BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputihan yang dalam istilah medis disebut fluor albus atau leucorrhoea merupakan cairan yang keluar dari vagina (Mansjoer, 2000:376). Keputihan dapat terjadi pada setiap wanita, tanpa memandang usia. Tiga per empat wanita di dunia diperkirakan mengalami keputihan setidaknya sekali seumur hidupnya. Wanita hamilpun kerap mengalami keputihan selama masa kehamilannya. Keputihan seringkali dianggap sebagai hal yang umum dan sepele bagi wanita. Di samping itu, rasa malu ketika mengalami keputihan kerap membuat wanita enggan berkonsultasi ke dokter. Padahal, keputihan tidak normal karena infeksi yang berlanjut dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Pada ibu hamil, selain dapat mengganggu kesehatan ibu, juga dapat berpengaruh terhadap janin persalinan (William, 2001). Seorang wanita lebih rentan mengalami keputihan pada saat hamil karena pada saat hamil terjadi perubahan hormonal yang salah satu dampaknya adalah peningkatan jumlah produksi cairan dan penurunan keasaman vagina. Semua ini berpengaruh terhadap peningkatan risiko terjadinya keputihan, khususnya yang disebabkan oleh infeksi jamur (Dwiana, 2008). Keputihan yang muncul dikarenakan adanya peningkatan hormonal selama kehamilan. Dalam hal ini vagina akan mengeluarkan cairan berwarna putih seperti susu, encer dan tidak berbau. Cairan akan bertambah banyak seiring dengan bertambahnya usia kehamilan. Namun jika keputihan disertai gatal-gatal dan berbau segera periksa ke dokter. Karena dengan kondisi ini 16
kemungkinan terjadi adanya infeksi, jika tidak segera mendapatkan pengobatan dapat menyebabkan perlunakan dalam leher rahim dan akan timbul kontraksi sebelum waktunya, (Kusumawati, 2008). Menurut ahli kebidanan dan kandungan sekaligus konsultan seks Dr. Borobudur Jakarta, mengatakan di kenal dua jenis keputihan,yaitu keputihan dapat bersifat normal (fisiologis) dan tidak normal (patologis). Dalam keadaan normal, cairan yang keluar cenderung jernih atau sedikit kekuningan dan kental seperti lendir serta tidak disertai bau atau rasa gatal. Sedangkan keputihan patologis umumnya disebabkan oleh infeksi mikroorganisme seperti Candida albicans, Trichomonas vaginalis, dan Vaginosi bakterial. Dapat pula disebabkan oleh iritasi karena berbagai sebab seperti iritasi akibat bahan pembersih vagina, iritasi saat berhubungan seksual, penggunaan tampon, dan alat kontrasepsi, cairan yang keluar disertai bau, rasa gatal, nyeri saat buang air kecil atau warnanya sudah kehijauan atau bercampur darah, maka ini dapat dikategorikan tidak normal. Pusat Penelitian Penyakit Menular, Departemen Kesehatan RI menemukan, etiologi terbanyak dari 168 pasien fluor albus yang datang berobat ke Puskesmas Cempaka Putih Barat I, Jakarta tahun 1988/1989 adalah kandidiasis sebesar 52,8%. Sisanya adalah trikomoniasis 3,7%, infeksi campuran trikomoniasis dan kandidiasis 4,3%, gonorrhoe 1,2%, dan bakterial vaginosis 38%. Penelitian itu juga melaporkan, bahwa dari 18 ibu hamil dan 25 ibu tidak hamil dan tidak berkb yang mengalami fluor albus, sebagian besar terinfeksi kandidiasis yaitu 66,7% dan 48%. Sementara pada 77 17
akseptor KB Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) dan 30 akseptor KB hormonal yang mengalami fluor albus, sebagian besar terinfeksi kandidiasis yakni 54,6% dan 53,3%. Melihat hasil survei tersebut, tak mengherankan kasus kandidiasis sering ditemukan di poliklinik kesehatan ibu dan anak atau poliklinik kebidanan (Majalah Farmacia, edisi 11 februari 2008). Menurut Dwiana, selama belum terjadi persalinan dan selaput ketuban masih utuh, dimana janin masih terlindungi oleh selaput ketuban dan air ketuban yang steril, umumnya tidak ada efek langsung infeksi vagina yang menyebabkan terjadinya keputihan pada janin. Namun bila saat persalinan masih terdapat infeksi, maka dampak keputihan yang terjadi tergantung penyebabnya, dimana bayi akan terkontak dengan penyebab keputihan tersebut. Misalnya, pada infeksi Chlamydia dapat terjadi keguguran hingga persalinan sebelum waktunya (persalinan prematur). Umumnya penyebab keputihan tersering pada wanita hamil adalah infeksi jamur Candida Albicans yang dapat mengakibatkan pecahnya selaput ketuban sebelum masa persalinan. Hal ini berakibat terjadinya infeksi pada janin dan juga pada ibu yang dapat menyebabkan infeksi berat hingga kematian. Insiden ketuban pecah dini berkisar dari 4,5% sampai 7,6% dari seluruh kehamilan. KPD preterm terjadi pada kira-kira 1% kehamilan dan jelas merupakan problema yang lebih menantang untuk para dokter spesialis obstetric (William, 2001:80). Kejadian ketuban pecah dini mendekati 10% dari semua persalinan. Pada umur kehamilan kurang dari 34 minggu, kejadiannya sekitar 4%. Sebagian dari ketuban pecah dini mempunyai periode laten melebihi satu minggu (Manuaba, 1998:229). 18
Menurut hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003, angka kematian ibu di Indonesia sebesar 307 per 1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Indonesia, 2005:16). Salah satu penyebab langsung kematian ibu adalah karena infeksi sebesar 20-25% dalam 100.000 kelahiran hidup (Manuaba, 1998:19). Di Provinsi Lampung tahun 2005 angka kematian ibu akibat infeksi sebesar 1,39% dari 100.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Provinsi Lampung, 2005:60). Kemungkinan infeksi ini dapat berasal dari dalam rahim (intrauterine), biasanya infeksi sudah terjadi tetapi ibu belum merasakan adanya infeksi misalnya kejadian ketuban pecah dini. Hal ini dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janinnya (Mochtar, 1998:257). Ketuban pecah dini bila dihubungkan dengan kehamilan preterm, ada resiko peningkatan morbiditas dan mortalitas perinatal akibat imaturatas janin, disamping itu bila kelahiran tidak terjadi dalam 24 jam juga terjadi resiko peningkatan infeksi intrauterine (Taber, 1994:368). Adapun komplikasi yang ditimbulkan dari ketuban pecah dini bagi ibu diantaranya pendarahan post partum, sedangkan pada janinnya diantaranya dapat terjadi intra uteri fetal death atau IUFD (Mochtar, 1998:258). Oleh karena itu, tatalaksana ketuban pecah dini memerlukan tindakan yang dapat menurunkan kejadian infeksi pada ibu dan janin (Manuaba, 1998:230). Melihat banyaknya insiden kasus ketuban pecah dini yang dapat beresiko menimbulkan morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin, maka seorang perawat memiliki peran penting untuk membantu klien dalam meningkatkan pengetahuan kesehatan tentang gejala penyakit keputihan 19
bahkan tindakan yang diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi lanjutan yang dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini, selain itu juga perawat dapat melaksanakan perannya sebagai seorang konselor untuk bersama-sama dalam memecahkan masalah klien dan merencanakan suatau tindakan untuk mengubah perilaku hidup sehat seperti menjaga personal hygiene khususnya pada daerah organ intim, sering melakukan pemeriksaan kesehatan vagina yang salah satu contohnya yaitu pemeriksaan papsmear setiap tahunnya untuk mendeteksi sel-sel abnormal yang ada di mulut dan leher rahim, berkonsultasi dengan dokter agar mendapatkan obat-obatan yang sesuai dengan jenis keputihan yang dialami. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh peneliti di beberapa RSB yang ada di Kota Malang, menyatakan bahwa apabila ditemukan terdapat kasus-kasus ibu yang mengalami ketuban pecah dini, maka RSB tersebut akan merujuk pasiennya ke RSB. Permata Bunda, oleh karena itu insiden kejadian KPD lebih besar terjadi di RSB. Permata Bunda Kota Malang. Hal ini yang membuat peneliti termotivasi untuk memilih RSB. Permata Bunda Kota Malang sebagai tempat dilakukan penelitian. Setelah itu peneliti melakukan studi pendahuluan di RSB. Permata Bunda Kota Malang, dan hasil yang didapatkan berdasarkan data rekam medik dan wawancara dengan ibu Lilik selaku bidan setempat didapatkan sebanyak 53 orang ibu postpartum yang mengalami riwayat keputihan selama hamil, dan insiden ibu postpartum yang mengalami KPD sebanyak 14 orang dalam periode oktober desember 2010. Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Riwayat Infeksi 20
Keputihan Selama Kehamilan Dengan Kejadian Ketuban Pada Ibu Postpartum. 1.2 Rumusan Masalah Apakah ada hubungan antara riwayat infeksi keputihan selama kehamilan dengan kejadian ketuban pecah dini pada ibu postpartum? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara riwayat infeksi keputihan selama kehamilan dengan kejadian ketuban pecah dini pada ibu postpartum. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengidentifikasi ibu postpartum yang mengalami riwayat infeksi keputihan selama kehamilan dan ibu postpartum yang tidak mengalami riwayat infeksi keputihan 2. Untuk mengidentifikasi ibu postpartum yang mengalami kejadian ketuban pecah dini dan ibu postpartum yang tidak mengalami kejadian ketuban pecah dini 3. Untuk menganalisis hubungan antara riwayat infeksi keputihan selama kehamilan dengan kejadian ketuban pecah dini pada ibu postpartum 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Peneliti 1. Menerapkan pengetahuan riset keperawatan yang sudah didapat untuk memperoleh informasi dan mencari hubungan infeksi keputihan selama kehamilan dengan kejadian ketuban pecah dini pada ibu hamil. 21
2. Sebagai pengalaman awal dalam melakukan riset keperawatan yang member manfaat di masa yang akan datang. 1.4.2 Bagi Ibu Hamil Agar ibu hamil dapat mengetahui dampak infeksi keputihan selama kehamilan sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi keputihan yang dapat berdampak terjadinya ketuban pecah dini. 1.4.3 Bagi Layanan Kesehatan Setelah di lakukan penelitian di harapkan petugas kesehatan dapat memotivasi masyarakat khususnya ibu hamil agar dapat sering mememeriksakan kesehatan dan kandungannya untuk mencegah dan mengobati keputihan selama kehamilan untuk menghindari terjadinya ketuban pecah dini. 1.4.4 Bagi Bidang Ilmu Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi perkembangan ilmu keperawatan khususnya keperawatan maternitas tentang keterkaitan/hubungan antara riwayat infeksi keputihan selama kehamilan dengan kejadian ketuban pecah dini pada ibu postpartum guna menambah referensi keilmuan dalam bidang keperawatan. 1.5 Keaslian Penelitian Penyakit infeksi, khususnya keputihan selama kehamilan telah tersebar ke seluruh dunia, sehingga merupakan masalah besar terjadinya ketuban pecah dini yang dapat mempengaruhi kesehatan dan keselamatan ibu dan janin. Penelitian yang telah pernah dilakukan menunjukkan bahwa 6-19% ibu mengalami insiden terjadinya ketuban pecah dini secara spontan sebelum persalinan, (NICE,2001). Penelitian ini juga menunjukkan fakta awitan 22
persalinan 86% wanita mengalami persalinan spontan dalam 24 jam KPD dan kemudian angkanya sekitar 5% per hari. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Dewi Puspasari (Juni, 2005) dengan judul penatalaksanaan perawatan inpartu klien ketuban pecah dini di ruang bersalin RSUD Swadana Sumedang, memaparkan penatalaksanaan perawatan klien yang mengalami ketuban pecah dini dalam meminimalkan risiko terjadinya infeksi dapat dilakukan dengan cara monitor atau pemantauan tanda vital ibu dan janin, evaluasi karakteristik cairan ketuban dari tanda-tanda infeksi, minimalkan pemeriksaan dalam, serta pemeriksaan spesimen vagina untuk mengetahui ada tidaknya invasi bakteri yang dapat menyebabkan infeksi, berdasarkan pada angka kejadian ketuban pecah dini setiap bulannya dapat mencapai 20% dari seluruh persalinan dan 21% dari seluruh kejadian ketuban pecah dini mengalami infeksi keputihan semasa kehamilannya. Hasil ini menunjukkan adanya hubungan yang positif antara infeksi keputihan dengan kejadian ketuban pecah dini. ( 1, http://eprints.undip.ac.id/10729/1/artikel.pdf, diakses pada tanggal 28 Februari 2011). Jurnal lain yang membahas tentang hubungan infeksi keputihan dengan terjadinya KPD yaitu berasal dari penelitian yang dilakukan oleh Kurnia (Juni, 2007) penelitian tentang gambaran faktor-faktor terjadinya ketuban pecah dini di Ruang Kebidanan RSUD A.Yani Metro dari bulan Januari sampai dengan Desember 2006 terdapat 80 pasien atau sebesar 7,27% dari 592 responden yang dirawat dengan kasus ketuban pecah dini. Dimana 66 ibu diantaranya mengalami kejadian ketuban pecah dini di Ruang Kebidanan RSUD A.Yani Metro disebabkan oleh adanya infeksi keputihan 23
selama kehamilan (Buku Register Pasien di Rekam Medik 2006). ( 2, http://kti-skripsi.com/, diakses pada tanggal 8 Maret 2011). Penelitian lain yang dilakukan oleh Kamisah Sualman, S. Ked (2009) tentang penatalaksanaan ketuban pecah dini kehamilan preterm, menerangkan bahwa infeksi merupakan faktor yang cukup berperan pada persalinan preterm dengan ketuban pecah dini. Grup B streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan amnionitis. Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan Staphylococcus epidermidis adalah bakteri-bakteri yang sering ditemukan pada cairan ketuban pada kehamilan preterm. Bakteribakteri tersebut dapat melepaskan mediator inflamasi yang menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dan pembukaan serviks, dan pecahnya selaput ketuban. Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun ascenden dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD. Penelitian menunjukkan infeksi sebagai penyebab utama terjadinya ketuban pecah dini. ( 3, http:// Belibis_A17-Tatalaksana_KPD_Preterm.pdf, diakses pada tanggal 8 Maret 2011) Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Gottlieb Sidabutar (2008), tentang pola pertumbuhan bakteri dan uji kepekaan antibiotic dari isolat usap vagina pada KPD dan non KPD, didapatkan hasil estimasi resiko KPD peserta penelitian berdasarkan adanya riwayat keputihan dari jumlah masingmasing kasus 30 orang dijumpai 26 orang pada kelompok KPD yang memiliki riwayat keputihan, sedangkan pada kelompok non KPD hanya 10 orang yang memiliki riwayat keputihan, dengan nilai P= 0,001 pada uji chisquere, menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara riwayat 24
keputihan dengan terjadinya KPD. Menurut penelitian Blok R dkk terhadap wanita hamil cukup bulan dengan riwayat infeksi vagina, ditemukan KPD terjadi pada 30,6% subjek. Hal ini sesuai dengan penelitian Lewis JF dkk ditemukan adanya hubungan yang kuat antara infeksi pasca persalinan dengan insiden KPD. ( 4, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6458/1/08e00824.pdf. diakses pada tanggal 15 Oktober 2010). 1.6 Batasan Penelitian 1. Peneliti hanya meneliti tentang riwayat infeksi keputihan dengan 4 indikator yaitu jenis cairan keputihan yang keluar, warna cairan, bau, rasa gatal dan terbakar pada organ intim dalam hubungannya dengan kejadian ketuban pecah dini. 2. Ketuban pecah dini yang dimaksudkan disini adalah cairan ketuban yang keluar sebelum masa persalinan yang telah ditentukan akibat karena adanya infeksi keputihan selama kehamilan bukan karena faktor-faktor lain yang dilihat berdasarkan hasil rekam medik. 3. Responden dalam penelitian ini adalah ibu-ibu postpartum yang mengalami ketuban pecah dini di RSB. Permata Bunda Kota Malang. 1.7 Batasan Istilah Penelitian 1. Keputihan di definisikan sebagai cairan dari kelamin perempuan (vagina ) yang berlebihan selain air kencing atau darah. Sifatnya bisa normal atau tidak normal (Indriatmi, 2007). 25
2. Riwayat keputihan adalah riwayat adanya sekret berlebihan yang keluar dari vagina 3. Infeksi adalah invasi bakteri kedalam tubuh yang mengaktifkan sistem imun dan menimbulkan reaksi peradangan 4. Infeksi keputihan selama kehamilan adalah keluarnya cairan kental dari vagina yang bisa saja terasa gatal, rasa panas atau perih, kadang berbau yang bersifat patologis akibat adanya infeksi jamur Candida Albicans. 5. Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum ada tandatanda persalinan, yang disebakan oleh adanya infeksi genitalia, servika inkompeten, gemeli, hidramnion, kehamilan preterm, disproporsi sefaalopelvik yang berlangsung kurang dari 36 minggu (Mansjoer, 2000:310). 6. Ibu postpartum adalah ibu yang telah melewati tahap proses persalinan 7. RSB. Permata Bunda Kota Malang adalah tempat untuk melakukan persalinan maupun pemeriksaan kesehatan ibu dan bayi. 26