PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
UANG LOGAM LARANGAN MENGUMPULKAN PENETAPAN SEBAGAI UNDANG-UNDANG.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG PENIMBUNAN BARANG-BARANG (UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 17 TAHUN 1951) SEBAGAI UNDANG-UNDANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1952 TENTANG PENETAPAN "UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG PINJAMAN DARURAT" SEBAGAI UNDANG- UNDANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1950 TENTANG PINJAMAN DARURAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

Presiden Republik Indonesia, Mengingat: Pasal 97 ayat 1 jo. Pasal 89 dan Pasal 109 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;

MATA UANG. INDISCE MUNTWET PENGHENTIAN. PENETAPAN SEBAGAI UNDANG-UNDANG.

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1951 TENTANG PENIMBUNAN BARANG-BARANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1958 TENTANG PENEMPATAN TENAGA ASING *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1953 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1958 TENTANG PENEMPATAN TENAGA ASING PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA (UUDRT) NOMOR 17 TAHUN 1951 (17/1951) TENTANG PENIMBUNAN BARANG-BARANG. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1948 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN BADAN-BADAN KEHAKIMAN DAN KEJAKSAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1954 TENTANG UNDIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1961 TENTANG PENGELUARAN DAN PEMASUKAN TANAMAN DAN BIBIT TANAMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 3 TAHUN 1982 TENTANG WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 1983/49, TLN 3262]

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1958 Tentang PENEMPATAN TENAGA KERJA ASING (Lembaran Negara No. 8 Tahun 1958) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1981 TENTANG METROLOGI LEGAL [LN 1981/11, TLN 3193]

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1954 TENTANG. PEMAKAIAN GELAR "AKUNTAN" ("ACCOUNTANT") PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Dengan mencabut "Regeling meldingsplict bedrijven" (Staatsblad 1949 Nr 445), menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KEWAJIBAN MELAPORKAN PERUSAHAAN.

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 1960 TENTANG PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KAWAT TEMBAGA. SURAT IDZIN. ANCAMAN HUKUMAN. PENETAPAN SEBAGAI UNDANG-UNDANG.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SELAKU PENGUASA PERANG TERTINGGI,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1982 TENTANG WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : pasal 89, 97 dan 117 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia; Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 1948 TENTANG PEMBATASAN PENGELUARAN BAHAN MAKANAN DAN TERNAK DARI DAERAH REPUBLIK INDONESIA

Tentang: ACARA PIDANA KHUSUS UNTUK ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACARA PIDANA KHUSUS. ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT.

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA (UUDRT) NOMOR 16 TAHUN 1951 (16/1951) TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1948 TENTANG UNDANG-UNDANG KERJA TAHUN 1948 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1982 TENTANG WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1960 TENTANG PERTAMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1953 TENTANG KEWAJIBAN MELAPORKAN PERUSAHAAN. Presiden Republik Indonesia,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SELAKU PENGUASA PERANG TERTINGGI,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1982 TENTANG WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1953 TENTANG

UNDANG-UNDANG (UU) 1948 No. 19. (19/1948) Peraturan tentang susunan dan kekuasaan Badan-badan Kehakiman. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Mengingat : Pasal-pasal 96 dan 109 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia; Mendengar :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1982 TENTANG WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UU 1/1951, PERNYATAAN BERLAKUNYA UNDANG UNDANG KERJA TAHUN 1948 NR. 12 DARI REPUBLIK INDONESIA UNTUK SELURUH INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 1958 TENTANG PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 15 TAHUN 2000 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Keuangan Negara perlu diperkuat; b. bahwa atas beberapa jenis tembakau belum dikenakan cukai;

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1960 TENTANG PERTAMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1954 TENTANG PEMAKAIAN GELAR "AKUNTAN" ("ACCONTANT") Presiden Republik Indonesia,

Berita Resmi Pemerintah Daerah Kotapraja Yogyakarta Triwulan ke IV Tahun Nomor: 1 Peraturan Daerah Kotapraja Yogyakarta Tahun 1960

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1950 TENTANG SURAT PERJALANAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1951 TENTANG MENGATUR TENAGA DOKTER PARTIKULIR DALAM KEADAAN GENTING PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1959 TENTANG PENETAPAN "UNDANG-UNDANG DARURAT NO. 40 TAHUN 1950 TENTANG SURAT PERJALANAN REPUBLIK

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1948 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN BADAN-BADAN KEHAKIMAN. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 4 TAHUN 1997

Menimbang: bahwa perlu diadakan peraturan baru mengenai undian sesuai dengan keadaan sekarang; Mengingat akan :

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG (UU) 1948 No. 28 (28/1948) Peraturan tentang Pasal alat pembayaran Luar Negeri. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA BARAT

PERATURAN PENGUASA PERANG TERTINGGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1960 TENTANG KEGIATAN-KEGIATAN POLITIK SELAMA DALAM KEADAAN BAHAYA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 1960 TENTANG PENGAWASAN PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN ASING PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ORDONANSI UAP 1930 (Stoom Ordonnantie 1930) S , s.d.u. dg. S terakhir s.d.u. dg. S

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1960 TENTANG PERTAMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 3 TAHUN 2010 SERI : E NOMOR : 3

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1984 TENTANG WABAH PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG (UU) 1948 No. 12. (12/1948) Peraturan tentang Undang-undang Kerja Tahun PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 7 TAHUN 1960 (7/1960) Tanggal: 26 SEPTEMBER 1960 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 20 TAHUN 1997 (20/1997) Tanggal: 23 MEI 1997 (JAKARTA)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BEA METERAI. PAJAK PENDAPATAN PAJAK PERSEROAN. MODAL PERSEROAN/PERSEKUTUAN.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1957 TENTANG PERATURAN UMUM RETRIBUSI DAERAH. Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

PEMALSUAN MATA UANG DAN UANG KERTAS UNTUK MELINDUNGI KEPENTINGAN UMUM ANCAMAN PIDANA MAKSIMUM RATA- RATA BERAT ASAS YANG DIPAKAI ADALAH ASAS UNIVERSAL

Transkripsi:

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1956 TENTANG PENETAPAN "UNDANG-UNDANG DARURAT NO. 4 TAHUN 1955 (LEMBARAN-NEGARA TAHUN 1955 NO. 18) TENTANG LARANGAN UNTUK MENGUMPULKAN UANG LOGAM YANG SAH DAN LARANGAN MEMPERHITUNGKAN AGIO PADA WAKTU PENUKARAN ALAT-ALAT PEMBAYARAN YANG SAH" SEBAGAI UNDANG-UNDANG PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan pasal 96 ayat 1 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia Pemerintah telah menetapkan Undang-undang Darurat tentang larangan untuk mengumpulkan uang logam yang sah dan larangan memperhitungkan agio pada waktu penukaran alat-alat pembayaran yang sah (Undang-undang Darurat No. 4 tahun 1955, Lembaran-Negara tahun 1955 No. 18); b. bahwa peraturan-peraturan yang termaktub dalam undang-undang darurat tersebut perlu ditetapkan sebagai undang- undang. Mengingat : Pasal-pasal 89, 97 dan 111 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; Memutuskan Menetapkan : Undang-undang tentang penetapan "Undang-undang Darurat No. 4 tahun 1955 (Lembaran-Negara tahun 1955 No. 18) tentang larangan untuk mengumpulkan uang logam yang sah dan larangan memperhitungkan agio pada waktu penukaran alat-alat pembayaran yang sah" sebagai undang-undang. Pasal I

- 2 - Pasal I. Peraturan-peraturan yang termaktub dalam Undang-undang Darurat No. 4 tahun 1955 (Lembaran Negara tahun 1955 No. 18) tentang larangan untuk mengumpulkan uang logam yang sah dan larangan memperhitungkan agio pada waktu penukaran alat-alat pembayaran yang sah, ditetapkan sebagai undang-undang yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 1. (1) Kecuali badan-badan Pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang mempunyai pegawai lebih dari sepuluh orang, tiap orang dilarang untuk mempunyai persediaan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, atau mengangkut uang logam yang sah (1 sen, 5 sen, 10 sen, 25 sen dan 50 sen) melebihi jumlah sebagaimana ditetapkan berikut: Untuk 1 sen (termasuk tembaga yang lama) sehingga jumlah Rp. 1 nominal, untuk 5 sen sehingga jumlah Rp. 5 nominal, untuk 10 sen sehingga jumlah Rp. 10 nominal, untuk 25 sen sehingga jumlah Rp. 25 nominal, untuk 50 sen sehingga jumlah Rp. 50 nominal, (2) Perusahaan-perusahaan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut di atas tetap dilarang untuk menimbun uang logam dengan maksud menarik dari peredaran. Pasal 2

- 3 - Pasal 2. Terhadap larangan yang termaktub dalam pasal 1 ayat 1 dapat diadakan pengecualian oleh para Gubernur, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Walikota Jakarta Raya yang dapat memberi izin pada mereka yang memerlukan uang logam lebih banyak dari- pada yang telah ditetapkan, sehingga jumlah Rp. 10, Rp. 50, Rp. 100, Rp. 250, Rp. 500 nominal untuk 1 sen, 5 sen, 10 sen, 25 sen dan 50 sen, sedangkan untuk jumlah yang lebih besar haruslah diminta izin kepada Menteri Keuangan. Pasal 3. Pada waktu penukaran alat-alat pembayaran yang sah setiap orang dilarang: 1. untuk memperhitungkan, meminta, menawarkan atau membayar nilai lawan yang lain daripada: nilai yang telah ditetapkan oleh undang-undang untuk penukaran alat-alat pembayaran; 2. untuk meminta, menerima, menawarkan atau membayar ganti kerugian dalam bentuk apapun juga. Pasal 4. Untuk sesuatu pembayaran setiap orang dilarang memperhitungkan, meminta, menerima atau membayar harga lain daripada harga yang diperlukan, dengan memberi nilai lain pada alat-alat pembayaran yang sah daripada nilai yang telah ditentukan oleh undang-undang. Pasal 5

- 4 - Pasal 5. Setiap orang wajib memberitahukan dengan benar jumlah persediaannya, macamnya uang logam (1 sen, 5 sen, 10 sen, 25 sen dan 50 sen) atas permintaan Menteri Keuangan, Gubernur, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Walikota Jakarta Raya, Penuntut Umum atau pegawaipegawai pengusut lainnya. Pasal 6. (1) Barang siapa melanggar ketentuan dalam pasal 1, pasal 3, pasal 4 atau tidak pada waktunya memenuhi permintaan yang termaktub dalam pasal 5, atau memberi keterangan yang tidak benar atas permintaan tersebut dijatuhkan hukuman kurungan setinggitingginya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya lima ratus rupiah. (2) Barang siapa dengan sengaja bertindak bertentangan dengan larangan yang termaktub dalam pasal 1, pasal 3, pasal 4 atau dengan sengaja tidak, atau tidak pada waktunya memenuhi permintaan yang termaktub dalam pasal 5 atau memberi keterangan yang tidak benar atas permintaan tersebut, dijatuhkan hukuman penjara setinggitingginya satu tahun atau denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah. (3) Apabila pada waktu melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 dan 2 belum lewat dua tahun sejak hukuman yang dahulu dijatuhkan terhadap sitersangka untuk perkara yang sama memperoleh kekuatan hukum yang dapat diubah lagi, maka hukuman-hukuman yang ditentukan dalam ayat 1 dan 2 dapat ditambah dengan sepertiga. (4) Perbuatan-

- 5 - (4) Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman sebagaimana termaktub dalam ayat 1 dianggap sebagai pelanggaran. Perbuatanperbuatan yang diancam dengan hukuman sebagaimana termaktub dalam ayat 2 dianggap sebagai kejahatan. (5) Uang logam, alat-alat pembayaran yang sah beserta bungkusannya yang dipergunakan untuk melakukan pelanggaran atau kejahatan yang dimaksudkan dalam ayat 1 dan 2 dapat disita dengan tidak memperdulikan siapa pemiliknya, baik dimiliki oleh siterdakwa maupun oleh orang lain. Pasal 7. (1) Apabila perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman sebagaimana ditentukan dalam pasal 6 dilakukan oleh sesuatu badan hukum, maka diadakan tuntutan dan dijatuhkan hukuman terhadap anggota-anggota pengurus yang berada di Indonesia, atau jika mereka ini berhalangan, pada wakil-wakil badan hukum tersebut di Indonesia. (2) Ketentuan dalam ayat 1 berlaku juga untuk badan hukum yang bertindak sebagai pengurus atau wakil dari badan hukum yang lain. Pasal 8. Penuntut Umum, Pegawai-pegawai pengusut lainnya atau pegawaipegawai yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan setiap waktu berhak membeslah, menuntut penyerahannya untuk dibeslah semua barangbarang yang dapat memberi petunjuk-petunjuk untuk memperoleh kebenaran atau yang dapat diperintahkan pensitaannya. Pasal 9. Ordonansi-ordonansi dari 25 Pebruari 1948 (Staatsblad No. 50 dan No. 51) ditarik kembali. Pasal II

- 6 - Pasal II Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 1 September 1956, Wakil Presiden Republik Indonesia, ttd. MOHAMMAD HATTA Menteri Keuangan, ttd. JUSUF WIBISONO Menteri Dalam Negeri, ttd. SUNARJO Diundangkan pada tanggal 15 Nopember 1956. Menteri Kehakiman, ttd. MULJATNO

- 7 - LEMBARAN NEGARA NOMOR 53 TAHUN 1956

MEMORI PENJELASAN MENGENAI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN "UNDANG-UNDANG DARURAT No. 4 TAHUN 1955 TENTANG LARANGAN UNTUK MENGUMPULKAN UANG LOGAM YANG SAH DAN LARANGAN MEMPERHITUNGKAN AGIO PADA WAKTU PENUKARAN ALAT-ALAT PEMBAYARAN YANG SAH" SEBAGAI UNDANG-UNDANG.- UMUM Dengan penghentian berlakunya Indische Muntwet 1912 dan mulai berlakunya Undang-undang Mata Uang 1951 maka perlu meninjau kembali peraturan-peraturan yang lama mengenai pengumpulan uang logam, memperhitungkan agio dan sebagainya. Ternyata, bahwa dalam praktek sekarang juga masih dikumpulkan atau disimpan untuk diri sendiri atau untuk orang lain dalam jumlah banyak uang logam (aluminium 1, 5, 10, 25 sen dan capronikkel dari 50 sen) sehingga uang logam tersebut tertarik dari peredaran uang. Demikian pula sering terjadi pengumpulan uang itu dengan maksud supaya diperdagangkan dengan memperhitungkan agio. Uang logam itu dalam perdagangan sehari-hari sangat dibutuhkan, terutama oleh rakyat kecil, maka pengumpulan uang tersebut akan mempersukarpedagang-pedagang kecil dan akan memberi dorongan pula untuk kenaikan harga-harga barang. Oleh karena itu perlu sekali dibatasi jumlah yang boleh dimiliki setiap orang. Pengecualian terhadap pembatasan ini diadakan untuk badan-badan pemerintah dan perusahan-perusahan besar yang mempunyai pegawai lebih dari sepuluh orang. Ketentuan yang terakhir ini perlu diadakan berhubung dengan keperluan pembayaran pada buruh-buruh mereka. Akan

- 2 - Akan tetapi perusahaan yang dimaksudkan diatas tetap dilarang untuk menarik tiang logam tersebut dari peredaran. Memperhitungkan agio akan berakibat bahwa uang logam itu akan dianggap sebagai barang dagangan sehingga menimbulkan keadaan keuangan yang kurang sehat. Sudah selayaknya diadakan aturan-aturan untuk menjamin beredarnya uang logam dengan lancar dan mencegah kemungkinan memperhitungkan agio pada penukaran uang tersebut. Pada tahun 1948 pernah diadakan larangan pula untuk mengadakan pengumpulan uang logam dan memperhitungkan agio pada penukaran uang. (S. 1948 - No. 50, 51). Kedua peraturan ini sekarang dipersatukan dalam rencana undang-undang ini. Dahulu diserahkan pada para Residen untuk mengatur penetapan maksimum jumlah uang logam yang boleh dimiliki masing-masing orang. Ternyata, bahwa tidak semua Residen mengadakan peraturan-peraturan untuk membatasi pengumpulan uang logam tersebut. Dengan demikian tak ada gambaran yang tegas (overzicht) untuk Pemerintah Pusat tentang jumlah uang logam yang ditetapkan sebagai maximum oleh para Residen yang boleh dimiliki oleh setiap orang. Oleh karena itu dalam rencana Undang-undang ini telah ditentukan jumlah maximum umum yang berlaku diseluruh Indonesia untuk setiap orang, kecuali badanbadan pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar yang dimaksudkan dalam pasal 1 a. Para Gubernur-Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wali Kota Jakarta-Raya, sebagai pengecualian terhadap aturan umum itu dapat menetapkan secara incidenteel dengan surat keputusan tersendiri jumlah uang logam yang boleh dimiliki sebagai persediaan untuk diri sendiri atau orang lain, atau untuk mengangkutnya sehingga jumlah yang lebih besar daripada jumlah yang telah ditetapkan secara umum itu. Jika salah satu perusahaan yang jumlah pegawainya kurang dari sepuluh orang telah mendapat ijin dari Pembesar yang bersangkutan untuk memiliki uang logam sampai sepuluh kali lebih banyak daripada jumlah yang ditetapkan dalam pasal 1, maka ijin itu tidak dapat diberikan sekali lagi kepada pegawai-pegawai masing-masing dari perusahaan tersebut. Sudah

- 3 - Sudah selayaknya, bahwa Pemerintah Pusat memberi kelonggaran ini pada para Gubernur, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wali Kota Jakarta-Raya, oleh karena mereka lebih-lebih mengetahui keadaan daerah dan kebutuhan penduduknya, Untuk jumlah yang lebih besar haruslah dimintakan ijin dari Menteri Keuangan. Adapun ancaman hukuman yang diadakan telah dibedakan antara perbuatan yang dilakukan tidak dengan sengaja dan perbuatan yang dilakukan dengan segaja. Pasal DEMI PASAL Pasal 1 Pasal ini mengatur secara umum untuk seluruh daerah Indonesia larangan untuk mengumpulkan uang logam untuk diri sendiri atau untuk orang lain atau mengangkutnya dari satu tempat ke tempat lain. Untuk badan-badan pemerintahan dan perusahaan-perusahaan besar dengan pegawai lebih dari sepuluh orang diadakan pengecualian terhadap larangan tersebut. Sudah tentu perusahaanperusahaan tersebut tetap dilarang untuk menimbun uang logam, dalam arti menahan uang logam tersebut dan dengan demikian menariknya dari peredaran. Oleh karena uang tembaga lama dari 1 sen dan 2 1/2 sen akan ditarik kembali dari peredaran secara berangsur-angsur, maka tak begitu perlu untuk mengaturnya dengan tegas dalam undang-undang ini. Dengan mengatur secara umum itu ada kepastian bagi Penuntut Umum atau pegawai pengusut lainnya untuk segera mengadakan tindakan-tindakan seperlunya dan juga untuk hakim untuk menjatuhkan hukuman pada mereka yang mengumpulkan uang logam dalam jumlah yang banyak. Mengatur secara umum ini dianggap lebih bermanfaat dari pada menyerahkan penetapan maximum itu pada daerah-daerah masing- masing, meskipun dalam pasal 2 telah diadakan pengecualian atas azas tersebut. Telah ditetapkan, bahwa setiap orang baleh memiliki uang logam dalam jumlah yang terbatas sekali. Ini diadakan tak lain dengan maksud supaya uang logam sebanyak mungkin berada dalam circulatie terus, sehingga dengan demikian tak akan menimbulkan kesulitankesulitan bagi rakyat kecil yang sangat membutuhkan uang tersebut. Pasal 2

- 4 - Pasal 2 Pasal ini perlu diadakan sebagai pengecualian dari pasal 1 oleh karena masingmasing daerah lebih-lebih mengetahui keperluan uang logam yang dibutuhkan masing-masing orang atau badan-badan lainnya, misalnya untuk keperluan pembayaran kaum buruh, pcrdagangan dan sebagainya. Sudah selayaknya, bahwa pada para Gubernur, Kepala Daerah Istimewah Yogyakarta dan Wali Kota Jakarta- Raya diberi kekuasaan untuk menentukan secara incidenteel jumlah maximum dengan menyimpang dari pada apa yang telah ditetapkan secara umum dalam pasal 1. Jumlah ini maximal adalah 10 x lebih besar daripada ketentuan dalam pasal 1. Sudah tentu ijin itu tidak diberikan kepada masing-masing pegawai dari suatu perusahaan kalau perusahaan itu telah mendapat ijin dari Pembesar yang bersangkutan untuk memiliki uang logam sampai sepuluh kali lebih banyak dari pada ketentuan dalam pasal 1 tersebut. Pemberian ijin untuk jumlah yang lebih besar lagi hanya boleh diadakan oleh Menteri Keuangan. Pasal 3 dan 4 Larangan agio ini harus memberantas kebiasaan untuk memperdagangkan uang. Memperhitungkan agio itu sebetulnya dapat berhubungan dengan pengumpulan uang, teristimewa uang logam. Orang mengumpulkan uang logam justru dengan maksud akan dapat ditukarnya dengan uang kertas dengan harga yang lebih besar. Kebiasaan ini menimbulkan hasrat untuk menganggap uang logam sebagai barang dagangan hal mana harus dilarang. Pasal 5 Sudah cukup jelas. Pasal 6

- 5 - Pasal 6 Menyalahi ketentuan-ketentuan dalam pasal 1, 3 dan 4 berarti menyulitkan perekonomian Negara dan mempersukar penghidupan rakyat kecil, sedangkan menyalahi ketentuan dalam pasal 5 berarti menyulitkan perkerjaan alat-alat Negara, maka sudah selayaknya, bahwa terhadap perbuatan-perbuatan yang membahayakan peredaran uang dengan lancar itu diadakan ancaman hukuman yang sepantasnya. Dalam pasal ini dibedakan antara perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak dengan sengaja (culpoos) dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak dengan sengaja (doleus) untuk mana ancaman hukumannya berbeda pula. Pasal 7, 8, 9. Sudah cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 1140