BAB 3 SIMULASI SIKLUS CETUS-BINER PADA PLTP

dokumen-dokumen yang mirip
Gambar 2.1 Skema siklus cetus tunggal sederhana pada sistem pembangkit. Gambar 2.22 Diagram T-s untuk siklus cetus tunggal sederhana.

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Potensi dan kapasitas terpasang PLTP di Indonesia [1]

BAB 4 PERANCANGAN TERMAL PENUKAR PANAS

BAB IV HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Single Flash System

EVALUASI POTENSI SILICA SCALING PADA PIPA PRODUKSI LAPANGAN PANASBUMI LAHENDONG SULAWESI UTARA

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Gbr. 2.1 Pusat Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. menghasilkan energi listrik. Beberapa pembangkit listrik bertenaga panas

BAB II LANDASAN TEORI

MULTIREFRIGERASI SISTEM. Oleh: Ega T. Berman, S.Pd., M,Eng

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

IV. METODE PENELITIAN

BAB V KIMIA AIR. 5.1 Tinjauan Umum

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbaikan Dan Uji Kebocoran Mesin Pendingin Absorpsi

BAB IV GEOKIMIA AIR PANAS

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI

Optimisasi Teknologi Proses Geothermal Sistem Flash Steam pada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Indonesia

BAB II DASAR TEORI. BAB II Dasar Teori

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir. Gambar 2.1 Schematic Dispenser Air Minum pada Umumnya

Analisa Pengaruh Variasi Pinch Point dan Approach Point terhadap Performa HRSG Tipe Dual Pressure

Tekad Sitepu, Sahala Hadi Putra Silaban Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara

OPTIMALISASI PEMBANGKIT LISTRIK SIKLUS BINER DENGAN MEMPERHATIKAN FLUIDA KERJA YANG DIGUNAKAN

Studi Eksperimen Pemanfaatan Panas Buang Kondensor untuk Pemanas Air

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III SISTEM REFRIGERASI DAN POMPA KALOR

Analisa Efisiensi Thermal Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Lahendong Unit 5 Dan 6 Di Tompaso

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Sistem pendingin siklus kompresi uap merupakan daur yang terbanyak. daur ini terjadi proses kompresi (1 ke 2), 4) dan penguapan (4 ke 1), seperti pada

Analisa Performansi Sistem Pendingin Ruangan dan Efisiensi Energi Listrik padasistem Water Chiller dengan Penerapan Metode Cooled Energy Storage

Tugas akhir Perencanan Mesin Pendingin Sistem Absorpsi (Lithium Bromide) Dengan Tinjauan Termodinamika

Perhitungan Daya Turbin Uap Dan Generator

SKRIPSI / TUGAS AKHIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TEKANAN FLASHING OPTIMAL PADA PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA PANAS BUMI SISTEM DOUBLE-FLASH

Pengaruh Pipa Kapiler yang Dililitkan pada Suction Line terhadap Kinerja Mesin Pendingin

TURBIN UAP. Penggunaan:

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Blood Bank Cabinet

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA

PENGUJIAN UAP/MONITORING SUMUR PANAS BUMI MATALOKO, NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2006

PENGARUH STUDI EKSPERIMEN PEMANFAATAN PANAS BUANG KONDENSOR UNTUK PEMANAS AIR

Analisa Performansi Sistem Pendingin Ruangan dan Efisiensi Energi Listrik padasistem Water Chiller dengan Penerapan Metode Cooled Energy Storage

TURBIN GAS. Berikut ini adalah perbandingan antara turbin gas dengan turbin uap. Berat turbin per daya kuda yang dihasilkan lebih besar.

BAB III KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Gambar 5. Skematik Resindential Air Conditioning Hibrida dengan Thermal Energy Storage

MONITORING SUMUR-SUMUR EKSPLORASI LAPANGAN PANAS BUMI MATALOKO, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. Dahlan, Eddy M., Anna Y.

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Rangkaian Alat Uji Dan Cara Kerja Sistem Refrigerasi Tanpa CES (Full Sistem) Heri Kiswanto / Page 39

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. temperatur di bawah 123 K disebut kriogenika (cryogenics). Pembedaan ini

PEMODELAN SISTEM KONVERSI ENERGI RGTT200K UNTUK MEMPEROLEH KINERJA YANG OPTIMUM ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu pembangkit daya uap. Siklus Rankine berbeda dengan siklus-siklus udara

HASIL DAN PEMBAHASAN

LANDASAN TEORI. P = Pc = P 3 = P 2 = Pg P 5 P 4. x 5. x 1 =x 2 x 3 x 2 1

BAB IV ANALISA EKSPERIMEN DAN SIMULASI

Perancangan Siklus Rankine Organik Untuk Pemanfaatan Gas Buang Pada PLTU di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Pengkondisian Udara

PENGARUH KECEPATAN UDARA PENDINGIN KONDENSOR TERHADAP KOEFISIEN PRESTASI AIR CONDITIONING

Pompa Air Energi Termal dengan Fluida Kerja Petroleum Eter. A. Prasetyadi, FA. Rusdi Sambada

I. PENDAHULUAN. Proses pengendapan senyawa-senyawa anorganik biasa terjadi pada peralatanperalatan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 sistem Blast Chiller [PT.Wardscatering, 2012] BAB II DASAR TEORI

BAB IV ANALISA SIMULASI DAN EKSPERIMEN

BAB II. Prinsip Kerja Mesin Pendingin

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Daya tumbuh benih kedelai dengan kadar air dan temperatur yang berbeda

INOVASI PEMANFAATAN BRINE UNTUK PENGERINGAN HASIL PERTANIAN. PT Pertamina Geothermal Energi Area Lahendong

BAB V HASIL DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor

Analisis Scaling Silika pada Pipa Injeksi Brine di Lapangan Panas Bumi Dieng dengan Studi Kasus di PT. Geo Dipa Energi

MODEL PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA PANAS BUMI SISTEM HYBRID FLASH-BINARY DENGAN MEMANFAATKAN PANAS TERBUANG DARI BRINE HASIL FLASHING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS EKSERGI PENGGUNAAN REFRIGERAN PADA SISTEM REFRIGERASI KOMPRESI UAP. Oleh : SANTI ROSELINDA SILALAHI F

Maka persamaan energi,

BAB IV DATA DAN ANALISA

BAB III APLIKASI TERMODINAMIKA PADA PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA PANAS BUMI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

Potensi Panas Bumi Berdasarkan Metoda Geokimia Dan Geofisika Daerah Danau Ranau, Lampung Sumatera Selatan BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Cooling Tunnel

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB V TURBIN GAS. Berikut ini adalah perbandingan antara turbin gas dengan turbin uap. No. Turbin Gas Turbin Uap

ANALISIS PEMANFAATAN GEOTHERMAL BRINE UNTUK PEMBANGKITAN LISTRIK DENGAN MENGGUNAKAN HEAT EXCHANGER

AZAS TEKNIK KIMIA (NERACA ENERGI) PRODI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

Laporan Tugas Akhir 2012 BAB II DASAR TEORI

BAB II DASAR TEORI. BAB II Dasar Teori. 2.1 AC Split

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II DASAR TEORI. Energy balance 1 = Energy balance 2 EP 1 + EK 1 + U 1 + EF 1 + ΔQ = EP 2 + EK 2 + U 2 + EF 2 + ΔWnet ( 2.1)

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Debit Udara Kondenser terhadap Kinerja Mesin Tata Udara dengan Refrigeran R410a

/ Teknik Kimia TUGAS 1. MENJAWAB SOAL 19.6 DAN 19.8

/ Teknik Kimia TUGAS 1. MENJAWAB SOAL 19.6 DAN 19.8

Transkripsi:

BAB 3 SIMULASI SIKLUS CETUS-BINER PADA PLTP 3.1 Pemilihan Persamaan Tingkat Keadaan Memilih persamaan tingkat keadaan yang sesuai merupakan hal yang penting pada langkah awal proses simulasi. Persamaan tingkat keadaan yang berbeda akan mempengaruhi nilai temperatur jenuh, tekanan jenuh, entalpi, dan entropi dari fluida kerja yang digunakan. Akibatnya nilai dari daya netto yang dihasilkan akan berbeda. Toleransi perbedaan nilai yang diijinkan dalam perhitungan teknik umumnya sekitar sepuluh persen dari persamaan tingkat keadaan acuan. Pada Gambar 3.1 diberikan diagram alir / flowchart dalam pemilihan persamaan tingkat keadaan yang umumnya digunakan. Untuk fluida kerja organik (Hidrokarbon C 5 dan yang lebih ringan), persamaan tingkat keadaan yang umumnya digunakan adalah Peng Robinson (P-R) / Redlich Kwong Soave (R-K-S). Sedangkan untuk fluida kerja air dan udara, persamaan tingkat keadaan yang umum digunakan adalah Grayson Stread (G-S). Untuk keseragaman dalam proses simulasi, persamaan tingkat keadaan yang digunakan adalah Peng Robinson (P-R). Persamaan ini sederhana dan cukup baik untuk menganalisis keadaan yang dekat dengan titik kritis suatu fluida. Perbedaan nilai yang dihasilkan antara persamaan tingkat keadaan G-S dan P-R kecil, sebagai contoh untuk fluida kerja air pada tekanan 6 kpa dan temperatur 1 o C, dengan persamaan tingkat keadaan P-R nilai entalpinya (h) = -15.52 kj/kg, sedangkan dengan G-S nilai entalpi (h) = -15.5 kj/kg, berbeda,13 % dengan persamaan tingkat keadaan P-R. Perbedaannya sangat kecil, jauh dibawah sepuluh persen, sehingga persamaan tingkat keadaan P-R valid untuk digunakan. Untuk nilai beda entalpi, sebagai contoh fluida kerja air pada tekanan 6 kpa, temperaturnya 2 o C dan 1 o C, dengan persamaan tingkat keadaan P-R didapat nilai beda entalpi = 246 kj/kg, sedangkan dengan G-R diperoleh nilai beda entalpi = 244 kj/kg, berbeda,81 % dengan persamaan tingkat keadaan P-R.

Persentase nilai beda tersebut mengalami akumulasi kesalahan. Nilai akumulasi kesalahan tersebut jauh dibawah 1 %, sehingga persamaan tingkat keadaan P-R valid untuk digunakan dalam proses simulasi. Gambar 3.1 Diagram alir penentuan persamaan tingkat keadaan. 3.2 Validasi Paket Program HYSYS Proses validasi suatu paket program yang digunakan sangat penting dilakukan. Bila menggunakan suatu paket program, perlu diketahui apakah nilai yang dihasilkannya itu bernilai benar atau salah. Paket program hanya bisa mengolah suatu perhitungan sehingga apabila data masukan yang diberikan salah, maka data yang dihasilkannya juga bernilai salah (garbage in, garbage out). Untuk itu perlu dilakukan pengujian kebenaran paket program yang digunakan. Ada banyak cara untuk melakukan proses validasi, diantaranya: melakukan perbandingan dengan hasil dari proses pengujian/experiment, membandingkan

dengan data teknis yang ada di lapangan, dan membandingkan hasilnya dengan perhitungan dengan paket program lain. Sangat sulit untuk mendapatkan data teknis lengkap sebuah PLTP yang diperlukan dalam melakukan proses simulasi dengan paket program HYSYS. Penerapan siklus cetus-biner dari brine sisa juga belum ada di Indonesia, sehingga diperlukan data teknis dari PLTP di luar Indonesia dimana untuk mendapatkan data teknis tersebut juga sangat sulit. Cara yang akan dilakukan untuk melakukan proses validasi adalah dengan membandingkannya dengan data teknis yang ada pada jurnal/paper lain. Paper yang akan digunakan sebagai data untuk perbandingan adalah paper dengan judul Evaluation of Waste Brine Utilization From LHD Unit III For Electricity Generation in Lahendong Geothermal Filed, Indonesia, yang ditulis oleh (Nugroho, 27). Paper memiliki data teknis yang cukup baik dan lengkap, sehingga dapat digunakan untuk proses validasi. Oleh karena sulitnya mendapatkan jurnal/paper yang membahas siklus cetus-biner yang disertai dengan data teknis yang lengkap, maka proses validasi yang dilakukan terpisah untuk siklus cetus dan untuk siklus biner saja. Untuk siklus cetus, data teknis yang ada dalam paper diberikan pada Gambar 3.2, dimana diberikan juga model/konfigurasi yang digunakannya. Gambar 3..2 Pemodelan siklus cetus dengan turbin kondensasi. [8]

Dengan data teknik yang diberikan pada model siklus cetus di atas, dilakukan proses simulasi dengan paket program HYSYS, seperti pada Gambar 3.3. Dimana nilai yang ingin diperbandingkan adalah nilai dari daya turbin yang dihasikan. Gambar 3.3 Hasil simulasi siklus cetus dengan paket program HYSYS. Pada proses pemodelan dan simulasi dengan paket program HYSYS tidak dimodelkan adanya kondensor dan menara pendingin, karena tidak tersedianya model komponen kondensor dan menara pendingin. Pemodelan hanya dilakukan sampai kondisi keluaran turbin, tetapi cukup dapat mewakili proses validasi. Dari hasil simulasi dengan paket program HYSYS, didapatkan nilai dari daya turbin adalah 597 kw, sedangkan hasil yang ada pada paper acuan adalah 58 kw, sehingga perbedaannya 17 kw (,33 %). Dapat diambil kesimpulan bahwa paket program HYSYS valid untuk digunakan pada siklus cetus. Cara yang sama digunakan untuk melakukan validasi pada siklus biner, dimana akan dilakukan perbandingan hasil antara data yang ada pada paper dengan hasil dari proses simulasi paket program HYSYS. Pada Gambar 3.4 akan ditampilkan pemodelan siklus biner yang terdapat pada paper.

Gambar 3.4 Pemodelan siklus biner. [8] Untuk melakukan validasi, dilakukan proses simulasi dengan bantuan paket program HYSYS. Hasil pemodelan dan proses simulasinya akan ditampilkan pada Gambar 3.5. Gambar 3.5 Hasil simulasi siklus biner dengan paket program HYSYS.

Hasil simulasi dengan paket program HYSYS menunjukkan bahwa didapatkan nilai dari daya turbin adalah 4428 kw, sedangkan nilai yang ada pada paper adalah 4336 kw berbeda 92 kw (2,1%). Untuk daya pompa hasil dari paket program HYSYS adalah 249,5 kw, sedangkan nilai yang ada pada paper 245,7 kw berbeda 3,8 kw (1,5%). Dapat diambil kesimpulan bahwa nilai yang dihasilkan dari proses simulasi dengan paket program HYSYS tidak berbeda jauh dengan data referensi yang ada pada paper. Pada proses validasi yang dilakukan untuk menguji apakah paket program HYSYS ini valid atau tidak, didapatkan hasil bahwa paket program HYSYS valid untuk digunakan pada proses pemodelan dan simulasi siklus cetus-biner. 3.3 Data dan Asumsi Pada Proses Simulasi Data dan asumsi yang diperlukan dalam proses simulasi dengan paket program HYSYS 3.2 diantaranya: Laju aliran massa brine ( ) = 4 ton/jam Temperatur (T) brine = 17 o C Tekanan (P) brine = 8 barg Data di atas merupakan data brine yang ada pada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Lahendong, Sulawesi Utara yang didapatkan dari sumber sekunder. Data di atas merupakan data dari brine sisa yang umumnya diinjeksikan kembali ke dalam perut bumi dan tidak dimanfaatkan lagi. Padahal potensi energi (laju massa, temperatur dan tekanan) yang dikandungnya masih tinggi apabila ingin dimanfaatkan untuk keperluan lain. Dalam proses simulasi ini akan dimanfaatkan untuk mengkaji siklus pembangkit listrik cetus-biner. Dalam proses simulasi, diperlukan asumsi-asumsi untuk menyederhanakan dan menyelesaikan permasalahan. Berikut ini asumsi-asumsi yang digunakan dalam proses simulasi: 1) Rentang tekanan cetus yang digunakan adalah 11-79 kpa, yaitu 11, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 79 kpa. Tekanan cetus 79 kpa merupakan batas atas tekanan cetus yang digunakan. Apabila tekanan cetus lebih besar dari 79 kpa, tidak ada uap

yang dihasilkan pada proses cetus / flashing sehingga siklus cetus tidak dapat beroperasi karena tidak ada uap yang dapat digunakan. Nilai tekanan 11 kpa merupakan tekanan terendah yang bisa digunakan. Apabila lebih rendah dari 11 kpa, kesetimbangan energi yang terjadi pada siklus biner tidak tercapai karena laju massa brine akan semakin rendah, yang menyebabkan kalor yang dihasilkan semakin kecil. Akibatnya kalor yang dilepaskan oleh brine tidak seimbang dengan kalor yang diterima oleh fluida kerja organik pada siklus biner. 2) Keadaan masuk turbin adalah uap jenuh (fraksi uap = 1). Apabila keadaan masuk turbin tidak uap jenuh (masih mengandung air), akan menyebabkan kerusakan pada sudu turbin. Sudu turbin akan mengalami erosi. Erosi tersebut akan mengganggu performa turbin, karena akan mengakibatkan rontoknya sudu turbin. Pembangkit listrik perlu diberhentikan operasinya apabila dilakukan proses perbaikan pada turbin, sehingga suplai listrik menjadi terganggu. 3) Keadaan masuk evaporator adalah cair jenuh (fraksi uap = ). Evaporator berfungsi untuk mengubah fasa dari cair jenuh menjadi uap jenuh. Kalor yang terjadi adalah kalor laten, yaitu kalor yang diperlukan untuk mengubah fasa fluida. 4) Keadaan masuk pompa adalah cair jenuh (fraksi uap = ). Pompa akan mengalami kerusakan apabila kondisi fluida masuk masih mengandung udara / uap. Uap tersebut dapat pecah dan merusak sudu pompa, sehingga performa dari pompa akan menurun, dan pada akhirnya pompa tersebut menjadi tidak berfungsi. 5) Temperatur udara sekitar adalah 28 o C dan tekanan udara masuk kondensor berpendingin udara adalah 1 atm. Data temperatur dan tekanan diperoleh dari rata-rata nilai harian yang terjadi di pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di daerah Lahendong, Sulawesi Utara.

6) Temperatur udara keluar kondensor adalah 5 o C. Tidak ada persyaratan umum mengenai berapa temperatur keluar dari kondensor berpendingin udara harus dihasilkan. Yang menjadi perhatian adalah masalah yang bisa muncul apabila temperatur udara keluar masih tinggi, misalnya: pengaruh terhadap lingkungan, kesehatan, dan keselamatan. Pada referensi dari Persyaratan Umum Instalasi Listrik (PUIL) [9] tahun 2 dijelaskan bahwa dari segi keamanan, peralatan yang masih bisa disentuh oleh tangan memiliki temperatur maksimum yang diijinkan adalah 55 o C. Apabila terjadi kerusakan pada komponen peralatan, dapat dilakukan perbaikan tanpa harus mengganggu kondisi operasi dari peralatan tersebut. Dengan memberikan asumsi temperatur keluar kondensor adalah 5 o C berarti kondisi tersebut aman untuk digunakan oleh manusia. Dari segi lingkungan dan kesehatan tidak didapatkan referensi yang mensyaratkan temperatur keluar kondensor berpendingin udara harus berapa. Jadi pada proses simulasi ini, digunakan asumsi temperatur keluar kendensor berpendingin udara adalah 5 o C. 7) Efisiensi isentropik turbin adalah 85 persen. Umumnya rentang efisiensi isentropik adalah antara 7 9 persen [1]. Pada proses simulasi ini digunakan efisiensi isentropik 85 persen yang masih berada dalam rentang yang diijinkan. Nilai efisiensi tersebut sudah umum digunakan dalam proses perancangan turbin. Nilai efisiensi isentropik menunjukkan seberapa dekat kondisi yang dihasilkan terhadap kondisi idealnya. 8) Efisiensi isentropik pompa adalah 75 persen. Nilai efisiensi isentropik pompa yang akan digunakan dalam proses simulasi adalah 75 persen, yang didapat dengan cara memplot dari grafik pada Gambar 3.6 di bawah ini. Jumlah kapasitas fluida yang mengalir pada siklus sekitar 45 galon/menit, sehingga bila diplot untuk mencari efisiensi isentropiknya, diperoleh sekitar 75 persen.

Gambar 3.6 Grafik efisiensi isentropik pompa terhadap kapasitas fluida. [7] 9) Penurunan tekanan yang diijinkan pada preheater dan evaporator adalah 5 kpa. Penurunan tekanan diperoleh berdasarkan kelaziman dalam proses perancangan. Menurut referensi [11], untuk preheater, penurunan tekanan maksimum yang diijinkan adalah 7 kpa. Sama juga untuk evaporator dimana terjadi proses pendidihan dan perubahan fasa, tekanan maksimum yang diijinkan adalah 7 kpa. Dalam proses simulasi, nilai penurunan tekanan dibuat seragam yaitu dengan nilai penurunan tekanan 5 kpa untuk preheater dan evaporator. Nilai penurunan tekanan maksimum yang diijinkan tidak dibuat terlalu tinggi.

1) Penurunan tekanan yang diijinkan pada kondensor adalah 34 kpa. Nilai penurunan tekanan tersebut diperoleh berdasarkan kelaziman pada proses perancangan. Menurut referensi [7], untuk proses kondensasi penurunan tekanan yang diijinkan antara 3-7 psi, sehingga diambil nilai rata-ratanya yaitu 5 psi, bila dikonversi menjadi 34 kpa. Nilai penurunan tekanan yang terjadi pada proses kondensasi umumnya tidak bernilai besar. 11) Tekanan pompa injeksi adalah 6 kpa. Besarnya nilai tekanan pada pompa injeksi tergantung dari keadaan sumur injeksi yang ada, apakah bertekanan atau tidak. Bila sumur injeksi tidak bertekanan, kondensat sisa keluaran dari turbin uap dapat langsung dibuang ke sumur injeksi tanpa menggunakan pompa. Asumsi tekanan pompa injeksi 6 kpa diperoleh dari tekanan keluar brine sisa pada siklus biner, dimana nilainya sekitar 6 kpa juga. Nilai tekanan pompa injeksi dibuat kurang lebih sama dengan tekanan keluar brine sisa, sehingga proses injeksinya bisa digabungkan dalam satu pipa keluaran. 3.4 Perhitungan Terjadinya Kerak (Scale) Sebelum melakukan perhitungan untuk memperoleh temperatur minimum/rekristalisasi supaya tidak terjadi kerak. Langah awal yang perlu dilakukan adalah memperoleh kondisi sumur yang uap/brine-nya akan dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi. Kondisi sumur yang dimaksud adalah kandungan/komposisi kimia yang terdapat pada uap/brine tersebut. Pada Tabel 3.1 di bawah ini diberikan komposisi kimia dari brine. Brine tersebut akan dimanfaatkan untuk kajian siklus cetus-biner dalam tugas akhir ini.

Tabel 3.1 Komposisi Kimia Brine dari Sumur LHD-23 Parameter/Komposisi Satuan Nilai ph (25 o C) 2,43 Total Dissolved Solids (TDS) mg/l 427 Total Suspended Solids (TSS) mg/l <1 Besi (Fe) mg/l 6,7 Sulfat (SO 4 2- ) mg/l 984 Bikarbonat (HCO 3 - ) mg/l <1 Klorida (Cl - ) mg/l 1148 Silika (SiO 2 ) mg/l 984 Sodium (Na) mg/l 186 Potasium (K) mg/l 12 Kalsium (Ca) mg/l 1, Magnesium (Mg) mg/l,29 Litium (Li) mg/l 3,2 Sumber: Certificate of Analysis yang dikeluarkan oleh PT. Geoservices (Ltd.) untuk PT. PGE Area Lahendong, 11 Mei 29. Yang menjadi fokus dalam perhitungan terbentuknya kerak adalah kandungan silika (SiO 2 ) yang terkandung pada uap/brine tersebut. Kandungan silikanya adalah 984 mg/l, dengan nilai massa jenis dari silika adalah 2,2 kg/m 3 (http://www.azom.com/details.asp?articleid=4766), akan diperoleh nilai konsentrasi silika 447 mg/kg atau 447 ppm. Perhitungan kerak (scale) yang akan dikaji berdasarkan 3 metode yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, yaitu meode Fournier, metode DiPippo, dan metode Scale Scaling Index (SSI). 3.4.1 Metode Fournier Konsentrasi silika yang terkandung adalah 447 ppm, sehingga dengan metode Fournier yang grafiknya dapat dilihat pada Gambar 3.7, temperatur

minimum (temperatur rekristalisasi) supaya tidak terbentuk kerakk (scale) adalah sekitar 12 o C. A = garis kelarutan amorphous silika B = garis kelarutan β- cristobalite C = garis kelarutan α- cristobalite D = garis kelarutan chalcedony E = garis kelarutan quartz Gambar 3.7 Grafik kandungan silika terhadap temperatur rekristalisasi. [3] Untuk memperoleh temperatur rekristalisasi yang lebih akurat, dapat dipergunakan persamaan yang ada pada garis A untuk amorphous silika, yaitu t o C = Dengan memasukan nilai s adalah kelarutan silika (447 ppm), temperatur rekristalisasi 117,82 o C. (3.1) akan diperoleh 3.4.2 Metode DiPippo Dengan metode DiPippo, temperatur rekristalisasi supayaa tidak terbentuk kerak (scale) bisa didapatkan dari grafik pada Gambar 3.8. Teknikk yang dilakukan sama dengan metode Fournier yaitu memplot nilai konsentrasi silika yang dimiliki untuk diperoleh berapa nilai dari temperatur rekristalisasinya. Kandungan

konsentrasi silika yang terkandung adalah 447 ppm, sehingga dengan metode plot pada grafik diperoleh temperatur rekristalisasi sekitar 12 o C. Gambar 3.8 Grafik konsentrasi silika terhadap temperatur rekristalisasi. [1] Untuk memperoleh temperatur yang lebih akurat, dapat digunakan persamaan garis padaa grafik tersebut, yaitu = - 6,116 +,1625T 1,758 1-5 T 2 + 5,257 1-9 T 3 (3.2) Persamaan di atas digunakan untuk kandungan garam/molalitas m =, nilai T di atas dalam satuan Kelvin (K), dan nilai kelarutan amorphous silika (s) perlu dibagi 58.4, supayaa diperoleh dalam satuan molal NaCl. Dengan bantuan paket program Microsoft Excel, dilakukan coba-coba / trial & error terhadap nilai T, sehingga akhirnya diperoleh nilai T yang sesuai adalah 121,85 o C. 3.4.3 Metode Sillica Scaling Index (SSI) Pada prinsipnya metode ini merupakan modifikasi dari metode DiPippo. Metode SSI merupakan perbandingan antara nilai konsentrasi silika yang terkandung dalam brine terhadap kelarutan dari amorphous silika.

Seperti yang sudah dijelaskan pada sub-bab 2.4.3 di atas, bahwa apabila nilai SSI lebih besar dari 1 maka akan terbentuk kerak, dan sebaliknya bila lebih kecil dari 1 tidak terbentuk kerak. Siklus yang dikaji pada tugas akhir ini adalah siklus cetus-biner yang gambar skematiknya dapat dilihat pada Gambar 3.9. Untuk itu perlu diperhatikan kemungkinan terbentuknya kerak (scale) pada siklus cetusnya maupun pada siklus binernya. x T brine 1 T brine 2 Gambar 3.9 Skematik siklus cetus-biner. Dengan bervariasinya nilai tekanan cetus, didapatkan hubungan bahwa semakin rendah tekanan cetus maka T brine 1 keluar separator semakin rendah. Hal itu memiliki pengaruh terhadap terbentuknya kerak (scale), dimana semakin rendah temperatur maka semakin tinggi potensi terbentuknya kerak. Untuk itu perlu diketahui temperatur rekristalisasinya supaya menjadi batas minimum supaya tidak terbentuk kerak (scale).

Pada tabel 3.2 ditampilkan pengaruh variasi tekanan cetus terhadap temperatur brine 1 keluar dari separator dan nilai SSI-nya. Nilai-nilai tersebut diperoleh dari proses simulasi dengan paket program HYSYS yang diolah dengan bantuan paket program Microsoft Excel. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa nilai SSI = 1 terdapat diantara nilai SSI = 1,4 dan SSI =,96. Dengan proses interpolasi, didapatkan untuk SSI = 1, nilai tekanan (P) cetus = 27 kpa, dan temperatur brine 1 keluar separator adalah 129,93 o C, dapat dilihat pada Gambar 3.1. Proses penurunan tekanan cetus (flashing) minimal dilakukan pada tekanan 27 kpa, karena bila lebih rendah dari tekanan cetus tersebut akan terbentuk kerak (scale) pada saat masuk siklus yang selanjutnya, yaitu siklus biner. Tabel 3.2 Nilai T Brine Keluar Siklus Cetus dan Nilai SSI-nya P cetus (kpa) T brine 1 ( o C) T brine 1 (K) fraksi uap (x) S II (ppm) s (ppm) SSI 79 17, 443, 447, 718,3,62 75 167,84 44,84 447, 74,61,63 7 165,2 438,2,1 451,52 687,24,66 65 162,4 435,4,2 456,12 669,6,68 6 158,87 431,87,2 456,12 649,93,7 55 155,49 428,49,3 46,82 629,8,73 5 151,85 424,85,4 465,63 68,43,77 45 147,91 42,91,5 47,53 585,67,8 4 143,6 416,6,6 475,53 561,25,85 35 138,84 411,84,7 48,65 534,87,9 3 133,49 46,49,8 485,87 56,,96 25 127,38 4,38,9 491,21 474,8 1,4 2 12,17 393,17,1 496,67 437,89 1,13 15 111,32 384,32,12 57,95 395,76 1,28 11 12,27 375,27,14 516,76 355,32 1,45

2 1.6 175 1.4 T brine 1 keluar ( o C) 15 125 1 75 5 25 T brine keluar Terjadi Scaling Tidak Terjadi Scaling 1.2 1.8.6.4.2 Faktor SSI 2 4 6 8 1 P cetus (kpa) Gambar 3.1 Grafik tekanan cetus terhadap temperatur brine keluar dan faktor SSI. Kerak (scale) masih mungkin terjadi pada aliran yang akan melalui siklus biner. Temperatur brine 2 keluar dari penukar panas preheater perlu diperhatikan supaya tidak terlalu rendah. Semakin rendah temperatur brine keluar penukar panas (preheater), semakin besar juga potensi terbentuknya kerak (scale). Untuk mengkaji temperatur brine 2 keluar minimumm supaya tidak terbentuk kerak dan mencari nilai SSI-nya dapat digunakan teknik yang sama seperti di atas. Namun yang perlu diperhatikan adalah adanya pengaruh temperatur pinch, tekanan evaporator, dan jenis fluida kerja yang digunakan. Dari sisi temperatur pinch, variasi yang digunakan adalah 5, 1, 15, dan 2 o C. Rentang tekanan evaporator yang digunakan tergantung dari jenis fluida kerja. Dari empat jenis fluida kerja yang dikaji, yaitu i-pentana, n-pentana, i-butana, dan n-butana masing-masing memiliki grafik yang berbeda, sehingga nilai dari temperatur brine 2 keluarnya akan berbeda pula. Pengaruh jenis fluida kerja terhadap temperatur brine keluar tidak besar, sehingga untuk menghitung nilai SSI-nya akan digunakan temperaturr rekristalisasi maksimumnya. Pada grafik di bawah ini akan dikaji untuk jenis fluida kerja i-pentana.

Pada Gambar 3.11 dan Gambar 3.12 dapat dilihat grafik yang menunjukkan adanyaa pengaruh temperatur pinch terhadap tekanan evaporator, temperatur brine keluar dan nilai SSI-nya. 18 3 16 14 T brine keluar 2.5 T brine keluar ( o C) 12 1 8 6 4 2 SSI 2 1.5 1.5 Faktor SSI 4 8 12 16 2 24 P evaporator (kpa) Gambar 3.11 Grafik variasi tekanan cetus terhadap T brine keluar, SSI pada T pinch 5 o C. T brine keluar ( o C) 18 16 14 12 1 8 6 4 2 3 2.5 2 1.5 1.5 Faktor SSI 4 8 12 16 2 P evaporator (kpa) 24 Gambar 3.12 Grafik variasi tekanan cetus terhadap T brine keluar, SSI pada T pinch 1 o C.

Pada temperatur pinch 5 o C, untuk tekanan evaporator 2 kpa diperoleh temperatur brine keluar ± 14 o C dan nilai SSI ±,8, sedangkan pada temperatur pinch 1 o C, untuk tekanan evaporator 2 kpa diperoleh temperatur brine keluar ± 152 o C dan nilai SSI ±,75. Didapatkan kesimpulan bahwa semakin besar temperatur pinch, semakin besar juga temperatur brine keluar yang dihasilkan sehingga potensi terbentuknya kerak (scale) akan semakin kecil. Pengaruh jenis fluida kerja dapat dilihat pada Gambar 3.13, dimana tekanan cetus yang dikaji adalah sama yaitu 79 kpa dan nilai temperatur pinch yang sama juga yaitu 5 o C. 18. 3. i-pentana T brinekeluar ( o C) 16. 14. 12. 1. 8. 6. 4. 2.. 1 2 3 4 P evaporator Gambar 3.13 Pengaruh jenis fluida kerja terhadap T brine keluar dan nilai SSI pada P cetus 79 kpa, T pinch 5 o C yang sama. 2.5 2. 1.5 1..5. Faktor SSI n-pentana i-butana n-butana i-pentana terbentuk kerak i-pentana tidak terbentuk kerak n-pentana terbentuk kerak n-pentana tidak terbentuk kerak i-butana terbentuk kerak n-butana terbentuk kerak Pada tekanan evaporator yang sama yaitu 1 kpa, fluida kerja n-pentana memiliki temperatur brine keluar yang paling tinggi dibandingkan yang lainnya, sedangkan fluida kerja i-butana memiliki temperatur brine keluar yang paling rendah. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik fluida kerja tersebut, dimana setiap jenis fluida kerja memiliki tekanan dan temperatur kritis yang berbeda-beda. Nilai temperatur dan tekanan kritis-nya dapat dilihat pada Tabel 3.3 di bawah ini.

Tabel 3.3 Tekanan dan Temperatur Kritis Setiap Jenis Fluida Kerja Parameter i-butana n-butana i-pentana n-pentana Tekanan kritis (kpa) 3648 3797 3334 3375 Temperatur kritis ( o C) 134,9 152 187,2 196,5 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa fluida kerja n-pentana memiliki temperatur kritis yang paling tinggi dibandingkan yang lain, sedangkan fluida kerja i-butana memiliki temperatur kritis yang paling rendah. Hal ini yang mempengaruhi fluida kerja n-pentana memiliki temperatur keluar brine yang paling tinggi, sedangkan i-butana memiliki temperatur keluar brine yang paling rendah. Adanya pengaruh tekanan cetus, temperatur pinch, dan jenis fluida kerja terhadap temperatur brine keluar minimum supaya tidak terbentuk kerak, membuat banyak perhitungan yang perlu dilakukan. Untuk mempermudah proses perhitungan ini dibantu dengan bantuan paket program Microsoft Excel. Dengan metode SSI, diperoleh temperatur keluar brine supaya tidak terbentuk kerak adalah 122 o C. Dari ketiga metode yang dikaji pada tugas akhir ini, ternyata setiap metode menghasilkan temperatur rekristalisasi yang berbeda. Perbedaan hasil dari setiap metode dapat dilihat pada Tabel 3.4 di bawah ini Tabel 3.4 Perbandingan Nilai T Rekristalisasi Dengan Berbagai Metode Fournier DiPippo SSI T rekristalisasi ( o C) 117,82 121,85 122 Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa metode SSI memiliki temperatur rekristalisasi yang paling tinggi, yang berarti sangat ketat terhadap potensi terbentuknya kerak. Sedangkan metode Fournier memiliki temperatur rekristalisasi yang paling rendah. Dalam kajian siklus cetus-biner ini metode yang akan digunakan adalah metode SSI, karena memiliki nilai temperatur rekristalisasi yang paling ketat. Selain itu, metode SSI ini paling umum digunakan pada praktik di lapangan, seperti oleh PT. Pertamina Geotermal Energi (PT. PGE).

3.5 Simulasi dengan Paket Program HYSYS Proses simulasi dengan paket program HYSYS dimulai dengan memasukkan jenis fluida kerja, persamaan tingkat keadaan, dan data-data yang diperlukan dalam pemodelan siklus cetus-biner. Persamaan tingkat keadaan yang akan digunakan adalah persamaan Peng-Robinson, sedangkan jenis fluida kerja yang akan dikaji adalah i-pentana, n-pentana, i-butana, dan n-butana. Komponen yang diperlukan untuk memodelkan siklus cetus-biner adalah: katup ekspansi, separator, turbin, kondensor, pompa, kipas, preheater, dan evaporator. Contoh pemodelan dengan paket program HYSYS akan ditampilkan pada Gambar 3.14 di bawah ini. Keterangan gambar yang berupa nomor menunjukkan bahwa fluida kerja yang digunakan adalah air, untuk keterangan gambar yang berupa huruf kapital (X, X1, Y, Y1, Z, dan Z1) menunjukkan udara, sedangkan untuk keterangan gambar yang berupa huruf kapitil (a, b, c, d, dan e) menunjukkan fluida kerja organik yang digunakan pada siklus biner. Gambar 3.14 Pemodelan siklus cetus-biner dengan paket program HYSYS.

Keempat jenis fluida kerja yang dikaji memiliki bentuk pemodelan yang sama pada paket program HYSYS, dimana yang berbeda hanya jenis fluida kerja organik yang digunakan. Parameter bebas yang akan divariasikan pada proses simulasi ini adalah tekanan cetus (2), tekanan evaporator (e), dan temperatur pinch pada evaporator. Akan dilihat pengaruh dari parameter tersebut terhadap kinerja siklus cetus-biner secara keseluruhan, terutama terhadap daya netto yang dihasilkan. Rentang tekanan cetus yang digunakan adalah 11-79 kpa dengan kenaikan 1 kpa (11, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 79 kpa). Nilai tekanan cetus yang tertinggi adalah 79 kpa. Apabila tekanan yang digunakan lebih besar dari 79 kpa, maka pada proses ekspansi oleh katup tidak dihasilkan uap. Akibatnya siklus cetus tidak dapat beroperasi karena tidak ada pasokan uap yang masuk ke dalam turbin. Nilai tekanan cetus terendah yang digunakan adalah 11 kpa. Bila digunakan nilai tekanan cetus lebih rendah dari 11 kpa maka kesetimbangan energi yang terjadi pada evaporator dalam siklus biner tidak tercapai. Nilai tekanan cetus akan mempengaruhi besarnya temperatur masuk brine pada evaporator. Nilai temperatur akan mempengaruhi besarnya nilai energi kalor (Q), padahal prinsip kerja penukar panas adalah kesetimbangan energi antara kalor yang dilepaskan harus sebanding dengan kalor yang diterima. Nilai temperatur pinch yang dikaji akan divariasikan pada nilai 5, 1, 15, dan 2 o C. Nilai temperatur pinch adalah selisih nilai temperatur terkecil yang dapat dicapai pada penukar panas, antara sisi yang melepaskan panas dan sisi yang menerima panas. Rentang nilai tekanan evaporator bergantung pada jenis fluida kerja yang digunakan dan terhadap nilai tekanan cetus yang digunakan. Untuk fluida kerja i- pentana dan n-pentana, tekanan evaporator terendah yang dapat digunakan adalah 25 kpa. Sedangkan untuk fluida kerja i-butana dan n-butana, tekanan evaporator terendah yang dapat digunakan adalah 65 kpa. Terdapat tiga variabel bebas yang ingin diketahui hubungannya (tekanan cetus, tekanan evaporator, dan temperatur pinch). Untuk itu teknik yang akan digunakan adalah membuat dua variabel tersebut konstan, misalnya untuk langkah

pertama divariasikan nilai tekanan cetus pada tekanan evaporator dan temperatur pinch konstan, kemudian divariasikan nilai tekanan evaporator pada tekanan cetus dan temperatur pinch konstan, dan divariasikan nilai temperatur pinch pada nilai tekanan cetus dan tekanan evaporator yang konstan. Paket program HYSYS dapat digunakan untuk mengetahui nilai satu hubungan yang divariasikan terhadap nilai lain yang ingin diketahui nilai dan hubungannya. Pada Gambar 3.15 akan ditampilkan contoh variasi tekanan evaporator pada salah satu nilai tekanan cetus dan temperatur pinch yang konstan terhadap nilai daya turbin, pompa dan kipas. Gambar 3.15 Hasil proses simulasi dengan paket program HYSYS. Proses yang sama diterapkan untuk semua fluida kerja yang dikaji dan untuk variasi nilai yang ingin diketahui hubungannya satu dengan yang lain. Diperlukan bantuan paket program lembar kerja Microsoft Excel untuk mempermudah proses analisis dan optimasinya.

3.6 Analisis Hasil Simulasi Setelah dilakukan proses pemodelan dan simulasi dengann bantuan paket program HYSYS, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah menganalisis hasil yang didapatkan dari proses simulasi. Untuk menganalisis hasil simulasi digunakan bantuan paket program Microsoft Excel. Dengan bantuan paket program tersebut akan diperoleh grafik, sehingga akan memudahkan dalam proses pemahaman. Parameter yang merupakan variabel bebas dalam proses simulasi adalah tekanan cetus, tekanann evaporator, dan temperatur pinch. Apabila temperatur pinch dibuat konstan, sedangkan tekanan evaporator dan tekanan cetus divariasikan maka akan didapat hubungan seperti pada Gambar 3.16, dimana nilai temperatur pinch yang digunakan adalah 5 o C. 6 5 Daya Turbin (kw) 4 3 2 Daya Turbin Organik 1 Daya Turbin Uap 5 1 15 2 25 P evaporator(kpa) Gambar 3.16 Pengaruh daya turbin akibat variasi P evaporator dan P cetus pada T pinch 5 o C. Grafik yang berbentuk payung merupakan grafik daya turbin yang dihasilkan oleh turbin organik, sedangkan garis lurus merupakan daya turbin yang dihasilkan oleh turbin uap pada siklus cetus. Dapat dilihat padaa gambar di atas

bahwa apabila tekanan cetusnya semakin tinggi maka daya turbin organik akan semakin besar sedangkan daya turbin uap akan semakin kecil. Hal ini disebabkan jumlah uap yang dihasilkan untuk siklus cetus tidak banyak. Untuk daya turbin uap pada siklus cetus tidak dipengaruhi oleh tekanan evaporator. Daya turbin uap akan bernilai konstan untuk berapa pun nilai tekanan evaporator. Daya turbin biner dipengaruhi oleh tekanan evaporator, dimana ada nilai tekanan evaporator yang dapat menghasilkan daya turbin maksimum (ada titik puncaknya). Apabila tekanan cetus dibuat konstan sebagai contoh pada 79 kpa, sedangkan nilai dari tekanan evaporator dan temperatur pinch divariasikan, maka akan didapat grafik seperti pada Gambar 3.17. 55 51 47 43 Daya turbin (kw) 39 35 31 27 23 19 15 11 7 3-1 1 2 3 Daya turbin cetus (T pinch=5) Daya turbin biner (T pinch=5) Daya turbin cetus (T pinch=1) Daya turbin biner (T pinch=1) Daya turbin cetus (T pinch=15) Daya turbin biner (T pinch =15) Daya turbin cetus (T pinch = 2) Daya turbin biner (T pinch=2) P evaporator(kpa) Gambar 3.17 Pengaruh daya turbin terhadap variasi P evaporator dan T pinch Grafik yang berbentuk payung adalah grafik daya turbin organik, sedangkan untuk daya turbin uap bernilai konstan. Dari grafik di atas didapatkan hubungan apabila nilai dari T pinch diperbesar, maka daya turbin organik akan semakin kecil sedangkan daya turbin uap akan bernilai konstan. Tekanan

evaporator tidak berpengaruh terhadap daya turbin uap yang dihasilkan, tetapi berpengaruh terhadap daya turbin biner. Ada kondisi tekanan evaporator optimum yang dapat menghasilkan daya turbin biner yang paling optimum. Kondisi yang paling optimum untuk menghasilkan daya turbin maksimum adalah pada nilai temperatur pinch yang kecil. Tetapi nilai T pinch yang terlalu kecil akan berakibat penukar panas memerlukan luas penampang perpindahan panas yang sangat besar, sehingga pada tugas akhir ini nilai temperatur pinch minimum yang digunakan adalah 5 o C. Pada Gambar 3.18 akan ditampilkan pengaruh variasi nilai temperatur pinch dan tekanan cetus terhadap daya netto yang dihasilkan. 44 42 Daya Netto (kw) 4 38 36 34 32 3 28 5 1 15 2 25 ΔT pinch( o C) 79 kpa 74 kpa 64 kpa 54 kpa 44 kpa 34 kpa 24 kpa Gambar 3.18 Pengaruh nilai T pinch terhadap daya netto untuk berbagai P cetus. Pada grafik di atas didapat hubungan bahwa semakin besar nilai temperatur pinch maka daya netto yang dihasilkan akan semakin kecil. Nilai tekanan cetus memiliki nilai optimumnya untuk dapat menghasilkan daya netto yang terbesar. Grafik di atas didapatkan dengan membuat nilai tekanan evaporator konstan pada 6 kpa. Pada intinya grafik di atas dapat dibuat untuk berbagai variasi nilaii tekanan evaporator, sehingga akan didapatkan daya netto maksimum. Pada sub-bab 3.4 di atas telah dijelaskan adanya pengaruh pembentukan kerak terhadap performa suatu PLTP. Oleh karena itu, dalam analisis fluida kerja

yang dikaji perlu diperhatikan kemungkinan terbentuknya kerak. Terbentuknya kerak merupakan suatu batasan, dimana apabila didapatkan daya netto terbesar pada suatu kondisi tetapi terbentuk kerak maka kondisi tersebut tidak dapat digunakan. Optimasi terhadap parameter ini perlu diperhatikan dalam mengkaji daya netto suatu siklus pembangkit listrik tenaga panas bumi. 3.6.1 Fluida Kerja i-pentana Pada fluida kerja i-pentana akan dikaji kondisi yang dapat menghasilkan daya netto maksimum, dengan memperhatikan kemungkinan terbentuknya kerak. Pada Gambar 3.19 akan ditampilkan grafik yang menjelaskan hubungan daya netto, faktor SSI, dan temperatur brine keluar terhadap variasi tekanan cetus dan tekanan evaporator pada T pinch yang konstan, yaitu 5 o C. 18 5 16 14 Daya Turbin Netto (MW) 4 T brinekeluar ( o C) 12 1 8 6 4 2 Faktor SSI T brine keluar 3 2 1 Daya Netto (MW) dan Faktor SSI 5 1 15 2 25-1 P evaporator(kpa) Gambar 3.19 Pengaruh P cetus dan P evaporator terhadap daya netto, faktor SSI, T brine keluar pada T pinch 5 o C.

Cara baca grafik di atas ditunjukan dengan tanda panah yang diberikan. Untuk suatu nilai tekanan cetus dan tekanan evaporator tertentu dapat dilihat nilai dari daya netto, faktor SSI, dan temperatur brine keluar dengan cara memplotnya pada sumbu y di sebelah kiri dan kanan dengan mengikuti tanda panah berwarna merah. Arah tanda panah berwarna hitam menunjukkan variasi tekanan cetus yang nilainya semakin kecil. Nilai sumbu y sebelah kiri menunjukkan temperatur brine keluar, sedangkan sumbu y sebelah kanan menunjukkan nilai dari daya netto dan faktor SSI. Grafik di atas dibuat dengan nilai T pinch yang konstan, yaitu 5 o C. Sama juga untuk nilai T pinch 1, 15, dan 2 o C yang akan ditampilkan berturutturut pada Gambar 3.2, Gambar 3.21, dan Gambar 3.22. 18 16 Daya Turbin Netto (MW) 4.5 4 T brinekeluar ( o C) 14 12 1 8 6 4 Faktor SSI T brine keluar 3.5 3 2.5 2 1.5 1.5 Daya Netto (MW) dan Faktor SSI 2 5 1 15 2 25 -.5 P evaporator(kpa) Gambar 3.2 Pengaruh P cetus dan P evaporator terhadap daya netto, faktor SSI, T brine keluar pada T pinch 1 o C.

18 16 Daya Turbin Netto (MW) 4 3.5 T brine keluar ( o C) 14 12 1 8 6 4 Faktor SSI T brine keluar 3 2.5 2 1.5 1.5 Daya Netto (MW) dan Faktor SSI 2 5 1 15 2 -.5 P evaporator(kpa) Gambar 3.21 Pengaruh P cetus dan P evaporator terhadap daya netto, faktor SSI, T brine keluar pada T pinch 15 o C. 18 4 16 Daya Turbin Netto (MW) 3.5 T brinekeluar ( o C) 14 12 1 8 6 4 Faktor SSI T brine keluar 3 2.5 2 1.5 1.5 Daya Netto (MW) dan Faktor SSI 2 5 1 15 2 -.5 P evaporator(kpa) Gambar 3.22 Pengaruh P cetus dan P evaporator terhadap daya netto, faktor SSI, T brine keluar pada T pinch 2 o C.

Pada analisis fluida kerja organik i-pentana, didapatkan kondisi optimum untuk menghasilkan daya netto maksimum 3,8 MW adalah pada T pinch 5 o C, tekanan cetus 6 kpa, dan tekanan evaporator 15,6 kpa. 3.6.2 Fluida Kerja n-pentana Cara yang sama seperti fluida kerja i-pentana, akan divariasikan nilai tekanan cetus dan tekanan evaporator pada T pinch yang konstan untuk dilihat pengaruhnya terhadap nilai daya netto, temperatur brine keluar, dan faktor SSI. Pengaruh dan hubungan tersebut akan ditampilkan pada Gambar 3.23, Gambar 3.24, Gambar 3.25, dan Gambar 3.26. 18 16 Daya Turbin Netto (MW) 4 3.5 T brine keluar ( o C) 14 12 1 8 6 4 Faktor SSI T brine keluar 3 2.5 2 1.5 1.5 Daya Netto (MW) dan Faktor SSI 2 5 1 15 2 25 -.5 P evaporator(kpa) Gambar 3.23 Pengaruh P cetus dan P evaporator terhadap daya netto, faktor SSI, T brine keluar pada T pinch 5 o C.

18 4 16 Daya Turbin Netto (MW) 3.5 T brine keluar ( o C) 14 12 1 8 6 4 Faktor SSI T brine keluar 3 2.5 2 1.5 1.5 Daya Netto (MW) dan Faktor SSI 2 5 1 15 2 -.5 P evaporator(kpa) Gambar 3.24 Pengaruh P cetus dan P evaporator terhadap daya netto, faktor SSI, T brine keluar pada T pinch 1 o C. 18 16 Daya Turbin Netto (MW) 3.5 3 T brine keluar ( o C) 14 12 1 8 6 4 Faktor SSI T brine keluar 2.5 2 1.5 1.5 Daya Netto (MW) dan Faktor SSI 2 2 4 6 8 1 12 14 16 18 -.5 P evaporator(kpa) Gambar 3.25 Pengaruh P cetus dan P evaporator terhadap daya netto, faktor SSI, T brine keluar pada T pinch 15 o C.

18 3.5 16 Daya Turbin Netto (MW) 3 T brine keluar ( o C) 14 12 1 8 6 4 Faktor SSI T brine keluar 2.5 2 1.5 1.5 Daya Netto (MW) dan Faktor SSI 2 2 4 6 8 1 12 14 16 -.5 P evaporator(kpa) Gambar 3.26 Pengaruh P cetus dan P evaporator terhadap daya netto, faktor SSI, T brine keluar pada T pinch 2 o C. Analisis yang sama dengan fluida kerja i-pentana dilakukan untuk fluida kerja n-pentana, dimana untuk mendapatkan daya netto maksimum sebesar 2,79 MW diperlukan kondisi operasi yang optimum yaitu pada T pinch 5 o C, tekanan cetus 5 kpa, dan tekanan evaporator 1187,5 kpa. 3.6.3 Fluida Kerja i-butana Dalam mengkaji fluida kerja i-butana dilakukan cara yang sama seperti mengkaji fluida kerja i-pentana dan n-pentana. Pada Gambar 3.27, akan ditampilkan grafik yang menggambarkan pengaruh variasi tekanan cetus dan tekanan evaporator terhadap daya netto pada nilai T pinch 5 o C. Sedangkan pada Gambar 3.28, Gambar 3.29, Gambar 3.3, dan Gambar 3.31 akan ditampilkan variasi pengaruh tekanan cetus dan tekanan evaporator terhadap daya netto, temperatur brine keluar, dan faktor SSI pada nilai T pinch yang konstan.

8 Daya netto (kw) 7 6 5 4 3 2 1-1 Daya Turbin Netto (kw) 1 2 3 4 P katup 79 kpa P katup 7 kpa P katup 6 kpa P katup 5 kpa P katup 4 kpa P katup 3 kpa P katup 2 kpa P katup 11 kpa P evaporator(kpa) Gambar 3.27 Pengaruh variasi P cetus dan evaporator terhadap daya netto yang dihasilkan pada T pinch 5 o C. Pada grafik di atas terjadi anomali, dimana untuk nilai tekanan cetus dan tekanan evaporator tertentu grafik daya mengalami kenaikan lagi. Apabila ingin dilihat pengaruhnya apabila nilai T pinch diubah, dapat dilihat pada grafik di bawah ini. 14 8 T brine keluar ( o C) 12 1 8 6 4 2 Daya Turbin Netto (MW) Faktor SSI T brine keluar 7 6 5 4 3 2 1 Daya Netto (MW) dan Fakor SSI 1 2 3 4-1 P evaporator(kpa) Gambar 3.28 Pengaruh variasi tekanan cetus dan tekanan evaporator terhadap daya netto, faktor SSI, T brine keluar pada T pinch 5 o C.

Tbrinekeluar ( o C) 14 12 1 8 6 4 2 8 7 6 T brine keluar 5 Daya Turbin Netto (MW) 4 3 2 Faktor SSI 1 1 2 3 4 P evaporator(kpa) Daya Netto (MW) dan Fakor SSI Gambar 3.29 Pengaruh P cetus dan P evaporator terhadap daya netto, faktor SSI, T brine keluar pada T pinch 1 o C. 14 7 Tbrinekeluar ( o C) 12 1 8 6 4 2 T brine keluar Faktor SSI Daya Turbin Netto (MW) 6 5 4 3 2 1 Daya Netto (MW) dan Fakor SSI 5 1 15 2 25 3 35 4 P evaporator(kpa) Gambar 3.3 Pengaruh P cetus dan P evaporator terhadap daya netto, faktor SSI, T brine keluar pada T pinch 15 o C.

14 7 12 6 Tbrinekeluar ( o C) 1 8 6 4 2 T brine keluar Faktor SSI Daya Turbin Netto (MW) 5 4 3 2 1 Daya Netto (MW) dan Fakor SSI 5 1 15 2 25 3 35 4 Gambar 3.31 Pengaruh P cetus dan P evaporator terhadap daya netto, faktor SSI, T brine keluar pada T pinch 2 o C. Pada grafik di atas dapat diamati bahwa terjadi anomali pada grafik yang dihasilkan. Anomali tersebut umumnya terjadi untuk tekanan evaporator dan tekanan cetus yang tinggi. Hal ini menyebabkan dugaan bahwa penyebab anomali tersebut adalah pemilihan persamaan tingkat keadaan yang kurang tepat, karena persamaan tingkat keadaan cukup berpengaruh terhadap nilai dari suatu kondisi/tingkat keadaan. P evaporator(kpa) Diperlukan kajian mengenai kesesuaian dalam pemilihan tingkat keadaan, apakah sudah sesuai atau tidak. Setelah berdiskusi dengan dosen pembimbing, mereka menyarankan untuk berdiskusi dengan Dr. Ir. I Made Astina untuk membahas mengenai anomali tersebut. Beliau ahli di bidang persamaan tingkat keadaan. Setelah berdiskusi dengan Pak Made dan mahasiswa doctor-nya Chan Sarin, mereka menyarankan untuk menguji nilai dari persamaan peng-robinson yang digunakan dalam paket program HYSYS untuk dibandingkan dengan hasil dari paket program REFPROP 6, yang memiliki nilai yang lebih mendekati dengan hasil eksperimen untuk berbagai refrigeran. Yang akan dikaji adalah sifat dari fluida kerja organik. Paket program REFPROP dikembangkan oleh National

Institute of Standards and Technology (NIST) yang merupakan suatu lembaga yang meneliti standar dan teknologi yang digunakan saat ini. Lembaga ini bekerja di bawah departemen perdagangan Amerika Serikat. Dengan mengacu pada nilai yang dihasilkan oleh paket program REFPROP, dibuat grafik P-h seperti pada Gambar 3.32. Mengapa dipilih grafik P- h, karena pada grafik P-h ditampilkan pengaruh dari tekanan terhadap nilai entalpi (h), dimana untuk mencari daya diperlukan faktor beda entalpi ( h). 4 35 3 Tekanan (P) kpa 25 2 15 1 5 P-h HYSYS wet P-h REFPROP wet P-h HYSYS dry P-h REFPROP dry -2.. 2. 4. 6. 8. Entalpi (h) kj/kg Gambar 3.32 Perbandingan grafik P-h hasil HYSYS Vs REFPROP. Grafik di atas didapat dengan melakukan normalisasi nilai entalpi (h) terlebih dulu, karena nilai referensi entalpi tersebut berbeda. Setelah dilakukan normalisasi kemudian dibuat grafiknya seperti gambar di atas. Dari grafik di atas, didapatkan hasil bahwa perbedaan nilai entalpi (h) untuk suatu nilai tekanan rata-rata, beda maksimumnya 2,52%. Dari hasil kajian ini, didapat kesimpulan bahwa persamaan tingkat keadaan yang digunakan pada paket program HYSYS sudah tepat dan bernilai benar. Setelah didapatkan kesimpulan bahwa nilai dari entalpi (h) bernilai benar, sehingga nilai dari beda entalpi ( h) juga akan bernilai benar. Berarti ada faktor lain yang menyebabkan hal tersebut. Kita tahu bahwa nilai daya (W) merupakan

perkalian antara laju massa ( ) dengan nilai beda entalpi ( h). Sehingga muncul dugaan bahwa nilai laju massa ini yang berpengaruh. Kemudian dilakukan kajian tentang laju massa, dimana nilai laju massa terhadap variasi tekanan cetus dan tekanan evaporator untuk fluida kerja i-butana ditampilkan pada Gambar 3.33. 7 8 Laju aliran massa(kg/h) 6 5 4 3 2 1 7 6 5 4 3 2 1 Daya Netto (kw) laju massa pada P cetus 7 kpa laju massa pada P cetus 5 kpa daya netto pada p cetus 7 kpa daya netto pada P cetus 5 kpa 1 2 3 4 P evaporator(kpa) Gambar 3.33 Pengaruh laju massa terhadap daya netto pada fluida kerja i-butana. Pada grafik di atas dapat diperhatikan bahwa ketika nilai dari laju massa mengalami kenaikan, pada saat itu juga nilai dari daya netto mengalami kenaikan. Dapat dibandingkan dengan grafik pengaruh laju massa terhadap daya netto untuk fluida kerja i-pentana, seperti pada Gambar 3.34. 7 5 Laju aliran massa(kg/h) 6 5 4 3 2 1 45 4 35 3 25 2 15 1 5 Daya Netto (kw) laju massa pada P eva 5 kpa laju massa pada P eva 7 kpa daya netto pada P eva 5 kpa daya netto pada P eva 7 kpa 1 2 3 P evaporator(kpa) Gambar 3.34 Pengaruh laju massa terhadap daya netto pada fluida kerja i-pentana.

Pada grafik pengaruh laju massa terhadap daya netto untuk fluida kerja i- pentana, dapat dilihat bahwa kecenderungan laju aliran massanya adalah menurun. Sedangkan laju aliran massa pada fluida kerja i-butana mengalami kenaikan pada tekanan yang semakin tinggi. Untuk mengetahui jawaban atas persoalan tersebut, perlu dilakukan kajian terhadap neraca kesetimbangan energi pada penukar panas, khususnya evaporator. Gambar 3.35 menunjukkan gambar rangkaian penukar panas yang ada pada siklus biner, yaitu preheater dan evaporator. Keterangan nomor menujukkan aliran brine (3, 11, dan 12), sedangkan keterangan huruf menunjukkan aliran fluida kerja organik (d, e, dan a). Persamaan neraca energi pada evaporator: m b (h 3 -h 11 ) = m fk (h a -h e ) (3.3) Sehingga, m fk = [m b (h 3 -h 11 )]/(h a -h e ) (3.4) Gambar 3.35 Rangkaian penukar panas. - Tingkat keadaan 3: laju massa konstan tergantung dari nilai tekanan cetus, dimana data temperatur (T) dan tekanan (P) diketahui, sehingga bisa dicari nilai entalpi (h 3 ), yang nilainya akan bernilai konstan. - Tingkat keadaan e: ditentukan berfasa cair jenuh (x = ), dengan divariasikannya nilaii tekanan evaporator (P e ), sehingga nilai entalpi (h e ) bisa diperoleh. - Tingkat keadaan a: ditentukan berfasa uap jenuh, dimanaa nilai tekanan a (P a ) didapatkan dengan mengurangi tekanan evaporator (P e e) dengan nilai penurunan tekanan ( P) yang ditentukan pada proses simulasi, sehingga nilai entalpi (h a ) dapat ditentukan.

- Tingkat keadaan 11: temperatur (T 11 ) didapatkan dengan menambahkan temperatur pada kondisi e (T e ) dengan nilai temperatur pinch yang diketahui nilainya dan divariasikan, sedangkan nilai tekanan (P 11 ) didapatkan dengan mengurangkan nilai tekanan pada keadaan 3 (P 3 ) yang sudah diketahui nilainya dengan nilai penurunan tekanan ( P) pada penukar panas yang ditentukan nilainya. Dengan diketahuinya nilai temperatur dan tekanan maka nilai dari entalpi 11 (h 11 ) bisa didapatkan. Dengan diketahuinya semua nilai entalpi (h) dan laju massa brine, maka nilai laju massa fluida kerja organik bisa didapatkan. Apabila nilai tekanan evaporator (P e ) dinaikkan terus, maka nilai temperatur e (T e ) juga akan mengalami kenaikan. Sedangkan dengan kenaikan nilai temperatur e akan berakibat nilai temperatur 11 akan mengalami kenaikan juga. Dengan kenaikan temperatur 11 maka nilai dari entalpi 11 (h 11 ) akan semakin mendekati nilai entalpi 3 (h 3 ), sehingga nilai dari beda entalpi ( h) akan semakin kecil, yang berarti nilai pembilang akan semakin kecil. Di saat yang bersamaan semakin tinggi nilai tekanan evaporator (P e ) maka nilai dari beda entalpi (h a - h e ) akan semakin kecil juga. Fluida kerja organik memiliki karakteristik ketika semakin tinggi nilai tekanan maka nilai beda entalpi akan semakin kecil, dapat dilihat pada Gambar 3.36, dimana akan ditampilkan grafik tekanan (P) terhadap nilai entalpi (h). Tekanan (P) kpa 4 35 3 25 2 15 1 5-32 -27-22 -17 wet dry Entalpi (h) kj/kg Gambar 3.36 Grafik P-h untuk i-pentana hasil HYSYS.

Nilai penurunan beda entalpi faktor pembilang (h 3 - h 11 ) lebih besar dari pada penurunan faktor penyebut (h a - h e ), sehingga nilai laju massa fluida kerja i- pentana akan semakin kecil/menurun. Lain halnya dengan yang terjadi pada fluida kerja i-butana, dimana apabila tekanan evaporator dinaikan sampai nilai tertentu maka nilai dari faktor penyebut (h a - h e ) mengalami pengecilan yang lebih ekstrim dibandingkan dengan nilai pada faktor pembilang (h 3 - h 11 ), hal ini dikarenakan karakteristik yang dimiliki oleh fluida kerja i-butana. Sebagai gambaran untuk tekanan evaporator yang sama misalnya 2 kpa, nilai T jenuh i-butana jauh lebih kecil dari T jenuh i-pentana (T jenuh i-butana = 1 o C dan T jenuh i-pentana = 154 o C). Hal ini juga yang mengakibatkan fluida kerja i-butana dapat terus digunakan dengan menaikkan nilai tekanan evaporator, selama nilai entalpi 11 (h 11 ) belum mendekati nilai entalpi 3 (h 3 ). Fluida kerja i-butana akan menghasilkan daya netto maksimum 2,92 MW pada kondisi tekanan cetus 5 kpa, tekanan evaporator 35 kpa, dan nilai T pinch 15 o C. 3.6.4 Fluida Kerja n-butana Sama seperti untuk ketiga fluida kerja yang telah dibahas, untuk mengkaji fluida kerja n-butana dilakukan cara yang sama. Akan dilihat pengaruh tekanan cetus, tekanan evaporator terhadap nilai daya netto, temperatur brine keluar dan faktor SSI untuk nilai T pinch yang konstan. Pada analisis fluida kerja n-butana ini, ditemukan anomali yang serupa pada i-butana. Pada Gambar 3.37, Gambar 3.38, Gambar 3.39, dan Gambar 3.4 ditampilkan grafik yang menujukkan pengaruh tekanan cetus, tekanan evaporator terhadap daya netto, faktor SSI, dan temperatur brine keluar pada T pinch yang konstan.

16 9 14 8 T brinekeluar ( o C) 12 1 8 6 4 T brine keluar Daya Turbin Netto (MW) 7 6 5 4 3 2 Daya Netto (MW) dan Faktor SSI 2 Faktor SSI 1 1 2 3 4 P evaporator(kpa) Gambar 3.37 Pengaruh P cetus dan P evaporator terhadap daya netto, faktor SSI, T brine keluar pada T pinch 5 o C. 16 7 14 T brine keluar 6 T brinekeluar ( o C) 12 1 8 6 4 Daya Turbin Netto (MW) 5 4 3 2 Daya Netto (MW) dan Faktor SSI 2 Faktor SSI 1 5 1 15 2 25 3 35 4 P evaporator(kpa) Gambar 3.38 Pengaruh P cetus dan P evaporator terhadap daya netto, faktor SSI, T brine keluar pada T pinch 1 o C.

16 5 14 T brine keluar 4.5 T brinekeluar ( o C) 12 1 8 6 4 2 Daya Turbin Netto (MW) Faktor SSI 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1.5 Daya Netto (MW) dan Faktor SSI 5 1 15 2 25 3 35 4 P evaporator(kpa) Gambar 3.39 Pengaruh P cetus dan P evaporator terhadap daya netto, faktor SSI, T brine keluar pada T pinch 15 o C. 18 5 16 T brine keluar 4.5 T brinekeluar ( o C) 14 12 1 8 6 4 2 Daya Turbin Netto (MW) Faktor SSI 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1.5 Daya Netto (MW) dan Faktor SSI 5 1 15 2 25 3 35 4 P evaporator(kpa) Gambar 3.4 Pengaruh P cetus dan P evaporator terhadap daya netto, faktor SSI, T brine keluar pada T pinch 2 o C.

Analisis yang sama juga berlaku untuk anomali yang terjadi pada fluida kerja n-butana. Untuk menghasilkan daya netto maksimum 3,6 MW diperlukan kondisi operasi tekanan cetus 6 kpa, tekanan evaporator 3533,33 kpa, dan temperatur pinch 5 o C. Dari keempat jenis fluida kerja yang dikaji, dapat dibuatkan tabel yang membandingkan keempat jenis fluida kerja bersama dengan kondisi operasinya. Tabel 3.5 Perbandingan Kondisi Operasi Keempat Jenis Fluida Kerja Organik Parameter i-butana n-butana i-pentana n-pentana T pinch ( o C) 15, 5, 5, 5, P cetus (kpa) 5, 6, 6, 5, SSI,97,97,97,97 P evaporator (kpa) 35, 3533,33 15,6 1187,5 Daya Netto (kw) 2915,79 357,31 377,64 2793,85 Persen Beda Daya Netto (%) -,13 6,5 7,91 acuan Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa fluida kerja yang menghasilkan daya netto terbesar adalah fluida kerja i-pentana, dimana tekanan kerja evaporator yang diperlukan sebesar 15,6 kpa. Persentase beda daya netto juga ditampilkan, dengan n-pentana sebagai acuan karena memiliki daya netto terkecil. Setelah diperoleh kondisi operasi optimum yang dapat menghasilkan daya netto maksimum, langkah selanjutnya adalah proses perancangan termal untuk penukar panas (preheater dan evaporator) dan kondensor berpendingin udara dengan bantuan paket program HTRI dan metode yang ada pada GPSA.