BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Daftar Pasangan Ground Cek Points (GCPs) Koordinat Citra Koordinat Peta Delta Baris Kolom mt mu Baris

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS PERUBAHAN LUASAN HUTAN MANGROVE DI JAWA BARAT DENGAN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

VI. SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

TINJAUAN UMUM WILAYAH PANGANDARAN DAN SEKITARNYA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

REPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

Analisa Kesehatan Mangrove Berdasarkan Nilai Normalized Difference Vegetation Index Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ari Luqman, 2013

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN Latar Belakang

Rehabilitasi dan Restorasi Hutan Mangrove di Kalimantan Selatan. Wawan Halwany Eko Priyanto

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara tradisional oleh suku bangsa primitif. Secara terminologi, etnobotani

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut

POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: ISSN :

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, Halaman Online di :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pengantar A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

ANALISIS VEGETASI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI TELUK BENOA-BALI. Dwi Budi Wiyanto 1 dan Elok Faiqoh 2.

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara Geografis Pantai Sari Ringgung (PSR) terletak di posisi LS dan

Keanekaragaman Jenis dan Indeks Nilai Penting Mangrove di Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo

Gambar 3. Peta Resiko Banjir Rob Karena Pasang Surut

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis, ekologis, maupun biologis. Fungsi fisiknya yaitu sistem perakaran

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

Bab III Karakteristik Desa Dabung

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove yang dikenal sebagai hutan payau merupakan ekosistem hutan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

Hasil dan Pembahasan

TINJAUAN PUSTAKA. aktivitas marin. Dengan demikian daerah pantai terdiri dari perairan pantai dan

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

ANALISIS STRUKTUR DAN STATUS EKOSISTIM MANGROVE DI PERAIRAN TIMUR KABUPATEN BIAK NUMFOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi - manggi,

TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera Utara 7300 ha. Di daerah-daerah ini dan juga daerah lainnya, mangrove

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut (Mulyadi dan Fitriani,

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4 KERUSAKAN EKOSISTEM

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN. Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**)

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan

TEKNIK PENGAMATAN VEGETASI MANGROVE DI PESISIR KABUPATEN PANGANDARAN, JAWA BARAT

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Analisis Citra Digital Koreksi geometri yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk menghilangkan kesalahan non sistematik yang terdapat pada citra dan sekaligus menambahkan koordinat citra yang sesuai dengan letak yang sebenarnya di lapangan. Jumlah GCPs yang digunakan adalah 10 pasang. sedangkan syarat minimum yang diperlukan untuk proses transformasi, yaitu 6 pasang (Tabel 2). No Tabel 2. Daftar Pasangan Ground Cek Points (GCPs) Koordinat Citra Koordinat Peta Delta Baris Kolom mt mu Baris Delta Kolom 1 778 536 318190 9044934-173157 0,219116 2 913 471 316320 9040866 0,260071-0,284821 3 890 397 316305 9040854-0,135986 0,219727 4 654 532 318011 9048688 0,155151-0,148010 5 179 261 309590 9063038-0,063583 0,127411 6 548 206 308135 9051884 0,150085-0,167465 7 503 226 308705 9053237-0,128937 0,135773 8 493 226 308709 9053548 0,152649-0,173920 9 769 287 310689 9045190-0,273193-0,104706 10 862 182 307563 9042381 0,056946 0,176865 Ketelitian (Root Mean Square) = 0,42 pixel Bedasarkan batas toleransi tingkat ketelitian yang masih dapat diterima yang ditetapkan oleh National Map Accuracy Standard (NMAS) yaitu 1,7 pixel (51 m), Root Mean Square (RMS) yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu 0,42 (12,6 m) masih dapat diterima karena nilainya lebih kecil dari batas maksimal yang ditentukan. Setelah dilakukan proses transformasi dengan menggunakan GCPs, kemudian dilanjutkan dengan proses resampling. Penajaman citra yang digunakan adalah perentangan kontras, proses ini menghasilkan citra dengan tingkat kekontrasan yang lebih tinggi. Hasil perbandingan citra yang belum dilakukan pengolahan (koreksi radiometrik, 27

28 geometrik dan penajaman citra) (Gambar 11) dengan citra yang telah diolah menunjukan adanya peningkatan kualitas citra baik dari aspek radiometrik maupun geometrik citra. (a) (b) Gambar 11. Data Citra Kab. Bekasi Belum Terkoreksi (a) dan Terkoreksi (b) Perbaikan aspek radiometrik citra dapat dilihat dan meningkatkan kemampuan pengenalan dan pembedaan obyek, sedangkan peningkatan aspek geometrik ditunjukan ketepatan posisi obyek baik secara relatif dengan obyek yang ada disekitarnya maupun secara absolut dengan kordinat yang sebenarnya di lapangan. Citra yang sudah dikoreksi dipotong untuk mereduksi ukuran data hingga lebih ringan ketika diolah komputer. Selain itu, pemotongan citra juga bertujuan untuk membuat deliniasi area sebagai batas kajian, yaitu batas wilayah tersebut adalah peta digital kecamatan di wilayah pesisir Jawa Barat yang di peroleh dari peta administrasi bakosurtanal. Citra komposit RGB-542 yang telah dipotong di export ke dalam data *.tiff kemudian diolah pada software ArcGis 9.3 untuk dilakukan penentuan kelas penutupan hutan mangrove berdasarkan pada perbedaan warna, pola spektral dan posisi bentang lanskap. Data tersebut di bandingkan dengan tampilan visual dengan resolusi tinggi yang diperoleh dari Google earth.

29 4.2. Persebaran Hutan Mangrove di Jawa Barat Hutan mangrove terbentuk karena adanya perlindungan dari ombak, masukan air tawar dari sungai, sedimentasi dan aliran air pasang surut (Setyawan 2006). Persebaran hutan mangrove Jawa Barat tersebar di 36 Kecamatan di 10 Kabupaten di Pesisir Utara dan Pesisir Selatan Jawa Barat. 4.2.1 Persebaran Hutan Mangrove Pesisir Utara Jawa Barat Persebaran hutan mangrove di Pesisir Utara Jawa Barat terdapat di dalam tambak maupun berada di sekeliling tambak tersebut (tambak silvofishery). Hutan mangrove di Kabupaten Subang tersebar di Kecamatan Balanakan dan Legon Kulon dengan spesies mangrove Rhizophora stylosa, Avicennia marina, Soneratia alba, Bruguiera gymnorhiza, Bruguiera cylindrica, Nypa fruticans, Hibiscus tiliaceus, terminalia cattapa, Exceocaria agallocha dan Achanthus ilicifolius (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Subang 2007). Hutan mangrove di Kabupaten Karawang tersebar di dua Kecamatan yaitu Tirtajaya dan Cibuaya dengan spesies yang ditemukan Rhizophora apicullata, Rhizophora mucronata, Avicennia marina, Soneratia alba dan Lumnitzera racemoza (BPLHD 2010). Hutan mangrove di Kabupaten Indramayu tersebar di enam Kecamatan yaitu Kadanghaur, Losarang, Cantigi, Sindang, Indramayu dan Balongan. Spesies yang ditemukan yaitu Rhizophora mucronata, Rhizopora apiculata, Avicennia marina, Achanthus ilicifolius, Acrotichum aureum, Denis heterophyl dan Fimbristylis scalhacea (Mustari 1992). Hutan Mangrove di Kabupaten Cirebon tersebar di delapan Kecamatan yaitu Kapetakan, Cirebon Utara, Lemahwungkuk, Mundu, Astanajapura, Pangenan, Gebang dan Losari. Spesies yang ditemukan Avicennia spp dan Rhizophora spp (Phihastuti 2009). Hutan mangrove di Kabupaten Bekasi tersebar tiga Kecamatan yaitu Muara Gembong, Babelan dan Tarumajaya. Spesies yang ditemukan Avicennia spp, Rhizophora spp dan Soneratia spp (Sumitro 1985).

30 4.2.2 Persebaran Hutan Mangrove Pesisir Selatan Jawa Barat Mangrove di Pesisir Selatan Jawa Barat terdiri dari mangrove sejati dan mangrove asosiasi khususnya pada rawa payau. Hutan Mangrove di Kabupaten Tasikmalaya tersebar di tiga kecamatan, yaitu Cikalong, Karangnunggal dan Cipatujah dengan didominasi oleh spesies Nypa fruticans. Hutan Mangrove di Kabupaten Sukabumi tersebar di empat kecamatan, yaitu Pelabuhan Ratu, Simpenan, Ciemas dan Ciracap. Spesies yang ditemukan Padanus spp, Bambusa spp, Stercoelia foetida, Terminalia cattapa, Rhizophora spp., Bruguiera spp., Sonneratia alba, Avicennia spp., Callophylum inophylum, Nypa frutican dan Baringtonia asiatica (Hartini 2010). Hutan mangrove di Kabupaten Garut tersebar di Kecamatan Cibalong dengan spesies yang ditemukan Rhizophora mucronata, Rhizophora gymnorhiza, Soneratia alba, Aegiceras comoculatum, Bruguiera gymnorhiza, Xylocarpus granatum, Ceriops tagal, Acanthus ilicifolius dan Avicennia alba (Rochmah 2001). Spesies mangrove di Kabupaten Cianjur tersebar Nypa fruticans di Kecamatan Cidaun. Hutan Mangrove di Kabupaten Ciamis tersebar di enam kecamatan, yaitu Cimerak, Cijulang, Parigi, Sidamulih, Pangandaran dan Kalipucang. Spesies yang ditemukan yaitu Thespesia vovulnea, Nypa fruticans, Acanthus ilicifolius, Rhizophora apiculata, Scyphiphora hydrophyllaceae, Acrosticum aureum, Pongmia pinnata, Terminalia cattapa, Padanus tektorius, Cerbera mangas dan Hibiscus spp. (Sukmawan 2004). 4.3 Luasan Hutan Mangrove Luasan Hutan mangrove di Jawa Barat dengan menggunakan data citra satelit dilakukan setelah pengolahan data citra dilihat secara visual dan di bandingkan dengan citra resolusi tinggi google earth setelah menyamakan titik kordinat pada citra Landsat-ETM dengan citra resolusi tinggi, kemudian dilakukan digitasi untuk mengetahui tutupan luasan hutan mangrove dan persebarannya. Pengklasifikasian kelas berdasarkan tampilan visual (Tabel 3).

31 Tabel 3. Perbandingan Kelas Penutupan Lahan Berdasarkan Tampilan Visual Kelas Pola warna RGB - 542 Tampilan Google Earth Laut 1 Laut 2 Mangrove Perumahan Tambak Sungai

102 177 154 113 Luasan Mangrove (ha) 262 348 316 359 381 388 380 389 665 610 842 919 1053 1162 1230 1338 1262 1567 1500 1641 1787 32 4.3.1 Luasan Hutan Mangrove di Jawa Barat Tahun 1999-2012 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 1999 2006 2012 200 0 Gambar 12. Luas Hutan Mangrove Jawa Barat Tahun 1999 2012 Hasil pengolahan data citra satelit didapat luas hutan mangrove di Jawa Barat pada tahun 1999 seluas 8758,52 ha, sedangkan pada tahun 2012 seluas 6861,25 ha. Penurunan luas hutan mangrove dalam kurun waktu ±13 tahun seluas 1897,27 ha atau sebesar 22% luas tahun 1999. Luas Hutan Mangrove di Pesisir Utara Jawa Barat memiliki luas yang lebih tinggi dibandingkan Pesisir Selatan Jawa Barat dengan luas Pesisir Utara seluas 5.216,31 ha dan Luas Pesisir Selatan Jawa Barat pada tahun 1999 seluas 3.542, 21 ha. Pada perkembangannya ditahun 2012 terjadi penurunan yang besar di Pesisir Utara Jawa Barat seluas 1.622,25 ha atau sebesar 31%, sedangkan pada Pesisir Selatan Jawa Barat penurunan luas mangrove tidak terlalu besar yaitu seluas 275,02 ha atau sebesar 8%. Perbedaan luasan Hutan mangrove di Pesisir Utara lebih luas dibandingkan Pesisir Selatan Jawa Barat dikarenakan adanya beberapa perbedaan, diantranya karakteristik pesisir dan pantai, jenis tanah, kontur, dan letak geografis. Karakteristik pesisir dan pantai Utara Jawa Barat menghadap Laut Jawa yaitu ditandai oleh paparan landai yang luas dengan alur sungai panjang dan air mengalir berkelok-kelok melalui rawa dan limpahan air ke pantai berawa

33 sehinggga menyebabkan banyak terdapat endapan lumpur dan memiliki tutupan mangrove yang tebal pada umumnya, serta ketinggian kurang dari 3 M diatas permukaan laut, walupun mangrove yang teridentifikasi keberadaannya berada di lahan pertambakan karena kondisi lahan yang landai ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk dijadikan kawasan tambak. Pesisir Selatan memiliki karakteristik pesisir dan pantai menghadap kearah Samudera Hindia ditandai oleh tebing perbukitan curam dan terjal dengan gelombang yang kuat dan pantai datar berpasir yang menyelingi pesisir ini. karakteristik ini menyebabkan rendahnya luas hutan mangrove dan jenis mangrove yang dapat bertahan dalam kondisi ini kebanyakan mangrove asosiasi. Penyumbang luas hutan mangrove yang besar di Jawa Barat dengan rata rata diatas 1.000 ha adalah Kabupaten Subang, Indramayu, Bekasi, Garut dan Ciamis pada tahun 1999, sedangkan pada tahun 2012 terjadi penurunan hutan mangrove yang drastis di Kabupaten Bekasi sebesar 975,46 ha atau 59% dari luas pada tahun 1999. Menurut Forestian (2011) Hutan Mangrove di Kabupaten Bekasi memiliki tingkat ancaman degradasi relatif tinggi, seperti konversi lahan dan alih fungsi status lahan. Seperti yang terjadi di Muara Gembong pada tahun 1954 ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung tetapi berubah pada tahun 2006 statusnya menjadi Hutan Produksi Tetap (HPT), hal ini menyebabkan sebagian wilayahnya menjadi tambak, sawah, kebun dan pemukiman. Penurunan luas hutan mangrove yang drastis pada tahun 2012 terjadi pula di Kabupaten Karawang yaitu sebesar 194,07 ha atau sebesar 56% dari tahun 1999. Penurunan luas mangrove di karawang ini lebih banyak dikarenakan pembukaan lahan tambak, penggalakan hutan mangrove untuk kawasan pariwisata dan terjadinya abrasi pada green belt yang teridentifikasi pada data citra satelit tahun 1999, sedangkan pada tahun 2012 kawasan green belt hilang. Hutan mangrove di Kabupaten Subang memiliki persebaran hutan mangrove yang terluas di Jawa Barat. Tetapi kondisinya habitat hutan mangrove di Kabupaten Subang berada di dalam tambak atau di sekeliling tambak (tambak

34 silvofishery), di pinggiran sungai dan membentuk green belt sepanjang garis pantai. Penurunan luas hutan mangrove cukup besar di sini yaitu seluas 287,48 ha tetapi bila dibandingkan dengan tahun 1999 penurunan ini hanya sebesar 16%. Selain penurunan hutan mangrove, di beberapa Kabupaten terjadi peningkatan luas hutan mangrove di tahun 2012. Peningkatan luasan hutan mangrove terjadi di Kabupaten Cirebon, Tasikmalaya, Garut dan Cianjur. Luasan hutan mangrove di Kabupaten Cirebon dibandingkan tahun 1999 mengalami peningkat sebesar 11% atau 10,94 ha pada tahun 2012. Walaupun mengalami peningkatan sebaran mangrove di Kabupaten Cirebon relatif sedikit, penggunaan lahan banyak di gunakan untuk perumahan. Hutan mangrove di Kabupaten Garut merupakan hutan mangrove terluas yang berada di Pesisir Selatan Jawa Barat. Pada tahun 2012 terjadi peningkatan seluas 32,83 ha atau sebesar 3% dari tahun 1999. Hutan mangrove tersebar di Kecamatan Cibalong dimana hutan ini dijadikan Cagar Alam Leuweung Sancang sejak tahun 1978 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 370/Kpts/Um/6/1978. Cagar Alam Leuweung Sancang terdiri dari hutan mangrove dan hutan non mangrove (hutan tropis). Menurut Rochmah (2001) kondisi hutan mangrove di Leuweung Sancang bersifat heterogen berpengaruh terhadap komponen biotik antara lain menyebabkan terjadinya strata strata dari vegetasi mangrove disana atau menurut Nybakken (1988) kondisi tersebut dikatakan hutan mangrove dengan tegakan alami.

35 (a) (b) (c) (d) Gambar 13. Peta Persebaran Hutan Mangrove Jawa Barat di Pesisir Utara Tahun 1999 (a) dan Tahun 2012 (b), Pesisir Selatan Tahun 1999 (c) dan Tahun 2012 (d) 4.4 Perubahan Luasan Hutan Mangrove Perubahan hutan mangrove adalah bertambahnya atau berkurangnya luasan hutan mangrove, hal ini berbeda dengan penurunan atau peningkatan luasan hutan mangrove pada suatu periode. Perubahan hutan mangrove terjadi apabila terjadi peningkatan luasan hutan mangrove akibat adanya pertumbuhan hutan mangrove atau persebaran biji mangrove yang kemudian tumbuh di daerah yang asalnya tidak terdapat mangrove, ataupun pengurangan hutan mangrove terjadi apabila suatu daerah terdapat mangrove kemudian mangrove tersebut mati atau hilang digantikan dengan tata guna lahan lainnya (Gambar 14).

36 (a) Gambar 14. Garis Pantai di Kabupaten Bekasi Tahun 1999 (a) dan Tahun 2006 (b) (b) Lingkaran merah pada gambar diatas menunjukan adanya abrasi di Kabupaten Bekasi dimana pada tahun 1999 daerah tersebut merupakan daerah pertambakan. Di sepanjang tanggul tambak di tumbuhi oleh vegetasi mangrove dan pada garis pantai vegetasi mangrove membentuk green Belt, tetapi pada tahun 2006 tambak tersebut hilang tergerus air laut, beserta persebaran vegetasi mangrove pada tahun 1999 dan menyebabkan pengurangan luasan hutan mangrove. Abrasi di Kabupaten Bekasi selain terjadi pengurangan luasan terjadi juga penambahan luasan hutan mangrove pada daerah abrasi diatas. Munculnya spektrum warna hijau pada lingkaran merah tahun 2006 yang lebih luas di bandingkan pada tahun 1999, terlihat pada daerah pada tahun 1999 lahan tambak menjadi daerah perkembangan hutan mangrove pada tahun 2006 membentuk green belt baru.

0 269.5 152.94 89.07 100.01 25.52 80.17 62.75 37.03 69.86 34.36 17.49 133.21 Luasan Mangrove (ha) 292.07 377.87 652.25 865.3 829.85 1152.7 1353.32 37 4.4.1 Faktor Penyebab Perubahan Luasan Hutan Mangrove 1600 1400 1200 1000 (-) mangorve (+) mangrove 800 600 400 200 0 Gambar 15. Penambahan dan Pengurangan Luasan Hutan Mangrove di Jawa Barat Penambahan luasan hutan mangrove yang terjadi dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2012. Terlihat Kabupaten Subang mengalami penambahan luasan yang cukup besar, yaitu sebesar 865,3 ha. Kabupaten Subang merupakan kabupaten yang terletak di pesisir Utara Jawa Barat dengan morfologis dan topografis pantainya yang dicirikan oleh bentuk pantai yang menjorok ke arah daratan berbentuk teluk, seperti di wilayah Pantai Blanakan, serta menjorok kearah laut berbentuk tanjung, seperti wilayah Pantai Legonkulon. Hal ini menyebabkan adanya penambahan daratan atau akresi, pada penambahan daratan ini menjadikan tumbuhnya mangrove baru (Gambar 16).

38 Pengurangan Penambahan Penambahan Pengurangan Gambar 16. Perubahan Luasan Hutan Mangrove di Kabupaten Subang Terlihat pada daerah akresi terdapat mangrove yang tumbuh pada tahun 2006 tetapi sebelumnya terlihat pada data citra satelit pada tahun 1999 tidak terdapat penambahan daratan sehingga setelah bertambahnya daratan tumbuh mangrove baru menjadi green belt. Adapula mangrove yang sebelumnya tidak terdapat pada tambak pada tahun 1999, pada tahun 2006 terklasifikasi adanya mangrove yang tumbuh dan di verifikasi melalui google earth mangrove pada tahun 1999 masih dalam tingkat tiang sehingga belum dapat teridentifikasi, sedangkan pada tahun 2006 tumbuh menjadi pohon sehingga dapat teridentifikasi pada data citra satelit. Adanya fungsi ekologis hutan mangrove di daerah ini sebagai pelindung daratan dari abrasi dan penahan sedimentasi sungai dan pantai sehingga terbentuk daratan baru sebagai tempat mencari, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang (nursery ground). Menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Subang (2007) Pemanfaatan mangrove di Kabupaten Subang diperuntukan bagi kebutuhan sehari-hari masyarakat yang tinggal di sekitarnya, terutama untuk dijadikan areal

39 pertambakan tumpangsari (silvofishery). Persebaran hutan mangrove di Subang berada pada kawasan tambak. Adanya penambahan luasan mangrove di Kabupaten subang terjadi dapat dilihat pada Gambar 18. Pada tahun 1999 terdapat mangrove sedangkan pada tahun 2006 mangrove tersebut hilang. Hal ini terjadi karena adanya pemanfaatan kayu pohon mangrove untuk dijadikan bahan bakar dan bahan bangunan, serta perkembangan keberadaan pohon mangrove di tambak yang cenderung tetap atau dibatasi oleh tanggul ataupun digalakan oleh petani tambak. Pengurangan terjadi pada tambak yang berada kearah daratan pada tahun 1999 merupakan lahan tambak yang berubah menjadi lahan pemukiman pada tahun 2012. Pengurangan Penambahan Gambar 17. Perubahan Luasan Hutan Mangrove di Kabupaten Garut Di Kabupaten Garut, Kecamatan Cibalong terjadi penambahan luasan hutan mangrove, penambahan ini di sebabkan hutan mangrove di sana terjadi perluasan secara alami. Dilihat dari karakteristik hutan di sana terdapat hutan mangrove dan hutan tropis. Pada perkebangannya hutan mangrove di Kecamatan Cibalong di dominasi oleh spesies Rhizophora mucronata (Rochmah 2001). Jenis

40 mangrove Rhizophora mucronata mempunyai perakaran tunjang atau akar yang keluar dari batang dan tumbuh kedalam substrat sehingga dapat merangkap sedimentasi dan membentuk pertumbuhan pohon baru yang menyebabkan semakin majunya vegetasi mangrove kearah laut (Gambar 17). Penambahan luasan mangrove terjadi seperti yang di tunjukan lingkaran berwarna kuning, terdapat penambahan luasan mangrove kearah daratan oleh genus Aegiceras dan Xylocarpus (Rochmah 2001). Kedua jenis tersebut penyebarannya pada kondisi tanah yang tidak terlalu sering mengalami genangan air dan penyebarannya banyak di temukan ke arah daratan. Adapula terjadi pengurangan luasan hutan mangrove seperti ditunjukan lingkaran berwarna merah, kondisi dimana pada tahun 1999 teridentifikasi sebagai hutan mangrove dan pada tahun 2012 teridentifikasi menjadi hutan tropis, hal ini menunjukan adanya suksesi antara hutan mangrove dengan hutan tropis dimana menurut Onrizal (2008) terjadinya suksesi hutan tropis dan hutan mangrove diakibatkan adanya perubahan kondisi habitat tempat hidup seperti berkurangnya pasokan air laut pada saat pasang atau pasokan air tawar pada saat surut, hal ini mengakibatkan perubahan kualitas tanah yang menjadi tempat hidup tumbuhan tersebut. 4.5 Hubungan Luasan Hutan Mangrove dengan Tambak dan Produksi Budidaya Tambak dari Tahun 1999 2012 Hubungan luasan hutan mangrove dengan tambak dan produksi budidaya tambak di Jawa Barat dari tahun 1999 sampai dengan 2012 ditunjukan dengan perubahan luasan mangrove dan luasan tambak dengan perubahan produksi budidaya tambak. Kondisi tersebut dapat terlihat berdasarkan data time series dari luas tambak dan produksi budidaya tambak di Jawa Barat berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Barat (2011) (Gambar 18).

41 200,000 180,000 160,000 140,000 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0 Produksi (ton) Tambak (Ha) Gambar 18. Luas Tambak dan Produksi Budidaya Tambak di Jawa Barat dari Tahun 1999-2011 Luas tambak di Jawa Barat pada tahun 1999 2000 hampir tidak terjadi penambahan yang signifikan, tetapi pada tahun 2001 mulai terjadi penggalakan tambak yang cukup luas yaitu sebesar 569 ha. Peningkatan tersebut berlanjut sampai dengan tahun 2002. Pada tahun 2003 terjadi peningkatan yang sangat signifikan yaitu sebesar 5.105 ha. Sampai dengan tahun 2006 hampir tidak terjadi perubahan luas tambak yang berarti. Pada tahun 2007 kembali terjadi peningkatan luas tambak sebesar 8.268 ha tetapi pada tahun berikutnya tahun 2008 terjadi penurunan luas tambak sebesar 1.594 ha. Kejadian ini berlanjut sampai dengan tahun 2009, dan pada tahun 2010 terjadi peningkatan kembali sebesar 5.358 ha dan 953 ha pada tahun 2011. Adanya program Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Barat untuk meningkatkan produksi budidaya tambak menyebabkan banyaknya penggalakan lahan tambak pada tahun 2007. Nilai produksi budidaya tambak pada tahun 1999 2000 terjadi penurunan nilai produksi sebesar 423 ton bila dilihat dari luas tambak pada tahun 2000 tidak ada penambahan luas hingga menyebabkan turunnya produksi budidaya tambak, tetapi pada tahun 2001 terjadi peningkatan yang cukup signifikan yaitu sebesar

42 14.217 ton hal ini diimbangi dengan adanya peningkatan luasan tambak pada tahun 2001. Pada tahun 2002 terjadi penurunan yang drastis sebesar 9.745 ton, padahal terjadi penambahan luas tambak pada tahun 2001 2002 artinya pada tahun tersebut produksi budidaya tambak masih belum optimal. Pada tahun 2003 2004 mulai terjadi peningkatan nilai produksi secara bertahap, tahun 2005 terjadi penurunan produksi kembali tetapi hal tersebut digantikan dengan nilai produksi yang meningkat drastis pada tahun 2006 yaitu sebesar 18.295 ton. Dan berlanjut pada tahun 2007 sebesar 12.983 ton, tahun 2008 sebesar 5.990 ton, tahun 2009 sebesar 24.171 ton dan peningkatan yang sangat drastis pada tahun 2010 sebesar 44.341 ton, kemudian peningkatan terjadi kembali di tahun 2011 sebesar 25.069 ton. Hingga total produksi di tahun 2011 mencapai 195.875 ton. Peningkatan nilai produksi ini sebanding dengan peningkatan luas tambak yang terjadi di tahun 2007 sampai dengan 2011. Akibat dari peningkatan luas tambak mengakibatkan banyaknya lahan mangrove yang dikonversi menjadi lahan tambak, atau pembukaan tambak intensif menggantikan tambak-tambak silvofishery, walaupun pada dasarnya terjadi peningkatan produksi budidaya tambak yang drastis pada tahun 2007 sampai dengan 2011, di tahun 2012 terjadi penurunan luas hutan mangrove di Jawa Barat. Menurut Puspita (2005) perkembangan tambak yang pesat ini telah memicu pembukaan areal mangrove secara besar-besaran untuk pembangunan tambak. Pola budidaya yang diterapkan juga telah mengalami perubahan, sistem budidaya yang tadinya bersifat tradisional telah bergeser ke arah sistem budidaya semi intensif dan intensif menggunakan pakan buatan, pestisida (misalkan diazon dan thiodan) dan penenbaran benih yang padat untuk memaksimalkan produksi. Pengembangan dan pembangunan tambak yang dilakukan tanpa memperhatikan kondisi lingkungan, telah berdampak negatif yang sangat besar. Seperti yang terjadi di Kabupaten Karawang pembukaan hutan mangrove untuk

43 pertambakan telah mengganggu kehidupan berbagai satwa liar, serta menimbulkan abrasi pantai dan instruisi air laut ke daratan. Keberadaan hutan mangrove di Jawa Barat saat ini sudah mulai terdesak oleh pesatnya pembangunan dan telah banyak mengalami perubahan fisik dan fungsi. Disisi lain, di beberapa daerah seperti di Selatan Jawa Barat ekosistem mangrove yang alami terdesak oleh pembangunan untuk peruntukan lain. Penurunan luasan mangrove ini tidak hanya berakibat pada hilangnya keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya, namun lebih jauh telah menimbulkan berbagai bencana atau ancaman serius bagi lingkungan pesisir.