TINJAUAN YURIDIS KONFLIK INDONESIA MALAYSIA TENTANG KEPEMILIKAN HAK BERDAULAT ATAS BLOK AMBALAT DAN AMBALAT TIMUR

dokumen-dokumen yang mirip
Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

KONFLIK PERBATASAN INDONESIA DAN MALAYSIA (Studi Kasus: Sengketa Blok Ambalat) Moch Taufik

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

BAB I PENDAHULUAN. Ambalat adalah blok laut seluas Km2 yang terletak di laut

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB III PENUTUP. tahun 2006 tentang tim nasional pembakuan rupa bumi. Saat ini ada

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

Gambar 2. Zona Batas Maritim [AUSLIG, 2004]

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Ketika Capres bicara Kedaulatan, Batas Maritim dan Laut China Selatan. I Made Andi Arsana, Ph.D.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Hukum Laut Indonesia

Perkembangan Hukum Laut Internasional

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Masalah Penetapan Batas Landas Kontinen dan Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Oleh : Danar Widiyanta 1

Sayidiman Suryohadiprojo. Jakarta, 24 Juni 2009

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 10

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

A. Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura

2. TINJAUAN PUSTAKA. hingga 11 15' LS, dan dari 94 45' BT hingga ' BT terletak di posisi

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENEGOSIASIKAN BATAS WILAYAH MARITIM INDONESIA DALAM BINGKAI NEGARA KEPULAUAN

KONSEP NEGARA KEPULAUAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL (UNCLOS 1982) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA NIGER GESONG ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA. A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia

BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II

TINJAUAN HUKUM LAUT TERHADAP WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMANFAATAN DAN PENGENDALIAN RUANG KAWASAN PERBATASAN LAUT

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB II. Gambaran Umum Indonesia Sebagai Negara Maritim dan Masalah. Pencurian Ikan

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. makhluk individu, negara juga memiliki kepentingan-kepentingan yang harus

TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

HUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi.

MASALAH PERBATASAN NKRI

Key words: Determination of Indonesian archipelagic baselines

LAMPIRAN II RENCANA KERJA PENATAAN RUANG UNTUK PEMANTAPAN KEAMANAN NASIONAL (PENANGANAN KAWASAN PERBATASAN)

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN. berkelahi di laut dan saling bakar kapal-kapal penangkap ikannya. 1

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1998 TENTANG

Perkembangan Hukum Laut dan Wilayah Perairan Indonesia

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum

SISTEMATIKA PEMAPARAN

xii hlm / 14 x 21 cm

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Persengketaan muncul akibat penerapan prinsip yang berbeda terhadap penetapan

STUDI PENENTUAN BATAS MARITIM INDONESIA-MALAYSIA BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah

ASPEK HUKUM LAUT INTERNASIONAL TERKAIT DENGAN REKLAMASI. Retno Windari Poerwito

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. diatur oleh hukum internasional yakni okupasi terhadap suatu wilayah harus

SENGKETA ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI KAWASAN AMBALAT Oleh : Ida Kurnia* Abstrak

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang memiliki struktur

Pendekatan Aspek Hukum, Geomorfologi, dan Teknik Dalam Penentuan Batas Wilayah Laut Daerah

(archipelagic state) dan sekaligus negara pantai yang memiliki banyak pulau

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG

I. BAB I PENDAHULUAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Upaya Penanganan Permasalahan Perbatasan Maritim Republik Indonesia. (Solving Problems of Indonesian Maritime Border)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

TINJAUAN YURIDIS KONFLIK INDONESIA MALAYSIA TENTANG KEPEMILIKAN HAK BERDAULAT ATAS BLOK AMBALAT DAN AMBALAT TIMUR Rosmi Hasibuan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Abstract: Overlap claming oil reserve area on Ambalat (blok Ambalat) and East Ambalat of Sulawesi of shores between Indonesia and Malaysia have created huge tense relationship for both countries. Both of the countries respectively have sent navy and war vessels to the conflicting areas to defend the reserved oil. In accordance with article76 of the UNCLOS 1982, Ambalat and East Ambalat area belong to the Indonesia Continental shelf. On the other hand, Malaysia, based on its 1979 map and regard with The hague International Court of Justice 2002 verdict reveals the opportunity to own sovereign right over Ambalat and East Ambalat. Kata Kunci: Konflik, Indonesia, Malaysia, Blok Ambalat Setelah lepas Pulau Sipadan dan Ligitan dari wilayah Indonesia melalui keputusan Internasional Court of Justice (ICJ) 17 Desember 2002, kini muncul konflik baru antara Indonesia-Malaysia mengenai kepemilikan Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Blok Ambalat dan Ambalat Timur (untuk sebutan Indonesia) atau blok XYZ untuk sebutan Malaysia bukanlah pulau, tetapi daerah operasi minyak dan gas alam yang berada di kawasan perairan Laut Sulawesi, pada posisi 40 mil dari pulau Sebatik Indonesia atau 30 mil dari pulau Bunyu, 12 mil dari Karang Unarang dan 12 mil di selatan Pulau Sipadan-Ligitan Malaysia (Asnawi, 2005). Sebagai ilustrasi bahwa luasnya yang harus dikontrol dan diamankan di wilayah Perairan Ambalat 10.750 km 2 dan wilayah Ambalat Timur luasnya 4.739,64 km 2 atau Laut Sulawesi yang luas secara keseluruhan yaitu kurang lebih 15.425 km 2 (Rivai, 2005). Ketegangan hubungan Indonesia bermula dari pemberian izin konsesi eksplorasi sumber daya alam minyak oleh Malaysia melalui perusahaan minyak nasionalnya Petronas kepada perusahaan minyal Shell Belanda pada 16 Februari 2005. Pemberian izin konsesi ini menimbulkan kemarahan bagi Indonesia, karena sudah sejak lama Indonesia telah mengklaim tempat yang sama. Total izin bagi hasil (production sharing) yang pernah diberikan Indonesia kepada pihak asing, yaitu pada tahun 1967 Blok Penyu dikelola oleh perusahaan minyak Perancis, tahun 1970 lepas pantai North East Kalimantan dikelola oleh British Petroleum, tahun 1983 Blok Penyu dikelola Hudson Bunyu, tahun 1988 perusahaan migas Italy ENY mengikat kontrak penambangan minyak di Blok Ambalat dengan Indonesia dan berakhir tahun 2009, tahun 2000 perusahaan minyak Shell Belanda dijadikan patner Petronas perusahaan minyak nasional Malaysia untuk mengelola Blok Ambalat, Kemudian tahun 2004, Anacol, perusahaan minyak Amerika menandatangani kontrak dengan Indonesia untuk mengeksplorasi minyak di Blok Ambalat Timur (Republika, Maret 2005). Menurut kelaziman dalam hukum internasional, karena Malaysia tidak mengajukan protes terhadap kegiatan-kegiatan Indonesia dalam penambangan lepas pantai sejak tahun 1960-an hingga pasca Peta Malaysia 1979, itu berarti pengakuan Malaysia terhadap kepemilikan hak berdaulat Indonesia atas daerah cadangan minyak itu. Akhir tahun 2004 Indonesia menawarkan kontrak baru di Blok Ambalat, tetapi kontrak baru ini diprotes Malaysia. Malaysia memprotes setelah memenangkan kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan melalui keputusan ICJ 2002 dan memasukkan kedua pulau tersebut kedalam peta 1979 menjadi bagian wilayah Malaysia yang merupakan kesatuan dengan daratan wilayah Sabah. Oleh karena itu Ambalat dan Ambalat Timur yang letaknya 12 mil dari selatan Sipadan dan Ligitan menurut anggapan Malaysia adalah milik Malaysia. Berlanjut kemudian sebagaimana disebutkan di atas, Malaysia memberikan izin kepada perusahaan minyak Shell Belanda pada 15 Februari 2005, pemberian izin ini menimbulkan kemarahan besar Indonesia, karena daerah cadangan minyak itu terlebih dahulu telah diklaim oleh Indonesia. Klaim tumpang tindih ini menimbulkan ketegangan hubungan antara Indonesia-Malaysia, masing-masing unjuk kekuatan dengan mengirimkan armada tempur ke daerah konflik sebagai wujud untuk mempertahankan kepemilikan hak berdaulat atas Blok Ambalat dan Ambalat Timur. GARIS PANGKAL LAUT TERITORIAL MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982) dibuat merupakan hasil kesepakatan negara-negara di bawah PBB yang ditandatangani 10 Desember 1982 di Motigo Buy Jamaica, dan mulai berlaku pada 16 November 1994. Indonesia 65

Rosmi Hasibuan: Tinjauan Yuridis Konflik Indonesia Malaysia mengikatkan diri pada KHL 1982 berdasarkan UU No.17 Tahun 1985, sedangkan Malaysia mengikatkan diri pada tahun 1996. Dalam KHL 1982 terdapat tiga cara penarikan garis pangkal laut teritorial atau garis dari mana laut teritorial mulai diukur, yaitu cara penarikan garis pangkal normal (normal base lines), cara penarikan garis pangkal lurus (straight base lines), dan cara penarikan garis pangkal kepulauan (archipelagic baselines). Suatu negara pantai biasanya dibenarkan sekaligus menggunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal normal dan garis pangkal lurus apabila konfigurasi pantainya memungkinkan cara penarikan garis pangkal tersebut. Cara penarikan garis pangkal biasa (normal base lines) untuk mengukur laut teritorial adalah garis air rendah di sepanjang pantai suatu negara. Untuk pulau-pulau yang mempunyai karang di sekitarnya, maka garis pangkal untuk mengukur laut teritorial adalah garis air rendah pada sisi karang ke arah laut. Sedangkan penarikan garis pangkal lurus (straight base lines) adalah garis yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial dengan menghubungkan titik-titik yang tepat. Garis pangkal lurus digunakan di tempat-tempat di mana garis pantai menjorok jauh ke dalam atau jika terdapat sederetan pulau-pulau sepanjang pantai di dekatnya. Demikian juga elevasi surut (law tide elevation), yaitu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi dan berada di permukaan laut pada waktu air surut dan berada di permukaan laut pada waktu air surut dan berada di permukaan laut pada waktu air pasang. Elevansi surut ini dapat dijadikan titik-titik pangkal yang menghubungkan garis pangkal laut teritorial apabila di atasnya dibangun mercusuar yang permanen atau instalasi yang sejenis. Penarikan garis pangkal lurus laut teritorial tidak boleh memotong laut teritorial, laut lepas, dan zona ekonomi eksklusif negara lain (pasal 7). Garis pangkal kepulauan (archipelagic baselines). Suatu negara kepulauan dapat menarik garis pangkal kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau dan karang terluar. Selain dari itu dapat juga menggunakan elevansi surut dengan membuat bangunan permanen di atasnya, seperti mercusuar atau instalasi yang sejenis sebagai titik pangkal kepulauan untuk menghubungkan garis pangkal kepulauan. Penarikan garis pangkal kepulauan tidak boleh dilakukan melebihi 100 mil laut atau 3% dari jumlah seluruh garis pangkal kepulauan dan hingga pada suatu kepanjangan maksimum 125 mil laut. Penarikan garis pangkal ini dicantumkan pada peta dengan skala yang memadai untuk mengetahui posisinya, dan sebagai gantinya dapat juga dibuat daftar titik koordinat geografis. Peta dan titik-titik koordinat geografis tersebut harus dideposit atau disimpan pada sekretariat PBB (pasal 47). GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA MENURUT UU NO. 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA Dengan diterimanya prinsip negara kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982), Indonesia telah mengimplementasikannya melalui UU No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Undang-undang ini juga sekaligus mencabut undang-undang yang lama tentang perairan Indonesia, yaitu UU No.4/Prp/1960. Menurut pasal 5 UU No. 6 Tahun 1996, garis pangkal kepulauan Indonesia adalah garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis rendah pulau-pulau dan karang terluar dari kepulauan Indonesia. Sejalan dengan pasal 47 KHL 1982, maka pada pasal 5 UU No. 6 Tahun 1996 tersebut elevansi surut dapat dijadikan sebagai titik pangkal yang menghubungkan garis pangkal kepulauan Indonesia apabila di atasnya dibangun mercusuar atau instalasi serupa yang permanen. Selanjutnya dalam pasal menyatakan garis pangkal kepulauan Indonesia tersebut dicantumkan dalam peta yang memadai untuk menegaskan posisinya atau dapat juga dibuat titik-titik koordinat geografis dan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah yang dimaksudkan yaitu PP No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Peraturan Pemerintah ini memuat 183 titik pangkal kepulauan Indonesia termasuk titik pangkal Pulau Sipadan dan Ligitan. Pemerintah sekarang ini sedang merevisi PP No. 38 Tahun 2002 dengan beralihnya pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia melalui keputusan International Court of Justice (ICJ) 17 Desember 2002. Untuk menggantikan titik-titik pangkal Sipadan dan Ligitan, yang menjadi pilihan sebagai penggantinya adalah Karang Unarang. Karang Unarang bukanlah pulau tetapi elevasi surut (low tide elevation) yang terletak pada posisi masih dalam batas kurang 12 mil laut Kalimantan Timur atau berada dalam 12 mil laut dari 47 KHL 1982 dan menurut pasal 5 UU No. 6 Tahun 1996, Indonesia masih berhak dalam jarak 100 mil. Karang Unarang juga terletak pada posisi 12 mil di luar batas maritim Malaysia dan 12 mil di selatan Pulau Sipadan, batas maritim klaim Malaysia ini tidak pernah dibicarakan dengan Indonesia (Havas, 2005). Sekarang ini telah dibangun mercusuar di atas Karang Unarang yang dijadikan sebagai acuan bagi penarikan garis batas maritim laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Dijadikannya Karang Unarang sebagai titik pangkal terluar Indonesia yang terletak 12 mil di luar klaim batas maritim Malaysia, maka Malaysia akan kehilangan langkah untuk mengklaim Blok Ambalat dan Ambalat Timur yang mencakup landas kontinen dan perairannya sejauh 200 mil laut dari perbatasan maritim (Asnawi, 2005). LANDAS KONTINEN (CONTINENTAL SHELF) Dalam hukum laut internasional yang dijadikan dasar hukum penambangan lepas pantai, yaitu Konvensi Hukum Laut 1958 hasil dari Konferensi Hukum Laut PBB I, dirumuskan dalam Konvensi IV tentang Landas Kontinen. Sedangkan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 hasil dari Konferensi Hukum Laut PBB III pengaturannya dirumuskan dalam BAB VI pasal 76 sampai dengan pasal 85. Pasal 1 Konvensi Hukum Laut 1958 (KHL 1958) tentang Landas 66

Kontinen, yang dimaksud dengan landas kontinen pada pokoknya mencakup dasar laut dan tanah di bawah permukaan laut yang berdekatan dengan pantai yang merupakan bagian terluar dari laut teritorial sampai kedalaman 200 meter atau di luar batas kedalam 200 meter, untuk tujuan eksploitasi sumber kekayaan alam dasar laut dan tanah di bawahnya, seperti minyak dan gas bumi. Dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982), landas kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga tepian kontinen minimal jarak 200 mil laut dari garis pangkal laut teritorial atau tidak boleh melebihi 100 mil laut dari kedalaman (isobath) 2500 meter. Di landas kontinen, negara pantai mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam mineral seperti minyak, gas bumi, dan kekayaan alam lainnya (pasal 76 dan 77). Berdasarkan ketentuan tersebut di atas landas kontinen menurut KHL 1958 menggunakan ukuran kedalaman laut, yaitu kedalaman 200 meter dan ukuran kemampuan teknologi untuk mengambil kekayaan alamnya (technical exploitability), sedangkan menurut KHL 1982 menggunakan ukuran jarak (horizontal). Bertitik tolak pada dua hukum laut intenasional tersebut penentuan batas landas kontinen Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka dan Selat Singapura lebih tepat menggunakan KHL 1958, karena kedalaman perairan di Selat Malaka, Selat Singapura dan Laut Cina Selatan kurang dari 200 meter yang didasarkan pada penarikan garis tengah (median lines). Kecuali di Laut Sulawesi yang kedalaman lautnya hingga lebih 6000 meter, maka penentuan batas landas kontinennya lebih cocok menggunakan KHL 1982. Sebagaimana dijelaskan pada awal penulisan, bahwa sejak tahun 1967 Indonesia telah memberikan izin konsesi eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi dan gas alam pada pihak asing di laut Sulawesi kawasan Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Meskipun Indonesia pada waktu itu tidak terikat pada KHL 1958 tentang Landas Kontinen, pemberian izin konsesi didasar pada Hukum Kebiasaan Internasional. Menyusul kemudian Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah tahun 1969 tentang Landas Kontinen Indonesia. Peraturan Pemerintah tahun 1969 ini dipandang perlu untuk ditingkatkan menjadi undang-undang, yaitu UU No.1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Undang-undang ini selain merupakan dasar hukum hak berdaulat Indonesia untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam yang terkandung di landas kontinennya, juga merupakan jaminan hukum pihak asing yang mengadakan kerjasama dengan Indonesia dalam kegiatan penambangan lepas pantai di landas kontinen Indonesia. Meskipun Indonesia sudah meratifikasi KHL 1982, tetapi sampai sekarang masih menggunakan UU No.1 Tahun 1973 yang berpedoman pada KHL 1958. PETA MALAYSIA TAHUN 1979 Pada bulan Agustus 1969 Malaysia mengundangkan Essensial Powers Ordonance. Melalui undang-undang ini Pemerintah Malaysia mengumumkan lebar laut teritorialnya menganut 12 mil laut yang diukur dari garis dasar dengan menarik garis pangkal lurus menurut ketentuan Konvensi Hukum Laut 1958 mengenai Laut Teritorial dan Contiguous Zone. Yang terjadi kemudian pada 21 Desember 1979 Pemerintah Malaysia melakukan tindakan sepihak (unilateral act) dengan mendeklarasikan Peta Malaysia 1979. Peta ini memuat kejanggalan yang merugikan negara-negara lain disekitarnya. Garis pangkal dan titik pangkal untuk menentukan batas wilayahnya hanya diketahui oleh Malaysia sendiri. Dalam pergaulan internasional suatu negara harus memberitahukan titik-titik pangkal dan garis pangkal laut teritorialnya agar negara lain dapat mengetahuinya. Tahun 1980 Indonesia memprotes peta Malaysia 1979 itu, demikian juga negra-negara lain seperti Singapura, Filipina, Brunei Darussalam mewakili Inggris dan negara lainnya melakukan protes yang sama atas peta tersebut, tetapi protes ini tidak dihiraukan Malaysia dan tidak pernah dirundingkan. (Havas, 2005). Dalam peta 1979 Malaysia menarik garis batas wilayah dari deretan pantai Sabah dengan menarik garis pengkal lurus ke Pulau Sipadan dan Ligitan. Meskipun jauh sebelum keputusan ICJ 2002, Malaysia telah memasukkan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah kedaulatan Malaysia dan menjadi kesatuan dengan wilayah daratan Sabah. Pulau Sipadan terletak sekitar 15 mil laut dari pantai daratan Sabah di Malaysia Timur dan 40 mil laut dari pulau Sebatik sedangkan pulau Ligitan berjarak 21 mil laut dari pantai daratan Sabah dan 57,6 mil laut dari Pulau Sebatik. Luas Pulau Sipadan kurang lebih 10,4 ha, sedangkan Pulau Ligitan luasnya sekitar 7,9 ha (Proses Litigasi, 2002). Ditinjau dari hukum laut internasional, Malaysia bukanlah negara Kepulauan oleh karena itu tidak dibenarkan menarik garis pangkal demikian sebagai penentuan batas laut wilayah dan landas kontinennya. Malaysia hanyalah negara pantai biasa yang hanya dibenarkan menarik garis pangkal normal (biasa) dan garis pangkal lurus apabila memenuhi persyaratan-persyaratan, yaitu terdapat deretan pulau atau karang di hadapan daratan pantainya dan harus mempunyai ikatan kedekatan dengan wilayah daratan Sabah untuk tunduk pada rezim hukum perairan pedalaman sesuai dengan pasal 5 KHL 1958 tentang Laut Teritorial dan Contiguous Zone dan sesuai dengan pasal 7 KHL 1982. Pendapat Arif Havasoegroseno, direktur perjanjian politik, keamanan, dan kewilayahan Indonesia mengatakan, dalam hukum kebiasaan Internasional jika klaim suatu negara merupakan tindakan sepihak dari negara tersebut (unilateral action) tidak mendapat protes dari negara-negara terutama negara tetangganya, maka setelah 2 (dua) tahun klaim tersebut dinyatakan sah. Sehubungan dengan Peta Malaysia 1979 yang mendapat banyak protes dari negara-negara tetangga dan negara lainnya sesungguhnya peta tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. 67

Rosmi Hasibuan: Tinjauan Yuridis Konflik Indonesia Malaysia KONSEP KEWILAYAHAN PERAIRAN NEGARA NUSANTARA INDONESIA Indonesia pernah juga melakukan tindakan sepihak (unilateral act) tentang konsep kewilayahan negara nusantara (negara kepulauan) yang dicetuskan melalui Peraturan Pemerintah tanggal 13 Desember 1957. Peraturan Pemerintah ini kemudian ditingkatkan menjadi undang-undang, yaitu UU No.4/Prp./1960. Undang-undang ini menyatakan, jalur laut wlayah (laut teritorial) Indonesia selebar 12 mil diukur terhitung dari garis pangkal lurus, yaitu garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar. Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak dalam garis pangkal lurus ini dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Tindakan sepihak Indonesia ini tidak pernah diprotes oleh negara-negara tetangganya, bahkan Indonesia membuat perjanjian batas wilayah dengan Malaysia di Selat Malaka pada 1970 dan dengan Singapura di Selat Singapura pada 1973. Kemudian Indonesia mengadakan perjanjian batas dasar laut dengan Australia pada 1971 dan 1973, perjanjian batas wilayah laut dengan Papua Nugini, selatan Irian Jaya 1973 serta perjanjian landas kontinen dengan India 1974 (Mochtar, 1986). Perjanjian batas wilayah perairan ini dibuat dengan titik-titik pangkal yang menghubungkan garis pangkal lurus berdasarkan UU No.4/Prp./1960. Dibuatnya perjanjian batas wilayah perairan tersebut merupakan wujud pengakuan negara-negara tetangga terhadap konsep wilayah perairan Negara Kepulauan Indonesia. Dengan diterimanya prinsip Negara Kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut 1982, maka konsep Negara Kepulauan Indonesia mendapat pengakuan secara Internasional. Peluang Untuk Memiliki Hak Berdaulat Atas Blok Ambalat dan Ambalat Timur (East Ambalat) Secara fakta geografis blok Ambalat dan Ambalat Timur merupakan kelanjutan alamiah dari Kalimantan Timur (Indonesia). Jarak Kalimantan Timur ke blok Ambalat dan Ambalat Timur sekitar 30 dan 40 mil laut. Dengan tunduk pada rezim hukum landas kontinen pasal 76 KHL 76 KHL 1982 kedua blok tersebut berada dalam 200 mil laut, oleh karena itu Indonesia mempunyai hak berdaulat atas blok Ambalat dan Ambalat Timur, oleh karena itu segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan kewenangan dan yurisdiksi Indonesia. Sementara itu, Sabah, Malaysia mengklaim blok Ambalat dan Ambalat Timur merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan Sabah, oleh karena itu mempunyai kewenangan dan yurisdiksi atas kekayaan yang terkandung di dalamnya. Menurut pakar hukum laut internasional Hasjim Djalal dalam catatan hukum laut internasional antara Sabah dan kedua blok tersebut, yaitu Ambalat dan Ambalat Timur dipisahkan oleh laut dalam sampai kedalaman 6000 meter, oleh karena itu tidak mungkin bisa dikatakan bahwa Blok Ambalat dan Ambalat Timur merupakan kelanjutan alamiah wilayah daratan Sabah. Dengan alasan ini Malaysia tidak mempunyai kewenangan dan yurisdiksi atas kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Untuk membenarkan pendirian Indonesia bahwa kelanjutan alamiah Kalimantan Timur sampai ke Blok Ambalat dan Ambalat Timur perlu dibuktikan secara alamiah yang dilakukan oleh orang-orang ahli bidang hidro-oceanografi dan geodesic. Demikian juga dengan Sabah perlu dibuktikan bahwa kelanjutan alamiah daratan Sabah tidak sampai ke blok Ambalat dan Ambalat Timur. Sejak tahun 1967 hingga pasca Peta Malaysia 1979 Indonesia terus melakukan izin konsesi eksplorasi kepada pihak asing dan selama itu juga tidak pernah mendapat protes dari Malaysia. Keadaan berubah setelah keputusan ICJ 17 Desember 2002 dengan memenangkan pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia. Dalam peta 1979 Pulau Sipadan dan Ligitan dijadikan menjadi satu kesatuan dengan wilayah daratan Sabah untuk menentukan garis batas laut teritorial, ZEE dan landas kontinen untuk dapat mengklaim Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Malaysia bukanlah negara kepulauan yang dapat melakukan cara demikian. Menurut pasal 121 KHL 1982 pulau-pulau kecil di tengah laut hanya mempunyai laut teritorial, ZEE dan landas kontinen, tetapi tidak bisa dijadikan penetapan batas landas kontinen. Penetapan batas landas kontinen dua negara tidak bisa dimulai dari pulau-pulau kecil, tetapi harus dimulai dari garis pangkal dengan menggunakan normal base lines atau straght base lines. Oleh karena itu pulau Sipadan dan Ligitan tidak bisa dipakai sebagai penetapan garis batas landas kontinen, tetapi harus dimulai dari garis pangkal laut teritorial dihadapan daratan Sabah dan pulau Sebatik Malaysia. Dengan berpatokan pada pasal 47 KHL 1982 Indonesia membangun mercusuar di atas Karang Unarang untuk dijadikan sebagai titik pangkal kepulauan Indonesia menggantikan Pulau Sipadan dan Ligitan. Indonesia sebagai negara kepulauan berhak menentukan titik-titik pangkal kepulauannya untuk menghubungkan garis pangkal kepulauan sesuai dengan pasal 47 KHL 1982. Karang Unarang yang terletak 12 mil di luar batas klaim maritim Malaysia dijadikan sebagai titik pangkal menghubungkan garis pangkal kepulauan Indonesia untuk menentukan lebar laut teritorial 12 mil laut dan landas kontinen 200 mil laut. Ditentukannya Karang Unarang sebagai titik pangkal kepulauan Indonesia akan menghambat klaim Malaysia atas Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Berdasarkan fakta-fakta yuridis tersebut di atas Indonesia berpeluang lebih besar untuk memiliki hak berdaulat atas daerah cadangan minyak Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Namun dalam menyikapi konflik mengenai Ambalat dan Ambalat Timur ini, sebaiknya kedua negara bisa menahan diri agar dapat menyelesaikan kasus ini dengan baik. Indonesia dan Malaysia merupakan negara sahabat dan sesama anggota ASEAN keduanya harus bijaksana menyelesaikan kasus ini, selain menggunakan pertimbangan hukum juga perlu menggunakan prinsip equity yang berkeadilan. Letak pulau, luas pulau dibandingkan dengan luas daratannya, panjang garis pantai, jumlah penduduk dan sebagainya merupakan salah satu kaedah yang umum dalam perundingan berkenaan dengan penyelesaian kasus Ambalat dan Ambalat Timur. 68

KESIMPULAN Terjadinya ketegangan hubungan antara Indonesia-Malaysia disebabkan masing-masing negara mengklaim sebagai yang memiliki hak berdaulat atas daerah cadangan minyak Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Jika dalam perhitungan terjadi tumpang tindih landas kontinen antara Indonesia-Malaysia tersebut, maka sesuai dengan pasal 83 KHL 1982 harus dilakukan persetujuan atas dasar hukum internasional untuk mencapai penyelesaian yang adil. Apabila dalam waktu yang pantas tidak tercapai persetujuan yang dimaksud, maka pihak-pihak yang bersangkutan menggunakan prosedur bab XV, yaitu kewajiban untuk menyelesaikan sengketa dengan cara damai sesuai dengan Pasal 83 KHL 1982. Sambil menunggu persetujuan bisa dilakukan joint development atau pengembangan bersama, dalam dunia pertambangan hal seperti ini biasa dilakukan. Indonesia juga pernah melakukan joint development dengan Australia dalam sengketa Celah Timor yang ditandatangani tahun 1989. DAFTAR PUSTAKA Agoes, R. Etty. 2004. Praktek Negara-negara Atas Konsepsi Negara Kepulauan. Jurnal Hukum Internasional. Vol.1, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional.Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Asnawi, Sofyan. Rabu 16 Maret 2005. Sipadan Ligitan Permainan Domino Malaysia. http://www. Sinar Harapan.co.id Boer, Mauna, 2002. Hukum Internasional Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Eradinamika Global, Alumni, Bandung Deplu, 2002, Proses Ligitasi Masalah Pulau Sipadan dan Ligitan Pada Mahkamah Internasional (ICJ), di Den Haag. Deplu. 2002. Proses Ligitasi Masalah Pulau Sipadan dan Ligitan pada Mahkamah Iternasional (ICJ). Dan Haag, Guratman. Selasa 15 Maret 2005. Wawancara dengan Lektor Kepala pada Fakultas Hukum Universitas Malang. http:// www. Surya.co.id Havas Oegrosewu, Arif. Sabtu 12 Maret 2005. Wawancara dengan Direktur Perjanjian Politik, Keamanan dan kewilayahan Deplu. http://www..kompas.co.id Havas Oegrosewu, Arif. Selasa 8 Maret 2005. Sorotan bersama Direktur Perjanjian Politik, Keamanan dan kewilayahan Deplu. Batas Laut Indonesia Malaysia Pasca Sipadan-Ligitan. Sorotan. http://www..kompas.co.id Havas Oegrosewu, Arif. 2004. Delimitasi Batas Maritim dalam Kebijakan Border Diplomacy Indonesia, Lokakarya Hukum Laut Internasional, Yogyakarta 12-15 Desember 2004. Rivai Ras, Abdul. Senin 7 Maret 2005. Gelar Kekuatan Laut Ambalat, Analisis Dirjend Strategi Pertahanan DEPHAN. http://www.media Indonesia. co.id. Peraturan: Konvensi Hukum Laut (KHL) Tahun 1958. Konvensi Hukum Laut (KHL) Tahun 1982. Republik Indonesia. Undang-Undang No.6 Tahun 1996. tentang Perairan Indonesia. Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2002. tentang Daftar Koordinat Geografis Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Harian Kompas, 8 Maret 2005. Harian Republika 15 Maret 2005. 69