III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Pembentukan kerangka pemikiran dalam penelitian ini didukung oleh teori-teori yang terkait dengan tujuan penelitian. Teori-teori tersebut meliputi teori perdagangan internasional, kebijakan perdagangan, dan analisis kebijakan. 3.1.1. Teori Perdagangan Internasional Setiap negara memiliki sumberdaya alam, letak geografis, iklim, karakteristik penduduk, keahlian, tenaga kerja, tingkat harga, keadaan struktur ekonomi, dan sosial yang berbeda-beda. Perbedaan yang dimiliki oleh masingmasing negara tersebut menghasilkan produk yang berbeda baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Perbedaan tersebut secara tidak langsung mengharuskan suatu negara untuk melakukan perdagangan, baik dengan alasan perluasan pasar, mendapatkan sumberdaya, mendapatkan keuntungan, ataupun mendapatkan teknologi yang lebih modern. Perdagangan merupakan faktor penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi di setiap negara karena perdagangan akan memperbesar kapasitas konsumsi suatu negara dan meningkatkan output dunia. Perdagangan juga cenderung meningkatkan pemerataan atas distribusi pendapatan dan kesejahteraan dalam lingkup domestik ataupun internasional. Perdagangan dapat membantu semua negara dalam menjalankan usaha-usaha pembangunannya melalui promosi serta mengutamakan sektor-sektor ekonomi yang mengandung keunggulan komparatif (Todaro, 2003). Menurut Kindleberger (1995) diacu dalam Anwar (2009), perdagangan internasional dianggap sebagai suatu akibat dari adanya interaksi antara permintaan dan penawaran bersaing. Pada prinsipnya, perdagangan antara dua negara timbul akibat adanya perbedaan permintaan dan penawaran. Perbedaan permintaan disebabkan oleh selera dan tingkat pendapatan, sedangkan perbedaan penawaran disebabkan oleh jumlah dan kualitas faktor produksi serta tingkat teknologi. Perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan pendapatan nasional suatu negara.
3.1.2. Pergeseran Pola Perdagangan Internasional Salah satu hal yang sangat mempengaruhi kinerja industri perikanan Indonesia adalah adanya pergeseran pola perdagangan dunia. Saat ini, pola perdagangan internasional tidak lagi hanya tunduk pada prinsip-prinsip supplydemand, tetapi juga dibentuk oleh isu-isu, konvensi, dan berbagai macam kesepakatan internasional. Banyak konvensi yang telah disepakati, diratifikasi, dan mengikat. Menurut Putro (2001), perjanjian internasional yang berpengaruh langsung bahkan cenderung mengatur mekanisme perdagangan komoditas perikanan di pasar internasional dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu: 1) Perjanjian internasional yang bernuansa menjaga kelestarian sumberdaya perikanan, seperti Code of Conduct for Responsible Fisheries, International Convention for The Conservation of Atlantic Tuna (ICCAT), Indian Ocean Tuna Commission, Agreement on Straddling Stocks and Highly Migratory Fish Species, dan sebagainya. Dengan adanya perjanjian ini maka ikan-ikan komersial penting yang dijual di pasar internasional harus ditangkap dari sumberdaya yang lestari. 2) Perjanjian internasional tentang perlindungan satwa yang terancam punah yaitu Convention of International Trade of Endanger Species (CITES). Melalui perjanjian ini maka beberapa jenis ikan/fauna laut dan air tawar dibatasi pemasarannya karena populasinya dikhawatirkan akan punah. 3) Perjanjian internasional tentang perdagangan yaitu perjanjian General Agreement on Tariff and Trade (GATT oleh WTO), termasuk di dalamnya perjanjian Agreement on Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS), dan Agreement on Technical Barrier on Trade (TBT oleh WTO). Perjanjian GATT/WTO mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap perdagangan global komoditas perikanan. Dari satu sudut pandang, oleh beberapa negara, pemberlakuan kesepakatan-kesepakatan tersebut dimanfaatkan sebagai suatu peluang untuk melaksanakan strategi perang dagang. Kecenderungannya, dimasa-masa mendatang kesepakatan semacam itu akan bertambah banyak karena perang dagang akan berlangsung semakin intensif. Biasanya, suatu kesepakatan 19
internasional dikemas dalam kerangka justifikasi ilmiah atau isu-isu global yang telah disepakati sebelumnya secara universal. Indonesia harus mengikuti semua aturan yang terkandung dalam konvensikonvensi tersebut. Kecepatan dan konsistensi merespon kesepakatan dalam konvensi tersebut akan berdampak langsung pada perdagangan internasional produk-produk perikanan Indonesia. 3.1.3. Kebijakan Perdagangan Teori dan kebijakan perdagangan internasional merupakan aspek mikro ilmu ekonomi sebab berhubungan dengan masing-masing negara sebagai individu yang diperlakukan sebagai unit tunggal, serta berhubungan dengan harga relatif suatu komoditas. Dalam arti luas, kebijaksanaan ekonomi internasional adalah tindakan atau kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi komposisi, arah serta bentuk dari perdagangan internasional. Kebijakan ini tidak hanya berupa tarif, kuota, dan sebagainya, tetapi juga meliputi kebijaksanaan pemerintah di dalam negeri yang secara tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap perdagangan internasional seperti misalnya kebijaksanaan moneter dan fiskal (Nopirin, 1999) diacu dalam (Rastikarany, 2008). Kebijakan perdagangan dilakukan sebagai proses proteksi terhadap produk-produk yang dianggap sebagai penghambat dalam proses perdagangan bebas. Hambatan dalam arus perdagangan ada dua macam, yaitu hambatan yang bersifat tarif (tariff barrier) dan hambatan yang bersifat nontarif (non tariff barrier). Hambatan yang bersifat tarif merupakan hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh diberlakukannya tarif bea masuk dan tarif lainnya, sedangkan hambatan yang bersifat nontarif merupakan hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh tindakantindakan selain penerapan pengenaan tarif atas suatu barang. 3.1.3.1. Kebijakan Hambatan Tarif (Tariff barrier) Tarif adalah pajak yang dikenakan atas barang yang diperdagangkan lintas batas teritorial. Ditinjau dari aspek asal komoditas, ada dua macam tarif yaitu tarif ekspor (export tariff) dan tarif impor (import tariff). Tarif impor adalah pungutan bea masuk yang dikenakan atas barang impor yang masuk untuk 20
dipakai/dikonsumsi habis di dalam negeri. Sedangkan tarif ekspor merupakan pajak untuk suatu komoditas yang di ekspor (Salvatore, 1997). Kebijakan tariff barrier dalam bentuk bea masuk adalah sebagai berikut (Hady, 2004): 1) Pembebanan bea masuk atau tarif rendah antara nol sampai lima persen dikenakan untuk bahan kebutuhan pokok dan vital, alat-alat militer/pertahanan/keamanan, dan lainnya. 2) Tarif sedang antara nol sampai dua puluh persen dikenakan untuk barang setengah jadi dan barang-barang lain yang belum cukup diproduksi dalam negeri. 3) Tarif tinggi di atas dua puluh persen dikenakan untuk barang-barang mewah dan barang-barang lain yang sudah cukup diproduksi di dalam negeri dan bukan barang kebutuhan pokok. Tarif dan bea masuk pada hakekatnya merupakan diskriminatif yang digunakan untuk mencapai berbagai tujuan, antara lain melindungi produk dalam negeri dari persaingan dengan produk sejenis asal impor, meningkatkan penerimaan negara, mengendalikan konsumsi barang tertentu, dan lain-lain. Penggunaan tarif bea masuk yang ditujukan untuk melindungi produk dalam negeri sangat besar pengaruhnya terhadap globalisasi ekonomi (Rastikarany, 2008). 3.1.3.2. Kebijakan Hambatan Nontarif (Non Tariff Barrier) Bentuk hambatan lain yang berbeda dengan pengenaan tarif adalah hambatan nontarif yang berarti hambatan masuk sebuah produk yang bukan disebabkan karena adanya pengenaan tarif impor, tetapi akibat adanya pelarangan yang dilakukan oleh negara/organisasi internasional yang menerima komoditas dari negara lain. Kebijakan non tariff barrier terdiri atas beberapa bagian yaitu: 1) Pembatasan spesifik, terdiri dari larangan impor secara mutlak; pembatasan impor atau quota system; peraturan atau ketentuan teknis untuk impor produk tertentu; peraturan kesehatan atau karantina, peraturan pertahanan dan keamanan negara; peraturan kebudayaan, perizinan impor/import licenses; embargo; dan hambatan pemasaran seperti VER (Voluntary Export Restraint), OMA (Orderly Marketing Agreement). 21
2) Peraturan Bea Cukai (Custom Administration Rules), terdiri dari tata laksana impor tertentu; penetapan harga bea; penetapan forres rate (kurs valas) dan pengawasan devisa; consultan formalities; packaging/labelling regulation; documentation hended; quality and testing standard; pungutan administrasi (fees); dan tariff classification. 3) Partisipasi pemerintah, terdiri dari kebijakan pengadaan pemerintah; subsidi dan insentif ekspor; countervailing duties; domestic assistance programs; dan trade-diverting. 4) Import charges, terdiri dari import deposits; supplementary duties; dan variable levies. Menurut Koo dan Kennedy (2005), beberapa negara menggunakan bermacam kebijakan perdagangan (tarif dan nontarif) untuk melindungi industri yang tidak efisien. Hal ini berlaku pada pertanian. Rata-rata tarif untuk produk pertanian (tiga puluh persen) lebih besar daripada untuk produk industri (enam persen). Tarif adalah pajak yang dibebankan pemerintah untuk suatu komoditas sebagai batas garis nasional. Tarif digunakan untuk melindungi ekonomi domestik dari kompetisi luar negeri. Hambatan nontarif bisa mengandung rintangan dengan angka yang besar selain tarif, seperti kebijakan, peraturan, dan prosedur yang mempengaruhi perdagangan. Hambatan nontarif yang paling banyak digunakan untuk mengontrol impor pertanian yaitu (Koo dan Kennedy, 2005): (1) pembatasan kuantitatif dan pembatasan sepesifik sejenis (misalnya kuota, voluntary export restraints, dan kartel internasional); (2) beban nontarif dan kebijakan yang berhubungan mempengaruhi impor (misalnya kebijakan antidumping dan kebijakan countervailing); (3) kebijakan umum pemerintah yang membatasi (misalnya kebijakan kompetisi dan penetapan perdagangan); (4) prosedur umum dan kegiatan administrasi (misalnya prosedur evaluasi dan prosedur perizinan); dan (5) hambatan teknis (peraturan dan standar kualitas kesehatan dan sanitasi, keamanan, peraturan dan standar industrial, dan peraturan pengemasan dan pelabelan. 22
3.1.4. Analisis Kebijakan Analisis kebijakan merupakan suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberikan landasan bagi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan (Dunn, 1999) diacu dalam (Rastikarany, 2008). Dunn (1999) mengatakan bahwa analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan. Analisis kebijakan diambil dari berbagai disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif, dan perspektif. Analisis kebijakan dapat menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif ini di rancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang (sedang berlangsung). Metode ini digunakan untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sedang berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa sebab-akibat dari suatu gejala. Teknik pengolahan data kualitatif yang umum digunakan dalam metode deskriptif adalah analisis isi (content analysis). Deskripsi yang diberikan para ahli sejak Janis (1949), Berelson (1952) sampai Lindzey dan Aronson (1968) tentang content analysis, selalu menampilkan tiga syarat, yaitu: objektivitas, pendekatan sistematis, dan generalisasi (Bungin, 2003). Analisis ini dalam Julianingsih (2003) adalah suatu teknik untuk mengambil kesimpulan dengan mengidentifikasi karakter-karakter khusus suatu pesan secara objektif dan sistematis. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Sebagai salah satu negara pemasok utama udang ke Uni Eropa, Indonesia memiliki prospek yang baik untuk terus dikembangkan. Adanya peningkatan permintaan dan penawaran komoditas udang di pasar internasional menjadikan persaingan semakin banyak menghadapi tantangan yang diberlakukan oleh negara tujuan ekspor Indonesia, khususnya Uni Eropa. Setiap kebijakan yang diberlakukan Uni Eropa sangat mempengaruhi perdagangan internasional. 23
Kebijakan tersebut berkaitan dengan Sanitary and Phytosanitary (SPS), Technical Barrier tottrade (TBT), dan tarif. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa bertujuan untuk melindungi konsumen negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa terhadap setiap komoditas ekspor Indonesia. Kebijakan perdagangan yang diterapkan di Uni Eropa akan dikaji dalam analisis deskriptif dengan membandingkan juga respon kebijakan yang telah dilakukan Indonesia untuk memenuhi kebijakan perdagangan ini. Gambaran penelitian ini secara menyeluruh dapat dilihat pada Gambar 1. 24
Perairan Indonesia yang Luas Potensi Perikanan Indonesia Kelimpahan Tenaga Kerja Jumlah Produksi Perikanan Indonesia Komoditas & Produk Non Udang Komoditas & Produk Udang Penawaran Udang untuk Konsumsi Domestik Penawaran Udang untuk konsumsi Luar Negeri Kebijakan Perdagangan Sanitary and Phytosanitary (SPS) Technical barrier to trade (TBT), Tariff Uni Eropa Total Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa Pasar Ekspor Lainnya Respon Kebijakan Perdagangan Indonesia dan Penerapannya di Indonesia Kasus Notification oleh European-RASFF Analisis Kualitatif Deskriptif = Ruang Lingkup Kajian Peneltian Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa dan Pengaruhnya Terhadap Ekspor Udang Indonesia 25