BAB I PENDAHULUAN. Bupati dalam melaksanakan kewenangan otonomi. Dengan itu DKK. Sukoharjo menetapkan visi Masyarakat Sukoharjo Sehat Mandiri dan

dokumen-dokumen yang mirip
SKRIPSI. Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh AGUS SAMSUDRAJAT J

BAB I PENDAHULUAN. dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk demam berdarah (Aedes

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma

BAB I PENDAHULUAN. dewasa (Widoyono, 2005). Berdasarkan catatan World Health Organization. diperkirakan meninggal dunia (Mufidah, 2012).

HUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOYOLALI I

BAB I PENDAHULUAN. tropis. Pandangan ini berubah sejak timbulnya wabah demam dengue di

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN PANDAN WANGI (Pandanus amaryllifolius Roxb.) DALAM MEMBUNUH LARVA Aedes aegypti

BAB I PENDAHULUAN. umum dari kalimat tersebut jelas bahwa seluruh bangsa Indonesia berhak untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan nasional dapat terlaksana sesuai dengan cita-cita

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahunnya. Salah satunya Negara Indonesia yang jumlah kasus Demam

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami kemajuan yang cukup bermakna ditunjukan dengan adanya penurunan

BAB 1 PENDAHULUAN. Acuan Pembangunan kesehatan pada saat ini adalah konsep Paradigma

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN

Skripsi ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh: DIAH NIA HERASWATI J

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdarah Dengue (DBD). Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI PAKPAK BHARAT PROVINSI SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara serta Pasifik Barat (Ginanjar, 2008). Berdasarkan catatan World

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran epidemiologi..., Lila Kesuma Hairani, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus. Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, dalam pasal 152

INFORMASI UMUM DEMAM BERDARAH DENGUE

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai risiko tinggi tertular Demam Dengue (DD). Setiap tahunnya

Seminar Nasional Mewujudkan Kemandirian Kesehatan Masyarakat Berbasis Preventif dan Promotif ISBN:

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.

SARANG NYAMUK DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DI DESA KLIWONAN MASARAN SRAGEN

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. World Health

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat. DBD, baik ringan maupun fatal ( Depkes, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. perjalanan penyakit yang cepat, dan dapat menyebabkan. kematian dalam waktu yang singkat (Depkes R.I., 2005). Selama kurun waktu

KERANGKA ACUAN PROGRAM P2 DBD

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan berkelanjutan 2030/Suistainable Development Goals (SDGs)

BAB I PENDAHULUAN. virus dari golongan Arbovirosis group A dan B. Di Indonesia penyakit akibat

BAB I PENDAHULUAN. kejadian luar biasa dengan kematian yang besar. Di Indonesia nyamuk penular

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

BAB I PENDAHULUAN. lancarnya transportasi (darat, laut dan udara), perilaku masyarakat yang kurang sadar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue, ditularkan

I. Pendahuluan Pada awal tahun 2004 kita dikejutkan kembali dengan merebaknya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), dengan jumlah kasus yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan terhadap perubahan dan penyesuaian paradigma dan praktek

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SKRIPSI PERBEDAAN PENGETAHUAN DAN SIKAP JUMANTIK KECIL SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN PELATIHAN PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI MIN KETITANG

BAB I PENDAHULUAN. virus dengue yang ditularkan dari gigitan nyamuk Aedes aegypti sebagai

BAB 1 : PENDAHULUAN. ditularkan melalui gigitan nyamuk yang banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis di

BAB 1 PENDAHULUAN UKDW. kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) dan ditularkan oleh nyamuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN KELUARGA DENGAN PENERAPAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DI DESA MANCASAN WILAYAH PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO

BAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Aedes,misalnya Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Penyakit DBD dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan. keluarga dengan melaksanakan pembangunan yang berwawasan kesehatan,

WALI KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. penyebarannya semakin meluas. DBD disebabkan oleh virus Dengue dan

BAB IV ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN. yang dilokasikan untuk program pengendalian DBD di Kota Administrasi Jakarta

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE

BAB I PENDAHULUAN. dan tantangan yang muncul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dan

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

BAB I PENDAHULUAN. misalnya akibat gigitan nyamuk dapat menyebabkan dermatitis, alergika dan

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2010), program pencegahan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes, dengan ciri

Promotif, Vol.5 No.1, Okt 2015 Hal 09-16

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

BAB. I Pendahuluan A. Latar Belakang

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE

TESIS. Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S2

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN RAMBUTAN (Nephelium lappaceum L.)TERHADAP KEMATIAN LARVA NYAMUK Aedes aegypti INSTAR III

BAB I PENDAHULUAN Tingginya Angka Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) dan

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG,

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi oleh setiap bangsa dan negara. Termasuk kewajiban negara untuk

Nizwardi Azkha, SKM,MPPM,MPd,MSi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. maupun sosial yang memungkinkan setiap orang dapat hidup produktif secara sosial

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan snyamuk dari genus Aedes,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. perilaku, pelayanan kesehatan, dan keturunan.terlebih lagi dalam kondisi

PARTISIPASI REMAJA SMA DALAM PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN SUKOHARJO

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Haemorraghic Fever

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. anak-anak.penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih

KERANGKA ACUAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT UPT. PUSKESMAS SOTEK

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERANTASAN DAN ELIMINASI PENYAKIT TUBERKULOSIS DI KABUPATEN SIAK

WALIKOTA BLITAR PERATURAN WALIKOTA BLITAR NOMOR 35 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA BLITAR

BAB II DESKRIPSI DINAS KESEHATAN KABUPATEN BANTUL. 1. Sejarah Perkembangan Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KABUPATEN BANYUWANGI

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) sebagai organisasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo sebagai unsur pelaksana pemerintah daerah dalam bidang kesehatan. Tugas dari Dinas Kesehatan adalah membantu Bupati dalam melaksanakan kewenangan otonomi. Dengan itu DKK Sukoharjo menetapkan visi Masyarakat Sukoharjo Sehat Mandiri dan Berkeadilan (2011-2015). Adapun pengertiannya adalah masyarakat Sukoharjo yang hidup dalam lingkungan yang sehat dan berperilaku bersih dan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil, merata dan terjangkau serta memiliki derajat kesehatan setinggi-tingginya. Maka untuk memudahkan pelaksanaan visi tersebut DKK Sukoharjo memiliki Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang berada di tiap kecamatan yang dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) (DKK Sukoharjo, 2010). Puskesmas sebagai unit pelaksana teknis DKK serta sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia yang bertanggung jawab menyelenggarakan pengembangan kesehatan. Dalam pelaksanaan fungsinya, puskesmas melakukan upaya paripurna yang meliputi peningkatan (promotif), pencegahan (preventif) pengobatan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif). Salah satu upaya preventif yang dilakukan di puskesmas diwujudkan dalam 1

bentuk program Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) (Depkes RI, 2004). Salah satu masalah yang menjadi prioritas di program P2PL Kabupaten Sukoharjo adalah penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan mutu dan pemerataan kualitas pelayanan pencegahan dan pemberantasan penyakit, menanggulangi kejadian luar biasa (KLB), dan penanggulangan bencana akibat penyakit DBD (DKK Sukoharjo, 2010). Sejak pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya, jumlah kasus maupun luas daerah penyebaran penyakit DBD semakin meningkat. Peningkatan ini disebabkan antara lain karena semakin baiknya transportasi penduduk dari suatu daerah ke daerah yang lain dalam waktu singkat, adanya pemukiman-pemukiman baru, penyimpananpenyimpanan air tradisional yang masih dipertahankan dan perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk masih kurang (Depkes RI, 2004). Di kota-kota hampir di seluruh Indonesia, penyakit DBD merupakan masalah kesehatan masyarakat, yang sewaktu-waktu dapat menjadi wabah (Hayani, 2006). Keadaan ini dapat dilihat dari perkembangan kasus DBD di Indonesia yang masih cenderung tinggi. Case Fatality Rate (CFR) penyakit DBD pada tahun 2007 tercatat sebesar 1,01% menurun di tahun 2008 dengan CFR sebesar 0,86% namun di tahun 2009 kembali mengalami peningkatan dengan CFR sebesar 0,89% (Depkes RI, 2010). Sedangkan angka kematian 2

kasus DBD di Jawa Tengah cenderung menurun dari tahun ke tahun yaitu dari 2,53% pada tahun 2005; menjadi 2,01% pada tahun 2006; 1,6% pada tahun 2007; dan 1,19% pada tahun 2008. Tetapi pada tahun 2009 mengalami peningkatan CFR sebesar 1,42% (Dinkes Prov Jateng, 2010). Sementara persebaran angka kematian kasus DBD di Karisidenan Surakarta tahun 2009 adalah di Kabupaten Sragen 0,17%; Kabupaten Klaten 0,42%; Kabupaten Wonogiri 0,49%; Kabupaten Boyolali 0,95%; Kota Surakarta 1,02%; Kabupaten Karanganyar 1,90 dan tertinggi di Kabupaten Sukoharjo 2,96% (Dinkes Prov Jateng, 2010). Untuk Kabupaten Sukoharjo Pada tahun 2008 terjadi 14 kasus kematian DBD dengan CFR sebesar 3,73%, sementara pada tahun 2009 terjadi penurunan kasus kematian menjadi 11 kasus dengan CFR sebesar 2,9%. Angka kematian tertinggi berada di Kecamatan Kartasura (36,4%) dan Mojolaban (18,2%). Namun dari perbandingan CFR di tahun 2008 dengan 2009 yang mengalami penurunan tersebut, menunjukkan bahwa masih belum memenuhi target Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan yaitu menurunkan CFR di bawah 1,0% (DKK Sukoharjo, 2010). Keberadaan jentik Aedes aegypti di suatu daerah merupakan indikator terdapatnya populasi nyamuk Aedes aegypti di daerah tersebut. Penanggulangan penyakit DBD mengalami masalah yang cukup komplek, karena penyakit ini belum ditemukan obatnya (Ririh dan Anny, 2005). Maka dibutuhkan tindakan nyata yang dilakukan secara sadar oleh masyarakat sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) 3

DBD. Adapun kegiatan pencegahan dan penanggulangan DBD yang telah dilakukan antara lain dengan menggerakkan masyarakat dalam PSN-DBD (3M Plus) yang dilakukan dengan kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dikoordinasilan oleh kepala daerah setempat melalui wadah Pokjanal/Pokja DBD. Selain itu juga turut digerakkan kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB), abatisasi, fogging serta diadakan promosi kesehatan (Depkes RI, 2004). Untuk mendukung kegiatan tersebut agar dapat berlangsung efektif, efisien dan tepat sasaran maka perlu dilaksanakan kegiatan surveilans epidemiologi (Wuryanto, 2008). Surveilans epidemiologi merupakan kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan (Depkes RI, 2003). Surveilans epidemiologi dilaksanakan dengan dua cara yaitu aktif dan pasif. Surveilans pasif berupa pengumpulan keterangan tentang kejadian penyakit secara pasif, dengan menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Sementara surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans yang telah ditugaskan yang berasal dari Institusi kesehatan (Puskesmas atau Dinas Kesehatan) untuk pengumpulan data kunjungan berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indek 4

Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggung jawab itu (Noor, 2006). Sehingga hasil kegiatan surveilans sangat dibutuhkan dalam menunjang aspek manajerial program penyakit DBD, dimana berperan dalam proses perencanaan, monitoring dan evaluasi dari program kesehatan yang ada. Hasil pelaksanaan surveilans epidemiologi penyakit DBD yang dilakukan dapat dikatakan telah/belum berjalan sesuai harapan dengan melihat pada kecepatan tindak lanjut penyelidikan epidemiologi (PE) yang dilakukan oleh DKK dan jajarannya. Kecepatan tindak lanjut hasil kegiatan PE dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), penyuluhan, abatisasi yang dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan PE dan tindak lanjut fogging focus yang dilakukan rata-rata satu minggu (7 hari) setelah pelaksanaan PE (Wuryanto, 2008). Dalam pencatatan dan pelaporan guna keperluan perencanaan, pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD petugas surveilans dari DKK Sukoharjo dan Puskesmas harus dapat menyediakan data dan informasi yang akurat, valid dan up to date. Namun sampai saat ini sistem surveilans epidemiologi penyakit DBD masih dikerjakan secara manual yaitu masih berupa tulis tangan. Dengan sistem seperti ini maka sering timbul masalah keterlambatan pelaporan serta data yang disajikan tidak up to date, yang pada akhirnya akan mengganggu proses perencanaan, pencegahan dan upayaupaya pemberantasan penyakit DBD. 5

Dari latar belakang yang telah diuraikan, bahwa kegiatan surveilans DBD yang baik dapat menurunkan kejadian DBD. Namun permasalahannya adalah saat ini surveilans epidemiologi penyakit DBD belum berjalan sebagaimana mestinya yaitu masih tingginya jumlah kasus. Padahal, baik dari pemerintah maupun masyarakat telah berupaya melaksanakan kegiatan surveilans epidemiologi penyakit DBD sedemikian rupa. Maka peneliti tertarik dan terdorong untuk mengadakan penelitian untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi keberhasilan kegiatan surveilans epidemiologi penyakit DBD di Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo. B. Rumusan Masalah 1. Masalah Umum Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan umum sebagai berikut: Faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan keberhasilan kegiatan surveilans epidemiologi penyakit DBD di Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo? 2. Masalah Khusus a. Apakah faktor motivasi petugas surveilans berhubungan dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo? b. Apakah faktor kelengkapan data kasus DBD berhubungan dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo? 6

c. Apakah faktor kecepatan tindak lanjut PE berhubungan dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo? d. Apakah faktor partisipasi kader jumantik berhubungan dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan kegiatan surveilans epidemiologi penyakit DBD di Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui hubungan motivasi petugas surveilans dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo. b. Mengetahui hubungan kelengkapan data kasus DBD dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo. c. Mengetahui hubungan kecepatan tindak lanjut PE dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo. 7

d. Mengetahui hubungan partisipasi kader jumantik dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Instansi terkait khususnya Puskesmas dan Dinas Kesehatan Penelitian ini dapat memberikan informasi dan masukan mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan kegiatan surveilans epidemiologi penyakit DBD di Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo sehingga dapat menjadi tambahan bahan masukan dalam pengambilan kebijakan. 2. Bagi masyarakat Penelitian ini dapat memberikan masukan dan informasi pada masyarakat tentang bagaimana mendukung keberhasilan kegiatan surveilans epidemiologi penyakit DBD sehingga surveilans dapat berjalan optimal. 3. Bagi peneliti lain Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain untuk mengembangkan penelitian selanjutnya. 8