BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. itu, patofisiologi sepsis merupakan kombinasi antara efek infeksi dengan respon

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

ANTIBIOTIK AMINOGLIKOSIDA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

(Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari

BAB I PENDAHULUAN. dengan imunitas pejamu, respon inflamasi, dan respon koagulasi (Hack CE,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Obat yang termasuk golongan ini ialah : a. Sulfonamid, b. Trimetoprin, c. Asam p-aminosalisilat (PAS), dan

SENSITIVITAS ANTIBIOTIK PADA PASIEN SEPSIS DI INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT DR. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut perkiraan World Health Oraganization (WHO) ada sekitar 5 juta

membunuh menghambat pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012). dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012).

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012). Infeksi nosokomial dapat terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai trauma mayor karena tulang femur merupakan tulang yang sangat kuat, sehingga

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

I. PENDAHULUAN. atas yang terjadi pada populasi, dengan rata-rata 9.3% pada wanita di atas 65

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan serius yang terjadi di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. bermakna (Lutter, 2005). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi

BAB I PENDAHULUAN. (Saifudin, 2008). Infeksi Luka Operasi (ILO) memberikan dampak medik berupa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dengan judul Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. antigen (bakteri, jamur, virus, dll.) melalui jalan hidung dan mulut. Antigen yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus adalah bakteri gram positif. berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. morbiditas dan mortalitas pada bayi dan anak-anak. Infeksi mikroba. intrinsik untuk memerangi faktor virulensi mikroorganisme.

BAB I PENDAHULUAN. terutama obat yang mengalami eliminasi utama di ginjal (Shargel et.al, 2005).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Antibiotik merupakan substansi yang sangat. bermanfaat dalam kesehatan. Substansi ini banyak

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yang berlebihan terhadap infeksi. Sepsis sering terjadi di rumah sakit

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pneumonia merupakan salah satu infeksi berat penyebab 2 juta kematian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kematian yang tertinggi seluruh dunia. Sepsis merupakan. penyebab kematian yang ke-10 terbesar di Amerika Serikat,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik

EARLY DETECTION AND TREATMENT OF SEPSIS. dr. Eko Setijanto, Sp.An,KIC Intensive Care Unit, DR Moewardi Hospital

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif. yang normalnya hidup sebagai flora normal di sistem

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia. 1. merupakan pneumonia yang didapat di masyarakat. 1 Mortalitas pada penderita

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis menimbulkan suatu respon imun yang berlebihan oleh tubuh

BAB VI PEMBAHASAN. Selama penelitian bulan Januari Juni 2011 terdapat 20 subjek yang memenuhi

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. toksin ke dalam aliran darah dan menimbulkan berbagai respon sistemik seperti

BAB II STUDI PUSTAKA. 2.1 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sepsis adalah suatu kumpulan gejala inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory

BAB I PENDAHULUAN. kematian di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai akibatnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. dialami oleh siapa saja dan dapat terjadi dimana saja baik dirumah, tempat

BAB I PENDAHULUAN. dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World

BAB I PENDAHULUAN UKDW. untuk meningkat setiap tahun (Moehario, 2001). tifoid dibandingkan dengan anak perempuan (Musnelina et al., 2004).

BAB I PENDAHULUAN UKDW. jika menembus permukaan kulit ke aliran darah (Otto, 2009). S. epidermidis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

TINJAUAN PUSTAKA. konsentrasi tertentu mempunyai kemampuan menghambat atau membunuh

BAB 1. Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

BAB II TINJAUAN TEORI. sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sepsis 2.1.1 Definisi Sepsis didefinisikan sebagai invasi dari mikroorganisme atau toxinnya ke dalam darah, yang diikuti oleh respon tubuh terhadap invasi tersebut. Oleh karena itu, patofisiologi sepsis merupakan kombinasi antara efek infeksi dengan respon tubuh, berupa inflamasi generalisata, yang dapat berakhir dengan disfungsi multiorgan dan kematian. 16 ACCP / SCCM mendefinisikan sepsis sebagai Systemic Inflamatory Response Syndrome ( SIRS ) yang disertai dengan infeksi. 2,3 Kriteria dari Bone et al, SIRS adalah pasien dengan kriteria tersebut di bawah ini sebanyak dua atau lebih kriteria : 2,3 1. Suhu > 38 o atau < 36 o 2. Denyut jantung > 90 kali / menit 3. Laju respirasi > 20 kali / menit atau PaCO 2 < 32 mmhg 4. Hitung leukosit >12.000 mm 3 atau >10% sel imatur/band Secara klinis sepsis dibagi berdasarkan beratnya kondisi yaitu sepsis, sepsis berat dan syok sepsis. Sepsis berat adalah infeksi dengan adanya kegagalan organ akibat hipoperfusi. 1,2 Syok septik adalah sepsis berat dengan hipotensi yang 8

9 persisten setelah diberikan resusitasi cairan dan menyebabkan hipoperfusi jaringan. 1,2,17 2.1.2 Epidemiologi Sebuah studi retrospektif yang dilakukan oleh Harrison Dkk pada tahun 2006 di Inggris, Wales dan Irlandia melaporkan bahwa selama tahun 1996 hingga tahun 2004 dari 92.672 pasien yang dirawat di rumah sakit sebesar 27% di antaranya terdiagnosa sebagai sepsis berat dalam 24 jam pertama perawatan. Dari studi yang sama dilaporkan bahwa angka kematian pasien di rumah sakit yang terdiagnosis sepsis mengalami peningkatan dari perkiraan sebanyak 9.000 jiwa menjadi 14.000 jiwa selama rentang tahun yang sama. 18 Sementara studi lain yang dilakukan di Brazil melaporkan bahwa terjadinya peningkatan angka kematian rata rata pada pasien yang terdiagnosis SIRS, sepsis, sepsis berat dan syok sepsis dari 24,3% menjadi 34,7% selama Mei 2001 hingga Januari 2002. 19 2.1.3 Etiologi Etiologi dari sepsis adalah mikroorganisme berupa bakteri, fungi, parasit dan virus. Namun bakteri lebih dikenal sebagai etiologi umum terjadinya sepsis. Dari jenis jenis bakteri, penyebab tersering terjadinya sepsis adalah bakteri gram negatif, sebanyak 20 35%. Namun dari beberapa dekade terakhir dilapornkan peningkatan bakteri gram positif pada kultur darah penderita sepsis. 9

10 Dinding sel bakteri akan menghasilkan lipopolisakarida yang akan menginisiasi respon imun penderita. Lipopolisakarida merangsang peradangan jaringan, demam, dan syok pada penderita yang terinfeksi. Staphilococcus, pneumococcus, streptococcus dan bakteri gram positif lainnya dilaporkan jarang menjadi etiologi, dengan angka kejadian 20 40% dari keseluruhan kasus. Selain itu jamur oportunistik, virus ( dengue dan herpes ) serta protozoa ( Falcifarum malariae ) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun angka kejadian sangat jarang. 2 2.1.4 Patofisiologi Patofisiologi sepsis sangat kompleks dengan melibatkan proses reaksi inflamasi sistemik akibat invasi bakteri ke dalam tubuh, jalur koagulasi dan disfungsi endotel. 20 Terjadi ketidakseimbangan antara sitokin proinflamasi berupa tumor necrosis factor α (TNF-α), interleukin-1ß (IL-1ß), interleukin 6 (IL-6), interferon -γ (IFN-γ) dengan sitokin anti inflamasi seperti interleukin-1 (IL-1) reseptor anatgonis, interleukin-4 (IL-4) dan interleukin-10 (IL-10). 21 Selanjutnya, produksi dari sitokin antiinflamasi sebagai hasil aktivasi nuclear factor кb (NFкB) akan menyebabkan aktivasi respon secara sistemik berupa SIRS yang akan mempengaruhi permeabilitas kapiler akibat disfungsi endothel berupa dihasilkannya mediator vasoaktif seperti nitric oxide (NO) sebagai vasodilator. 22.23 Selain itu TNF dan IL-1 menyebabkan terjadinya perubahan fungsi jantung melalui kerja depresi miokardium.reaksi SIRS juga mempengaruhi terjadinya perubahan metabolik yang mengacu pada apoptosis sel,

11 nekrosis jaringan, syok septik, dan berakhir sebagai multiorgan failure (MOF) dan 22. 21 kematian. Disfungsi selular yang disebabkan oleh hipoksia akibat perubahan fungsi jantung, disregulasi lokal maupun sistemic vaskular dan kerusakan mikrosirkulasi merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya MOF. Faktor lainnya yang juga berperan dalam kejadian MOF antara lain apoptosis dan substansi toksik seperti endotoxin bakteri dan radikal O 2. 24 2.1.5 Diagnosis Tanda dan gejala seseorang dengan sepsis sangat bervariasi, dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya virulensi kuman, jalur masuk infeksi, host dan tahapan perjalanan penyakit. Secara umum didapatkan gejala sistemik, dan gejala lokal pada organ atau lokasi asal infeksi. Gejala klinis dan laboratoris sangat penting dalam diagnosa sepsis. Demam merupakan salah satu tanda infeksi, walaupun pada beberapa keadaan dijumpai pasien dengan hipotermi. Tanda non spesifik seperti takipneu dan hipotensi harus diwaspadai.adanya tanda disfungsi organ dan syok mengacu pada keadaan yang berat. 25 Sementara diagnosa mikrobiologi dilakukan setelah terapi dan resusitasi diberikan. Kultur jaringan, terutama darah adalah diagnosa penting pada pasien sepsis. Rapid test jarang dilakukan. 25

12 2.2 Tes Sensitivitas Kuman Tes sensitivitas kuman terhadap antibiotik dibagi berdasarkan prinsip yang dipegang oleh masing masing sistem. Penentuan nilai nilai dapat dilakukan dengan salah satu dari dua metode utama yaitu difusi dan pengenceran. 26 2.2.1 Metode Difusi Metode difusi adalah metoda yang digunakan secara luas untuk tes sensitivitas antibiotik terhadap kuman. Cakram kertas filter masing masing dipenuhi dengan antibiotika, ditempatkan pada permukaan agar, dan setelah inkubasi selama 18 24 jam, garis tengah hambatan jernih yang mengelilingi obat dianggap sebagai ukuran kekuatan hambatan obat terhadap organisme yang diperiksa. Semakin besar diameternya maka semakin terhambat pertumbuhannya. Kelemahan yang biasa dijumpai dalam penggunaan metode ini yaitu perbedaan kecil dalam diameter zone mempunyai pengertian yang luas sehingga pengukuran zona harus tepat. Selain itu, metode ini hanya dapat mengukur kadar hambat obat. 26,27 Namun, penggunaan cakram tunggal untuk tiap antibiotika dengan tes yang standar memungkinkan penilaian kepekaan atau resistensi mikroorganisme dengan membandingkan ukuran daerah hambatan terhadap suatu patokan obat yang sama (metode Kirby - Bauer). 26 2.2.2 Metode Pengenceran Metode ini dapat menetukan potensi antibiotik dan dapat mengetahui kepekaan bakteri terhadap konsentrasi antibiotik. 26,27

13 Sejumlah antibiotik diencerkan hingga diperoleh beberapa konsentrasi. Kemudian tiap konsentrasi obat dicampur dengan media agar lalu ditanami kuman kemudian diinkubasi. Setelah inkubasi selesai, diperiksa pada konsentrasi berapa antibiotik tersebut dapat menghambat pertumbuhan ataupun membunuh bakteri. Kadar antibiotik terendah yang menyebabkan tabung menjadi jernih dinilai sebagai kadar hambat minimal (KHM). Untuk mendapatkan kadar tersebut tabung disubkulturkan pada plat agar; kadar antibiotika terendah yang menghasilkan penurunan 99,9% kehidupan organisme merupakan kadar bunuh minimal (KBM). 27 2.3 Antibiotik Pada Terapi Sepsis Pemberian antibiotik pada pasien sepsis dimulai dengan terapi awal dengan menggunakan antibiotik empiris broad spectrum, sebelum hasil kultur didapatkan untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien. 28 Setelah hasil kultur didapatkan, terapi di evaluasi kembali, selanjutnya dilakukan pengurangan jumlah regimen ataupun ditambah. 29 Antibiotik broad spectrum mengacu pada antibiotik bagi Pseudomonas aeruginosa, seperti imipenem cilastatin, piperasilin-tazobaktam, ceftazidim atau ciprofloxacin. Sementara antibiotik berspektrum sempit mengacu pada antiotik β-laktam tanpa aktivitas terhadap P. Aeruginosa, seperti ceftriaxone dan amoxicillin-klavulanat. 30

14 2.3.1 Pemilihan Antibiotik Pemilihan antibiotik yang tepat berpengaruh terhadap biaya perawatan yang optimal, penurunan kejadian hiperinfeksi dan pengurangan resiko terhadap resistensi antibiotik. 31 Langkah langkah ini harus berdasarkan protokol pada setiap instansi dan pemantauan secara berkala penting dilakukan untuk mewaspadai kejadian resistensi tehadap antibiotik yang akan menyebabkan terapi yang tidak adekuat terhadap pasien sepsis di ICU. 31 Pemilihan antibiotik empiris didasarkan pada karakteristik host, lokasi infeksi, pola resistensi antibiotik setempat, prevalensi dari mikroorganisme penyebab serta farmakokinetik dan dinamik dari antibiotik. 32. Terapi antibiotik empiris harus efisien melawan pertumbuhan ataupun membunuh bakteri untuk menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pasien. Selain itu, pemberian antibiotik empiris yang tepat dalam jam pertama setelah seorang pasien terdiagnosis sepsis berhubungan dengan peningkatan angka kelangsungan hidup pasien sepsis. 33 Oleh karena itu penting untuk memperhatikan ketepatan pemilihan regimen antibiotik yang diberikan serta waktu pemberian antibiotik yang lebih awal. 34 2.3.2 Terapi Kombinasi Dalam penanganannya terapi kombinasi diberikan pada pasien sepsis untuk memperluas spektrum terapi, meningkatkan aktivitas bakterisidal dari regimen yang diberikan dan mencegah terjadinya resistensi kuman. 31 Selain itu, penggunaan antibiotik kombinasi berpengaruh terhadap lama rawat pasien yang

15 semakin singkat. Setelah hasil kultur kuman didapatkan dan berdasarkan respon klinis, penurunan jumlah antibiotik biasa dilakukan untuk mengurangi penggunaan antibiotik yang berlebihan. 34 2.3.3 Jenis Antibiotik Pilihan Pada Sepsis 2.3.3.1 Vankomisin Vankomisin merupakan antibiotik glikopeptida yang diproduksi oleh Streptokokus orientalis dengan aktifitas utama pada bakteri gram positif. Vankomisin memiliki struktur yang kompleks, bekerja menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan cara berikatan dengan prekursor pembentuk dinding sel. Digunakan pada infeksi oleh methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), juga pada antibiotic-induced pseudomembranous colitis, enterokolitis karena stafilokokus, endokarditis bakterial, dan sepsis. Untuk infeksi sistemik diberikan secara intravena. Sebagian besar dapat ditoleransi dengan baik, dan efek samping yang biasa ditimbulkan seperti diare, mual, nefrotoksik dan neutropenia. 35 2.3.3.2 Sefalosporin Generasi Ketiga Sefalosporin adalah salah satu antibiotik golongan beta-laktam. Sefalosporin generasi ketiga sendiri memiliki aktivitas terhadap bakteri gram positif dan lebih aktif terhadap Enterobacter serta terhadap P. aeruginosa. 36 Obat yang sering digunakan bagi pasien sepsis dari golongan ini adalah Seftazidim, Seftriaxon. 30

16 2.3.3.2.1 Seftriakson Seftriaxon aktif tehadap bakteri gram negatif, akan tetapi lebih kurang aktif jika dibandingkan sefalosporin generasi pertama. 37 Waktu paruhnya mencapai 8 jam dan biasa digunakan padainfeksi yang parah. Pada kondisi gagal ginjal dan kerusakan hati tidak diperlukan penyesuaian dosis pemakaian. Efek samping dari penggunaan antibiotik ini adalah pusing, kemerahan, gatal gatal, sakit dan inflamasi pada daerah injeksi yang reversibel. 2.3.3.2.2 Seftazidim Mempunyai aktifitas terhadap bakteri gram positif yang tidak sebaik sefotaksim, namun aktifitas terhadap P. aeruginosa lebih menonjol. 37 Waktu paruhnya di plasma adalah 1,5 jam. Obat ini tidak dimetabolisme di dalam tubuh dan terutama diekskresi melalui saluran kemih. Sehingga dosis obat perlu disesuaikan pada kondisi gagal ginjal. 2.3.3.3 Karbapenem Karbapenem merupakan antibiotik golongan beta-laktam dengan spektrum luas terhadap bakteri gram positif dan negatif, aerob maupun anaerob. Golongan ini bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan dan integritas dinding sel bakteri. 36 Memiliki cincin beta-laktam yang resisten terhadap beta-laktamase. Antibiotik golongan ini memiliki aktifitas yang baik terhadap streptokokus, enterokokus, stafilokokus, listeria, Enterobacteriaceae, dan pseudomonas, Bacteroides dan Acinetobacter. Namun, kebanyakan methicillin-resistant staphylococcus juga tahan terhadap karbapenem. 38 Karbapenem memiliki profil

17 keamanan yang serupa dengan antibiotik beta laktam lainnya seperti sefalosporin dan penisilin. Efek samping yang paling umum adalah reaksi tempat suntikan, diare, mual, muntah, ruam kulit dan pruritus. Regimen yang sering digunakan adalah Imipenem, Ertapenem, Meropenem. 2.3.3.4 Flurokuinolon Merupakan antibiotik berspektrum luas, telah digunakan sebagai terapi infeksi saluran pernapasan dan saluran kemih. Flurokuinolon aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif aerob. 39 Bakteri gram positif yang menjadi cakupan aktifitas antibiotik golongan ini di antaranya penicillinase dan nonpenicillinase producing Staphylokokus, Streptokokus pneumoniae dan Sterptokokus viridans, Enterokokus faecalis, Listeria monocytogenes, dan spesies Nocardia. Sementara dari gram negatif termasuk di antaranya Neisseria meningitidis dan gonorrhoeae, Haemophilus influenzae, dan yang paling penting secara klinis Enterobacteriaceae sp., P. aeruginosa dan Vibrio sp.flurokuinolon bekerja dengan menghambat DNA tipe toposiomerase II (girase) yang diperlukan untuk sintesis mrna bakteri (transkripsi) dan replikasi DNA. Memiliki catatan keamanan yang sangat baik. 40 Flurokuinolon diindikasikan untuk pengobatan infeksi bakteri pada bronchitis, pneumonia, sinusitis, infeksi saluran kemih, infeksi septicemia dan intra-abdominal, infeksi sendi dan tulang, jaringan lunak dan infeksi kulit, demam tifoid, gastroenteritis bakteri, uretra dan infeksi gibekologi, dan penyakit radang panggul dan beberapa penyakit menular lainnya. 40

18 2.3.3.5 Aminoglikosida Aminoglikosida adalah produk alami dan turunan semisintetik dari actinomycetes. Bekerja dengan mengikat ribosom bakteri dan menghambat sintesis protein. Golongan aminoglikosida yang pertama kali digunakan dalam praktek klinis adalah streptomisin yang berasal dari Streptomyces griseus. Aminoglikosida digunakan terutama untuk mengobati infeksi berat bakteri gram negatif aerob, biasany dikombinasikan dengan penisilin atau sefalosporin. 41 Aminoglikosida yang saat ini digunakan termasuk streptomisin, gentamisin, tobramisin, amikasin dan neomycin. Meskipun aminoglikosida banyak digunakan dan termasuk agen penting, namun juga memiliki toksisitas yang serius yang membatasi penggunaanya. Efek samping serius yang umum dari aminoglikosida yaitu ototoksisitas dan nefrotoksisitas. 2.3.3.6 Piperasilin Tazobaktam Piperasilin - tazobaktam merupakan kombinasi generasi keempat dari golongan penisillin dan inhibitor beta laktamase berspektrum luas yang digunakan pada keadaan infeksi berat oleh bakteri seperti Eschericia coli, Bacterioides, Klebsiella sp., Stafilokokus aureus dan Hemofilus influenzae. Kombinasi antara piperasilin dan tazobaktam bekerja aktif untuk melawan beta-lactamase producing penicillin-resistant bacterial. 41

19 2.3.3.7 Tikarsilin Klavulanat Kombinasi antara tikarsilin dan klavulanat memberikan efek yang lebih luas pada tikarsilin karena adanya aktifitas beta laktamase pada klavulanat. Kombinasi ini diindikasikan untuk infeksi berat pada saluran napas bagian bawah, saluran kemih, tulang dan persendian serta kulit. Spektrum yang luas pada Tikarsilin memberikan efek terhadap P. Aeruginosa, juga terhadap beberapa spesies Enterobacter dan Proteus. 35 2.3.3.8 Ampisilin Sulbaktam Kombinasi Ampisilin dengan Sulbaktam merupakan indikasi untuk infeksi sedang hingga berat oleh bakteri gram positif dan negatif, termasuk betalactamase-producing S. aureus, E. coli, K.pneumoniae, Proteus mirabilis, Bacteroides sp., Enterobacter sp., N. meningitidis, N. gonorrhoeae, Moraxella catarrhalis dan Acinetobacter calcoaceticus. 35 Berikut strategi pengobatan empiris dengan antibiotik pada pasien sepsis seperti terlihat pada tabel 2 11.

20 Tabel 2. Antimikroba Empirik untuk Sepsis Indikasi Terapi Empirik Tidak cenderung pada sepsis akibat Vankomisin ditambah dengan : Pseudomonas Sefalosporin generasi ketiga atau keempat (misal sefotaksim atau seftriakson) Beta laktam atau beta laktamase inhibitor (misal : piperasilin tazobaktam, tikarsilin klavulanat, ampisilin sulbaktam. Karbapenem (misal : imipenem atau meropenem) Cenderung pada sepsis akibat Pseudomonas Vankomisin ditambah dengan 2 dari : Pasien dengan sakit berat dengan manifestasi sepsis dengan etiologi belum jelas Sefalosporin dengan antipseudomonas (seftazidim atau sefoperazon) Karbapenem dengan antipseudomonas (misal : imipenem atau meropenem) Beta laktam atau beta laktamase inhibitor (misal : piperasilin tazobaktam, tikarsilin klavulanat) Fluorokuinolon dengan aktivitas anti pseudomonas yang baik (misal siprofliksasin) Aminoglikosida (gentamisin atau amikasin) Monobaktam (misal : aztreonam) Vankomisin (disesuaikan dengan fungsi renal) hingga kemungkinan sepsis akibat MRSA disingkirkan.

21 2.3.4 Resistensi Bakteri Resistensi bakteri terhadap antibiotik adalah suatu keadaaan dimana kehidupan bakteri itu sama sekali tidak terganggu oleh kehadiran antibiotika. Sifat ini merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh dari suatu makhluk hidup. Penggunaan antibiotika secara berlebihan dan tidak selektif akan meningkatkan kemampuan bakteri untuk bertahan. 42 Masalah resistensi bakteri merupakan masalah yang harus mendapat perhatian khusus karena menyebabkan terjadinya banyak kegagalan pada terapi dengan antibiotika. Berbagai strategi disusun untuk mengatasi masalah resistensi, diantaranya dengan mencari antibiotika baru atau menciptakan antibiotika semisintetik. Meskipun demikian ternyata usaha ini belum dapat memecahkan masalah. Kehadiran antibiotika baru diikuti jenis resitensi baru dari bakteri sebagai cara pertahanan hidup. Penggunaan bermacam-macam antibiotika yang tersedia telah mengakibatkan munculnya banyak jenis bakteri yang resisten terhadap lebih dari satu jenis antibiotika (multiple drug resistance). 43 Mekanisme terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotika tergantung pada jenis bakteri, yaitu resistensi antibiotika oleh bakteri gram negatif dan bakteri gram positif. Terdapat beberapa mekanisme resistensi antibiotika dari bakteri gram negatif sebagai perlawanan terhadap antibiotika. Mekanisme-mekanisme tersebut adalah: resistensi melalui penutupan celah atau pori (loss of porins) pada dinding sel bakteri, sehingga menurunkan jumlah obat yang melintasi membran sel; peningkatan produksi betalaktamase dalam periplasmik, yang akan merusak

22 struktur betalaktam; peningkatan aktivitas pompa keluaran (efflux pump) pada transmembran, yang mentebabkan bakteri akan membawa obat keluar sebelum memberikan efek; modifikasi enzim-enzim, sehingga antibiotika tidak dapat berinteraksi dengan tempat target; mutasi tempat target, sehingga mengahambat bergabungnya antibiotika dengan tempat aksi; modifikasi atau mutasi ribosomal, sehingga mencegah bergabungnya antibiotika yang menghambat sistesis protein bakteri; mekanisme langsung terhadap metabolik (metabolic bypass mechanism), yang merupakan enzim alternatif untuk melintasi efek penghambatan antibiotika; dan mutasi dalam lipopolisakarida, yang biasanya terjadi pada antibiotika polimiksin, sehingga tidak dapat berikatan dengan targetnya. 44 Mekanisme resistensi antibiotika yang umum terdapat pada bakteri gram positif, misalnya bakteri Methicillin-Resistant Staphylococccus Aureus, dapat ditempuh melalui 4 jalur, yaitu: peningkatkan produksi enzim betalaktamase (penisilinase), yang akan menurunkan afinitas penicillin-binding protein (PBP) terhadap antibiotika betalaktam; resistensi tingkat tinggi pada glikopeptida yang menyebabkan pemindahan atau mutasi asam amino terakhir dari prekursor peptidoglikan (D-alanin [D-Ala] ke D-laktat [D-Lak]); resistensi tingkat rendah pada glikopeptida yang berhubungan dengan peningkatan sintesis peptidoglikan, yaitu penambahan lapisan dinding bakteri yang menyebabkan terjadinya pengentalan dinding sel, sehingga menghambat antibiotika melintasi membran sel dan tidak dapat berinteraksi dengan prekursor yang ada dalam sitoplasma; dan modifikasi atau mutasi dari DNA atau RNA ribosom (rrna). 45

23 2.4 Perawatan ICU (Intensive Care Unit) 2.4.1 Definisi Intensive care unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang terpisah, dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera, atau penyulit-penyulit yang mengancam jiwa atau yang potensial mengancam jiwa dengan prognosis dubia. 46 2.4.2 Indikasi Perawatan ICU Berdasarkan pedoman dari Society of Critical Care Medicine (1999) kriteria atau indikasi masuk ICU dapat digolongkan menjadi empat prioritas. Prioritas 1: Pasien dengan keadaan kritis yang tidak stabil yang membutuhkan perawatan dan monitoring intensif, yang tidak dapat dirawat diluar ICU. Pada umumnya pasien ini membutuhkan dukungan penggunaan ventilator, penggunaan infuse obat vasoaktif secara kontinyu, misalnya: pasien pasca operasi, gagal nafas yang membutuhkan pemakaian alat bantu pernafasan dan pasien dalam keadaan shock atau tidak stabil secara hemodinamik. Prioritas 2: Pasien dalam prioritas ini adalah pasien yang membutuhkan monitoring intensif dan kemungkinan berpotensi membutuhkan intervensi terusmenerus. Pasien ini tidak mempunyai batasan dalam terapi, misalnya pasien dengan penyakit kronik yang berkembang menjadi akut.

24 Prioritas 3: Pasien ini adalah pasien kritis dengan keadaan stabil tetapi mempunyai kemungkinan terjadi penurunan kondisi klinis, karena penyakit yang dideritanya. Prioritas 3 pasien dapat menerima perawatan intensif untuk meringankan penyakit akut, tidak terdapat intubasi atau resusitasi cardiopulmonari. Contohnya termasuk pasien dengan keganasan metastatik yang disertai infeksi, atau obstruksi jalan napas. Prioritas 4: Pasien ini adalah pasien yang tidak sesuai untuk masuk ICU. Penerimaan pasien ditentukan secara individu, dalam keadaan biasa atau karena kebijaksanaan Direktur ICU. Pasien ini dapat ditempatkan dalam kategori berikut: 1) Sedikit atau tidak ada manfaat yang dapat diantisipasi dari ICU, perawatan berbasis risiko rendah, intervensi aktif yang tidak aman akan diberikan dalam pengaturan non-icu (terlalu baik untuk memperoleh manfaat dari perawatan ICU). Contohnya termasuk pasien paska operasi pembuluh darah perifer, diabetes ketoasidosis yang stabil secara hemodinamik, gagal jantung kongestif ringan, dan lain-lain. 2) Pasien dengan penyakit terminal dan ireversibel, dekat dengan kematian, contoh: kerusakan otak parah yang ireversibel, kegagalan sistem multiorgan yang ireversibel, metastatik kanker yang tidak responsif terhadap kemoterapi dan/atau terapi radiasi, pasien yang memerlukan pemantauan invasif, mati otak non-organ donor, pasien dalam keadaan vegetatif persisten, pasien yang tidak sadar secara permanen. 47