dibutuhkan (Tjitra, 1994). Hasil penelitian tahun 1972 di Cina, menunjukkan bahwa terdapat alternatif tanaman baru yang mengandung senyawa obat antimalaria yaitunya Artemisia annua L. yang mengandung bahan aktif artemisinin yang sangat efektif mengatasi penyakit malaria yang resisten terhadap kina (kuinin) dan derivatnya (Ebadi, 2007). Saat ini Artemisia annua L. merupakan satu-satunya jenis yang mengandung artemisinin dengan kadar yang cukup tinggi di alam bervariasi antara 0,1 1,8%, bahkan dengan menggunakan hibrida antara klon China dan Vietnam, kandungan artemisinin dapat mencapai 2% (Ferreira, Laughlin, Delabays dan Magalhaes, 2005). Namun, tanaman A. annua merupakan tanaman subtropis (iklim temperate) yang

2 berasal dari daerah China dan tersebar ke Vietnam dan Malaysia (Kardinan, 2006). Meskipun demikian, terdapat jenis artemisia lain yang tumbuh di Indonesia. Salah satunya adalah Artemisia vulgaris L. yang tersebar hampir di semua dataran tinggi di Indonesia namun paling banyak ditemukan di Papua (Utut, 2011). Akan tetapi, kandungan artemisinin herba A. vulgaris lebih rendah daripada A. annua L., dan sejauh ini belum banyak diteliti, khususnya di Indonesia. Penelitian mengenai A. vulgaris yang tumbuh di wilayah Pakistan Utara telah dilakukan oleh Mannan, Ibrar, Waheed, Muhammad, Rizwana, Izhar, and Bushra (2010), dengan hasil yang diperoleh adalah kandungan artemisinin pada daun sebesar 0,06% berat kering dan pada bagian bunga 0,05%. Hingga saat ini Indonesia memperoleh bahan baku artemisinin dari luar negeri dan harganya relatif mahal. Menurut Utut (2011), A. vulgaris berpotensi sebagai sumber artemisinin lokal karena tumbuh secara alami di Indonesia. Akan tetapi, memiliki kadar artemisinin yang rendah. Oleh karena itu, produksi metabolit sekunder artemisinin perlu ditingkatkan dengan teknik kultur jaringan (in vitro) seperti kultur kalus (Kristina, Rita, Siti dan Molide, 2007). Namun, pada umumnya kadar metabolit sekunder dalam kultur yang dihasilkan relatif rendah. Menurut Mantell dan Smith (1983), agar produksi metabolit sekunder tinggi maka perlu optimasi faktor-faktor internal dan eksternal. Pemberian elisitor merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat digunakan untuk meningkatkan metabolit sekunder (Mukarlina, Esyanti dan Siregar, 2006). Elisitor dapat berupa komponen biotik maupun abiotik. Elisitor biotik berasal dari makhluk hidup seperti patogen atau dari tumbuhan itu sendiri. Elisitor abiotik berupa faktor fisik atau senyawa kimia (Vasconsuelo dan Boland, 2007). Siregar, Keng dan Lim (2006), melaporkan senyawa kimia dalam bentuk ion logam Cu 2+, Mg 2+, Zn 2+ dan sebagainya dapat dijadikan sebagai elisitor. Berkaitan dengan itu,

3 penelitian ini menggunakan ion tembaga (Cu 2+ ) sebagai elisitor, agar dapat meningkatkan kadar artemisinin pada kalus A. vulgaris L. Ion tembaga Cu 2+ merupakan mikronutrien esensial bagi seluruh makhluk hidup yang berperan penting dalam transport elektron, reaksi reduksi-oksidasi (redoks) dan berbagai jalur metabolisme (Marschner, 1995). Muryanti dan Endang (2005), menyatakan ion Cu 2+ berperan dalam respon pertahanan pada tanaman dengan merangsang gen dan meningkatkan pembentukan jalur metabolit sekunder. Elisitor Cu 2+ bertindak sebagai kofaktor enzim yang berpasangan dengan protein non-enzim dalam upaya untuk meningkatkan golongan metabolit terpenoid dan steroid serta metabolit sekunder yang berasal dari jalur metabolisme isoprena. Savitri dan Nawavila (2013), melaporkan penambahan ion Cu 2+ pada konsentrasi 40 µm mampu meningkatkan produksi stigmasterol dan sitosterol terbaik pada kalus purwoceng (Pimpinella alpine Molk.) sebesar 3128,739 ppm dan 1695,620 ppm. Pada penelitian yang dilakukan oleh Oktafiana (2010), penambahan ion Cu 2+ pada konsentrasi 15 µm, 20 µm, 25 µm dan 30 µm mampu menghasilkan kandungan triterpenoid kalus pegagan (Centella asiatica L.) dengan kadar sedang (0,00048% - 0,00384%). Sementara itu, hasil penelitian Sutini, Tatik, Wahyu, dan Sutiman (2008) menunjukkan bahwa, konsentrasi ion logam Cu 2+ 5 ppm dapat meningkatkan produksi flavan-3-ol sebesar 12,5% pada kalus teh (Camellia sinensis). Selain penelitian diatas, penelitian mengenai pengaruh penambahan ion Cu 2+ dan metil jasmonat pada peningkatan produksi asiatikosida pada kultur sel pegagan telah dilakukan oleh Bulan (2008). Hasil yang didapat menunjukkan penambahan ion logam Cu 2+ pada konsentrasi 25 µm yang diukur pada hari ke-21 setelah elisitasi memberikan hasil terbaik dalam meningkatkan kadar asiatikosida sebanyak 6,76 kali dibandingkan kontrol (tanpa elisitor) pada kultur suspensi sel. Zainab (2007), juga

4 telah melakukan penelitian tentang penambahan ion Cu (tembaga) dan Co (kobalt) pada kultur sel tanaman pacar air (Impatiens balsamina L.). Hasil yang didapat memperlihatkan penambahan ion Cu 2+ meningkatkan kandungan kumarin dengan kadar 147,53 mg%. Sedangkan penambahan ion Co (kobalt) pada konsentrasi 750 µg/l mampu menghasilkan senyawa kumarin dengan kadar tertinggi 259,60 mg%. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Ali, Eun-Jo dan Kee-Yoeup (2006), melaporkan pemberian ion Cu 2+ pada konsentrasi 25 µm meningkatkan kadar ginsenosida (triterpen saponin) pada kultur Panax ginseng. Berdasarkan rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) (2010), untuk menggunakan Artemisinin Combination Therapy (ACT) dalam pengobatan resistensi malaria, maka penyediaan bahan baku artemisinin sangat dibutuhkan. Untuk itu, dilakukan penelitian mengenai peningkatan pembentukan metabolit sekunder artemisinin pada kalus Artemisia vulgaris L. dengan pemberian beberapa konsentrasi elisitor ion (tembaga) Cu 2+ secara in vitro. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimanakah pengaruh beberapa konsentrasi elisitor ion Cu 2+ (tembaga) pada media MS dalam meningkatkan kadar artemisinin pada kalus Artemisia vulgaris L.? 1.3 Tujuan Penelitian Dari perumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beberapa konsentrasi elisitor ion Cu 2+ pada media MS yang dapat meningkatkan kadar artemisinin pada kalus Artemisia vulgaris L.

5 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut, a. Dapat memberikan informasi mengenai konsentrasi elisitor ion Cu 2+ yang optimal dalam meningkatkan produksi artemisinin terbesar pada kalus Artemisia vulgaris L. secara in vitro. b. Diharapkan dapat menjadi alternatif untuk mendapatkan bahan bioaktif artemisinin dalam skala besar. 1.5 Hipotesis Penelitian Hipotesis sementara dari penelitian ini adalah konsentrasi elisitor ion Cu 2+ memberikan pengaruh dalam meningkatkan produksi artemisinin pada kalus Artemisia vulgaris L..