BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dan merupakan suatu uji diagnostik.

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif. yang normalnya hidup sebagai flora normal di sistem

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Antibiotik merupakan substansi yang sangat. bermanfaat dalam kesehatan. Substansi ini banyak

I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk

I. PENDAHULUAN. atas yang terjadi pada populasi, dengan rata-rata 9.3% pada wanita di atas 65

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012). dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012).

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK PREVALENSI GEN OXA-24 PADA BAKTERI ACINETOBACTER BAUMANII RESISTEN ANTIBIOTIK GOLONGAN CARBAPENEM DI RSUP SANGLAH DENPASAR

BAB I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Penelitian. Enterobacteriaceae merupakan patogen yang dapat menyebabkan infeksi

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut perkiraan World Health Oraganization (WHO) ada sekitar 5 juta

BAB 1 PENDAHULUAN. mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Antibiotik merupakan pengobatan utama dalam. manajemen penyakit infeksi. Namun, akibat penggunaan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dengan judul Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Enterobacter sp. merupakan bakteri gram negatif. berbentuk batang. Enterobacter sp.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENILAIAN AKURASI ITALIAN SCORE SEBAGAI PREDIKTOR INFEKSI EXTENDED- SPECTRUM BETA LACTAMASE (ESBL) TESIS ANDRI ISKANDAR MARDIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi

I. PENDAHULUAN. penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012). Infeksi nosokomial dapat terjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL. Isolat Pseudomonas aeruginosa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pelayanan kesehatan umum seperti rumah sakit dan panti jompo. Multidrugs

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. bermakna (Lutter, 2005). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. baik di Indonesia maupun di dunia, hal ini terjadi karena penggunaan antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus adalah bakteri gram positif. berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus

DISTRIBUSI DAN POLA KEPEKAANENTEROBACTERIACEAE DARI SPESIMEN URIN DI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA PERIODE JANUARI JUNI 2015

Beberapa Faktor Resiko pada Pasien dengan Infeksi oleh E. coli dan K. pneumoniae Penghasil ESBL di RSUP H. Adam Malik Medan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Resistensi terhadap antimikroba atau. antimicrobial resistance (AMR) adalah fenomena alami

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. satunya bakteri. Untuk menanggulangi penyakit infeksi ini maka digunakan

PREVALENSI DAN POLA RESITENSI BAKTERI BATANG GRAM NEGATIF PENGHASIL EXTENDED SPECTRUM BETALACTAMASE

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pada wanita pekerja seks menunjukan bahwa prevelensi gonore berkisar antara 7,4% -

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. (Saifudin, 2008). Infeksi Luka Operasi (ILO) memberikan dampak medik berupa

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik

BAB I Pendahuluan UKDW. penyebab keempat dari disabilitas pada usia muda (Gofir, 2009).

ABSTRAK PERBANDINGAN POLA RESISTENSI KUMAN PADA PENDERITA PNEUMONIA DI RUANGAN ICU DAN NON ICU RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri Gram

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Staphylococcus aureus merupakan salah satu. penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas,

Prevalensi Kuman Multi Drug Resistance (MDR) di Laboratorium Mikrobiologi RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode Januari Desember 2012

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah. kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

Klebsiella pneumoniae. Gamma Proteobacteria Enterobacteriaceae. Klebsiella K. pneumoniae. Binomial name Klebsiella pneumoniae

IDENTIFIKASI BAKTERI DAN UJI SENSITIVITAS ANTIBIOTIK PADA INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSUD JAMBI ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang sering ditemukan. Lebih dari 25% perempuan akan mengalami ISK

BAB I PENDAHULUAN. kematian di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai akibatnya

BAB 1 PENDAHULUAN. yang resisten terhadap minimal 3 kelas antibiotik. 1 Dari penelitian yang

ANTIBIOTIK AMINOGLIKOSIDA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. itu, patofisiologi sepsis merupakan kombinasi antara efek infeksi dengan respon

BAB I PENDAHULUAN. dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World

UNIVERSITAS DIPONEGORO FAKULTAS KEDOKTERAN SEMARANG 2006

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

(Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian

IDENTIFIKASI INFEKSI MULTIDRUG-RESISTANT ORGANISMS (MDRO) PADA PASIEN YANG DIRAWAT DI BANGSAL NEONATAL INTENSIVE CARE UNIT (NICU) RUMAH SAKIT

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

POLA RESISTENSI BAKTERI STAPHYLOCOCUS AUREUS, ESCHERICHIA COLI, PSEUDOMONAS AERUGINOSA TERHADAP BERBAGAI ANTIBIOTIK

POLA KEPEKAAN ANTIBIOTIK BAKTERI EXTENDED SPECTRUM BETA LAKTAMASES-PRODUCING ESCHERICHIA COLI

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. kerap kali dijumpai dalam praktik dokter. Berdasarkan data. epidemiologis tercatat 25-35% wanita dewasa pernah mengalami

Pseudomonas aeruginosa adalah kuman patogen oportunistik yang dapat

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

BAB II STUDI PUSTAKA. 2.1 Tinjauan Pustaka

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama. morbiditas dan mortalitas di dunia.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Obat yang termasuk golongan ini ialah : a. Sulfonamid, b. Trimetoprin, c. Asam p-aminosalisilat (PAS), dan

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit

BAB I PENDAHULUAN. melalui program proyek desa tertinggal maupun proyek lainnya, namun sampai

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

UJI SENSITIVITAS BAKTERI PENYEBAB INFEKSI SALURAN KEMIH PADA PASIEN DIABETES MELITUS TERHADAP SEFTRIAKSON, LEVOFLOKSASIN, DAN GENTAMISIN

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Extended Spectrum β Lactamase (ESBL) Beberapa dekade terakhir, penggunaan intensif sefalosporin spektrum luas (sefalosporin generasi ketiga, seperti seftriakson dan sefotaksim) telah mengakibatkan munculnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik, dengan menghasilkan enzim extended spektrum β laktamase (ESBL). 1 ESBL adalah enzim yang dapat menyebabkan resistensi terhadap hampir seluruh antibiotik β laktam termasuk penisilin, sefalosporin dan monobaktam. 12 Enzim β laktamase yang pertama ditemukan dinamakan TEM-1. TEM ditandai dengan adanya asam amino serine pada bagian aktifnya. Adanya mutasi satu asam amino pada TEM-1 mengakibatkan terbentuk enzim baru disebut TEM-2 namun tidak mengubah kemampuan hidrolisisnya terhadap antibiotik β laktam. Setiap adanya mutasi akan menghasilkan suatu enzim baru dengan kemampuan hidrolisis cincin betalaktam yang berbeda. TEM-1 dan TEM-2 menghidrolisis penicillin dan sefalosporin spektrum sempit, seperti sefalotin atau sefazolin. Namun, tidak efektif terhadap sefalosporin generasi yang lebih tinggi dengan rantai samping oxyimino, seperti sefotaksim, ceftazidim, seftriakson, atau sefepim. Akibatnya, sefalosporin generasi ketiga mendapat tempat yang luas dalam penggunaan klinis pada awal 1980an. 2,12 TEM-3 dilaporkan pertama kali tahun 1989. TEM-3 inilah bakteri penghasil enzim β laktamase pertaa yang masuk kedalam golongan bakteri ESBL dari variant TEM. Sejak saat itu telah terdapat lebih dari 200 mutasi pada TEM. TEM paling banyak dihasilkan oleh E.coli. 2,8,13,14 Adanya mutasi serine menjadi glisine pada posisi 238 enzim β laktamase mengakibatkan terbentuknya enzim yang disebut SHV-1. ESBL ditemukan pertama kali tahun 1983 dan merupakan turunan dari SHV ini. SHV umumnya dijumpai pada Klebsiella spp. Sama halnya dengan TEM, perubahan satu asam amino mengakibatkan terbentuknya enzim baru. Sampai saat ini dikenal 140 turunan SHV. 8,13

Selain kedua enzim diatas dijumpai juga CTM-X yang lebih dominan resisten terhadap cefotaxime. Banyak kejadian outbreak ESBL diakibatkan turunan CTM-X. Sampai saat ini terdapat 130 turunan CTM-X. 8 CTM-X merupakan ESBL yang paling sering dijumpai saat ini. Antibiotik β laktamase inhibitor asam clavulanat kurang efektif terhadap ESBL CTM-X ini. 4 Adapun enzim β laktamase yang lain dikenal dengan OXA β laktamae. OXA beta laktamase dapat menghidrolisis oksasilin dan kurang efektif terhadap asam clavulanat. ESBL OXA banyak dijumpai pada Pseudomonas aeroginosa. Enzim beta laktamase yang lain, seperti PER, VEB, dan GES telah dilaporkan tetapi sangat jarang dan terutama ditemukan pada P.aeruginosa dan hanya didapati pada daerah geografis tertentu. Enzim ESBL lainnya, yang juga cukup jarang, dan ditemukan di Enterobacteriaceae antara lain BES, SFO, dan TLA. 8,12 Bakteri yang dapat menghasilkan enzim ESBL umumnya bakteri gram negatif, seperti Klebsiella pneumonia, Klebsiella oxytoca, Eschericia coli, Acinetobacter, Burkhlorderia, Citobacter, Enterobacter, Morganella, Proteus, Pseudomonas, Salmonella, dan Seratia spp. 12 2.2 Epidemiologi Infeksi Bakteri ESBL Sejak ditemukannya bakteri ESBL tahun 1983, bakteri ini telah mengalami banyak mutasi dan tersebar diberbagai daerah. Infeksi dapat terjadi baik di masyarakat (Community) maupun di dapat dirumah sakit (hospital). Perbedaan kedua sumber infeksi ini seperti tertera pada tabel berikut; Tabel 2.1. Perbedaan onset infeksi ESBL Dikutip dari : Rishi et al, Critical Care Research and Practice, 2012 Secara global kejadian prevalensi ESBL bervariasi diberbagai daerah. Dari hasil Tigecycline Evaluation and Surveillance Trial (TEST) tahun 2001 menunjukkan angka kejadian tertinggi ESBL K.pneumoniae di Amerika Latin diikuti Asia, Eropa dan Amerika Utara yaitu 44%, 22,4%, 13,3% dan yang terakhir 7,5%. 13

E.coli. 15 Di Asia, Cina merupakan daerah pertama yang dijumpai ESBL dengan angka kejadian Di Amerika berdasarkan National Nasocomial Infectius Surveilance System tahun 2004 diperoleh bahwa ESBL K.pneumonia meningkat 43% tahun 2003 dibandingkan dengan tahun 1998-2002, sedangkan ESBL E.coli tidak mengalami perubahan dan angka kejadian di ICU lebih tinggi dibandingkan non-icu. Dari hasil penelitian Meropenem Yearly Susceptibility Test Information Collection (MYSTIC) tahun 2008 melibatkan 12 negara, diperoleh kejadia ESBL E.coli 1,5% sedangkan ESBL K.pneumonia 2,4-4,4% sedangakan total kejadian ESBL secara keseluruhan 5,6%. 5,15 Di Eropa, banyak Negara di Eropa yang mengalami outbreak ESBL. Isolat pertama ESBL dijumpai di Jerman, namun Outbreak pertama terjadi di Francis, dimana dari 50 pasien yang terkena ESBL di ICU, menyebarkan ke hampir seluruh ruang rawat lainnya. Kejadian di Eropa bervariasi mulai dari 3% di Swedia sampai 34% di Portugal. 16 Di Amerika Selatan merupakan daerah tertinggi infeksi ESBL dengan predominan jenis CTX-M dengan range kejadian 45-51% untuk ESBL K.pneumonia dan 8,5%-18% ESBL ESBL E.Coli 13-15%. 15 Hasil penelitian Paterson et al memperoleh kejadian ESBL di Thailand, Taiwan, Philipina dan Indonesia berkisar 12-24%. 1 Laporan kesehatan Malaysia menyatakan prevalensi ESBL E.coli di Malaysia dan singapura 5,6% dan Indoneisa 23% sedangkan ESBL K.pneumoniae di Malaysia dan singapura 38% dan Indoneisa 33,3%. Hasil penelitian di Medan diperoleh kejadian ESBL E.coli 18,7% dari 282 sampel urin yang diperiksa. 7 Dari data di bagian Mikrobiologi RS H Adam Malik medan dijumpai kejadian infeksi ESBL yang cukup tinggi. Pada tahun 2012 kejadian ESBL 16,9% (12% ESBL K.pneumonia dan 4,9% ESBL E.coli) meningkat menjadi 19,51% (12,24% ESBL K.pneumonia dan 7,17% ESBL E.coli) pada tahum 2013. Disamping itu, dari data tahun 2013 diketahui bahwa 67,81% isolat K.pneumonia yang dijumpai merupakan ESBK K.pneumonia dan 61,83% isolat E.coli merupakan ESBL E.coli. 2.3 Mekanisme Resistensi pada Bakteri ESBL Bakteri yang menghasilkan enzim untuk mengatasi kerja dari antibiotik betalaktam disebut dengan enzim β Lactamase. Enzim β Lactamase dapat merusak cincin β laktam dari penisilin dengan hidrolisis, dan tanpa cincin β laktam, penisilin menjadi tidak efektif melawan

bakteri (gambar 2.1). 17 Enzim β Lactamase disekresikan ke rongga peri plasma oleh bakteri gram negatif dan ke cairan ektra seluler pada bakteri gram positif. Variant enzim β Lactamase cukup banyak, mulai dari TEM, SHV, CTM-X dan lainnya semua bakteri penghasil enzim ini disebut bakteri ESBL. 18 Sehingga bakteri tetap dapat membentuk dinding sel bahkan ketika diberikan antibiotik betalaktam. Enzim ESBL mempunyai kemampuan yang bervariasi terhadap berbagai substrat β- laktam. Enzim-enzim ini juga sensitif terhadap inhibitor-inibitor betalaktamase, seperti klavulanat, sulbaktam, dan tazobaktam. Enzim ESBL ini umumnya ditemukan pada bakteri gram negatif, terutama Klebsiella pneumonia, Klebsiella oxytoca, dan Eschericia coli. Tetapi dapat juga ditemukan pada Acinetobacter, Burkhlorderia, Citobacter, Enterobacter, Morganella, Proteus, Pseudomonas, Salmonella, dan Seratia spp. 12 Gambar 2.1. Mekanisme resistensi terhadap betalaktam. Dikutip dari: John Wiley & sons, Inc, Bacterial Drug Resistance, 2004. 2.4 Faktor resiko Infeksi Bakteri ESBL Banyak peneliti mencoba mencari faktor resiko terhadap kejadian ESBL sehingga dapat menduga adanya infeksi ESBL pada seseorang. Penelitian oleh Rishi et la, memperoleh faktor resiko kejadian ESBL yaitu adanya infeksi saluran kemih yang berulang, penggunaan antibiotik sebelumnya, diabetes mellitus, penggunaan kateter ataupun alat lain di saluran kemih, jenis kelamin wanita dan usia lebih dari 65 tahun. 15 Ikeda et al mencoba mencari faktor resiko berupa pemeriksaa labolatorium dasar seperti hemoglobin, leukosit, CRP dan lainnya diperoleh bahwa albumin dan limfosit yang rendahlah berhubungan dengan kejadian ESBL pada pasien dengan infeksi. 19 Selain hal diatas ada beberapa

faktor resiko lain seperti; usia tua, lamanya rawatan, lamanya sakit, lama rawatan ICU, adanya tindakan invasif, penggunaan ventilator, penggunaan kateter urin, penggunaan nagogastric tube, hemodialisis, status nutrisi yang buruk, penggunaan antibiotik sebelumnya, penggunaan thermometer ataupun gel ultrasonografi yang terkontaminasi pasien lain ataupun tangan pekerja kesehatan. 2 Beberapa Faktor- faktor risiko untuk terinfeksi bakteri yang menghasilkan ESBL dapat dilihat tertera pada tabel berikut; Tabel 2.2. Faktor resiko infeksi ESBL Dikutip dari : Rupp ME et al. Drugs, 2003 2.5 Italian Score Tumbarello et al memperkenalkan suatu scoring system untuk menilai adanya infeksi ESBL yang dikenal dengan Italian score. Score ini terdiri dari beberapa faktor resiko yang menyebabkan terjadinya ESBL. Dengan adanya scoring ini diharapkan dapat memprediksi kejadian Infeksi ESBL sehingga dapat langsung diberikan penanganan yang tepat yaitu dengan antibiotik terhadap bakteri ESBL tersebut. Tabel 2.3 Italian Score Kriteria penilaian Mendapat antibiotik beta laktam dan atau fluorokuinolon dalam 3 bulan terakhir Skor 2

Riwayat dirawat sebelumnya dalam 12 bulan terakhir 3 Pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain 3 Charlson Comorbidity Score 4 2 Penggunaan kateter urin dalam 30 hari terakhir 2 Usia 70 tahun 2 Dikutip dari : Tumbarello M et al, Antimicroba Agents Chemother 2011 Jika cutoff score digunakan 4, maka sensitivitas 90% dan NPV 95%, tetapi menyebabkan spesifisitas yang rendah yaitu 62% dan PPV 44%. Penggunaan antibiotik empirik untuk ESBL membutuhkan spesifisitas dan PPV yang tinggi. Dan dengan cutoff sama dengan atau lebih dari 8, memiliki spesifisitas 96% dan PPV 80% dalam memprediksi adanya infeksi ESBL. 11 2.5 Manajemen Infeksi Bakteri ESBL Pilihan antibiotik pada pasien dengan infeksi ESBL menjadi berkurang dengan adanya kemampuan bakteri tersebut menghidrolisis beberapa antibiotik. Infeksi ESBL umumnya resisten terhadap antibiotik β-lactam termasuk sefalosforin, aztreonam dan penisilin. Selain itu resistensi terhadap antibiotik lain juga terjadi seperti trimetroprim-sulfametoxazole, aminogikosida khususnya gentamisin. Pilihan antibiotik idealnya adalah berdasarkan hasil kultur, tetapi seperti yang disebutkan sebelumnya hasil kultur memerlukan waktu dan tidak semua fasilitas kesehatan memilikinya. Pada hasil kultur umumnya diperoleh beberapa jenis antibiotik yang sensitif terhadap bakteri ESBL dan untuk membantu memilih antibiotik diantara beberapa antibiotik yang sensitif untuk ESBL seperti tabel berikut; Tabel 2.4 Rekomendasi pengobatan Dikutip Dari : Rishi et al, Critical Care Research and Practice, 2012

Berikut ini dipaparkan kemampuan beberapa golongan antibiotik terhadap infeksi bakteri ESBL; 2.5.1 Karbapenem Karbapenem merupakan antibiotik pilihan pada infeksi ESBL, yang termasuk dalam golongan karbapenem adalah imepenem, meropenem, erapenem, dan doripenem. Pemilihan antara imipenem dan meropenem sukar dilakukan karena memiliki profil yang hampir sama. Pada meningitis meropenem merupakan pilihannya. Ertapenem pada beberapa penelitian lebih baik dari pada meropenem dan imipenem dan penggunaannya hanya sekali sehari. 1 Doripenem merupakan golongan karbapenem terbaru yang lebih poten dan dapat digunakan untuk infeksi pseudomas aurigenosa. Penelitian yang membandingkan kombinasi karbapenem dengan antibitik golongan lain dibandingkan karbapenem tunggal diperoleh hasil yang tidak berbeda. Penelitian oleh Paterson, penggunaan karbapenem sebagai terapi inisial untuk ESBL selama 5 hari memiliki angka mortalitas yang lebih rendah. 20 Dari penelitian oleh Muharrmi et al, diperoleh karbepenem (imipenem dan meropenem) 100% sensitif terhadap ESBL. 21 Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian oleh Kulkarni et al, Aminzadeh et al, imepenem 100% sensitif terhadap ESBL. 22,23 Chien Lye et al meneliti pada 47 pasien ESBL dengan sumber infeksinya saluran kemih, hepatobilier dan vascular acses yang diterapi dengan ertapenem, memiliki respon yang baik pada 96% pasien. 24 Penelitian Auer et al, ertapenem 100% sensitif terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli. 25 Adapun dosis standart pada dewasa meropenem 1 gram setiap 8 jam intravena, imipenem 500 mg 4 kali sehari intravena, ertapenem 1 gr setiap 24 jam intravena. 26 Resistensi terhadap karbapenem mulai muncul dengan nama Klebsiella Producing Carbapenemases (KPC) dan New Delhi Metalo Beta Lactamase (NDM) sehingga penggunaanya haruslah rasional. 15 2.5.2 Β-lactam/Β-lactamase inhibitor Β-lactamase inhibitor merupakan antibiotik yang ideal untuk ESBL karena memiliki kemampuan menghambat enzim β laktamase, namun banyaknya mutasi yang terjadi pada enzim β laktamase mengakibatkan berkurangnya efektivitas antibiotik β lactamase inhibitor ini. Oleh karena itu, antibiotik Β-lactam/Β-lactamase inhibitor dapat digunakan untuk ESBL yang tidak berat. Amoxicillin/Clavuanat efektif untuk infeksi saluran kemih komunitas akibat ESBL.

Tazobaktam lebih efektif terhadap ESBL CTX-M dibandingkan β Lactam lainnya dan sulbactam lebih baik terhadap SHV dan TEM, namun pada labolatorium sederhana pemeriksaan fenotif ini sulit dilakukan. 4,15 Penelitian Rodriquez-Bano et al, penggunaan amoxicillin/clavulanat selama 5-7 hari pada indeksi saluran kemih tanpa komplikasi memiliki angka kesembuhan 84%. 27 Adapun dosis standart pada dewasa amoxicillin-clavulanat 625 mg/1,2 mg /8 jam baik oral maupun intravena. 26 Piperasilin-tazobactam memiliki kerentanan yang bervariasi terhadap ESBL. Penelitian Muharrmi et al memperoleh 64,4% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 43,6% terhadap ESBL K.pneumonia. 28 DiAmerika Serikat dari hasil MYSTIC Study diperoleh 72,5% sensitif ESBL E.coli dan 38,5% terhadap ESBL K.pneumonia, sedangkan di Eropa 80% ESBL E.coli dan 42,1 % terhadap ESBL K.pneumonia. 28 Kemampuan eradikasinya meningkat dengan mengkombinasikannya dengan obat lain seperti dengan amikasin atau gentamisin. Piperasilintazobactam dikombinasikan dengan amikasin 98,1% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 93,1 % terhadap ESBL K.pneumonia. Sedangkan kombinasi Piperasilin-tazobactam dengan gentamisin 73,1% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 61,4% terhadap ESBL K.pneumonia. 21 Penelitian Aminzadeh et al, Piperasilin-tazobactam 100% sensitif terhadap ESBL. 23 Adapun dosis standart pada dewasa 4,5 gr setiap 8jam intravena. 26 2.5.3 Aminoglikosida. Aminoglikosida yang sering digunakan untuk indeksi bakteri ESBL adalah gentamisin dan amikasin. Gentamisin memiliki kerja bakterisidal yang cepat, namun penggunaan sebagai monoterapi ESBL dihindari. Gentamisin memiliki kerentanan yang bervariasi. Penelitian Muharrmi et al memperoleh 38,3% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 37,6% terhadap ESBL K.pneumonia. 21 Penelitian Kulkarni et al, gentamisin 19,4% sensitif terhadap ESBL. 22 Penelitian Aminzadeh et al, gentamisin 85,2% resisten terhadap ESBL. 23 Adapun dosis standart pada dewasa 5 mg/kgbb perhari intravena. 26 Amikasin memiliki kerentanan yang bervasriasi. Penelitian Muharrmi et al memperoleh kerentanan 94% terhadap ESBL (95,2% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 90,1% terhadap ESBL K.pneumonia). 21 Penelitian Kulkarni et al, amikasin 70,4% sensitif terhadap ESBL. 22 Penelitian Aminzadeh et al, amikasin 81,1% sensitif terhadap ESBL. 23 Adapun dosis standart pada dewasa 15 mg/kgbb perhari terbagi dalam dua dosis intravena. 26

2.5.4 Kuinolon Bakteri ESBL yang sensitif terhadap kuinolon dapat menggunakannya. Namun belakangan semakin banyak dilaporkan adanya resistensi terhadap kuinolon pada bakteri ESBL dengan penyebab yang belum sepenuhnya dipahami. Resistensi ini diduga akibat hilangnya porin bakteri untuk masuknya kuionolon dan aktifnya efluks kuinolon keluar sel. 4,15 Siprofloksasin memiliki kemampuan eradikasi ESBL yang rendah. Dari penelitian Muharrmi et al, diperoleh hanya 29,6% sensitif terhadap ESBL ( 24,9% E.Coli dan 39% K.Pneumonia). 21 MYSTIC Study di Amerika Serikat Siprofloksasin 20% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 36,8% terhadap ESBL K.pneumonia, sedangkan di Eropa 20,2% sensitive ESBL E.coli dan 57,5% ESBL K.pneumonia. 28 Kemampuan eradikasinya meningkat dengan mengkombinasikannya dengan obat lain seperti dengan amikasin atau gentamisin. Siprofloksasin dikombinasikan dengan amikasin memiliki 96,7% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 91,1% terhadap ESBL K.pneumonia. Sedangkan kombinasi Siprofloksasin dengan gentamisin memiliki 41,2% sensitif ESBL E.Coli dan 51,5% ESBL K.Pneumonia. 21 Penelitian Kulkarni et al, siprofloksasin 30,2% sensitif terhadap ESBL. 22 2.5.5 Sefalosporin Secara umum sepalosporin tidak direkomendasikan sebagai pengobatan ESBL. Antibiotik golongan ini yang masi mungkin digunakan adalah cefepime, tetapi data klinis tidak mendukung hal ini dengan angka kegagalan lebih tinggi dibandingkan dengan karbapenem. 15 Penggunaan sefalosporin generasi 3 untuk infeksi ESBL memberikan hasil yang buruk walaupun hasil kultur masih sensitif, sehingga tidak direkomendasikan digunakan sebagai pilihan pertama. Penelitian Kulkarni et al, cepefime hanya 17,2% sensitif terhadap ESBL. 22 2.5.6 Nitrofurantoin Nitrofurantoin dapat digunakan untuk infeksi saluran kemih yang tidak komplikasi. Penelitian Kulkarni et al, Nitrofurantoin 75% sensitif terhadap ESBL. Penelitian Aminzadeh et al, Nitrofurantoin 71,3% sensitif terhadap ESBL. 23 Penelitian Auer et al, Nitrofurantoin 94% sensitive terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli. 25 Adapun dosis standart pada dewasa 50 mg setiap 6 jam oral. 26 2.5.7 Fosfomisin

Fosfomisin merupakan antibiotik yang bekerja dengan menghambat UDP N Acetylglucosamine yang merupakan enzim pada proses pembentukan dinding bakteri. Falagas et al melakukan suatu sistematik review dengan total sampel 4448 infeksi ESBL ditemukan bahwa fosfomisin sensitive pada 90% kasus. Penelitian Rodriquez-Bano et al, penggunaan fosfomisin pada indeksi saluran kemih bagian bawah memiliki angka kesembuhan 94,2%. 27 2.5.8 Tigecycline Tigecycline merupakan turunan dari minocycline, dan ini merupakan obat pertama golongannya. Penelitian obat ini terhadap ESBL belum banyak, namun pada penelitian pendahuluannya memberikan hasil yang memuaskan. 20