BAB I PENDAHULUAN. systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. dengan imunitas pejamu, respon inflamasi, dan respon koagulasi (Hack CE,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. toksin ke dalam aliran darah dan menimbulkan berbagai respon sistemik seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada sepsis terjadi proses inflamasi sistemik atau systemic inflammatory

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis menimbulkan suatu respon imun yang berlebihan oleh tubuh

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Sindrom Respons Inflamasi Sistemik Pada Anak. systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sepsis didefinisikan sebagai adanya mikroorganisme atau toksin /zat beracun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. juta dolar Amerika setiap tahunnya (Angus et al., 2001). Di Indonesia masih

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya komplikasi yang lebih berbahaya. diakibatkan oleh sepsis > jiwa pertahun. Hal ini tentu menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis akut adalah peradangan dari apendiks vermiformis, merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yang berlebihan terhadap infeksi. Sepsis sering terjadi di rumah sakit

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. multiorgan, ini disebut septic shock. Sepsis merupakan SIRS (Systemic. tempat infeksi, maka ini disebut dengan sepsis berat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan serius yang terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. denyut/menit; 3. Respirasi >20/menit atau pa CO 2 <32 mmhg; 4. Hitung leukosit

KORELASI POSITIF GAMBARAN NEUTROFIL TOKSIK DENGAN SINDROM RESPONS INFLAMASI SISTEMIK PADA ANAK

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. adalah penyakit infeksi pada saluran pernapasan yang

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis didefinisikan sebagai adanya infeksi bersama dengan manifestasi

DAFTAR ISI. SAMPUL DALAM... i. LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii. KATA PENGANTAR...iii. DAFTAR ISI... iv. DAFTAR TABEL... vii

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari

BAB I PENDAHULUAN. morbiditas dan mortalitas pada bayi dan anak-anak. Infeksi mikroba. intrinsik untuk memerangi faktor virulensi mikroorganisme.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sakit kritis nondiabetes yang dirawat di PICU (Pediatric Intensive Care Unit)

SENSITIVITAS ANTIBIOTIK PADA PASIEN SEPSIS DI INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT DR. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. paru. Bila fungsi paru untuk melakukan pembebasan CO 2 atau pengambilan O 2 dari atmosfir

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diikuti oleh kompensasi anti-inflamasi atau fenotip imunosupresif yang

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya malnutrisi pada pasien dan meningkatkan angka infeksi, atrofi otot,

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pada Infeksi Jamur Subkutan

KORELASI KADAR SERUM PROCALSITONIN DENGAN JUMLAH LEUKOSIT PADA PENDERITA DENGAN KECURIGAAN SEPSIS DI RSUP SANGLAH DENPASAR PERIODE FEBRUARI JUNI 2016

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. A DENGAN POST APPENDIKTOMI HARI KE II DI RUANG CEMPAKA RSUD PANDANARAN BOYOLALI

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu respon inflamasi sel urotelium

BAB 1 PENDAHULUAN. detik seseorang akan terkena stroke. 6 Sementara di Inggris lebih dari. pasien stroke sekitar milyar dolar US per tahun.

BAB 1 PENDAHULUAN. Vaginosis bakterial (VB) adalah suatu keadaan abnormal pada ekosistem

BAB 1 PENDAHULUAN. sampai bulan sesudah diagnosis (Kurnianda, 2009). kasus baru LMA di seluruh dunia (SEER, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. juga dihadapi oleh berbagai negara berkembang di dunia. Stroke adalah penyebab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

(Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian

BAB VI PEMBAHASAN. Selama penelitian bulan Januari Juni 2011 terdapat 20 subjek yang memenuhi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sepsis adalah suatu kumpulan gejala inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB 3 METODA PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Syaraf. RSUP Dr. Kariadi Semarang pada periode Desember 2006 Juli 2007

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Angina pektoris stabil adalah salah satu manifestasi. klinis dari penyakit jantung iskemik.

BAB 6 PEMBAHASAN. pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang

KADAR SERUM KREATININ PADA PASIEN SEPSIS YANG DIRAWAT DI RUANG ICU RSUP DR. KARIADI LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

BAB IV METODE PENELITIAN

BABI PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dunia (Musher, 2014). Penumonia komunitas merupakan penyakit infeksi saluran

BAB I PENDAHULUAN. Laporan Akhir Kasus Longitudinal MS-PPDS I IKA Fakultas Kedokteran UGM 1

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

I. PENDAHULUAN. besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

BAB 1 PENDAHULUAN. infeksi yang didapat pada pasien di Pediatric Intensive Care Unit (PICU).

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Flaviviridae dan ditularkan melalui vektor nyamuk. Penyakit ini termasuk nomor dua

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB 1 PENDAHULUAN. bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi, (seperti : Bacteroides sp., Mobilluncus

EARLY DETECTION AND TREATMENT OF SEPSIS. dr. Eko Setijanto, Sp.An,KIC Intensive Care Unit, DR Moewardi Hospital

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PROCALCITONIN DAN SEL DARAH PUTIH SEBAGAI PREDIKTOR UROSEPSIS PADA PASIEN OBSTRUKSI SALURAN KEMIH DI RSUP SANGLAH DENPASAR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sepsis terbanyak setelah infeksi saluran nafas (Mangatas, 2004). Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut perkiraan World Health Organization (WHO) pada tahun 2013,

BAB I PENDAHULUAN. angka yang pasti, juga ikut serta dalam mengkontribusi jumlah kejadian infeksi. tambahan untuk perawatan dan pengobatan pasien.

BAB I PENDAHULUAN. Unit perawatan intensif atau yang sering disebut Intensive Care Unit

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB I PENDAHULUAN. individu maupun masyarakat. Identifikasi awal faktor risiko yang. meningkatkan angka kejadian stroke, akan memberikan kontribusi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindrom respons inflamasi sistemik atau yang lebih dikenal dengan istilah systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons inflamasi tubuh yang bersifat kompleks dan nonspesifik terhadap suatu keadaan yang berbahaya bagi tubuh (Plevkova, 2011; Balk, 2014). Keadaan yang dapat mencetuskan SIRS dibagi menjadi dua kelompok besar yakni SIRS yang disebabkan oleh infeksi dan SIRS yang disebabkan oleh nonifeksi (Plevkova, 2011). Infeksi bakteri, infeksi pada luka (luka bakar, luka bekas operasi, diabetic foot), kolesistitis, kolangitis, infeksi saluran cerna, pneumonia, infeksi saluran kencing, serta meningitis merupakan beberapa penyakit infeksi yang dapat menimbulkan SIRS. Sindrom respons inflamasi sistemik tidak hanya disebabkan oleh infeksi. Beberapa keadaan noninfeksi juga dapat menyebabkan SIRS antara lain trauma, luka bakar, infark myokard, perdarahan, sirosis, penyakit autoimun, serta reaksi hipersensitivitas baik terhadap obat maupun alergen yang lain (Plevkova, 2011). Definisi SIRS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1991 oleh American College of Chest Physicians and Society of Critical Care Medicine. Penggunaan istilah SIRS pertama kali digunakan untuk menggambarkan suatu proses inflamasi nonspesifik yang terjadi setelah trauma, infeksi, luka bakar, maupun penyakit lain (Goldstein dkk, 2005). Penggunaan definisi SIRS pada saat itu hanya terbatas

2 pada pasien dewasa (Carvalho dan Trotta, 2003). Pada tahun 2002, diadakan kembali konferensi internasional di San Antonio, Texas yang khusus membahas kriteria SIRS pada pasien anak yang sampai saat ini masih luas dipergunakan (Carvalho dan Trotta, 2003; Goldstein dkk, 2005). Konferensi tersebut kemudian menetapkan kriteria diagnosis SIRS, sepsis, sepsis berat, dan syok septik yang dapat diterapkan pada populasi anak (Goldstein dkk, 2005). Kriteria diagnosis SIRS berdasarkan konsensus tersebut adalah apabila dijumpai minimal dua dari empat kriteria antara lain abnormalitas suhu, abnormalitas jumlah leukosit, takikardi, dan takipne. Penegakan diagnosis SIRS pada pasien anak tidak diperkenankan apabila hanya dijumpai gejala klinis takikardi disertai takipne. Salah satu kriteria yang harus terpenuhi adalah abnormalitas suhu atau abnormalitas jumlah leukosit (Goldstein dkk, 2005). Data global mengenai epidemiologi SIRS pada anak masih terbatas (Horeczko dan Green, 2013). Penelitian pada tahun 2000 mendapatkan prevalens SIRS pada anak berusia kurang dari 18 tahun yang dirawat di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) The Hospital de Clinicas de Porto Alegre Brazil sebesar 68% (Carvalho dkk, 2005). Pasien anak dengan SIRS yang diakibatkan oleh infeksi sebesar 64% sementara 36% lainnya disebabkan oleh noninfeksi (Carvalho dkk, 2005). Sebuah penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2007 hingga 2010 di National Hospital Ambulatory Medical Care Survey (NHAMCS) Amerika Serikat mendapatkan angka kejadian SIRS pada anak berusia kurang dari 18 tahun adalah sebesar 21,7%. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan bahwa 53% dari keseluruhan kasus SIRS disebabkan oleh infeksi (Horeczko dan Green, 2013).

3 Penelitian lain di Latvia pada tahun 2007 mendapatkan prevalens SIRS pada anak yang dirawat dengan gejala klinis demam adalah sebesar 72% (Pavare dkk, 2009). Penggunaan istilah SIRS memiliki berbagai kepentingan klinis (Balk, 2014). Meskipun kriteria diagnosis SIRS bersifat nonspesifik, definisi tersebut telah digunakan secara luas di berbagai belahan dunia baik untuk kepentingan penelitian maupun pada aspek terapi. Kriteria diagnosis SIRS sangat mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, murah, tidak memerlukan pemeriksaan penunjang yang rumit, serta tidak membutuhkan waktu yang lama untuk penegakkan diagnosisnya. Berbagai penelitian terutama uji klinis menggunakan definisi SIRS berdasarkan konsensus tahun 2002 pada kriteria inklusi atau eksklusi penelitian (Balk, 2014). Pada aspek terapi, membedakan kelompok pasien dengan manifestasi klinis SIRS tanpa disertai infeksi (noninfected) dengan pasien SIRS akibat infeksi merupakan hal yang penting. Meskipun memiliki manifestasi klinis SIRS yang serupa, ke dua kelompok tersebut memiliki pendekatan penatalaksanaan serta luaran yang berbeda (Balk, 2014). Risiko kematian yang dinilai berdasarkan skor Pediatric Risk of Mortality (PRISM) lebih tinggi pada pasien SIRS yang disebabkan oleh infeksi (median 6,75%) dibandingkan SIRS yang tidak disebabkan oleh infeksi (median 2,35%) (Carvalho dkk, 2005). Pada SIRS yang disebabkan oleh infeksi, angka kematian mencapai 14,9% dibandingkan pada SIRS yang tidak disebabkan oleh infeksi yakni sebesar 6,3%. Pada SIRS yang disertai kegagalan multiorgan, angka kematian mencapai 32% (Carvalho dkk, 2005).

4 Sampai saat ini, kultur darah merupakan baku emas untuk diagnosis adanya bakteri yang beredar di dalam darah atau yang disebut bakteremia (Flaws, 2011). Namun pemeriksaan kultur darah memiliki beberapa keterbatasan. Sensitivitas yang rendah merupakan salah satu keterbatasan dari kultur darah (Dark dkk., 2009). Sensitivitas kultur darah dilaporkan sebesar 40% dan nilai sensitivitas akan semakin berkurang apabila pasien telah mendapat terapi antibiotika sebelum pemeriksaan kultur darah. (Afsharpaiman, 2006). Waktu yang diperlukan untuk mengidentifikasi kuman patogen pada kultur darah dan penilaian sensitivitas terhadap antibiotika adalah sekitar 24 hingga 48 jam bahkan pada infeksi yang diakibatkan oleh jamur membutuhkan waktu yang lebih lama (Afsharpaiman, 2006). Mengingat angka kejadian dan angka kematian yang cukup tinggi, maka diagnosis dini SIRS akibat infeksi memegang peranan yang sangat penting. Beberapa pemeriksaan seperti C-reactive protein (CRP) dan prokalsitonin telah luas digunakan untuk mengidentifikasi adanya infeksi sistemik. Prokalsitonin dibandingkan CRP memiliki nilai diagnostik yang lebih baik untuk membedakan adanya infeksi dengan peradangan sistemik (sensitivitas 88% dan spesifisitas 81%), sementara CRP memiliki sensitivitas 75% dan spesifisitas 67% (Simon dkk., 2004). Prokalsitonin memiliki waktu induksi 2-4 jam setelah onset infeksi dan kadarnya mencapai puncak dalam 6-12 jam setelah onset infeksi (Meisner, 2014). Berbeda dengan prokalsitonin, CRP memerlukan waktu beberapa hari untuk mencapai kadar puncak yakni sekitar 24-48 jam setelah onset infeksi (Koutroulis dkk., 2014). Meskipun memiliki berbagai keunggulan, prokalsitonin

5 juga memiliki beberapa keterbatasan antara lain harga pemeriksaan yang mahal dan belum tersedia secara luas di berbagai pusat pelayanan kesehatan. Pada keadaan peradangan maupun infeksi, tubuh akan mengadakan berbagai upaya untuk mempertahankan keadaan fisiologis melalui sistem imunologi. Respons jaringan tubuh pada keadaan peradangan maupun infeksi akut didominasi oleh neutrofil (Vyver dkk, 2010). Neutrofil menempati 70% dari jumlah leukosit yang berada di sirkulasi (Fraser dan Tilyard, 2008). Neutrofil berperan sebagai lini pertama pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme patogen (Gregory dan Wing, 2002). Pada kondisi peradangan sistemik maupun infeksi, neutrofil dapat menunjukkan perubahan pada morfologinya yang disebut neutrofil toksik (Gwaisz dan Babay, 2007; Vyver dkk, 2010). Namun peran neutrofil toksik dalam mengidentifikasi adanya infeksi sampai saat ini masih menjadi perdebatan (Gwaisz dan Babay, 2007). Neutrofil dikatakan menunjukkan gambaran toksik apabila terdapat salah satu dari gambaran granula toksik, vakuola toksik maupun badan Dohle pada pemeriksaan hapusan darah tepi (George dkk, 2011). Identifikasi dini adanya SIRS akibat infeksi sistemik memegang peranan yang sangat penting oleh karena angka kematian yang lebih tinggi dibandingkan pada SIRS akibat noninfeksi. Mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh pemeriksaan seperti CRP, prokalsitonin, dan kultur darah maka temuan neutrofil toksik pada hapusan darah tepi diharapkan mampu mengidentifikasi dini SIRS akibat infeksi oleh karena pemeriksaan tersebut terjangkau, cepat, dan tersedia luas di sarana kesehatan.

6 1.2 Rumusan Masalah Apakah terdapat korelasi antara SIRS akibat infeksi dengan gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi pada anak di atas usia 28 hari hingga 12 tahun? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Mengetahui adanya korelasi antara SIRS akibat infeksi dengan gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi pada anak di atas usia 28 hari hingga 12 tahun. 1.3.2 Tujuan khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian antara lain : 1. Membuktikan besarnya kekuatan korelasi antara gambaran neutrofil toksik dengan klinis SIRS akibat infeksi. 2. Membuktikan arah korelasi antara gambaran neutrofil toksik dengan klinis SIRS akibat infeksi. 3. Membuktikan kemaknaan korelasi antara gambaran neutrofil toksik dengan klinis SIRS akibat infeksi. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat praktis Mampu mengidentifikasi secara dini adanya SIRS akibat infeksi melalui gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi. Identifikasi dan penatalaksanaan yang dapat dilakukan lebih awal diharapkan mampu memperbaiki luaran pasien anak dengan SIRS akibat infeksi.

7 1.4.2 Manfaat akademik Hubungan gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi dengan klinis SIRS terutama SIRS yang diakibatkan oleh infeksi sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Penelitian korelasi yang berusaha mencari kekuatan korelasi antara ke duanya belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mencari kekuatan korelasi dan arah korelasi antara gambaran neutrofil toksik dengan klinis SIRS akibat infeksi. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya.