1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindrom respons inflamasi sistemik atau yang lebih dikenal dengan istilah systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons inflamasi tubuh yang bersifat kompleks dan nonspesifik terhadap suatu keadaan yang berbahaya bagi tubuh (Plevkova, 2011; Balk, 2014). Keadaan yang dapat mencetuskan SIRS dibagi menjadi dua kelompok besar yakni SIRS yang disebabkan oleh infeksi dan SIRS yang disebabkan oleh nonifeksi (Plevkova, 2011). Infeksi bakteri, infeksi pada luka (luka bakar, luka bekas operasi, diabetic foot), kolesistitis, kolangitis, infeksi saluran cerna, pneumonia, infeksi saluran kencing, serta meningitis merupakan beberapa penyakit infeksi yang dapat menimbulkan SIRS. Sindrom respons inflamasi sistemik tidak hanya disebabkan oleh infeksi. Beberapa keadaan noninfeksi juga dapat menyebabkan SIRS antara lain trauma, luka bakar, infark myokard, perdarahan, sirosis, penyakit autoimun, serta reaksi hipersensitivitas baik terhadap obat maupun alergen yang lain (Plevkova, 2011). Definisi SIRS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1991 oleh American College of Chest Physicians and Society of Critical Care Medicine. Penggunaan istilah SIRS pertama kali digunakan untuk menggambarkan suatu proses inflamasi nonspesifik yang terjadi setelah trauma, infeksi, luka bakar, maupun penyakit lain (Goldstein dkk, 2005). Penggunaan definisi SIRS pada saat itu hanya terbatas
2 pada pasien dewasa (Carvalho dan Trotta, 2003). Pada tahun 2002, diadakan kembali konferensi internasional di San Antonio, Texas yang khusus membahas kriteria SIRS pada pasien anak yang sampai saat ini masih luas dipergunakan (Carvalho dan Trotta, 2003; Goldstein dkk, 2005). Konferensi tersebut kemudian menetapkan kriteria diagnosis SIRS, sepsis, sepsis berat, dan syok septik yang dapat diterapkan pada populasi anak (Goldstein dkk, 2005). Kriteria diagnosis SIRS berdasarkan konsensus tersebut adalah apabila dijumpai minimal dua dari empat kriteria antara lain abnormalitas suhu, abnormalitas jumlah leukosit, takikardi, dan takipne. Penegakan diagnosis SIRS pada pasien anak tidak diperkenankan apabila hanya dijumpai gejala klinis takikardi disertai takipne. Salah satu kriteria yang harus terpenuhi adalah abnormalitas suhu atau abnormalitas jumlah leukosit (Goldstein dkk, 2005). Data global mengenai epidemiologi SIRS pada anak masih terbatas (Horeczko dan Green, 2013). Penelitian pada tahun 2000 mendapatkan prevalens SIRS pada anak berusia kurang dari 18 tahun yang dirawat di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) The Hospital de Clinicas de Porto Alegre Brazil sebesar 68% (Carvalho dkk, 2005). Pasien anak dengan SIRS yang diakibatkan oleh infeksi sebesar 64% sementara 36% lainnya disebabkan oleh noninfeksi (Carvalho dkk, 2005). Sebuah penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2007 hingga 2010 di National Hospital Ambulatory Medical Care Survey (NHAMCS) Amerika Serikat mendapatkan angka kejadian SIRS pada anak berusia kurang dari 18 tahun adalah sebesar 21,7%. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan bahwa 53% dari keseluruhan kasus SIRS disebabkan oleh infeksi (Horeczko dan Green, 2013).
3 Penelitian lain di Latvia pada tahun 2007 mendapatkan prevalens SIRS pada anak yang dirawat dengan gejala klinis demam adalah sebesar 72% (Pavare dkk, 2009). Penggunaan istilah SIRS memiliki berbagai kepentingan klinis (Balk, 2014). Meskipun kriteria diagnosis SIRS bersifat nonspesifik, definisi tersebut telah digunakan secara luas di berbagai belahan dunia baik untuk kepentingan penelitian maupun pada aspek terapi. Kriteria diagnosis SIRS sangat mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, murah, tidak memerlukan pemeriksaan penunjang yang rumit, serta tidak membutuhkan waktu yang lama untuk penegakkan diagnosisnya. Berbagai penelitian terutama uji klinis menggunakan definisi SIRS berdasarkan konsensus tahun 2002 pada kriteria inklusi atau eksklusi penelitian (Balk, 2014). Pada aspek terapi, membedakan kelompok pasien dengan manifestasi klinis SIRS tanpa disertai infeksi (noninfected) dengan pasien SIRS akibat infeksi merupakan hal yang penting. Meskipun memiliki manifestasi klinis SIRS yang serupa, ke dua kelompok tersebut memiliki pendekatan penatalaksanaan serta luaran yang berbeda (Balk, 2014). Risiko kematian yang dinilai berdasarkan skor Pediatric Risk of Mortality (PRISM) lebih tinggi pada pasien SIRS yang disebabkan oleh infeksi (median 6,75%) dibandingkan SIRS yang tidak disebabkan oleh infeksi (median 2,35%) (Carvalho dkk, 2005). Pada SIRS yang disebabkan oleh infeksi, angka kematian mencapai 14,9% dibandingkan pada SIRS yang tidak disebabkan oleh infeksi yakni sebesar 6,3%. Pada SIRS yang disertai kegagalan multiorgan, angka kematian mencapai 32% (Carvalho dkk, 2005).
4 Sampai saat ini, kultur darah merupakan baku emas untuk diagnosis adanya bakteri yang beredar di dalam darah atau yang disebut bakteremia (Flaws, 2011). Namun pemeriksaan kultur darah memiliki beberapa keterbatasan. Sensitivitas yang rendah merupakan salah satu keterbatasan dari kultur darah (Dark dkk., 2009). Sensitivitas kultur darah dilaporkan sebesar 40% dan nilai sensitivitas akan semakin berkurang apabila pasien telah mendapat terapi antibiotika sebelum pemeriksaan kultur darah. (Afsharpaiman, 2006). Waktu yang diperlukan untuk mengidentifikasi kuman patogen pada kultur darah dan penilaian sensitivitas terhadap antibiotika adalah sekitar 24 hingga 48 jam bahkan pada infeksi yang diakibatkan oleh jamur membutuhkan waktu yang lebih lama (Afsharpaiman, 2006). Mengingat angka kejadian dan angka kematian yang cukup tinggi, maka diagnosis dini SIRS akibat infeksi memegang peranan yang sangat penting. Beberapa pemeriksaan seperti C-reactive protein (CRP) dan prokalsitonin telah luas digunakan untuk mengidentifikasi adanya infeksi sistemik. Prokalsitonin dibandingkan CRP memiliki nilai diagnostik yang lebih baik untuk membedakan adanya infeksi dengan peradangan sistemik (sensitivitas 88% dan spesifisitas 81%), sementara CRP memiliki sensitivitas 75% dan spesifisitas 67% (Simon dkk., 2004). Prokalsitonin memiliki waktu induksi 2-4 jam setelah onset infeksi dan kadarnya mencapai puncak dalam 6-12 jam setelah onset infeksi (Meisner, 2014). Berbeda dengan prokalsitonin, CRP memerlukan waktu beberapa hari untuk mencapai kadar puncak yakni sekitar 24-48 jam setelah onset infeksi (Koutroulis dkk., 2014). Meskipun memiliki berbagai keunggulan, prokalsitonin
5 juga memiliki beberapa keterbatasan antara lain harga pemeriksaan yang mahal dan belum tersedia secara luas di berbagai pusat pelayanan kesehatan. Pada keadaan peradangan maupun infeksi, tubuh akan mengadakan berbagai upaya untuk mempertahankan keadaan fisiologis melalui sistem imunologi. Respons jaringan tubuh pada keadaan peradangan maupun infeksi akut didominasi oleh neutrofil (Vyver dkk, 2010). Neutrofil menempati 70% dari jumlah leukosit yang berada di sirkulasi (Fraser dan Tilyard, 2008). Neutrofil berperan sebagai lini pertama pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme patogen (Gregory dan Wing, 2002). Pada kondisi peradangan sistemik maupun infeksi, neutrofil dapat menunjukkan perubahan pada morfologinya yang disebut neutrofil toksik (Gwaisz dan Babay, 2007; Vyver dkk, 2010). Namun peran neutrofil toksik dalam mengidentifikasi adanya infeksi sampai saat ini masih menjadi perdebatan (Gwaisz dan Babay, 2007). Neutrofil dikatakan menunjukkan gambaran toksik apabila terdapat salah satu dari gambaran granula toksik, vakuola toksik maupun badan Dohle pada pemeriksaan hapusan darah tepi (George dkk, 2011). Identifikasi dini adanya SIRS akibat infeksi sistemik memegang peranan yang sangat penting oleh karena angka kematian yang lebih tinggi dibandingkan pada SIRS akibat noninfeksi. Mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh pemeriksaan seperti CRP, prokalsitonin, dan kultur darah maka temuan neutrofil toksik pada hapusan darah tepi diharapkan mampu mengidentifikasi dini SIRS akibat infeksi oleh karena pemeriksaan tersebut terjangkau, cepat, dan tersedia luas di sarana kesehatan.
6 1.2 Rumusan Masalah Apakah terdapat korelasi antara SIRS akibat infeksi dengan gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi pada anak di atas usia 28 hari hingga 12 tahun? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Mengetahui adanya korelasi antara SIRS akibat infeksi dengan gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi pada anak di atas usia 28 hari hingga 12 tahun. 1.3.2 Tujuan khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian antara lain : 1. Membuktikan besarnya kekuatan korelasi antara gambaran neutrofil toksik dengan klinis SIRS akibat infeksi. 2. Membuktikan arah korelasi antara gambaran neutrofil toksik dengan klinis SIRS akibat infeksi. 3. Membuktikan kemaknaan korelasi antara gambaran neutrofil toksik dengan klinis SIRS akibat infeksi. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat praktis Mampu mengidentifikasi secara dini adanya SIRS akibat infeksi melalui gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi. Identifikasi dan penatalaksanaan yang dapat dilakukan lebih awal diharapkan mampu memperbaiki luaran pasien anak dengan SIRS akibat infeksi.
7 1.4.2 Manfaat akademik Hubungan gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi dengan klinis SIRS terutama SIRS yang diakibatkan oleh infeksi sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Penelitian korelasi yang berusaha mencari kekuatan korelasi antara ke duanya belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mencari kekuatan korelasi dan arah korelasi antara gambaran neutrofil toksik dengan klinis SIRS akibat infeksi. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya.