PENGKAJIAN INDIKATOR SOSEKLING BANGUNAN GEDUNG HIJAU (GREEN BUILDING) TA 2014
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kementerian Pekerjaan Umum terus berusaha menyukseskan P2KH (Program Pengembangan Kota Hijau). Setidaknya ada 8 atribut untuk mewujudkan kota hijau ini yaitu perencanaan dan perancangan yang sensitif terhadap agenda hijau (green planing and design); perwujudan kualitas, kuantitas dan jejaring RTH (green openspace); penerapan prinsip 3R yaitu mengurangi sampah/limbah, mengembangkan proses daur ulang dan meningkatkan nilai tambah (green waste); pengembangan sistem transportasi yang berkelanjutan misal : transportasi publik, jalur sepeda dsb (green transportation); peningkatan efisiensi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya air (green water); pemanfaatan sumber energi yang efisien dan ramah lingkungan (green energy); penerapan bangunan ramah lingkungan - hemat air, energi, struktur dsb- (green building); peningkatan kepekaan, kepedulian dan peran serta aktif masyarakat dalam pengembangan atributatribut Kota Hijau (green community). Salah satu atribut yang penting adalah green building atau bangunan ramah lingkungan atau juga disebut bangunan hijau. Kontribusinya yang besar dalam menggunakan seluruh total energi menjadikannya sebagai atribut yang cukup penting. Green Building merupakan salah satu bentuk respon masyarakat dunia akan perubahan iklim. Praktek Bangunan Hijau ini mempromosikan bahwa perbaikan perilaku (dan teknologi) terhadap bangunan tempat aktivitas hidupnya dapat menyumbang banyak untuk mengatasi pemanasan global. Bangunan/gedung adalah penghasil terbesar (lebih dari 30%) emisi global karbon dioksida, salah satu penyebab utama pemanasan global (www.bulletin.penataanruang.net diakses tanggal 6 Februari 2014) Salah satu artikel dalam kompasiana.com menyebutkan bahwa bangunan hijau merupakan salah satu pendekatan konstruksi yang diaplikasikan pada bangunan, seperti bangunan publik, komersil, dan juga perumahan. Ada beberapa hal mendasar yang ada dalam sebuah bangunan hijau, yaitu efisiensi energi, konservasi sumber daya alam, dan kualitas udara yang baik di dalam
ruangan. Efisiensi energi dimaksudkan untuk meminimalisir penggunaan energi dan lebih mengutamakan penggunaan energi yang dapat diperbaharui. Konservasi sumber daya alam menitikberatkan pada penghematan sumber daya alam yang sifatnya terbatas, sehingga dapat menekan dampak negatif bagi lingkungan sekitar. Penciptaan kualitas udara yang baik di dalam ruangan diupayakan sebagai usaha dalam rangka membuat rumah sehat (http://green.kompasiana.com/ diakses tanggal 3 Mei 2013). Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimanakah menilai atau mengukur bahwa suatu bangunan gedung disebut bangunan hijau? Indikatorindikator teknis telah dikembangkan oleh berbagai elemen atau lembaga yang peduli terhadap keberadaan bangunan gedung hijau ini, salah satunya adalah dengan mengeluarkan sertifikasi bangunan gedung yang ada untuk mengkategorikan apakah bangunan gedung tersebut sesuai dengan standarisasi bangunan gedung hijau atau belum. Untuk mendapatkan pengakuan ataupun sertifikasi bahwa bangunan tersebut merupakan bangunan hijau, maka diterapkan penilaian aspek teknis melalui Sistem Rating (rating tools) yang dipersiapkan dan disusun misalnya untuk Indonesia disusun oleh Green Building Council Indonesia (GBCI) dengan menggunakan sistem rating yakni Greenship. Greenship sebagai sebuah sistem rating terbagi atas enam aspek yang terdiri dari : Tepat Guna Lahan (Appropriate Site Development/ASD); Efisiensi Energi & Refrigeran (Energy Efficiency & Refrigerant/EER); Konservasi Air (Water Conservation/WAC); Sumber & Siklus Material (Material Resources & Cycle/MRC); Kualitas Udara & Kenyamanan Udara (Indoor Air Health & Comfort/IHC); dan Manajemen Lingkungan Bangunan (Building & Enviroment Management). Masing-masing aspek terdiri atas beberapa rating yang mengandung kredit yang masing-masing memiliki muatan nilai tertentu dan akan diolah untuk menentukan penilaian (www.gbcindonesia.org diakses 6 Februari 2014). Berdasarkan data yang dirangkum dari Green Building Council Indonesia (GBCI) tahun 2014, bangunan gedung yang telah memiliki Sertifikat Greenship Bangunan Terbangun (Existing Building-EB) diantaranya Menara BCA - PT Grand Indonesia Jakarta, Gedung Sampoerna Strategic Square, PT. Buana Sakti Jakarta, dan German Centre Indonesia. Sedangkan dari kategori Bangunan Baru
(New Building-NB) diantaranya PT Dahana Kantor Manajemen Pusat - Subang Jawa Barat, Kampus Institut Teknologi Sains Bandung (ITSB) Kota Deltamas - Bekasi, Kantor Kementerian Pekerjaan Umum - Jakarta dan Kantor Bank Indonesia - Solo. Namun apakah indikator teknis saja sudah cukup? Konsep bangunan hijau merupakan satu kesatuan proses, dari perencanaan, pembuatan, pengoperasian, pemeliharaan, renovasi, serta peruntuhan. Pada setiap proses harus senantiasa mempertimbangkan tanggungjawab terhadap lingkungan. Lebih jauh, bangunan hijau tidak hanya terbatas pada aspek-aspek yang telah disebutkan di atas. Ada penghuni bangunan yang juga harus diperhatikan aspek kesehatannya. Pada kenyataannya unsur bangunan layak ditempati tidak hanya menyangkut aspek teknis saja. Misalnya bangunan untuk mahasiwa, hunian yang layak bagi mahasiswa dapat menstimulasi sebuah lingkungan belajar yang nyaman, memberikan keamanan, privasi, dan juga dapat meningkatkan rasa kebersamaan antar penghuni (Heryanti, 2013 Hal.3). Pada skala global, terdapat Global Strategy for Shelter to the Year 2000 yang ditetapkan PBB dan paragraf 60 The Habitat Agenda (UNHCS, 1996 dalam Heryanti,2013 Hal.2) yang juga menyebutkan tentang adequate shelter for all. Aspek rumah layak berdasarkan GSS 2000 dan The Habitat Agenda memiliki beberapa persamaan berkaitan dengan akses menuju rumah, kepemilikan, dan fasilitas dalam rumah. Sedangkan pada skala lokal, definisi rumah layak huni dalam Lampiran Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 22/PERMEN/M/2008 adalah rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan penghuninya. Aspek kelayakan hunian yang tidak terpenuhi dapat menyebabkan penurunan kualitas bangunan yang berpengaruh terhadap kualitas hidup yang tidak terpenuhi (Saleh,2010 dalam Heryanti,2013 Hal.2). Dalam penelitian Hartatik (2010 dalam Heryanti,2013 Hal.2) juga disebutkan bahwa mayoritas penghuni yang menyatakan puas terhadap kondisi rumahnya telah meningkat kualitas hidupnya. Hal ini berarti bahwa tingkat kepuasan penghuni dapat dipengaruhi oleh tingkat kelayakan huniannya (Heryanti, 2013). Dari pelbagai rating tools yang ada, belum ada kriteria penilaian kelayakan dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan (sosekling) yang secara spesifik
digunakan untuk menilai kelayakan bangunan hijau. Oleh karenanya, Balai Litbang Sosekling Bidang Permukiman berusaha menemukan aspek non teknis selain aspek teknis yang dikembangkan melalui rating tools khususnya pada aspek sosekling penggunaan bangunan gedung hijau. Pada saat yang bersamaan, Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan, Ditjen Cipta Karya selaku stakeholder dalam penelitian ini sesuai Renstra Direktorat Jenderal Cipta Karya 2010-2014 akan melakukan penyusunan NSPK bidang penataan bangunan dan lingkungan termasuk didalamnya bangunan gedung hijau, yang tidak hanya melihat aspek teknis saja melainkan melihat aspek sosekling juga. Oleh karenanya, penelitian ini fokus pada kebutuhan untuk menyusun indikator sosekling, guna melihat kelayakan bangunan gedung hijau. Tujuannya yaitu menciptakan keselarasan dari aspek teknis dan non teknis terhadap penggunaan bangunan hijau. B. PERTANYAAN PENELITIAN Apa saja indikator sosekling yang digunakan untuk menilai kelayakan bangunan gedung hijau? C. MAKSUD DAN TUJUAN Maksud dari penelitian ini adalah untuk merumuskan indikator kelayakan bangunan gedung hijau dari aspek sosekling. Tujuannya adalah tersedianya kriteria penilaian kelayakan bangunan gedung hijau dari aspek sosekling di Indonesia. D. KELUARAN Indikator Keluaran Indikator Keluaran dari penelitian ini adalah berupa 2 (dua) naskah kebijakan yakni rekomendasi bagi Direktorat Jenderal Cipta Karya dan rekomendasi bagi Green Building Council Indonesia (GBCI) E. LOKASI Lokasi penelitian dipilih dengan menggunakan data dari Green Building Consultant Indonesia (GBCI) dimana bangunan gedung yang telah memiliki
Sertifikat Greenship Bangunan Terbangun (Existing Building-EB) maupun Bangunan Baru (New Building-NB) berlokasi di Jakarta (Prov. DKI Jakarta) dan Subang (Prov. Jawa Barat). F. MANFAAT Dengan adanya kriteria pengukuran kelayakan bangunan gedung hijau dari aspek sosekling, maka : 1. Bagi Direktorat Jenderal Cipta Karya khususnya Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan : dapat digunakan sebagai masukan penyusunan pengaturan bangunan gedung hijau. 2. Bagi Green Building Council Indonesia : dapat digunakan sebagai masukan pada Rating Tools yang telah digunakan dalam melakukan penilaian Green Building pada aspek sosekling.