MAKALAH SEMINAR UMUM. PENGGUNAAN PENANDA MOLEKULER UNTUK MENDUGA PENAMPILAN F1 JAGUNG (Zea mays) HIBRIDA SILANG TUNGGAL

dokumen-dokumen yang mirip
BAB. I PENDAHULUAN. Latar Belakang

Perbandingan Kemajuan Genetis Seleksi Massa dan Tongkol-ke-Baris pada Populasi Generasi Ketiga Persarian Bebas Jagung Hibrida (Zea mays L.

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Jagung Hibrida

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO

MAKALAH SEMINAR UMUM SELECTIVE GENOTYPING DAN SELECTIVE PHENOTYPING PADA ANALISIS LOKUS SIFAT KUANTITATIF

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung

SCREENING GALUR TETUA JAGUNG (Zea mays L.) MUTAN GENERASI M4 BERDASARKAN ANALISIS TOPCROSS DI ARJASARI, JAWA BARAT

METODE PEMULIAAN TANAMAN MENYERBUK SENDIRI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu

karakter yang akan diperbaiki. Efektivitas suatu karakter untuk dijadikan karakter seleksi tidak langsung ditunjukkan oleh nilai respon terkorelasi

ANALISIS DAYA GABUNG DAN HETEROSIS HASIL GALUR JAGUNG DR UNPAD MELALUI ANALISIS DIALEL

TINJAUAN PUSTAKA. Pemuliaan Jagung Hibrida

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Selain sebagai bahan pangan, akhir-akhir ini jagung juga digunakan

PENDUGAAN KOMPONEN GENETIK, DAYA GABUNG, DAN SEGREGASI BIJI PADA JAGUNG MANIS KUNING KISUT

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri.

Universitas Gadjah Mada

BAB. IV. Simulasi Analisis Marka Mikrosatelit Untuk Penduga Heterosis Pada Populasi Inbrida

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut :

( 2 ) untuk derajat kecocokan nisbah segregasi pada setiap generasi silang balik dan

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan

VI. PENGGUNAAN METODE STATISTIKA DALAM PEMULIAAN TANAMAN. Ir. Wayan Sudarka, M.P.

BAB. I PENDAHULUAN. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. maupun seleksi tidak langsung melalui karakter sekunder. Salah satu syarat

I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit

I. PENDAHULUAN. Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil

DAFTAR ISI (Table of Contents)

Dalam genetika kuantitatif telah dijelaskan

Pokok Bahasan: Pemuliaan untuk Tanaman Menyerbuk Sendiri. Arya Widura R., SP., MSI PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi

LAPORAN PEMULIAAN TANAMAN SELEKSI

I. PENDAHULUAN. meningkat. Sementara lahan pertanian khususnya lahan sawah, yang luas

Tanaman Penyerbuk Silang CROSS POLLINATED CROPS METODE PEMULIAAN TANAMAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk

DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN

Pendugaan Nilai Heterosis dan Daya Gabung Beberapa Komponen Hasil pada Persilangan Dialel Penuh Enam Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian

PEMULIAAN TANAMAN MENYERBUK SENDIRI

II. TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian III: Seleksi dan Uji Daya Gabung Galur-Galur Hasil Introgresi Gen Resesif Mutan o2 untuk Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai

KERAGAAN GENERASI SELFING-1 TANAMAN JAGUNG (Zea mays) VARIETAS NK33

BAB. VI. Penampilan Galur-galur Jagung Pulut (waxy corn) yang Memiliki Gen opaque-2 hasil Persilangan Testcross (silang puncak) ABSTRAK

Evaluasi Heterosis Tanaman Jagung

Rerata. Variance = Ragam. Varian/ragam (S 2 ) : Standar Deviasi : s = s 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak, berasal

Lahan pertanian di Indonesia didominasi oleh lahan

BAB VII PEMBAHASAN UMUM

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif).

ANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) PANJANG BADAN TERNAK SAPI PO

PARAMETER GENETIK (Ragam, Heritabilitas, dan korelasi) Arya Widura R., SP., MSi PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi

TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays L) adalah anggota keluarga Graminae, ordo Maydeae, genus Zea (Fischer

PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu komoditas

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi

ANALISIS NILAI PEMULIAAN (BREEDING VALUE) LINGKAR DADA TERNAK SAPI PO

Jurnal Pertanian Kepulauan, Vol.3. No.2, Oktober 2004 : ( ) 115

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

1. Gambar dan jelaskan bagan seleksi masa dan seleksi tongkol-baris!

I. PENDAHULUAN. Produksi tanaman tidak dapat dipisahkan dari program pemuliaan tanaman.

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt.) merupakan jagung yang

MANFAAT MATA KULIAH. 2.Merancang program perbaikan sifat tanaman. 1.Menilai sifat dan kemampuan tanaman

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI UNIVERSITAS GUNADARMA

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK VIGOR BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) MENGGUNAKAN ANALISIS SILANG HALF DIALEL

Daya Gabung Umum dan Daya Gabung Spesifik Lima Galur Harapan Jagung Berprotein Mutu Tinggi. M. Yasin HG., Abd. Rahman, dan Nuning A.

Pembentukan Varietas Jagung Hibrida

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO

Evaluasi dan Identifikasi Markah Molekuler untuk Sifat Tahan Penyakit Bulai dan Heterosis pada Tanaman Jagung

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang berbeda untuk menggabungkan sifat-sifat unggul dari keduanya. Hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Cabai

VII. PEMBAHASAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. unggul yang telah dihasilkan dibagi menjadi empat generasi, yaitu: Generasi-1 ( ) : Seedling selected

Deskripsi Mata KuliahCourse Subjects

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di

EFEKTIFITAS METODE SELEKSI MASSA PADA POPULASI BERSARI BEBAS JAGUNG MANIS

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman

VARIABILITAS GENETIK DAN HERITABILITAS KARAKTER AGRONOMIS GALUR JAGUNG DENGAN TESTER MR 14

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Lingkungan Tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Steenis (1978) kedudukan tanaman jagung (Zea mays L.) dalam

homozigot lebih banyak didapatkan pada tanaman BC2F2 persilangan Situ Bagendit x NIL-C443 dan Batur x NIL-C443 dibandingkan dengan Situ Bagendit x

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 34/Permentan/OT.140/7/2008 TENTANG METODE SELEKSI DALAM PEMBUATAN VARIETAS TURUNAN ESENSIAL

DAYA WARIS DAN HARAPAN KEMAJUAN SELEKSI KARAKTER AGRONOMI KEDELAI GENERASI F 2

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. fenotipe yang diamati menunjukkan kriteria keragaman yang luas hampir pada

Materi 06 Pemuliaan Tanaman untuk Masa Depan Pertanian. Benyamin Lakitan

Penelitian I: Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai pada Jagung Pendahuluan

ANALISIS DAYA GABUNG UMUM DAN DAYA GABUNG KHUSUS 6 MUTAN DAN PERSILANGANNYA DALAM RANGKA PERAKITAN KULTIVAR HIBRIDA JAGUNG TENGGANG KEMASAMAN

ANALISIS RATA-RATA GENERASI HASIL PERSILANGAN TOMAT LV 6123 DAN LV 5152

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. kingdm: plantae, divisio: Spermathopyta, class: Monocotyledoneae, Ordo:

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen

II. TINJAUAN PUSTAKA. ujung (tassel) pada batang utama dan bunga betina tumbuh terpisah sebagai

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai

Transkripsi:

MAKALAH SEMINAR UMUM PENGGUNAAN PENANDA MOLEKULER UNTUK MENDUGA PENAMPILAN F1 JAGUNG (Zea mays) HIBRIDA SILANG TUNGGAL Nama NIM Dosen Pembimbing : Rizqi Fadillah Romadhona : 09/288913/PN/11879 : Dr. Panjisakti Basunanda, S.P., M.P. PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2014

HALAMAN PENGESAHAN PENGGUNAAN PENANDA MOLEKULER UNTUK MENDUGA PENAMPILAN F1 JAGUNG (Zea mays) HIBRIDA SILANG TUNGGAL OLEH: RIZQI FADILLAH ROMADHONA 09/288913/PN/11879 Makalah Seminar Umum ini telah disahkan dan disetujui sebagai kelengkapan mata kuliah pada semester ganjil tahun ajaran 2013/2014 di Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Menyetujui, Dosen Pembimbing Tanda Tangan Tanggal Dr. Panjisakti Basunanda, S.P.,M.P. Mengetahui, Komisi Seminar Umum...... Dr. Rudi Hari Murti, S.P.,M.P....... Mengetahui, Ketua Jurusan Budidaya Pertanian Dr. Ir. Taryono, M.Sc.......

PENGGUNAAN PENANDA MOLEKULER UNTUK MENDUGA PENAMPILAN F1 JAGUNG (Zea mays) HIBRIDA SILANG TUNGGAL I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan yang paling produktif di dunia, yang sesuai ditanam di wilayah bersuhu tinggi. Penyebaran tanaman jagung sangat luas karena mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai lingkungan. Jagung tumbuh baik di wilayah tropis hingga 50º LU dan 50º LS, dari dataran rendah sampai ketinggian 3.000 m di atas permukaan laut (dpl), dengan curah hujan tinggi, sedang, hingga rendah sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al. 1996). Pemuliaan jagung telah efektif dalam mengembangkan varietas unggul dan hibrida untuk memenuhi kondisi budaya yang berubah dengan cepat selama 100 tahun terakhir. Jagung adalah tanaman ekonomis penting dalam perekonomian dunia dan merupakan bahan dalam barang manufaktur yang mempengaruhi sebagian besar populasi dunia. Untuk memenuhi peningkatan diversifikasi penggunaan jagung, metode pemuliaan telah berevolusi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi seleksi untuk banyak sifat. Metode pemuliaan jagung modern sebuah fenomena abad kedua puluh. Keberhasilan pengembangan konsep galur inbred jagung ke bentuk yang berguna masih dianggap sebagai salah satu prestasi terbesar pemuliaan tanaman. Pengembangan industri benih komersial adalah kesaksian metode pemuliaan yang telah berevolusi untuk produksi ekonomis benih jagung hibrida berkualitas tinggi yang diterima dan diminta oleh petani modern (Hallauer dan Miranda, 2010). Pemulia jagung umumnya memulai perakitan jagung hibrida melalui persilangan galur atau plasma nutfah. Plasma nutfah sendiri memegang peranan yang sangat vital karena berperan dalam menentukan ketersediaan tetua unggul. Tetua yang berasal dari plasma nutfah superior dengan karakter agronomi ideal akan menghasilkan galur yang memiliki daya gabung yang baik. Untuk mendapatkan tetua-tetua superior inilah dilakukan metode penilaian dan seleksi. Persoalan utama dalam pemuliaan jagung hibrida adalah biaya untuk tahapan penilaian dan pemilihan individu yang semuanya tergantung banyaknya individu yang dinilai dan dipilih. Pemuliaan tanaman semusim seperti pada jagung mungkin melibatkan banyak lini hanya untuk menghasilkan satu kultivar dalam beberapa tahun program pemuliaan tanaman. Penilaian di lapangan merupakan pekerjaan yang memerlukan banyak tenaga,

waktu, dan biaya, khususnya apabila sifat yang ingin dipilih memerlukan teknik penyaringan tertentu seperti sifat tahan cekaman biotik atau analisis tertentu seperti kualitas produk (Taryono, 2012). Demikian juga pada pembentukan jagung hibrida, yang pada praktiknya menggunakan banyak galur inbred untuk menghasilkan hibrida dengan tingkat heterosis terbaik. Dengan semakin berkembanganya ilmu pengetahuan dan teknologi molekuler, pada awal tahun 80-an telah ditemukan penanda molekuler berbasis DNA. Penanda molekuler merupakan alat yang sangat baik bagi pemulia dan ahli genetika untuk menganalisis genom tanaman (Pabendon et al. 2007). Teknologi penanda molekuler mengubah dengan cepat pemuliaan tanaman dan terbukti menjadi alat yang sangat baik untuk mengganti teknik pengujian jasad hidup (bioassay) (Taryono, 2012). Penilaian dan pemilihan tanaman tidak lagi hanya dilakukan pada saat sifat yang diminati pada suatu tanaman telah terlihat jelas. Saat ini telah banyak dikembangkan metode-metode pendugaan penampilan hibrida F1 mendasarkan pada teknik-teknik biologi molekuler. Penanda digunakan untuk memperoleh informasi genetik dari tetua-tetua galur inbred yang digunakan. Penampilan hibrida F1 diprediksi dari kemungkinan susunan genetik yang terjadi hasil persilangan galurgalur inbred dengan mengacu pada hibrida yang dievaluasi lapangan sebagai prediktor. Hibrida-hibrida yang diprediksi menunjukkan sifat superior lah yang nantinya dievaluasi di lapangan sehingga proses pemuliaan jagung hibrida menjadi efektif dan minim material. B. Tujuan Membahas perkembangan metode pendugaan penampilan jagung hibrida F1 silang tunggal, sejalan dengan digunakannya teknik-teknik biologi molekuler dalam pemuliaan tanaman. C. Kegunaan Mengapresiasi penggunaan penanda molekuler dalam pemuliaan tanaman, khususnya dalam mengevaluasi penampilan jagung hibrida F1 silang tunggal.

II. JAGUNG HIBRIDA A. Perakitan Jagung Hibrida Jagung hibrida adalah keturunan generasi pertama (F1) dari persilangan antara galurgalur inbred dengan mendasarkan peristiwa heterosis. Pengertian ini agak berbeda dari hibrida pada tanaman tahunan seperti misalnya kelapa sawit, yang memiliki arti lebih umum untuk menyebut keturunan hasil persilangan antara dua tetua yang berbeda genotipe tidak selalu dari galur inbred. Inti perakitan jagung hibrida ialah membuat galur-galur inbred dan melakukan persilangan antar galur tersebut. Galur inbred dibuat dari persilangan sendiri ataupun kerabat dekat dan seleksi dari berbagai kultivar jagung sampai gen-gennya mendekati homosigot. Untuk mencapai taraf itu biasanya diperlukan lima sampai tujuh atau delapan kali silang sendiri (Mangoendidjojo, 2003). Berdasarkan banyak persilangan dan banyak galur inbred yang digunakan untuk membuatnya, dikenal adanya tiga jenis jagung hibrida (Poehlman dan Sleeper, 1995). 1. Hibrida Silang tunggal (single cross). Hibrida silang tunggal adalah hibrida hasil persilangan antara dua galur inbred. Tidak semua persilangan antara dua galur inbred menghasilkan hibrida yang superior, bahkan pada kenyataannya sangat sedikit yang superior. Biji hibrida silang tunggal biasanya sangat sedikit sehingga biaya untuk produksi benih sangat mahal, sehingga dikembangkan hibida silang ganda dan persilangan yang lain. 2. Hibrida silang ganda (double cross) Hibrida silang ganda hibrida hasil persilangan antara dua hibrida silang tunggal. Biji hibrida silang ganda dihasilkan dari jagung hibrida silang tunggal yang diserbuki oleh hibrida silang tunggal yang lain. Karena merupakan persilangan dari dua tetua yang heterosigot, maka hibrida silang ganda tidak seragam seperti hibrida silang tunggal. 3. Persilangan lain (other cross) Galur inbred dimungkinkan untuk dikombinasikan melalui tipe persilangan silain silang tunggal dan silang ganda. Hibrida silang tiga jalur (three-way cross) adalah hibrida hasil persilangan antara hibrida silang tunggal dengan suatu galur inbred. Selain itu juga dikenal kultivar silang inbred (inbred-variety cross) yaitu hasil persilangan antara galur inbred dengan varietas bersari bebas. Kultivar ini sering digunakan dalam pengujian keturunan. Sebuah Multiple cross adalah kombinasi persilangan yang melibatkan lebih dari 4 galur inbred. Multiple cross secara umum berdaya hasil lebih

rendah dibandingkan dengan hibrida silang ganda terbaik walaupun dihasilkan dari empat galur inbred yang sama. Sekarang pengembangan jagung hibrida lebih banyak dilakukan dengan cara silang tunggal daripada silang ganda dan tiga jalur (Crow, 1998). Hibrida silang tunggal saat ini sudah cukup baik dalam menghasilkan biji dan adaptasi. Hibrida silang ganda di Indonesia yang pernah dilepaskan satu-satunya adalah P-3 (Takdir et al. 2007). Faktor terpenting dalam pembentukan hibrida adalah pemilihan plasmanutfah untuk membentuk lungkang gen (gene pool) sebagai dasar ekstraksi menghasilkan galu-galur inbred atau kelompok heterotik (Paliwal, 2000). Berbagai metode seleksi digunakan dalam menghasilkan galur inbred diantaranya ialah seleksi massa, seleksi tongkol-ke-baris (ear-torow), seleksi hubungan silsilah (pedigree), seleksi curah (bulk), seleksi dapur tunggal (single seed descent), seleksi berulang timbal balik (reciprocal recurrent selection). Untuk pengembangan galur inbred, seringkali dilakukan perbaikan pada populasi dasar lungkang gennya baik perbaikan dalam populasi maupun perbaikan antar populasi. Gambar 1. Hibrida silang tunggal. Sumber: (http://nrcca.cals.cornell.edu) Gambar 2. Hibrida silang tiga jalur. Sumber: (http://nrcca.cals.cornell.edu)

Gambar 3. Hibrida silang ganda. Sumber: (http://nrcca.cals.cornell.edu) B. Metode Evaluasi Dalam pembuatan atau pengembangan jagung hibrida, pengujian daya gabung masing-masing galur inbred menjadi penting agar dapat memilih galur-galur inbred yang tepat untuk persilangan. Untuk mengetahui nilai daya gabung, pada saat seleksi galur-galur inbred dilakukan analisis silang puncak (top cross) yang menggunakan satu tester atau analisis galur x tester (line x tester / L x T analysis) yang menggunakan lebih dari satu tester (Sharma, 1998). Dalam pengujian ini tester yang digunakan adalah kultivar bersari bebas, hibrida silang tunggal atau kultivar lain yang beredar luas di masyarakat. Dari pengujian ini dapat diketahui daya gabung umum (general combining ability/ GCA) masing-masing galur inbred. Galur-galur inbred yang dihasilkan dari rangkaian proses seleksi dievaluasi menggunakan rancangan persilangan dialel untuk dapat mengetahui performa dari setiap kombinasi galur inbred. Pada persilangan dialel, n macam galur inbred akan menghasilkan 1/2n(n-1) macam kombinasi persilangan. Jika misalkan ada 5 macam galur inbred maka akan ada 10 macam kombinasi hibrida silang tunggal yang dihasilkan (Tabel 1) (Hallauer dan Miranda, 2010). Hibrida tersebut ditanam kemudian diamati fenotipenya untuk sifat-sifat yang diinginkan. Dari data-data tersebut dengan metode yang dikembangkan Sprague dan Tatum (1941) dapat dilakukan analisis varians dan menduga varians daya gabung umum (GCA) dan daya gabung khususnya (SCA) (Tabel 2). Pendugaan daya gabung khusus (SCA) merupakan hal yang penting dalam program pengembangan jagung hibrida konvensional karena sifat superior biasanya muncul secara khusus diantara dua galur inbred.

Model linier untuk analisis varians persilangan dialel dari percobaan berblok adalah: Y ijk = µ + β k + g i + g j + s ij + e ijk untuk tetua i dan j (i j) dengan µ adalah rerata, β k pengaruh ulangan atau blok, g i dan g j pengaruh GCA, s ij pengaruh SCA dari persilangan tetua i dan j, dan e ijk adalah sesatan percobaan untuk Y ijk pengamatan (k= 1,2,..., r; i=j=1, 2,..., n). Program pengembangan jagung hibrida komersil di suatu perusahaan tentunya melibatkan sangat banyak galur-galur inbred sebagai calon tetua hibrida. Evaluasi terhadap semua kombinasi hibrida akan membutuhkan biaya yang sangat mahal,lahan yang sangat luas, tenaga yang banyak, dan waktu yang lama. Dengan demikian, suatu terobosan yang dapat mengurangi banyaknya material yang dievaluasi akan sangat membantu mengurangi biaya proses pemuliaan ini. Tabel 1. Contoh 10 kombinasi persilangan dialel dengan 5 tetua galur inbred. Sumber: Hallauer dan Miranda (2010) Tabel 2. Analisis varian untuk untuk menduga GCA dan SCA dari persilangan dialel. Sumber: Hallauer dan Miranda (2010) to produce the n(n 1)/2 crosses

III. PENGGUNAAN PENANDA MOLEKULER DALAM PEMULIAAN JAGUNG A. Penanda molekuler Penanda genetik merepresentasikan perbedaan genetik antara organisme, individu, atau spesies. Umumnya, penanda genetik tidak mewakili gen target itu sendiri, tetapi bertindak sebagai penanda atau marka. (Jones et al, 1997). Penanda DNA adalah jenis yang paling banyak digunakan terutama karena ketersediannya yang banyak. Penanda DNA dihasilkan dari berbagai macam mutasi DNA seperti mutasi substitusi (mutasi titik), penyusunan ulang (insersi atau delesi) atau kesalahan dalam replikasi dari DNA tandem (Paterson, 1996). Penanda DNA sangat berguna jika dapat menggambarkan perbedaan antara individu yang sama atau berbeda spesies dan disebut penanda polimorfik, sedangkan penanda yang tidak dapat membeda-bedakan antar genotipe disebut penanda monomorfik (Gambar 4). Penanda polimorfik dapat bersifat kodominan atau dominan. Deskripsi ini didasarkan pada apakah penanda dapat membedakan antara homozigot dan heterozigot (Gambar 5) (Collard et al. 2005). Data yang dihasilkan pada analisis dengan penanda molekuler umumnya adalah foto, citra atau gambar pita-pita DNA dengan jumlah tertentu dan jarak tertentu. Dari foto tersebut dapat diamati banyak pita DNA yang teramati untuk suatu spesies yang diamati, panjang alel jarak antar gennya. Hasil pembacaan penanda molekuler dianalisis dengan data biner kemudian diolah untuk menghasilkan data yang digunakan dalam menduga berbagai varian komponen genetik maupun hubungan kekerabatan. Gambar 4. Penanda polimorfik ditunjukkan dengan tanda panah, (a) contoh penanda SSR, (b) contoh penanda RAPD. Sumber: Collard et al. 2005) Gambar 5. Perbandingan antara (a) penanda kodominan dengan (b) penanda dominan. (Collard et al. 2005)

Saat ini penanda molekuler yang banyak digunakan untuk profiling adalah SSR (simple sequence repeats) atau mikrosatelit. Sebagai penanda, mikrosatelit bersifat kodominan. Dengan demikian, SSR sesuai untuk mendeteksi sifat yang melekat pada hibrida F1. Sifat-sifat yang diseleksi oleh pemulia umumnya terbagi menjadi dua yaitu sifat kualitatif dan sifat kuantitatif. Sifat kualitatif biasanya mudah diamati dengan mata, berupa data diskrit, dan umumnya dikendalikan oleh satu gen utama (monogenic). Sifat kuantitatif membutuhkan pengamatan dan pengukuran yang lebih teliti untuk mengamatinya dan biasanya dikendalikan oleh banyak gen (polygenic) tetapi pengaruh masing-masing gen terhadap fenotipe sifat yang diamati kecil. Gen-gen pengendali sifat kuantitatif tersebut umumnya berada pada satu daerah kromosom yang disebut lokus sifat kuantitatif atau biasa disebut QTL (quantitative trait loci). Pengetahuan tentang lokasi dan efek QTL dapat dimanfaatkan untuk percepatan program pemuliaan. Sebagai penanda genetik, fungsi dari penanda adalah menunjukkan keberadaan gen target pada citra genotipe suatu kultivar atau spesies yang diamati. Untuk sifat kuantitatif interpretasi penanda dilakukan dengan cara membandingkan terlebih dahulu hasil pemetaan penanda dengan fenotipe sifat yang diamati. Pemetaan biasanya dilakukan dengan simbol huruf, jika pada penanda tertentu berulang cukup banyak dan sesuai dengan fenotipenya maka diduga penanda tersebut adalah QTL (Gambar 6). Sebagai penanda titik untuk nilai pemuliaan (breeding value) penanda diduga proporsi kontribusinya terhadap suatu fenotipe yang diamati. Analisis dilakukan dengan meregresikan hasil pemetaan penanda dengan sifat fenotipe tertentu. Gambar 6. Prinsip pemetaan QTL (sumber: Young et al. 1996 dalam Collard et al. 2005)

B. Perkiraan Penampilan Hibrida Silang Tunggal Pada program pemuliaan jagung komersil identifikasi pasangan inbred yang menunjukkan hasil superior pada persilangan tunggal sangat menguras biaya dan waktu. Karena pengaruh dominansi dari daya hasil jagung, performa hibrida tidak dapat diperkirakan dari per satuan inbrednya (Smith, 1986). Jagung hibrida komersil saat ini kebanyakan dihasilkan dari persilangan galur inbred yang saling tidak berkerabat (berkerabat jauh) yang masing-masing disebut galur, populasi, atau kelompok heterotik. Tentu akan sangat berat untuk melakukan evaluasi terhadap semua kemungkinan persilangan yang terjadi antara anggota-anggota dua atau lebih kelompok heterotik yang berbeda karena jumlah persilangan yang mungkin terjadi bisa sangat banyak (Bernardo, 1994). Jarak genetik di antara galur-galur tetua berdasarkan penanda molekuler acak, yang dianggap sebagai indikator keberagaman genetik, dapat digunakan untuk memperkirakan performa hibrida. Namun, hasil dari beberapa penelitian yang telah dilakukan masih tidak konsisten (Melchinger, 1990). Dari berbagai penelitian berikutnya, penggunaan penanda molekuler seperti RFLP dan SSR yang dikombinasikan dengan metode statistika tertentu untuk pendugaan pengaruh acak, seperti misalnya BLUP (best linier unbiased prediction) yang telah banyak digunakan pada pemuliaan ternak, dapat digunakan untuk memperkirakan penampilan hibrida silang tunggal berdasarkan galur-galur inbred yang digunakan. Rancangan persilangan tradisional untuk menduga varians genetik seperti rancangan persilangan Comstock dan Robinson (1948) dapat digunakan jika tetua-tetua inbrednya tidak berkerabat. Karena tetua inbred yang digunakan dalam memperkirakan penampilan F1 silang tunggal berkerabat beberapa rancangan persilangan tidak dapat digunakan. Prosedur restricted maximum likelihood (REML) digunakan untuk menduga varians genetik dari persilangan dengan tetua inbred yang berkerabat (Harville, 1977; Henderson, 1985). Koefisien kekerabatan (f AB ) antara individu A dan B adalah ukuran klasik hubungan atau kekerabatan genetik antara kedua individu tersebut. f AB adalah peluang sebuah allel acak dari A dan sebuah allel acak pada lokus yang sama di B adalah salinan dari nenek moyang yang sama, disebut sama asal usul atau ibd (identical by descent) (Malecot, 1948). Pada pemuliaan ternak, f AB digunakan secara rutin dalam metode BLUP untuk menduga nilai pemuliaan (estimated breeding value/ BV) (Souza dan Sourrells, 1989). Penanda molekuler seperti isozim dan RFLP telah digunakan untuk meggolongkan galur-galur inbred kedalam kelompok heterotik yang berbeda (Godzhalk et al. 1990). Bernardo (1993) mengajukan pendugaan koefisien kekerabatan berdasarkan informasi dari penanda molekuler RFLP untuk dua populasi heterotik galur inbred. Dasar yang digunakan

untuk menduga hubungan kekerabatan genetik galur inbred adalah proporsi varians penanda molekuler yang terbagi diantara sepasang galur (S AB ). Karena S AB adalah penduga yang bias untuk koefisien kekerabatan (Lynch, 1998), bernardo menghilangkan bias S AB untuk menduga koefisien kekerabatan dengan persamaan: F R AB = [S AB - 1/2(δ A + δ B )] / [1-1/2(δ A + δ B )] Dengan F R AB= penduga koefisien kekerabatan antara A dan B berdasarkan RFLP; Sxx = proporsi varians RFLP A dan B; δ A = rerata proporsi varians kelompok heterotik A dan δ B = rerata proporsi varians kelompok heterotik B. Bernardo (1994) memakai penduga nilai BLUP untuk mengganti pengaruh GCA dari setiap galur yang diuji dan pengaruh SCA pasangan galur yang diuji berdasarkan informasi dari 220 penanda RFLP. Informasi dari penanda RFLP juga dipakai untuk menduga koefisien kekerabatan antargalur inbred. Pada kelompok heterotik Iowa Stiff Stalk Synthetic (SSS) terdapat tiga galur inbred yang menunjukkan perbedaan nyata hasil pendugaan koefisien kekerbatan antara metode yang berdasar RFLP dan metode yang berdasar pedigri (Tabel 3). Galur-galur inbred tersebut masing-masing adalah SSS3xSSS1, SSS5xSSS4, dan SSS6xSSS2. Pada populasi heterotik non Iowa Stiff Stalk Synthetic (NSSS), tidak terdapat perbedaan nyata antara metode RFLP dan pedigri dalam menduga nilai koefisien kekerabatan (Tabel 4). Perbandingan koefisien kekerabatan pada masing-masing kelompok heterotik (Tabel 3 dan Tabel 4) menunjukkan bahwa metode penanda molekuler dapat digunakan untuk menduga koefisien kekerabatan antargalur inbred. Dalam membandingkan metode penanda molekuler dan hubungan silsilah untuk menduga koefisien kekerabatan, digunakan korelasi antara hibrida silang tunggal prediksi dan hasil observasi dengan menggunakan dua model pendugaan komponen genetik (model lengkap: GCA+SCA, dan model GCA) dan lima kelompok hibrida prediktor yang ukurannya berbeda (Tabel 5). Berdasarkan perbedaan kombinasi banyak hibrida untuk prediksi, model genetik, dan pendugaan hubungan genetik, korelasi gabungan antara prediksi dan observasi hibrida silang tunggal berkisar antara 0,654 sampai 0,800 (Tabel 5). Korelasi yang tinggi ini menggambarkan bahwa hasil hibrida silang tunggal dapat diprediksi secara efektif menggunakan informasi dari hibrida yang terkait. Korelasi antara prediksi dan hasil pengamatan silang tunggal secara konsisten lebih baik ketika menggunakan model penduga komponen genetik penuh dibanding model penduga komponen genetik daya gabung umum (tanpa varians dominan) (Tabel 5).

Tabel 3. Koefisien kekerabatan berdasarkan 220 penanda RFLPs (di atas diagonal) dan pedigri (di bawah diagonal) di antara galur inbred Iowa Stiff Stalk Synthetic (SSS). Sumber: Bernardo (1994) Tabel 4. Koefisien kekerabatan berdasarkan 220 penanda RFLPs (di atas diagonal) dan pedigri (di bawah diagonal) diantara galur inbred non Iowa Stiff Stalk Synthetic (NSSS). Sumber: Bernardo (1994) Tabel 5. Korelasi gabungan antara prediksi dan pengamatan jagung silang tunggal pada kombinasi banyak hibrida penduga, model genetika, dan metode pendugaan koefisien kekerabatanyang berbeda. Sumber: Bernardo (1994) Pada penelitian selanjutnya, Bernardo (1995) menggunakan populasi yang besar dan tak-imbang untuk menentukan model pendugaan komponen genetik yang sesuai digunakan dalam memprediksi performa hibrida silang tunggal. Digunakan empat model pendugaan komponen genetik yaitu (1) (Model Lengkap) menggunakan semua komponen genetik yaitu aditif, epistasis, dan SCA atau dominan; (2) (Model Intralokus) menggunakan komponen genetik aditif dan SCA atau dominan ; (3) (Model GCA) menggunakan komponen aditif dan epistasis; dan (4) (model aditif) hanya menggunakan komponen aditif secar. Penentuan model

pendugaan komponen genetik ini menjadi penting untuk mengurangi kelebihan atau pun kekurangan dalam menduga. Informasi dari 90 penanda RFLP digunakan untuk menduga koefisien kekerabatan untuk tiap populasi heterotik, pengaruh GCA, dan pengaruh SCA. Koefisien kekerabatan untuk inbred SSS berkisar dari 0,24 (SSS3xSSS8) sampai 0,75 (SSS8xSSS9) dengan rata-rata 0,38 (Tabel 6). Populasi inbred NS lebih berkerabat dekat satu dengan yang lainnya dengan rerata koefisien kekerabatan 0,58 sementara nilainya berkisar dari 0,21 (NS4xNS11) sampai 0,90 (NS5xNS6) (Tabel 7). Tabel 6. Koefisien kekerabatan berdasarkan penanda RFLP diantara galur inbred Iowa Stiff Stalk Synthetic (SSS). Sumber: Bernardo (1995) Tabel 7. Koefisien kekerabatan berdasarkan penanda RFLP di antara galur inbred non Iowa Stiff Stalk Synthetic (NS). Sumber: Bernardo (1995) Nilai heritabilitas untuk daya hasil rerata dari 67 pasangan silang tunggal SSSxNS menggunakan pendugaan varian komponen genetik model lengkap adalah 0,88. Pada model lengkap, varian aditif testcross (V A(S) dan V A(N) ) menyusun 51% dan varian aditif x aditif epistatis (V AA(S) dan V AA(N) ) menyusun 42% dari total varian genetik hibrida silang tunggal SSSxNS (Tabel 8). Varian SCA (V SCA ) hanya menyusun sebesar 7% dari total varian genetik. Nilai duga V A(S) dan V A(N) besarnya relatif sama untuk pasangan model lengkap dan model GCA. Untuk model intralokus dan model aditif nilai duga V A(S) dan V A(N) besarnya juga relatif

sama tetapi sekitar dua kali lebih besar dibanding model lengkap dan GCA. Nilai duga V A(S) dan V A(N) terbesar diperoleh dari model aditif. Banyaknya penggunaan hibrida F1 sebagai prediktor akan berpengaruh terhadap nilai korelasi berbagai model pendugaan komponen genetik. Semakin banyak prediktor yang digunakan akan semakin besar korelasinya sehingga meningkatkan akurasi dari prediksi. Dalam penelitian ini pendugaan terhadap nilai daya gabung khusus (SCA) menggunakan BLUP menjadi tidak efektif karena varians SCA antara pendugaan dan hasil observasinya nya kecil dibandingan dengan pendugaan komponen varians yang lain (Tabel 9). Hal ini berbeda dengan pandangan terdahulu yang mementingkan pendugaan SCA dalam perakitan jagung hibrida. Tabel 8. Nilai duga varian genetik berdasar beberapa model komponen genetik untuk sifat daya hasil jagung. Sumber: Bernardo (1995) Tabel 9. Korelasi gabungan (dengan 100 ulangan) antara prediksi dan pengamatan performa jagung silang tunggal dan daya gabung khusus (SCA) menggunakan beberapa model genetik dan banyak penduga hibrida yang berbeda. Sumber: Bernardo (1995) Di banyak negara berkembang galur-galur inbred sering kali dibuat dengan melakukan seleksi dan silang sendiri berulang-ulang terhadap jagung hibrida elit yang telah dilepas di pasaran. Galur-galur inbred ini disebut galur RIL (recombinant inbred lines). Gua et al (2012) melakukan penelitian untuk mengetahui performa dari berbagai metode prediksi penampilan F1 hibrida dari galur inbred campuran yang berasal dari persilangan dua galur

inbred elit. Genotipe RIL dipetakan dengan menggunakan 261 penanda polymorphic SSR yang meliputi semua genom jagung. Model prediksi F1 hibrida yang digunakan adalah: 1. ILP (inbreed line per se performance) Prediksi berdasar nilai genotipe dari dua tetua inbred RIL yang digunakan dengan mendasarkan pada fenotipe tetua dan prediktor 2. GCA Prediksi berdasar daya gabung umum dari tetua-tetua RIL yang digunakan dalam menghasilkan hibrida dan prediktor atau F1 yang telah dievaluasi. Pendugaan GCA mendasarkan pada informasi fenotipe. 3. QTL (quantitative trait loci) Prediksi berdasar pemetaan QTL dilakukan pada populasi campuran antara RIL dan F1 hibrida. hasil pemetaan QTL digunakan untuk menduga efek aditif dan dominan dari QTL dan menduga genotipe dari QTL masing-masing RIL. 4. GWP (genome-wide prediction) Prinsip dasar prediksi GWP adalah penggunaan nilai genotipe RIL dan genotipe hibrida f1 nya untuk menduga efek aditif dan dominan penanda molekuler pada model linier campuran (mixed model). Pada GWP digunakan banyak penanda baik QTL atau bukan dan dianalisis proporsi pengaruh masing-masing penanda terhadap suatu sifat fenotipe. 5. BV (breeding value) Prediksi nilai pemuliaan (BV) di dasarkan pada pendugaan nilai BLUP yang disederhanakan dibandingkan yang digunakan pada pemuliaan ternak dan menggunakan informasi dari penanda molekuler. 6. BV+GWP Merupakan metode prediksi kombinasi antara BV dan GWP untuk menampilkan pengaruh dominan yang tereduksi dalam model campuran (mixed model). Pada Grafik 1, 10 sifat disusun berdasarkan nilai heritabilitas dalam arti luas (H 2 ) dari terendah ke tertinggi. Model prediksi ILP, GWP, BV dan BV+GWP masing-masing menunjukkan nilai (R 2 ) tertinggi paling tidak pada suatu sifat yang diamati. Untuk sifat berat tongkol (EW), daya hasil (GY), biji per baris (KPR), diameter tongkol (ED), dan panjang tongkol (EL), ketika H 2 < 0,63 dan h 2 < 0,32 BV+GWP menunjukkan performa sebagai model terbaik. Selain itu BV, GWP, dan BV+GWP secara umum menunjukkan performa yang baik untuk tiap sifat.

Pendugaan model komponen genetik dilakukan pada populasi simulasi untuk merepresentasikan berbagai macam komponen genetik. Pada model genetik aditif, dominan, dan epistasis model prediksi penampilan f1 punya kecenderungan (trend) yang sama. Namun pada model yang menyertakan efek epistasis semua model prediksi berkurang akurasinya (R 2 ) sehingga model prediksi akan berakurasi tinggi apabila hanya varians aditif dan varians dominan yang digunakan sebagai model genetik utama. Model prediksi BV+GWP dan BV mempunyai akurasi terbaik dalam menduga penampilan hibrida F1 dilihat dari tingginya nilai kuadrat koefisien korelasi (R 2 ) (Grafik 2). Dari hasil pendugaan dengan model GWP, 114 F1 hibrida yang belum dievaluasi lapangan dari galur RIL mempunyai kemungkinan hasil yang lebih tinggi dibandingkan hibrida asalnya yaitu kultivar Yuyu22 yang merupakan F1 hibrida elit di Cina hasil silang tunggal antara inbred Zong3 dan 87-1. Rerata nilai genotipe F1 prediksi untuk sifat daya hasil berkisar antara 5,20 sampai 7,90 sedangkan rerata F1 Yuyu22 adalah 7,60 (Tabel 10). Grafik 1. Kuadrat koefisien korelasi (R 2 ) antara performa prediksi dan observasi F1 hibrida pada model prediksi ILP, GWP, BV, dan BV=GWP pada populasi aktual. Garis lurus menggambarkan heritabilitas dalam arti luas (H 2 ) sedangkan garis putus-putus menggambarkan heriablilitas dalam arti sempit (h 2 ). Sumber: Guo et al. (2012) Grafik 2. Kuadrat koefisien korelasi (R 2 ) antara performa prediksi dan observasi F1 hibrida pada model prediksi pada populasi simulasi untuk model genetik aditif dan dominan (atas) dan model genetik aditif, dominan, dan epistasis (bawah). ILP berdasarkan galur inbred per penarforma, GCA berdasar daya gabung umum, QTL berdasar pemetaan QTL, GWP (genome-wide prediction, BV (breeding Value), BV+GWP adalah kombinasi keduanya. Sumber: Guo et al. (2012)

Tabel 10. Prediksi nilai genotipe dari F1 hibrida yang telah dievaluasi dan belum dievaluasi pada populasi actual menggunakan model GWP. Sumber: Guo et al. (2012) IV. KESIMPULAN 1. Penanda molekuler dapat digunakan untuk menduga koefisien kekerabatan antar maupun dalam kelompok heterotik untuk pembentukan hibrida. 2. Model komponen genetik yang berdasar daya gabung umum (GCA) cukup efektif untuk menduga nilai BLUP dalam memprediksi performa hibrida F1 silang tunggal. 3. Model prediksi kombinasi BV+GWP (breeding value dan genome-wide prediction) memiliki akurasi yang baik dalam menduga penampilan hibrida F1 baik dalam populasi nyata maupun simulasi.

DAFTAR PUSTAKA Bernardo R. 1993. Estimation of coefficient of coancestry using molecular markers in maize. Theor Appl Genet 85:1055-1062. Bernardo R. 1994. Prediction of maize single-cross performance using RFLPs and information from related hybrids. Crop Sci 34:20 25. Bernardo R. 1995. Genetic models for predicting maize single-cross performance inunbalanced yield trial data. Crop Sci 35:141 147 Collard BCY., Jahufer MZZ, Brouwer JB dan Pang ECK. 2005. An introduction to markers, quantitative trait loci (QTL) mapping and marker-assisted selection for crop improvement: The basic concepts. Springer 169-196. Crow, J. 1998. 90 years ago: the beginning of hybrid maize. Genetics 148: 923-928. Dowswell CR., RL Paliwal, dan RP Cantrell. 1966. Maize in The Third World. Westview Press. Michigan. Godshalk EB, Lee M, dan Lamkey KR. 1990. Relationship between restriction fragment length polymorphisms to single-cross hybrid performance of maize. Theor Appl Genet 80:273-280. Guo T, Li H, Yan J, Tang J, Li J, Zhang Z, Zhang L,dan Wang J. 2012. Performance prediction of F1 hybrids between recombinant inbred lines derived from two elite maize inbred lines. Springer. Hallauer AR, Carena MJ, Miranda Fo. JB. 2010. Quantitative Genetics in Plant Breeding. Springer International. New York. Harville, DA. 1977. Maximum likelihood approaches to variance component estimation and to related problems. J Am Stat Assoc 72:320-340. Henderson, CR. 1985. Best linier unbiased estimation and prediction under a selection model. Biometrics 31:423-447. Jones N, H Ougham dan H Thomas. 1997. Merkers and mapping: We are all geneticists now. 8New Phytol 137:165 177. Lynch M. 1998. Estimation of relatedness by DNA finger-printing. Mol Biol Evol 5:584-599. Malecot, G. 1948. Les mathematiques de I heredite. Masson et Cie. Paris. Mangoendidjojo, W. 2003. Dasar-dasar Pemuliaan Tanaman. Kanisius. Yogyakarta. Melchinger AE, Messmer MM, Lee M, dan Woodman WL. 1990. Genetic Diversity for Restriction Fragment Length Polymorphisms: Relation to Estimate Genetic Effects in Maize inbreds. Crop Sci 30:1033-1040.

Pabendon MB., Azrai M, Kasim F, dan Made JM. 2007. Prospek Penggunaan Markah Molekuler dalam Program Pemuliaan Jagung. Dalam: Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Puslitbangtan, Departemen Pertanian. pp.110 133. Paliwal, RL. 2000. Hybrid maize breeding. Dalam: Tropical maize: Improvement and Production. FAO. Roma. Paterson, AH. 1996a. Making genetic maps. Dalam: A.H. Paterson (Ed.), Genome Mapping in Plants. pp. 23 39. Poehlman JM, dan DA Sleeper. 1995. Breeding Field Crops. Iowa State University. Ames. Sharma, JR. 1998. Statistical and Biometrical Techniques in Plant Breeding. New Age International Publishers. New Delhi. Smith, OS. 1986. Covariance between line per se and testcross performance. Crop Sci 26:540-543. Souza E dan Sourrels ME. 1989. Pedigree analysis of North American oat cultivars released 1951 to 1958. Crop Sci 29:595-601. Takdir M, Sunarti S, Mejaya MJ. 2007. Pembentukan Varietas Jagung Hibrida. Dalam: Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Puslitbangtan, Departemen Pertanian. pp.74 95. Taryono. 2012. Pengantar Bioteknologi Tanaman. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. Young, ND. 1996. QTL mapping and quantitative disease resistance in plants. Annu Rev Phytopathol 34: 479 501.