BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sangat cepat dan sangat pesat. Masyarakat berbondong-bondong datang ke kota

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SLEMAN PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 43 TAHUN 2013 TENTANG PEMANFAATAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN

BAB I PENDAHULUAN. tinggal. Dimana tempat tinggal atau rumah merupakan kebutuhan dasar yang akan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TEN TANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TEN TANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. mengenai penyesuaian tarif sewa Rusunawa Tambak. Berdasarkan latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

PERAN DEVELOPER DALAM PENYEDIAAN RUMAH SEDERHANA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: IKE ISNAWATI L2D

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2018, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 02 /PERMEN/M/2009 TENTANG

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini kebutuhan akan tempat tinggal semakin terasa mendesak dikarenakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERUMAHAN

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

BAB I: PENDAHULUAN Latarbelakang.

BUPATI KUDUS TENTANG PENGELOLAAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA (RUSUNAWA) BUPATI KUDUS,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS PERUMAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEBIJAKAN NASIONAL PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

BUPATI KLATEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYERAHAN PRASARANA, SARANA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 9 TAHUN 2009 TENTANG PENYERAHAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN,

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 12 TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. penetapan tarif sewa Rusunawa Tamanan Banguntapan. Berdasarkan latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROFIL DINAS PERUMAHAN RAKYAT DAN KAWASAN PERMUKIMAN KOTA PEKANBARU TA.2017 BIDANG PERUMAHAN

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG RUMAH SUSUN

BAB I PENDAHULUAN. perlunya perumahan dan pemukiman telah diarahkan pula oleh Undang-undang Republik

PERATURAN BUPATI KUNINGAN NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

BAB I PENDAHULUAN. sangat pesat, salah satunya adalah kawasan perbatasan Sidoarjo - Surabaya (dalam hal ini Desa Wonocolo, Kecamatan Taman).

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

OLEH : KEPALA KANTOR WILAYAH BPN PROVINSI DKI JAKARTA

LEMBARAN DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2011 NOMOR 110 WALIKOTA SURAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN

RUMAH SUSUN BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN BONE LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 26 TAHUN 2009 DISUSUN OLEH

Permasalahan Perumahan dan Permukiman di Indonesia

WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAKA ESA

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH

RANCANGAN PERDA KUMUH KOTA YOGYAKARTA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

2 dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 3. Undang-undang Nomor

I. PENDAHULUAN. Perumahan dan pemukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENYERAHAN PRASARANA, SARANA, DAN UTILITAS PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DI DAERAH

Bastary Pandji Indra Asdep Perumahan, Pertanahan dan Pembiayaan Infrastruktur

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 Tahun 1985 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia

RUMAH SUSUN BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN BONE LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 26 TAHUN 2009 DISUSUN OLEH

KAJIAN PERSEBARAN RUMAH SUSUN SERTA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DI JAKARTA. Freddy Masito S. Su Ritohardoyo

- 2 - untuk masyarakat secara luas.

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR... TAHUN... TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN BERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG

TINGKAT KEPUASAN PENGHUNI RUSUNAWA TERHADAP FISIK DAN LINGKUNGAN RUSUNAWA DI SURAKARTA

KEBIJAKAN NASIONAL PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN KAWASAN PERMUKIMAN PERKOTAAN DAN PERDESAAN

PERMENDAGRI NO. 9 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENYERAHAN PRASARANA, SARANA, DAN UTILITAS PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DI DAERAH

AR 40Z0 Laporan Tugas Akhir Rusunami Kelurahan Lebak Siliwangi Bandung BAB 1 PENDAHULUAN

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2007 NOMOR 17 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG

PERANAN RP2KPKP DALAM PENCEGAHAN DAN PENINGKATAN KUALITAS KUMUH PERKOTAAN PERMUKIMAN KUMUH PERKOTAAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

GUBERNUR SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 komposisi penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan Pembangunan Daerah merupakan suatu proses perencanaan

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN DINAS PERUMAHAN KOTA BATU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Penyediaan Hunian Layak bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan pemukiman, agar

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 79 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Latar Belakang Pengadaan Proyek

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN WALIKOTA SEMARANG

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Bab V merupakan bagian akhir dari penulisan penelitian yang

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. hak bagi setiap orang. Karena setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pelaksanaan berasal dari kata laksana yang berarti kegiatan 5. Pelaksanaan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Sleman merupakan kawasan perkotaan yang memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta (2013) laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sleman pada tahun 2000-2010 sebesar 1,96 persen per tahun. Hal ini berarti bahwa terdapat peningkatan jumlah penduduk yang tinggi di Kabupaten Sleman. Implikasi peningkatan jumlah penduduk terutama pada peningkatan kebutuhan fasilitas, salah satunya perumahan. Perumahan merupakan kelompok rumah yang dilengkapi prasarana dan sarana lingkungan dengan fungsi sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian. Sementara rumah merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga (Badan Standarisasi Nasional, 2004). Menurut Subhan (2008) rumah memiliki fungsi psikologis sebagai tempat berlindung. Selain itu, rumah dipandang sebagai tempat berinteraksi dengan lingkungan disekitarnya. Oleh karena itu, rumah menjadi kebutuhan dasar yang harus terpenuhi. Susanto dan Sugiyanto (2012) mengatakan bahwa peningkatan jumlah penduduk menjadi permasalahan bagi sebagian daerah. Jumlah penduduk yang meningkat menyebabkan peningkatan kebutuhan rumah. Akan tetapi, ketersediaan lahan yang ada umumnya semakin terbatas. Keterbatasan lahan selanjutnya berdampak pada tingginya harga tanah sehingga sulit dijangkau oleh sebagian masyarakat. Pemenuhan kebutuhan rumah menjadi 1

permasalahan bagi sebagian masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 Ayat 1 Tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan. Pernyataan ini berarti bahwa bertempat tinggal merupakan hak yang harus terpenuhi untuk setiap orang. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menjelaskan bahwa pemerintah turut menjamin hunian yang layak dan terjangkau bagi masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah mengembangkan rumah susun dalam bentuk rumah sederhana sewa sebagai upaya memenuhi kebutuhan rumah layak dan terjangkau bagi masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun pemerintah menyelenggarakan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Selain itu, penyelenggaraan rusunawa diperuntukan bagi masyarakat yang belum memiliki tempat tinggal tetap. Lux dan Sunega (2010) mengatakan bahwa rumah sewa dapat menjadi alternatif bagi masyarakat yang tidak memiliki rumah pribadi, berpenghasilan rendah, atau terdiskriminasi dari pasar perumahan. Pembangunan rumah susun sederhana sewa di Kabupaten Sleman telah dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2005. Tujuan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah yang belum memiliki tempat tinggal tetap (Peraturan Bupati Sleman No 43 Tahun 2013 Tentang Pemanfaatan Rumah Susun Sederhana Sewa). Hingga saat ini, Kabupaten Sleman telah mendirikan sebelas twin blok rusunawa yang tersebar di Kecamatan Depok dan Kecamatan Mlati. Rusunawa telah dihuni sejumlah 849 kepala keluarga (UPT Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sleman, 2011). 2

Menurut Kepala Seksi Bidang Permukiman Formal Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan dalam Rachmawati (2015) bahwa pemanfaatan rumah susun di Kabupaten Sleman secara administrasi telah sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Akan tetapi, penyimpangan terjadi oleh penghuni selama menghuni di rusunawa. Misalnya pengalihan pemanfaatan rumah susun tanpa diketahui oleh pengelola. Kepala Bidang Fisik dan Prasarana Bappeda Kabupaten Sleman (Rachmawati, 2015) menjelaskan bahwa terdapat sebagian pemanfaatan rusunawa yang belum sesuai karena rusunawa telah menjadi aset bagi sebagian penghuni. Sejumlah penghuni yang sudah mengalami perbaikan ekonomi masih tinggal di rusunawa. Berdasarkan kondisi tersebut, rusunawa menjadi alternatif dalam penyediaan rumah layak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Akan tetapi, penyimpangan dalam pemanfaatannya dapat terjadi selama penghuni berada di rusunawa. Oleh karena itu, dibutuhkan penilaian pemanfaatan rumah susun dan kebutuhan pengembanganya. Hal ini perlu dilakukan untuk pengoptimalan rumah susun. Pentingnya penilaian terhadap pemanfaatan rumah susun dan kebutuhan pengembangannya di Kabupaten Sleman dijelaskan juga pada penelitian sebelumnya mengenai pengembangan hunian vertikal di Pinggiran Kota Yogyakarta Rachmawati (2015). 1.2. Perumusan Masalah Kabupaten Sleman memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2000-2010 sebesar 1,96 persen per tahun. Hal ini berarti bahwa terdapat peningkatan jumlah penduduk yang tinggi yang menyebabkan adanya peningkatan kebutuhan fasilitas, terutama perumahan. Di sisi lain, ketersediaan lahan untuk pengembangan perumahan terbatas sehingga harga tanah semakin tinggi dan sulit dijangkau oleh sebagian masyarakat. Dampaknya, pemenuhan kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau menjadi permasalahan, terutama bagi masyarakat yang 3

berpenghasilan rendah. Padahal bertempat tinggal mendapatkan lingkungan hidup yang baik adalah hak asasi manusia yang harus terpenuhi. Upaya Pemerintah Kabupaten Sleman untuk memenuhi kebutuhan rumah layak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan menyelenggarakan rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Pembangunan rusunawa telah dilakukan sejak tahun 2005 dan dihuni oleh 849 kepala keluarga. Pemanfaatan rumah susun di Kabupaten Sleman secara administrasi telah sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Akan tetapi, penyimpangan dalam pemanfaatannya dapat terjadi selama penghuni berada di rusunawa. Oleh karena itu, kajian mengenai pemanfaatan rumah susun dan kebutuhan pengembanganya penting untuk dilakukan guna mengoptimalkan pengembangan rumah susun. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa pertanyaan yang digunakan dalam penelitian ini. 1. Bagaimana pemanfaatan rusunawa di Kabupaten Sleman? 2. Apakah masih dibutuhkan pengembangan rusunawa di Kabupaten Sleman? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi pemanfaatan rusunawa di Kabupaten Sleman. 2. Menganalisis kebutuhan pengembangan rusunawa di Kabupaten Sleman. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, sebagai berikut. 1. Berperan untuk pengembangan ilmu pengetahuan kaitannya dengan permukiman, perkotaan, dan pengembangan wilayah. 2. Berperan sebagai bahan pertimbangan penyusunan rencana pengembangan rumah susun. 3. Berperan sebagai referensi penelitian selanjutnya mengenai rumah susun. 4

1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Pengertian Rumah, Perumahan, dan Permukiman Rumah merupakan tempat berlindung dari pengaruh lingkungan, seperti iklim, musuh, penyakit, dan sebagainya. Di sisi lain, rumah dipandang sebagai simbol status sosial dan tempat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Rumah dalam pandangan ekonomi menjadi tempat aktivitas ekonomi dan investasi jangka panjang bagi pemiliknya (Subhan, 2008). Menurut Badan Standarisasi Nasional (2004) rumah merupakan tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga. Selain itu, rumah dimaknai sebagai tempat tinggal dalam suatu lingkungan yang mempunyai sarana prasarana yang diperlukan oleh pemiliknya untuk bermasyarakat. Rumah menjadi sarana pengamanan bagi pemilikinya, pemberi ketentraman hidup, dan pusat berbudaya. Rumah juga menjadi tempat pembentukan kepribadian dan pembentukan watak (Yudohusodo, et al., 1991). Berdasarkan berbagai pengertian tersebut, rumah dapat diartikan sebagai tempat tinggal dan tempat pembentukan karakter. Rumah juga berfungsi sebagai tempat berlindung, berinteraksi, dan menjalankan aktivitas ekonomi. Selain itu, rumah dapat menjadi simbol sosial dan investasi masa depan bagi pemiliknya. Berbeda dengan pengertian sebelumnya, perumahan merupakan kelompok rumah yang dilengkapi prasarana dan sarana lingkungan dengan fungsi sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian. Sementara permukiman dapat dimaknai sebagai bagian dari lingkungan hidup sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian yang berada di luar kawasan lindung untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan (Badan Standarisasi Nasional, 2004). Menurut Yudohusodo, et al (1991) perumahan dan permukiman merupakan ruang hidup masyarakat dan alam sekitarnya. 5

Perumahan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah bagian dari permukiman yang terdiri atas kumpulan rumah beserta prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni di perkotaan maupun perdesaan. Sementara itu kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung dengan fungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan di kawasan perkotaan maupun perdesaan. Berdasarkan pengertian tersebut, permukiman dapat diartikan sebagai bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu perumahan beserta prasarana, sarana, utilitas umum, dan penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan maupun perdesaan. 1.5.2. Rumah Susun Rumah susun menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun merupakan bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan. Rumah susun terbagi menjadi beberapa bagian yang memiliki struktur fungsional ke arah vertikal maupun horizontal. Satuansatuan fungsi rumah susun digunakan secara terpisah, terutama tempat hunian. Satuan-satuan yang dapat dimiliki masing-masingnya dan digunakan secara terpisah. Selain itu, rumah susun dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Yudohusodo, et al. (1991) mengartikan rumah susun sebagai alternatif perumahan, terutama kota yang sudah padat penduduk. Rumah susun di wilayah perkotaan dapat mengatasi keterbatasan lahan. Selain itu, pemanfaatan rumah susun yang dibangun secara vertikal membuat kota lebih efisien. Pembangunan rumah susun dapat menciptakan ruang-ruang terbuka yang lebih luas dan mengatasi kawasan kumuh yang padat penduduk. 6

Sementara Badan Standarisasi Nasional (2004) menjelaskan bahwa rumah susun merupakan hunian yang dikembangkan pada kawasan lingkungan yang memiliki kepadatan penduduk lebih dari 200 jiwa per hektar. Utamanya, pengembangan rumah susun diarahkan pada pusat kegiatan kota dengan kepadatan penduduk lebih dari 200 jiwa per hektar. Selain itu, rumah susun dibutuhkan untuk kawasan industri, pendidikan, dan campuran. Berdasarkan berbagai pernyataan tersebut, rumah susun dapat dimaknai sebagai bangunan vertikal yang memiliki bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Penyediaan rumah susun menjadi alternatif untuk mengatasi keterbatasan lahan di daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Selain itu, pengembangan rumah susun dapat membuat pemanfaatan ruang lebih efisien. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun bahwa rumah susun dibedakan menjadi empat kategori, sebagai berikut. 1. Rumah susun umum Rumah susun umum adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, antara lain rumah susun sederhana sewa (rusunawa) dan rumah susun sederhana milik (rusunami). 2. Rumah susun khusus Rumah susun khusus adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan khusus. 3. Rumah susun negara Rumah susun negara adalah rumah susun yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian, sarana pembinaan keluarga, serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat atau pegawai negeri. 4. Rumah susun komersial 7

Rumah susun komersial adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan. Selain itu, menurut Badan Standarisasi Nasional (2004) rumah susun dibedakan menjadi tiga kategori, sebagai berikut. 1. Rumah susun sederhana sewa Rumah susun sederhana sewa adalah rumah susun yang dibangun tidak lebih dari 45 m 2 dengan biaya pembangunan per meter persegi tidak melebihi harga satuan per meter persegi tertinggi untuk pembangunan gedung bertingkat pemerintah kelas C yang berlaku. 2. Rumah susun menengah Rumah susun menengah dibangun dengan luas lantai bangunan 18 m 2 hingga 100 m 2 dengan biaya pembangunan per meter persegi antara harga satuan per meter persegi tertinggi untuk pembangunan gedung bertingkat pemerintah kelas C hingga harga satuan per meter persegi tertinggi untuk pembangunan gedung bertingkat pemerintah kelas A yang berlaku. 3. Rumah susun mewah (apartemen) Rumah susun mewah dibangun dengan luas lantai lebih dari 100 m 2 dan biaya pembangunan per meter persegi diatas harga satuan per meter persegi tertinggi untuk pembangunan gedung bertingkat pemerintah kelas A yang berlaku. Berdasarkan pernyataan sebelumnya, rumah susun dapat dibedakan menjadi beberapa kategori. Kategori rumah susun menurut tujuan pengembangannya dapat dibedakan menjadi empat kategori, antara lain rumah susun umum, khusus, negara, dan komersial. Sementara berdasarkan luas lantai dan biaya pembangunan, rumah susun dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu rumah susun sederhana sewa, rumah susun menengah, dan rumah susun milik. 8

1.5.3. Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun, penyelenggaraan rumah susun bertujuan untuk menyediakan rumah layak dan terjangkau untuk memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi penghuni dan masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Masyarakat berpenghasilan rendah yaitu masyarakat yang memiliki daya beli yang terbatas. Oleh karena itu, dukungan pemerintah dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah untuk memperoleh rumah layak dan terjangkau. Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2007 Tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi menerangkan bahwa terdapat tiga kelompok sasaran masyarakat menengah bawah dan masyarakat bepenghasilan rendah (Tabel 1). Kelompok sasaran I memiliki penghasilan per bulan antara Rp3.500.000 hingga Rp4.500.000. Kelompok sasaran II memiliki penghasilan per bulan antara Rp2.500.000 hingga Rp3.500.000. Kelompok sasaran III memiliki penghasilan per bulan antara Rp1.200.000 hingga Rp2.500.000. Tabel 1. Batas Penghasilan Masyarakat Berpenghasilan Menengah Bawahdan Masyarakat Berpenghasilan Rendah Kelompok Sasaran Batasan Penghasilan (Rp/Bulan) I 3.500.000 < Penghasilan 4.500.000 II 2.500.000 < Penghasilan 3.500.000 III 1.200.000 < Penghasilan 2.500.000 Sumber: Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2007 Kriteria masyarakat berpenghasilan rendah di Kabupaten Sleman dijelaskan pada Peraturan Bupati Sleman Nomor 43 Tahun 2013 Tentang Pemanfaatan Rumah Susun Sederhana Sewa. Masyarakat berpenghasilan rendah merupakan masyarakat yang memiliki penghasilan per bulan paling 9

banyak tiga kali upah minimum regional Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan belum memiliki rumah. Berdasarkan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 252/KEP/2014 Tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2015 di Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan bahwa upah minimum di Kabupaten Sleman pada tahun 2015 sebesar Rp1.200.000. Dengan demikian, masyarakat berpenghasilan rendah di Kabupaten Sleman merupakan masyarakat yang berpenghasilan tidak lebih dari Rp3.600.000. 1.5.4. Peraturan dan Persyaratan Pemanfaatan Rumah Susun Pemanfaatan rumah susun pada Peraturan Bupati Sleman No 43 Tahun 2013 Tentang Pemanfaatan Rumah Susun Sederhana Sewa merupakan pendayagunaan barang milik daerah berupa rumah susun untuk dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dinas. Status kepemilikan rumah susun yang telah ditentukan oleh Pelaksana Teknis (UPT) Rusunawa tidak diperbolehkan untuk dirubah. Tujuannya yaitu memfungsikan rumah susun sesuai dengan aturan yang telah berlaku. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun menjelaskan bahwa pemanfaatan rumah susun disesuaikan dengan fungsinya, antara lain hunian dan campuran. Setiap penghuni rumah susun yang menempati, menghuni, atau memiliki hunian diharuskan untuk memanfaatkannya sesuai dengan fungsinya. Penghuni rumah susun memiliki hak untuk pemanfaatan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Menurut Peraturan Bupati Sleman No 43 Tahun 2013 Tentang Pemanfaatan Rumah Susun Sederhana Sewa, pemanfaatan rumah susun dilakukan sesuai dengan fungsinya sebagai hunian dan bukan hunian. Fasilitas hunian diperutukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Sementara fasilitas bukan hunian dapat diperuntukan untuk kegiatan ekonomi dan sosial. Namun, pemanfaatannya dapat dilakukan apabila telah memiliki izin dari 10

pihak yang berwewenang yang berlaku selama satu tahun dan dapat diperbarui hingga enam kali masa berlaku izin. Dasar pemberian izin pemanfaatan hunian rumah susun antara lain kelengkapan persyaratan administrasi, kesesuaian kriteria masyarakat berpenghasilan rendah, dan ketersediaan fasilitas rusunawa. Persyaratan administrasi pemanfaatan hunian rumah susun tertulis pada Peraturan Bupati Sleman Nomor 43 Tahun 2013 Tentang Pemanfaatan Rumah Susun Sederhana Sewa sebagai berikut. a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk pemohon yang sudah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau Surat Keterangan Tinggal Sementara pemohon yang masih berlaku. b. Fotokopi Kartu Keluarga pemohon yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang. c. Fotokopi surat nikah atau akte perceraian yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang. d. Slip gaji yang disahkan oleh pimpinan tempat pemohon bekerja. e. Surat pernyataan penghasilan bermaterai bagi pemohon yang pekerjaannya tidak terikat oleh instansi atau perusahaan antara lain wiraswasta, pedagang, atau usaha jasa. f. Surat pernyataan bermaterai bahwa belum memiliki rumah dari pemohon yang diketahui kepala desa atau pimpinan tempat pemohon bekerja. g. Foto berwarna pemohon berukuran 4 x 6 sebanyak dua lembar dan foto berwarna berukuran 4 x 6 suami atau isteri sebanyak satu lembar. 1.5.5. Penilaian Kebutuhan Rumah Penilaian kebutuhan rumah menurut Steiner dan Butler (2007) adalah suatu inventarisasi dan analisis kebutuhan eksisting rumah dan antisipasi kebutuhan suatu periode. Selain itu, penilaian kebutuhan rumah merupakan evaluasi terhadap kemampuan pasar dalam menyediakan rumah dengan 11

berbagai harga dan tingkat sewa. Lebih jauh Steiner dan Butler (2007) menjelaskan bahwa penilaian kebutuhan rumah melibatkan teknik kuantitatif, antara lain peramalan, survei kota, survei kondisi rumah suatu lokasi tertentu, dan kondisi masyarakat. Penilaian kebutuhan rumah digunakan untuk menyiapkan rencana yang bersifat komprehensif bagi pemerintah dan sektor swasta. Penilaian kebutuhan rumah menurut Sastra dan Marlina (2006) sebagai antisipasi perkembangan ruang kota dalam waktu panjang. Kebutuhan rumah merupakan akumulasi kekurangan rumah dan kebutuhan rumah tambahan. Kekurangan rumah tambahan yaitu sejumlah rumah yang diperlukan untuk keluarga yang belum memiliki rumah. Penghitungan kebutuhan rumah membutuhkan informasi banyaknya rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga. Sedangkan kekurangan rumah tambahan yaitu jumlah rumah yang dibutuhkan untuk menampung pertambahan penduduk secara alami, pertambahan rumah tangga baru, mengganti kerusakan atau renovasi rumah yang ada, serta menambah rumah bagi pendatang baru. Kebutuhan rumah menurut Muta ali (2013) akan semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk. Selain itu, Sastra dan Marlina (2006) beranggapan bahwa kebutuhan rumah merupakan kebutuhan yang bersifat objektif. Artinya, pemenuhan kebutuhan sama bagi setiap orang. Secara umum, pemenuhan kebutuhan rumah harus ditunjang berdasarkan aspek kelayakan ekonomi, sosial, dan strategi. Utamanya, pemenuhan kebutuhan rumah mempertimbangkan kelayakan ekonomi. Tujuan penilaian menurut Steiner dan Butler (2007) kebutuhan rumah untuk mendukung perencanaan komprehensif dan persyaratan untuk membuat rencana konsolidasi. Penilaian kebutuhan rumah membantu pemerintah memahami permasalahan kebutuhan rumah dan keterjangkauannya. Penilaian kebutuhan bagi sektor swasta sebagai pertimbangan dalam menyusun proyek perumahan. 12

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun bahwa penilaian kebutuhan rumah dapat didasarkan pada beberapa pertimbangan, sebagai berikut. 1. Kepadatan bangunan. 2. Jumlah dan kepadatan penduduk. 3. Rencana rinci tata ruang. 4. Layanan prasarana, sarana, dan utilitas umum. 5. Layanan moda transportasi. 6. Alternatif pengembangan. 7. Layanan informasi dan komunikasi. 8. Analisis potensi kebutuhan rumah susun. Penilaian kebutuhan menurut Yudohusodo, et al (1991) dapat mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain kependudukan, keterjangkauan daya beli masyarakat, dan perkembangan teknologi dan industri jasa konstruksi. Selain itu, penilaian kebutuhan dapat mempertimbangkan faktor kelembagaan, peraturan perundang-undangan, swadaya dan swakarsa, serta peran masyarakat. Faktor lain yang dapat menjadi pertimbangan dalam penilaian kebutuhan rumah yaitu perkembangan nilai-nilai budaya masyarakat. Badan Standarisasi Nasional (2004) menjelaskan kebutuhan rumah susun berdasarkan kepadatan penduduk dalam Standar Nasional Indonesia Nomor 03-1733-2004. Penyediaan hunian bertingkat atau rumah susun dapat menjadi pilihan utama untuk dikembangkan pada kawasan yang padat penduduk. Klasifikasi kebutuhan rumah susun berdasarkan kepadatan penduduk sebagai berikut (Tabel 2). 13

Tabel 2. Kebutuhan Rumah Susun Berdasarkan Kepadatan Penduduk Klasifikasi Kawasan Kepadatan Penduduk Kepadatan Rendah Sedang Tinggi Sangat Padat Kurang dari 150 jiwa/ha 150-200 jiwa/ha 200-400 jiwa/ha Lebih dari 400 jiwa/ha Kebutuhan Rumah Kebutuhan rumah susun untuk kawasan tertentu Kebutuhan rumah susun untuk pusat kegiatan kota dan kawasan tertentu Kebutuhan rumah susun untuk peremajaan lingkungan permukiman Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2004) Kebutuhan rumah susun untuk peremajaan lingkungan permukiman perkotaan Berdasarkan berbagai pendapat, penilaian kebutuhan rumah dapat diartikan sebagai analisis kebutuhan eksisting rumah dan pada periode tertentu. Tujuannya sebagai pertimbangan penyusunan rencana yang komprehensif. Faktor penilaian kebutuhan antara lain kepadatan bangunan, kependudukan, peraturan, serta layanan prasarana, sarana, dan utilitas umum. Selain itu, faktor penilaian kebutuhan antara lain layanan moda transportasi, layanan informasi dan komunikasi, alternatif pengembangan, analisis potensi kebutuhan rumah susun, serta kondisi dan karakteristik masyarakat. Penilaian kebutuhan rumah dalam penelitian ini berdasarkan pertimbangan kependudukan, analisis potensi kebutuhan rumah susun, serta kondisi dan karakteristik masyarakat. 1.6. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai rumah susun telah banyak dilakukan. Penelitian ini merupakan pengembangan dari hasil penelitian yang telah ada sebelumnya (Tabel 3). Penelitian Pemanfaatan Rumah Susun dan Kebutuhan Pengembanganya di Kabupaten Sleman dilakukan dengan tujuan, metode, dan 14

teknik analisis yang berbeda. Dengan demikian, penelitian ini dapat memberikan hasil yang berbeda untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Analisis Kebijakan Rumah Susun Sewa Studi Kasus Rumah Susun Marunda yang dilakukan Kusumaningrum (2012) menjelaskan rumah susun sederhana sewa sebagai kebijakan pemerintah dalam mengurangi kemiskinan dan kekumuhan kota. Penelitian ini dilakukan dengan membandingkan teori dan kenyataan yang berpedoman pada Undang-Undang No 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun Sederhana Sewa dan indepth interview kepada penghuni, pengelola, dan UPT. Hasil penelitian menunjukan bahwa undangundang tersebut masih terdapat kekurangan untuk menjadi landasan dalam pengembangan rumah susun, utamanya dalam pengaturan perawatan dan pengelolaan. Dampaknya, pengaturan perawatan dan pengelolaan mengalami berbagai kendala sehingga keberadaan rumah susun belum menjadi solusi pengembangan kota yang berkelanjutan. Selain itu, Mauliani (2002) pada sebelumnya mengenai Rumah Susun Sebagai Alternatif Penyediaan Perumahan Bagi Masyarakat Golongan Menengah Bawah mengatakan bahwa rumah susun belum optimal sebagai alternatif penyediaan perumahan bagi masyarakat menengah-bawah. Permasalahan sering timbul pada masyarakat di rumah susun, terutama akibat luas bangunan yang kurang memadai dan pemanfaatan fasilitas bersama. Oleh karena itu, pembangunan rumah susun seharusnya tidak hanya memperhatikan kuantitas, tetapi kualitas pelayanan bagi penghuninya. Selain itu, toleransi yang kuat dalam bertetangga dibutuhkan bagi penghuni rumah susun. Di sisi lain, Randy (2013) mengidentifikasi kemampuan dan kemauan membayar sewa oleh masyarakat berpenghasilan rendah di Rusunawa Marunda. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data sekunder dengan studi pustaka dan survei instansi untuk mendapatkan informasi teoritis. Sementara pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara terstruktur pada masyarakat yang belum 15

menempati rumah susun. Penentuan sampel berdasarkan rumus Slovin dengan jumlah sampel sebesar 100 responden dari 3.967 rumah tangga di Kelurahan Marunda, DKI Jakarta. Hasil penelitian menunjukan bahwa kemampuan membayar sewa masyarakat rumah susun sewa sederhana di Kelurahan Marunda antara Rp304.000-Rp371.000 per bulan, sedangkan kemauan membayar sewa berkisar pada rata-rata Rp218.524 per bulan. Muroy dan Elwalt (1996) dalam kajiannya yang berjudul Affordable Housing: A Basic Need and a Social Issue menjelaskan keterjangkauan rumah sebagai kebutuhan dasar dan isu sosial. Keterjangkauan diartikan sebagai rasio biaya untuk memenuhi kebutuhan rumah dan pendapatan. Secara umum, keterjangkauan rumah sebesar 30 persen dari pendapatan. Akan tetapi, masyarakat berpenghasilan rendah mengeluarkan lebih dari 50 persen pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumah. Lebih lanjut Muroy dan Elwalt (1996) menjelaskan bahwa penyediaan rumah penting untuk memperhatikan fungsi ketersediaan rumah sehingga dapat tepat sasaran. Sementara Lux dan Sunega (2010) mendeskripsikan perkembangan rumah sewa di Czech Republik dan faktor-faktor yang kepuasan bertempat tinggal dalam penelitiannya berjudul Private Rental Housing in The Czech Republic. Pengumpulan data untuk mendeskripsikan perkembangan rumah sewa dilakukan dengan studi literatur, sedangkan faktor-faktor diidentifikasi berdasarkan hasil wawancara kepada 150 responden secara acak. Hasil penelitian menjelaskan bahwa Czech Republik pada tahun 1920-1938 tidak memiliki aturan dalam pembangunan perumahan sehingga rumah-rumah pribadi banyak terbangun, sedangkan jumlah rumlah rumah sewa sangat rendah. Pada tahun 1992, terdapat regulasi yang mengatur keseimbangan pembangunan perumahan yang menyebabkan pembangunan rumah sewa meningkat hingga 100% di tahun 1992, tetapi kepuasan terhadap rumah sewa masih kurang. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan masyarakat antara 16

lain harga lahan, harga harga rumah, kestabilan pemerintah, dan kepastian tinggal di Prague. Selanjutnya, Rachmawati (2014) dalam penelitian dengan judul Pengembangan Hunian Vertikal di Kota Yogyakarta Kajian Aspek Lokasi, Ruang, dan Prilaku mengidentifikasi dan menganalisis lokasi hunian vertikal. Selain itu, Rachmawati (2014) menganalisis pemanfaatan ruang di sekitar hunian vertikal, perilaku pengguna hunian vertikal, serta kebutuhan pengembangan dan pengelolaannya. Penelitian tersebut dilakukan di Kota Yogyakarta dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer meliputi profil Kota Yogyakarta, RTRW Kota Yogyakarta, RDTR Kota Yogyakarta, dan laporan penelitian instansi, sedangkan data sekunder diperoleh dari observasi, indepth interview kepada penghuni dan masyarakat di sekitar hunian vertikal, dan FGD (Focus Group Discussion) dengan perwakilan instansi terkait. Hasil penelitian menunjukan bahwa lokasi rumah susun sangat strategis, pemanfaatan ruang di sekitar hunian vertikal memadai, penghuni rumah susun berasal dari masyarakat di lingkungan sekitar, serta kebutuhan pengembangan dapat diarahkan pada pengembangan fisik dan perawatan fasilitas. Lebih lajut Rachmawati (2015) menganalisis kebutuhan dan kebijakan pengembangan hunian vertikal di Pinggiran Kota Yogyakarta. Penelitian tersebut menggunakan data sekunder dari pengelola dan data primer dari wawancara terstruktur, observasi, wawancara mendalam, dan FGD (Focus Group Discussion). Berdasarkan hasil penelitian, rusunawa bagi sebagian penghuni dibutuhkan karena masih terdapat masyarakat yang belum memiliki tempat tinggal tetap. Sementara kebijakan pengembangan rusunawa di Kabupaten Sleman terbatasi oleh ketersediaan lahan, sedangkan di Kabupaten Bantul pengembangannya bergantung pada partisipasi dan keaktifan desa dalam mengajukan proposal pengadaan rumah susun. 17

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini dengan judul Pemanfaatan Rumah Susun dan Kebutuhan Pengembangannya di Kabupaten Sleman bertujuan mengidentifikasi pemanfaatan dan menganalisis kebutuhan pengembangan rusunawa di Kabupaten Sleman. Identifikasi rumah susun menggunakan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara terstruktur kepada 265 penghuni rumah susun dengan teknik pengambilan data simple random sampling. Sedangkan analisis kebutuhan rumah susun dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari instansi. 18

Tabel 3. Perbandingan Keaslian Penelitian No Nama Penulis Judul Tujuan Metode Penelitian Hasil 1 Aninda Ratih Kusumaningrum Analisis Kebijakan Rumah Susun Sewa dengan Studi Kasus Rumah Susun Maduna (Kusumanin grum, 2012) 2 Lili Mauliani Rumah Susun Sebagai Alternatif Penyediaan Perumahan Bagi Masyarkat Golongan Menengah- Bawah (Mauliani, 2002) Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektifitas kebijakan pemerintah tentang rumah susun sewa bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang layak dan terjangkau. Penelitian ini bertujuan untuk menganlisis pembangunan rumah susun bagi masyarakat menengah-bawah di Jakarta. Analisis kebijakan Rusunawa sebagai kebijakan pemerintah yang dilakukan dengan mengurangi kemiskinan dan kekumuhan kota. membandingkan teori Undang-undang tersebut masih terdapat dan kenyataan yang kekurangan untuk menjadi landasan dalam berpedoman pada pengembangan rumah susun, utamanya dalam Undang-Undang No pengaturan perawatan dan pengelolaan. 16 Tahun 1985 Dampaknya, pengaturan perawatan dan Tentang Rusunawa pengelolaan mengalami berbagai kendala dan indepth interview sehingga keberadaan rumah susun belum kepada penghuni, menjadi solusi pengembangan kota yang pengelola, dan UPT. berkelanjutan. Studi literatur Keterbatasan penyediaan lahan menjadi permasalahan dalam pengadaan perumahan, terutama di perkotaan. Akan tetapi, rumah susun belum menjadi sebagai alternatif penyediaan perumahan bagi masyarakat menengah-bawah belum optimal. Permasalahan sering timbul pada masyarakat di rumah susun, terutama akibat luas bangunan yang kurang memadai untuk sebuah vertical housing dan pemanfaatan fasilitas bersama. Sehingga toleransi yang kuat dalam bertetangga dibutuhkan bagi masyarakat di rumah susun. Selain itu, pembangunan rumah susun seharusnya tidak hanya memperhatikan kuantitas, tetapi kualitas pelayanan bagi penghuninya. 19

Lanjutan Tabel 3. Perbandingan Keaslian Penelitian No Nama Penulis Judul Tujuan Metode Penelitian Hasil 3 Muhammad Randy 4 Elizabeth A. Mulroy dan Patricia L. Ewalt Identifikasi Kemampuan dan Kemauan Membayar Sewa Masyarakat Berpenghasilan Rendah Terhadap Rumah Susun Sederhana Sewa dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Randy, 2013) Affordable Housing: A Basic Need and a Social Issue (Muroy dan Ewalt, 1996) Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi kemampuan dan kemauan membayar rumah susun. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis keterjangkauan rumah sebagai sebuah kebutuhan dasar dan isu sosial. Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pengumpulan data sekunder dengan studi pustaka dan data primer dilakukan dengan wawancara terstruktur pada masyarakat yang belum menempati rumah susun. Penentuan sampel berdasarkan rumus Slovin sehingga mendapatkan sampel sebanyak 100 responden dari 3.967 rumah tangga. Studi literatur Kemampuan membayar sewa masyarakat rumah susun sewa sederhana di Kelurahan Marunda antara Rp304.000-Rp371.000 per bulan. Kemauan membayar masyarakat untuk menempati rumah susun sederhana sewa berkisar pada rata-rata Rp218.524 per bulan. Keterjangkauan diartikan sebagai rasio biaya untuk memenuhi kebutuhan rumah dan pendapatan. Secara umum, keterjangkauan rumah sebesar 30 persen dari pendapatan. Akan tetapi, masyarakat berpenghasilan rendah mengeluarkan lebih dari 50 persen pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumah. Penyediaan rumah penting untuk memperhatikan fungsi ketersediaan rumah sehingga dapat tepat sasaran. 20

Lanjutan Tabel 3. Perbandingan Keaslian Penelitian No Nama Penulis Judul Tujuan Metode Penelitian Hasil 5 Martin Lux dan Petr Sunega Private Rental Housing in The Czech Republic (Lux dan Sunega, 2010) Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan rumah sewa di Czech Republik dan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan bertempat tinggal. Pengumpulan data untuk mendeskripsikan perkembangan rumah sewa dilakukan dengan studi literatur. Sementara pengumpulan data untuk mengetahui faktor-faktor yang memberi pengaruh terhadap kepuasan bertempat tinggal dilakukan dengan wawancara kepada 150 responden secara acak. Czech Republik pada tahun 1920-1938 tidak memiliki aturan dalam pembangunan perumahan. Pada saat itu, rumah-rumah pribadi banyak terbangun, sedangkan jumlah rumlah rumah sewa sangat rendah. Kondisi ini berlangsung hingga tahun 1990. Pada tahun 1992, terdapat regulasi yang mengatur keseimbangan pembangunan perumahan. Selanjutnya, pembangunan rumah sewa meningkat hingga 100% di tahun 1992. Akan tetapi, kepuasan terhadap rumah sewa masih kurang. Deregulasi kembali dilakukan pada tahun 2007. Setelah regulasi berlaku, hal ini memberi pengaruh pada kepuasan masyarakat bertempat tinggal. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan masyarakat antara lain harga lahan, harga harga rumah, kestabilan pemerintah, dan kepastian tinggal di Prague. 21

Lanjutan Tabel 3. Perbandingan Keaslian Penelitian No Nama Penulis Judul Tujuan Metode Penelitian Hasil 6 Rini Rachmawati Pengembangan Hunian Vertikal di Kota Yogyakarta Kajian Aspek Lokasi, Ruang, dan Prilaku (Rachmawati, 2014) Penelitian ini bertujuan : 1. Mengidentifikasi dan menganalisis lokasi hunian vertikal 2. Menganalisis pemanfaatan ruang di sekitar hunian vertikal 3. Menganalsis prilaku pengguna hunian vertikal 4. Menganalisis kebutuhan pengembangan hunian vertikal dan pengelolaannya. Penelitian ini dilakukan di Kota Yogyakarta dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer meliputi profil Kota Yogyakarta, RTRW Kota Yogyakarta, RDTR Kota Yogyakarta, dan laporan penelitian instansi. Pengumpulan data juga dengan observasi, indepth interview kepada penghuni dan masyarakat di sekitar hunian vertikal, dan FGD (Focus Group Discussion) dengan perwakilan instansi terkait. 1. Lokasi rumah susun berada di tengah kota dan sangat strategis karena dekat terhadap Central Bussiness District dan fungsi pelayanan perkotaan, antara lain pasar, sekolah, dan tempat kerja. 2. Pemanfaatan ruang di sekitar hunian vertikal memadai dengan kelengkapan fasilitas antara lain tempat parkir, jaringan listrik, jaringan drainase, dan jaringan air bersih. 3. Penghuni rumah susun berasal dari masyarakat di lingkungan sekitar sehingga mudah beradaptasi dengan masyarakat di sekitar hunian vertikal. 4. Kebutuhan pengembangan bisa diarahkan kepada pengembangan fisik dan perawatan fasilitas, serta pengelolaan yang baik. 22

Lanjutan Tabel 3. Perbandingan Keaslian Penelitian No Nama Penulis Judul Tujuan Metode Penelitian Hasil 7 Rini Rachmawati Pengembangan Hunian Vertikal di Pinggiran Kota Yogyakarta: Analisis Kebutuhan dan Kebijakan (Rachmawati, 2015) Penelitian ini bertujuan : 1. Mengidentifikasi dan menganalisis keberadaan hunian vertikal dan sinergitasnya dengan fungsi-fungsi pelayanan perkotaan, sarana prasana dan utilitas serta aspek lingkungan dan keterkaitannya dengan harga tanah 2. Menganalisis kebutuhan pengembangan hunian vertikal dan keterjangkauannya oleh masyarakat 3. Menganalisis kebijakan pengembangan hunian vertikal serta pengelolaannya Menjawab tujuan pertama dalam penelitian ini menggunakan data sekunder dari pengelola dan data primer dari wawancara terstruktur penghuni rumah susun. Penentuan sampel berdasarkan tabel Krejcie- Morgan. Sebesar 265 sampel merupakan penghuni rusunawa di Kabupaten Sleman dan 185 penghuni rusunawa di Kabupaten Bantul. Menjawab tujuan kedua dan ketiga melalui observasi, wawancara mendalam, dan FGD. Lokasi rumah susun berada di aglomerasi perkotaan sehingga penghuni mudah mengakses fasilitas perkotaan. Rusunawa bagi sebagian penghuni masih dibutuhkan karena masih banyak masyarakat yang belum memiliki tempat tinggal tetap. Pengembangan rusunawa di Kabupaten Sleman terbatasi oleh ketersediaan lahan. Namun, berbeda dengan Kabupaten Bantul, ketersediaan lahan masih ada, membutuhkan partisipasi dan keaktifan desa dalam mengajukan proposal. 23

Lanjutan Tabel 3. Perbandingan Keaslian Penelitian No Nama Penulis Judul Tujuan Metode Penelitian Hasil 8 Diana Febrita Pemanfaatan Rumah Susun dan Kebutuhan Pengembangannya di Kabupaten Sleman (2015) Penelitian ini bertujuan: 1. Mengidentifikasi pemanfaatan rusunawa di Kabupaten Sleman 2. Menganalisis kebutuhan pengembangan rusunawa di Kabupaten Sleman Menjawab tujuan pertama menggunakan identifikasi data primer yang diperoleh dari hasil wawancara terstruktur kepada 265 responden yang merupakan penghuni rumah susun. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan simple random sampling, sedangkan teknik analisisnya yaitu deskriptif kuantitatif Menjawab tujuan kedua menggunakan data sekunder yang diperoleh dari instansi untuk menganalisis kebutuhan rumah berdasarkan kepadatan penduduk, serta kebutuhan secara umum dan khusus. 24

1.7. Kerangka Pemikiran Kabupaten Sleman merupakan kawasan perkotaan yang memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2000-2010 sebesar 1,96 persen per tahun. Hal ini berarti bahwa terdapat peningkatan jumlah penduduk yang tinggi yang menyebabkan adanya peningkatan kebutuhan fasilitas, terutama perumahan. Di sisi lain, ketersediaan lahan untuk pengembangan perumahan terbatas sehingga harga tanah semakin tinggi dan sulit dijangkau oleh sebagian masyarakat. Dampaknya, pemenuhan kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau menjadi permasalahan, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Padahal bertempat tinggal mendapatkan lingkungan hidup yang baik adalah hak asasi manusia yang harus terpenuhi. Upaya Pemerintah Kabupaten Sleman untuk memenuhi kebutuhan rumah layak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan menyelenggarakan rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Pembangunan rusunawa telah dilakukan sejak tahun 2005 dan dihuni oleh 849 kepala keluarga. Pemanfaatan rumah susun di Kabupaten Sleman secara administrasi telah sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Akan tetapi, penyimpangan dalam pemanfaatannya dapat terjadi selama penghuni berada di rusunawa. Oleh karena itu, penelitian mengenai pemanfaatan rumah susun dan kebutuhan pengembangannya penting untuk dilakukan guna mengoptimalkan pengembangan rumah susun. Hal ini dijelaskan dalam skema pada gambar 1. 25

Kabupaten Sleman Kawasan Perkotaan Laju Pertumbuhan Penduduk Tinggi Ketersediaan Lahan Terbatas Jumlah Penduduk Tinggi Kebutuhan Perumahan Tinggi Pengembangan Rumah Susun Penilaian Pemanfaatan Rumah Susun Kebutuhan Pengembangan Identifikasi Pemanfaatan Rumah Susun Pengembangan Optimal Analisis Kebutuhan Pengembangan Rumah Susun Keterangan Hubungan Gambar 1. Kerangka Pemikiran (Sumber: Pemikiran Penulis, 2015) 26