BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 INTRODUKSI. riset, problem riset, pertanyaan riset, motivasi riset, tujuan riset, kontribusi riset,

BAB I PENDAHULUAN. tindak pidana korupsi sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 31

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu lembaga negara yang ada di Indonesia adalah Badan Pemeriksa

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA, KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, DAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

KADIS PENDIDIKAN MTB DAN PPTK RUGIKAN NEGARA Rp200 JUTA LEBIH.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

Kasus PDAM Makassar, Eks Wali Kota Didakwa Rugikan Negara Rp 45,8 Miliar

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 6, NO 1, Edisi Februari 2014 (ISSN : ) PENERAPAN E - AUDIT PADA AUDIT SEKTOR PUBLIK SESUAI

BAB I PENGANTAR. masyarakat dewasa ini. Praktek korupsi yang dilakukan pejabat Indonesia adalah

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. korupsi yang telah dilakukan oleh institusi kelembagaan pemerintah selama ini

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

DAFTAR TABEL. 1. Tabel 1.1 Kegiatan dan Jadwal Rencana Penelitian Tabel 2.1 Perbedaan Audit Laporan Keuangan dengan. Audit Investigatif...

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL?

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

BAB I PENDAHULUAN. Pada pertengahan April 2016, Gubernur Daerah Khusus Istimewa (DKI)

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

PERTEMUAN 11: BUKTI AUDIT INVESTIGASI

Sub Bagian Hukum dan Humas BPK RI Perwakilan Provinsi Bali

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

BAB I PENDAHULUAN. Korupsi merupakan salah satu bentuk fraud yang berarti penyalahgunaan

KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI PENINGKATAN JALAN NANTI AGUNG - DUSUN BARU KECAMATAN ILIR TALO KABUPATEN SELUMA

KEWENANGAN PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. dan telah menjadi kebutuhan secara global. Salah satu upaya yang dilakukan

PEMBELAAN TIM PENASEHAT HUKUM TAK RELEVAN JAKSA TETAP MINTA TAMHER-RAHAYAAN DIPENJARAKAN DUA TAHUN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1961 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RILIS MEDIA A. Dakwaan B. Tuntutan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK

ALUR PERADILAN PIDANA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2000 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun. politik dan kekuasaan pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

1. PELAPORAN Proses pertama bisa diawali dengan laporan atau pengaduan ke kepolisian.

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. ditetapkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang. Undang Nomor 20 Tahun 2001 selanjutnya disebut dengan UUPTPK.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2000 TENTANG

PERTEMUAN 15: PENYELESAIAN HUKUM. B. URAIAN MATERI Tujuan Pembelajaran 15: Menjelaskan upaya hukum untuk penyelesaian investigasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

WEWENANG BADAN PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) MENGHITUNG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2014 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. membawa pengaruh yang besar dalam setiap tindakan manusia. Persaingan di dalam


RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

KESEPAKATAN BERSAMA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 01/KB/I-VIII.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PERTEMUAN 13: TAHAPAN AUDIT INVESTIGASI

BAGAN ALUR PROSEDUR PERKARA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB 1 PENDAHULUAN. isu yang strategis untuk dibahas. Salah satu topiknya adalah menyangkut Tindak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG

Subbagian Hukum BPK Perwakilan Provinsi Bali

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi kekacauan-kekacauan,

Nama : ALEXANDER MARWATA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan yang sangat pesat tersebut

BAB III PENUTUP KESIMPULAN. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana

BAB 1 PENDAHULUAN. perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Melalui

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

Transkripsi:

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Simpulan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan penjelasan mengenai penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) secara umum dan bagaimana penghitungan kerugian keungan negara BPK dan BPKP pada kasus yang penulis pilih yaitu kasus dugaan korupsi Biaya Operasional Kendaraan (BOK) PT Jogja Tugu Trans. Kasus yang peneliti pilih sangat menarik untuk diteliti karena mengacu pada kewenangan penghitungan kerugian keuangan negara yang dimiliki oleh kedua lembaga tersebut. Penelitian kasus dugaan korupsi BOK PT Jogja Tugu Trans ini diangkat berdasarkan berita pada situs BPK yang bertajuk Purwanto Merasa Dikriminalisiasi yang didalam berita tersebut pada intinya penasihat hukum terdakwa pada saat itu berpendapat bahwa BPKP dan BPK melakukan penghitungan kerugian keuangan negara pada kasus tersebut. Hal tersebut menjadi sangat menarik untuk diteliti karena awal dugaan penulis atas kasus tersebut bahwa ada perbedaan penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK dan BPKP sehingga menarik untuk diteliti. Proses penelitian dilakukan dengan cara mengambil data dari beberapa wawancara yang dilakukan dengan BPKP Yogyakarta, penasihat hukum tersangka, Kejaksaan Negeri Sleman (Kejari), Kejaksaan Tinggi (Kejati) Yogyakarta, dan BPK perwakilan Yogyakarta. Penulis mendapatkan sumber data 82

yang lain yaitu dokumentasi Direktori Putusan Mahkamah Agung, Petunjuk Teknis (Juknis) penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK dan Pedoman Penugasan Audit Investigatif oleh BPKP. Pertanyaan penelitian yang penulis buat terdiri atas 2 (dua) pertanyaan. Pertama bagaimanakah penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK dan BPKP secara umum. Kedua bagaimanakah penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK dan BPKP pada kasus dugaan korupsi BOK Pt Jogja Tugu Trans. Dasar permasalahan dari pertanyaan pertama yaitu ada kewenangan penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK dan BPKP sehingga penulis tertarik untuk mendapatkan penjelasan atas tahapan penghitungan kerugian keuangan negara oleh kedua lembaga tersebut. Konsentrasi audit yang menjadi latar belakang pendidikan penulis juga menjadi alasan mengapa penulis mengangkat pertanyaan penelitian tersebut, karena dalam perkuliahan pada Magister Akuntansi tidak diajarkan secara rinci bagaimana penghitungan kerugian keuangan negara dan bagaimana penghitungan kerugian keuangan negara yang tepat. Dasar permasalahan dari pertanyaan kedua yaitu informasi berita yang secara tidak langsung menyatakan bahwa ada dua lembaga yaitu BPK dan BPKP yang melakukan kerugian keuangan negara pada dugaan kasus korupsi BOK PT Jogja Tugu Trans, sehingga menarik untuk meliti bagaimana penghitungan kerugian keuangan negara dari kedua lembaga tersebut. Temuan yang penulis dapatkan dari penelitian ini dapat penulis jelaskan sebagai berikut: 83

1. Tahapan penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK terdiri atas tahapan persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan. Sedangkan tahapan penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP terdiri atas pra perencanaan penugasan, perencanaan, pengumpulan dan evaluasi bukti, pengkomunikasian hasil penugasan kepada pihak yang berkepentingan, dan pengelolaan kertas kerja penugasan bidang investgasi. 2. Berdasarkan hasil wawancara dan dokumentasi, penulis mendapatkan bahwa walaupun tahapan penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK dan BPKP berbeda tetapi secara substansi tahapan penghitungan kerugian keuangan negara kedua lembaga ini adalah sama. Perbedaan penghitungan bisa saja terjadi pada setiap kasus yang ditangani karena luasnya ranah kerugian keuangan negara itu sendiri. Dalam penghitungan pun, kedua lembaga ini menggunakan pertimbangan profesional masing-masing auditor sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan hasil penghitungan. 3. Sebelum proses penghitungan kerugian keuangan negara, BPK dan BPKP harus melakukan audit investigatif untuk memperoleh bukti dan fakta terkait kasus yang sedang diperkarakan. Tetapi BPK maupun BPKP dapat langsung melakukan penghitungan kerugian keuangan negara tanpa didahului dengan pemeriksaan investigatif. Hal tersebut dapat dilakukan tergantung pada status kasus yang terjadi. Apabila kasus sudah masuk dalam ranah penyidikan, maka 84

kasus tersebut sudah bisa dilakukan penghitungan kerugian keuangan negara. 4. Sebelum aparat penegak hukum dalam hal ini Kejaksaan mengeluarkan surat permintaan penghitungan kerugian keuangan negara, Kejaksaan akan melakukan ekspose awal pada BPK atau BPKP. Tujuan dari ekspose awal ini adalah untuk mengungkapkan secara jelas persoalan atau masalah atas suatu kasus oleh Kejaksaan kepada BPK atau BPKP sehingga dari penjelesan tersebut dapat diambil kesimpulan apakah BPK atau BPKP dapat menghitung kerugian keuangan negara atau tidak. 5. Penghitungan kerugian keuangan negara diperlukan didalam persidangan. Salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam tindak pidana korupsi yaitu ada kerugian negara. Proses penghitungan kerugian keuangan negara tanpa didahului dengan audit investigatif, dalam proses penghitungan auditor memakai bukti dan dokumen dari Kejaksaan. Proses konfirmasi kepada tersangka oleh BPK harus melalui Kejaksaan. Hal tersebut mengakibatkan beberapa kelemahan dalam proses penghitungan kerugian keuangan negara (penjelasan pada BAB VI). 6. Penghitungan kerugian keuangan negara pada dugaan kasus korupsi BOK PT Jogja Tugu Trans hanya dilakukan oleh 1 lembaga saja yaitu BPK. Dari hasil wawancara dengan BPKP, BPKP berpendapat bahwa mereka tidak pernah melakukan penghitungan kerugian keuangan 85

negara pada kasus tersebut. Hal tersebut dikuatkan oleh pendapat Jaksa pada Kejati Yogyakarta bahwa mereka tidak pernah mengeluarkan surat permintaan penghitungan kerugian keuangan negara kepada BPKP. 7. Pernyataan dari penasihat hukum terdakwa bahwa BPKP dan BPK mengitung kerugian keuangan negara pada kasus dugaan korupsi BOK tidak terbukti kebenarannya karena pihak penasihat hukum terdakwa tidak dapat menunjukan penghitungan BPKP yang adalah hasil pembanding penghitungan kerugian keuangan negara sebelumnya sebelum BPK menghitung kerugiannya. Berdasarkan dokumentasi yang penulis lakukan pada Kejari Sleman yaitu berkas perkara yang dilakukan oleh Kejati Yogyakarta didapati bahwa tidak ada penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP dan dalam nota pembelaan penasihat hukum terdakwa pada kasus tersebut tidak terdapat hasil pembanding yaitu penghitungan kerugian keuangan negara PT Jogja Tugu Trans. 8. Hanya ada satu lembaga yang melakukan penghitungan kerugian keuangan negara, walapun BPK dan BPKP mempunyai kewenangan yang sama dalam melakukan penghitungan. Dalam hal penghitungan, BPK dan BPKP tidak bisa dibenturkan. Artinya hanya ada satu diantara BPK dan BPKP yang menghitung kerugian keuangan negara. Hal tersebut diperkuat oleh petunjuk teknis dan pedoman dari BPK dan BPKP bahwa ketika suatu perkara sudah ditangani oleh 86

salah satu lembaga (BPK atau BPKP) maka BPK atau BPKP tidak akan masuk dalam perkara tersebut. 9. Hasil penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK adalah senilai Rp413.437.743. hasil penghitungan tersebut didapat dari nilai pertanggungjawaban kilometer tempuh PT Jogja Tugu Trans tanggal 18 Februari 2008 sampai 29 Februari 2008 senilai Rp788.262.200 dikurangin dengan kilometer tempuh sebenarnya pada tanggal 18 Februari 2008 sampai 23 Februari 2008 senilai Rp374.834.457. 10. Penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK tersebut dihitung berdasarkan adanya potensi bahwa negara dapat mengalami kerugian sebesar nilai tersebut. Seperti yang telah dijelaskan pada BAB V dan BAB VI bahwa PT Jogja Tugu Trans telah melakukan pelanggaran dengan meminta pencairan BOK tanpa adanya laporan pertanggungjawaban dan pada saat itu armada Trans Jogja belum melaksanakan tanggung jawabanya 100% sehingga belum berhak mendapatkan pencairan dana BOK. Oleh karena perbuatan melawan hukum dari PT Jogja Tugu Trans, maka BPK berkesimpulan ada potensi kerugian keuangan negara sebesar Rp413.437.743. 11. Majelis Hakim pada persidangan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada kasus ini berpendapat bahwa PT Jogja Tugu Trans memenuhi unsur kerugian keuangan negara. Hal tersebut dikeluarkan oleh Majelis Hakim sesuai dengan pertimbangan dan perhitungan yang dilakukan sendiri oleh Majelis Hakim. 87

7.2. Rekomendasi Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analis dan temuan fakta yang penulis dapatkan, maka penulis mengajukan beberapa rekomendasi sebagai berikut: 1. Adanya keselarasan pengertian kerugian negara dalam perspektif Undang-Undang dan Peraturan yang dipakai dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan peraturan yang dipakai dalam persidangan yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim. Seperti yang telah dijelaskan pada BAB VI bahwa ada perbedaan delik yang dipakai pada Undang-Undang yang membahas tentang kerugian negara, yaitu Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mamakai delik formil yang berfokus pada perbuatan apa yang dilakukan oleh terdakwa tanpa melihat dampak dari perbuatan itu dan Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang memakai delik materiil yang berfokus pada dampak yang dihasilkan bukan dari perbuatan yang dilakukan. 2. Peraturan yang menjadi dasar penghitungan oleh BPK adalah Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang No. 15 tahun 2006 tentang BPK. Kedua Undang-Undang tersebut bermuatan delik materiil. Apabila dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK memakai Undang-Undang tersebut, maka sebaiknya penghitungan kerugian keuangan negara harus berdasarkan nilai rupiah atau uang yang benar-benar keluar dan 88

merugikan negara tanpa memakai terminologi potensi kerugian keuangan negara. 3. Dalam proses penghitungan kerugian keuangan negara, sebaiknya BPK dan BPKP juga mengikutsertakan Kantor Akuntan Publik yang menjadi pilihan dari organisasi perusahaan yang sedang diperkarakan. Hal tersebut tujuannya adalah supaya penghitungan kerugian keuangan negara mendapatkan hasil penghitungan yang tidak terpaku pada penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK atau BPKP saja. Berdasarkan kasus lain yang menjadi pembanding yang penulis dapatkan, ditemukan bahwa BPK pernah melakukan kesalahan dalam penghitungan dan Kantor Akuntan Publik yang melakukan penghitungan juga dinyatakan benar untuk hasil penghitungannya. BPK dalam kasus tersebut pun mengakui dalam persidangan bahwa BPK telah salah dalam melakukan penghitungan kerugian keuangan negara. 4. Diperlukan adanya pelatihan atau pendidikan tentang penghitungan kerugian keuangan negara antara auditor BPK, auditor BPK, dan auditor Kantor Akuntan Publik bekerja sama dengan pihak Kejaksaan dan Majelis Hakim. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan sebuah cara atau metode penghitungan yang tepat pada suatu perkara. Peneliti menemukan bahwa banyak terjadi perbedaan penghitungan diluar kasus yang penulis angkat ini. Oleh karena itu, perlu ada keselarasan antara lembaga yang memeriksa dan Aparat Penegak Hukum dalam 89

penghitungan kerugian keungan negara sehingga tidak ada pihak yang dirugikan atas hasil penghitungan kerugian keuangan negara. 5. Materi bahan perkuliahan sebaiknya memasukan pembahasan tentang penghitungan kerugian keuangan negara pada mata kuliah audit investigatif sehingga mahasiswa khususnya mahasiswa magister akuntansi Universitas Gadjah Mada (UGM) memiliki pengetahuan tentang apa itu kerugian negara dan bagaimana seluk beluk perhitungan kerugian keuangan negara itu sendiri. 7.3. Keterbatasan Penelitian Proses penelitian yang penulis lakukan tidak luput dari keterbatasan yang terjadi selama proses penyusunan penelitian ini. Studi kasus dalam lingkup audit investigatif mendorong penulis untuk dapat menggali berbagai macam informasi dari berbagai narasumber untuk dapat menghasilkan sebuah penjelasan akan sebuah studi kasus. Berikut adalah keterbatasan penelitian yang penulis temui yaitu: 1. Kasus yang penulis angkat penjadi topik penelitian terjadi pada tahun 2008 dan proses pemeriksaan dan penghitungan kerugian keuangan negara dilakukan pada tahun 2013. Hal tersebut mengakibatkan proses wawancara dengan para narasumber mengalami sedikit hambatan karena beberapa narasumber sudah tidak lagi bekerja pada instansi mereka dan narasumber lain sudah tidak mengingat lagi kasus tersebut sehingga proses penggalian informasi menjadi lama 90

karena penulis harus mencari sumber dan fakta dari narasumber yang lain. 2. Penulis menemui hambatan lain dari narasumber wawanara yaitu narasumber tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai kebenaran kasus yang diteliti. Informasi yang diberikan juga tidak didukung dengan bukti-bukti pendukung atas informasi tersebut. Hal ini mengakibatkan penulis melakukan konfirmasi kepada narasumber yang lain yang juga menjadi bagian dari kasus penelitian ini. 3. Penelitian ini tidak membahas mengenai perspektif hukum akan kasus yang diteliti tetapi masih tetap mengambil teori hukum yang relevan dengan topik penghitungan kerugian keuangan negara. 4. Penelitian ini tidak membahas mengenai penghitungan lembaga mana yang paling tepat untuk terapkan, tetapi menjelaskan bagaimana lembaga tersebut melakukan penghitungan dan dasar apa yang dipakai auditor ketika menghitung kerugian keuangan negara pada kasus tersebut. 91