BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

30,90%; heksil format 4,78%; derivat monoterpen teroksigenasi (borneol 0,03% dan kamfer hidrat 0,83%); serta monoterpen hidrokarbon (kamfen 0,04%,

BAB 1 PENDAHULUAN. terdapat banyak keuntungan dari penyampaian obat melalui kulit, seperti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

tanpa tenaga ahli, lebih mudah dibawa, tanpa takut pecah (Lecithia et al, 2007). Sediaan transdermal lebih baik digunakan untuk terapi penyakit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengurung (sekuester) agen pencedera maupun jaringan yang cedera. Keadaan akut

Banyak penyakit yang dihadapi para klinisi disebabkan karena respons inflamasi yang tidak terkendali. Kerusakan sendi pada arthritis rheumatoid,

BAB I PENDAHULUAN. kecil daripada jaringan kulit lainnya. Dengan demikian, sifat barrier stratum korneum

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimana obat menembus ke dalam kulit menghasilkan efek lokal dan efek sistemik.

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. menggunakan tumbuhan obat (Sari, 2006). Dalam industri farmasi, misalnya obatobatan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. laesa. 5 Pada kasus perawatan pulpa vital yang memerlukan medikamen intrakanal,

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

molekul yang kecil (< 500 Dalton), dan tidak menyebabkan iritasi kulit pada pemakaian topikal (Garala et al, 2009; Ansel, 1990).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia adalah negara yang banyak ditumbuhi. berbagai jenis tanaman herbal. Potensi obat herbal atau

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

BAB 5 HASIL PENELITIAN

Dalam penelitian ini, akan diuji aktivitas antiinflamasi senyawa turunan benzoiltiourea sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

periode waktu yang terkendali, selain itu sediaan juga harus dapat diangkat dengan mudah setiap saat selama masa pengobatan (Patel et al., 2011).

BAB I PENDAHULUAN. Kulit merupakan jaringan pelindung yang lentur dan elastis, yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang

sehingga mebutuhkan frekuensi pemberian dosis yang cukup tinggi. Penelitian sebelumnya oleh Chien (1989) mengenai perbandingan antara nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inflamasi. Obat ini merupakan salah satu kelompok obat yang paling banyak diresepkan

santalin, angolensin, pterocarpin, pterostilben homopterocarpin, prunetin (prunusetin), formonoetin, isoquiritigenin, p-hydroxyhydratropic acid,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

terhadap masalah kesehatan melalui pengobatan tradisional sangat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, contohnya yaitu menggunakan ramuan-ramuan

EFEK PENAMBAHAN BERBAGAI PENINGKAT PENETRASI TERHADAP PENETRASI PERKUTAN GEL NATRIUM DIKLOFENAK SECARA IN VITRO

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. (Harty,2003). Perlukaan sering terjadi di dalam rongga mulut, khususnya pada gingiva (Newman dkk, 2002). Luka merupakan kerusakan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

enzim dan ph rendah dalam lambung), mengontrol pelepasan obat dengan mengubah struktur gel dalam respon terhadap lingkungan, seperti ph, suhu,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ataupun infeksi. Inflamasi merupakan proses alami untuk mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. memiliki aktifitas penghambat radang dengan mekanisme kerja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mukosa rongga mulut memiliki fungsi utama sebagai pelindung struktur

Pemberian obat secara bukal adalah pemberian obat dengan cara meletakkan obat diantara gusi dengan membran mukosa pipi. Pemberian sediaan melalui

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. telah sangat berkembang, salah satunya adalah sediaan transdermal. Dimana sediaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. protozoa, dan alergi. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan sejak lama digunakan sebagai obat tradisional. Selain pohonnya sebagai

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

POLA PERESEPAN OBAT PADA PENDERITA REUMATIK DI APOTEK SEHAT FARMA KLATEN TAHUN 2010

(Houglum et al, 2005). Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal

menghilangkan kesadaran. Berdasarkan kerja farmakologinya, analgesik dibagi dalam dua kelompok besar yaitu analgesik narkotik dan analgesik non

BAB I PENDAHULUAN. ketersediaan hayati obat. Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jintan hitam (Nigella sativa) terhadap jumlah sel Neutrofil pada proses. Tabel 1. Hasil Perhitungan Angka Neutrofil

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keragaman hayati.

HASIL DAN PEMBAHASAN

EFEKTIVITAS ENHANCER MENTHOL DALAM PATCH TOPIKAL ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL KENCUR (KAEMPFERIA GALANGA L.) TERHADAP JUMLAH NEUTROFIL PADA MENCIT

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

diperlukan pemberian secara berulang. Metabolit aktif dari propranolol HCl adalah 4-hidroksi propranolol yang mempunyai aktifitas sebagai β-bloker.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengalami penyembuhan luka (Fedi dkk., 2004). Proses penyembuhan luka meliputi beberapa fase yaitu fase inflamasi,

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengganggu kesehatan organ tubuh lainnya (Kemenkes, 2013).

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara terbesar kedua dengan sumber daya hayati yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Di Indonesia terdapat lebih kurang 30.000 jenis tumbuh-tumbuhan, lebih kurang 7.500 jenis diantaranya termasuk tanaman berkhasiat obat (Kotranas, 2006). Tanaman yang berkhasiat obat tersebut dikenal dengan sebutan tanaman obat. Tanaman obat adalah tanaman yang memiliki khasiat obat yang digunakan sebagai obat dalam penyembuhan maupun pencegahan penyakit (Flora, 2008). Banyak tamanan obat saat ini sedang diteliti untuk mengetahui kandungan bahan aktif didalamnya yang berkhasiat sebagai pengobatan, salah satunya adalah tanaman kencur (Kaempferia galanga L) yang diketahui berkhasiat sebagai antiinflamasi. Kencur (Kaempferia galanga L) termasuk salah satu jenis emponempon atau tanaman obat yang tergolong dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae). Kencur tumbuh di berbagai tempat di dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian 80-700 m di tanah yang subur dan gembur (Syukur dan Hernani, 2001). Kencur merupakan tanaman yang mudah didapat dan bernilai ekonomis cukup tinggi sehingga banyak dibudidayakan dan diperdagangkan bagian akar yang berada dalam tanah yang disebut dengan rimpang atau rhizoma. Bagian rimpangnya digunakan sebagai bahan baku industri obat tradisional, bumbu dapur, bahan makanan, maupun minuman penyegar lainnya (Rostiana dkk., 2003). Secara empirik kencur telah dimanfaatkan sebagai tonikum, sebagai obat bengkak, reumatik, obat batuk, obat sakit perut, menghilangkan keringat, penambah nafsu makan, infeksi bakteri, ekspektoran 1

(memperlancar keluarnya dahak), disentri, karminatif, menghangatkan badan, pelangsing, penyegar, mengobati luka (Anonim, 2000). Menurut Miranti (2009) kencur digunakan sebagai obat batuk, gatal-gatal pada tenggorokan, perut kembung, mual, masuk angin, pegal-pegal, pengompres bengkak/radang, tetanus dan penambah nafsu makan. Kandungan kimia pada rimpang kencur terdiri dari minyak atsiri dan senyawa aktif lainnya. Komponen utama minyak atsiri (1,11 % b/v) yang diekstrak dari rimpang kering Kaempferia galanga L. adalah etil p- metoksisinamat (EPMS) (31,77%) metil sinamat (23,3%), carvone (11,13%), eucalyptol (9,59%), dan pentadecane (6,41%) (Tewtrakul et al., 2004). Sedangkan komponen aktif senyawa lain berupa saponin, flavonoid dan polifenol (Winarto, 2007). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Aroonrerk (2009) di Thailand, ekstrak etanol rimpang kencur secara in vitro terbukti memiliki efek antiinflamasi. Inflamasi merupakan reaksi lokal setempat pada jaringan vaskular terhadap cedera yang ditandai dengan gejala seperti rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (nyeri), dan turgor (pembengkakan) (Corwin, 2001). Rasa nyeri dan peradangan (inflamasi) merupakan gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering terjadi yang disebabkan karena suatu kerusakan jaringan atau gangguan metabolisme jaringan yang diikuti dengan pembebasan dan pembentukan bahan mediator, seperti prostaglandin, histamin, serotonin dan bradikinin (Tjay, 2007). Respon inflamasi dinyatakan dengan adanya dilatasi pembuluh darah dan pengeluaran leukosit serta cairan. Akibat respon ini akan ditimbulkan gejala-gejala inflamasi. Pembengkakan yang ditimbulkan karena masuknya leukosit dan cairan ke dalam jaringan tempat terjadinya inflamasi. Inflamasi dapat terjadi secara akut, sub akut, dan kronik. Radang atau Inflamasi merupakan suatu mekanisme pertahanan yang dilakukan oleh tubuh untuk 2

melawan agen asing yang masuk ke tubuh. Selain itu, inflamasi juga bisa disebabkan oleh cedera jaringan, trauma, bahan kimia, panas, atau fenomena lainnya (Guyton and Hall, 2007). Oleh sebab itu, dalam menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi atau kerusakan jaringan, tubuh manusia dibekali sistem pertahanan untuk melindungi dirinya, salah satunya dengan keluarnya sejumlah sel-sel radang (Lawler, 1992) misalnya sel leukosit yang menempel ke sel endotel pembuluh darah di daerah inflamasi kemudian bermigrasi melewati dinding kapiler masuk ke rongga jaringan yang disebut ekstravasasi. Leukosit atau sel darah putih terdiri dari beberapa jenis sel seperti neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, monosit yang berinteraksi satu sama lain dalam proses inflamasi (Effendi, 2003). Makrofag merupakan sel fagosit yang berfungsi memfagositosis patogen, benda asing atau agen infeksi seperti mencerna bakteri dan sel-sel yang telah rusak di dalam vesikel (Guyton and Hall, 1997). Makrofag berasal dari sel-sel monosit (salah satu jenis sel leukosit) yang mempunyai masa beredar yang singkat didalam darah kemudian mengembara melalui membran - membran kapiler untuk masuk ke dalam jaringan. Salah satu gejala yang akan terjadi pada proses peradangan yaitu peningkatan sel darah putih, hal ini berarti juga terjadi peningkatan makrofag sebagai pertahanan tubuh. Tetapi jika jumlah makrofag ini terlalu tinggi maka akan menyebabkan kerusakan pada jaringan sehat disekitar peradangan, sedangkan apabila terlalu rendah, maka tubuh tidak mampu melawan sumber inflamasi/infeksi (Saraf, 2006). Salah satu cara untuk menekan proses radang yaitu dengan menghambat kerja asam arakhidonat melalui jalur lipooksigenase (Robbinson, 1995). Kerja asam arakhidonat dapat dihambat oleh senyawa-senyawa aktif yang terkandung dalam rimpang kencur sehingga sintesis prostaglandin E2, leukotrien dan tromboksan 3

terhambat (Sabir, 2007). Terhambatnya jalur tersebut juga menyebabkan berkurangnya jumlah histamin, bradikinin, prostaglandin, prostasiklin, endoperoxidase tromboksan dan asam hidroperoxida leukotrien (Sabir, 2003). Histamin yang terdapat luas dalam jaringan dapat menyebabkan dilatasi arteriol, meningkatkan permeabilitas venula dan pelebaran celah antar endotel. Peningkatan permebilitas vaskuler berakibat penimbunan cairan ekstravaskuler yang kaya protein dan membentuk eksudat serta neutrofil keluar lewat celah antar endotel tersebut (Robbins dan Kumar, 1995) sehingga berkurangnya jumlah ekstravasasi sel-sel leukosit radang yang berlebihan ke area yang mengalami inflamasi. Pengobatan inflamasi pada seseorang yang mengalami inflamasi biasanya diberikan obat-obatan yang membatasi proses kerusakan jaringan pada daerah terjadinya inflamasi. Obat sintetik yang banyak digunakan untuk mengobati antiinflamasi adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) dan kortikosteroid, diantaranya adalah aspirin dan natrium diklofenak. Obat ini menekan gejala-gejala inflamasi. Secara oral, obat ini cepat diabsorbsi dalam tubuh, namun ketersediaan obat dalam tubuh atau bioavailabilitasnya rendah yakni 30-70% terjadi efek metabolisme lintas pertama di hati. Efek yang tidak diinginkan bisa terjadi sekitar 20% pada pasien meliputi distress gastrointestinal, pendarahan gastrointestinal yang terselubung, dan timbulnya ulserasi lambung (Katzung, 2002). Rute pemberian oral obat golongan NSAID dapat menyebabkan first pass effect dan adanya efek samping pada saluran cerna seperti tukak lambung (Narande dkk., 2013). Dapat dilihat bahwa penggunaan obat-obat sintetik secara berlebihan dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan dan yang sering terjadi adalah gangguan saluran pencernaan (Wilmana, 2007), 4

menghadapi hal tersebut perlu dilakukan penelitian menggunakan ekstrak etanol kencur yang berpotensi sebagai alternatif pengobatan antiinflamasi. Mekanisme tanaman kencur sebagai antiinflamasi yakni menghambat produksi dari mediator-mediator inflamasi seperti IL-6 dan PGE2 (Aroonrerk dan Kamkaen, 2009). Di dalam tanaman kencur, terdapat suatu komponen yang dinamakan Flavonoid, flavonoid ini memiliki efek terhadap berbagai macam organisme yang sangat beragam. Efek terapetik yang ditimbulkan merupakan akibat pengaruh efek flavonoid terhadap metabolisme asam arakhidonat (Schneider and Bucar, 2005). Beberapa golongan flavonoid telah dibuktikan memiliki efek antiradang (Evans, 2002) khususnya golongan flavonoid dalam bentuk glikosida dengan menghambat cyclooxygenase-2 (COX-2) (Kim et al., 1998; González- Gallego et al., 2007). Dengan demikian, flavonoid dapat digunakan untuk mengetahui efek antiradang. Flavonoid dalam bentuk glikosida memiliki sifat polar sehingga dapat larut dalam pelarut air dan alkohol (Trease and Evan, 1987). Seperti hasil dari penelitian yang telah dilakukan Hasanah dkk di tahun 2011 dapat disimpulkan bahwa ekstrak rimpang kencur (Kaempferia galanga L) memiliki aktivitas antiinflamasi. Penelitian yang telah dilakukan oleh Hendriati dkk (2012) membuktikan bahwa penggunaan pemacu transpor menthol, asam oleat dan isopropil miristat dapat meningkatkan penghantaran perkutan, minyak kencur 10% yang ditandai dengan meningkatnya % proteksi terhadap inflamasi pada marmut. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan ekstrak etanol kencur sebagai alternatif antiinflamasi dengan rute pemberian topikal. Pemberian obat secara topikal adalah memberikan obat secara lokal pada kulit, atau pada membran area mata, hidung, lubang telinga, vagina dan rektum. Tujuan dari pemberian secara topikal adalah untuk 5

memperoleh reaksi lokal dari obat tersebut. Suatu obat dapat diberikan melalui kulit untuk mendapatkan efek pada tempat pemakaian, jaringan di dekat tempat pemakaian, ataupun efek sistemik. Rute pemberian topikal diharapkan mampu mengurangi efek samping pada saluran cerna, melindungi bahan aktif dari enzim pencernaan, menghindari first pass effect di hati, dan mudah untuk mengakhiri terapi ketika efek samping yang merugikan terjadi. Meskipun terdapat banyak keuntungan dari penyampaian obat melalui kulit, seperti pemakaian yang mudah dan menghindari metabolisme lintas pertama, sifat barrier kulit menjadi suatu tantangan yang sulit bagi penetrasi obat (Chiranjib et al., 2010). Agar tujuan lokal dapat tercapai maka dibutuhkan suatu agen yang mampu berpenetrasi melalui kulit pada organ atau jaringan tertentu tubuh yang mengalami gangguan, dengan harapan hanya sedikit atau tidak ada obat yang terakumulasi pada sistem sistemik (Ranade et al, 2004). Salah satu sediaan yang dapat menghantarkan obat secara topikal adalah patch. Patch merupakan sediaan topikal modern yang cara pemakaiannya ditempelkan pada kulit yang mengalami kerusakan jaringan, sehingga patch lebih mudah dan praktis dalam penggunaanya. Patch terdiri dari 2 lapisan, lapisan utama mengandung polimer adhesif dengan lapisan backing bilayer yang impermiable. Kemampuan mengembang suatu patch merupakan salah satu syarat dari sediaan patch. Semakin patch tersebut mengembang, semakin efektif pula dalam melepaskan obat dan keefektifan patch melekat pada kulit. Salah satu kelompok polimer yang bersifat adhesif adalah kelompok polimer hidrofilik yakni hydroxyl propl methyl cellulose (HPMC). HPMC memiliki kemampuan menyerap kelembaban yang tinggi, dimana penyerapan air dari polimer memiliki peranan penting pada tahap awal pelepasan obat dari sediaan. Film yang dapat menyerap kelembaban yang tinggi, dapat memberikan pelepasan obat yang tinggi pula. Pada 6

penelitian ini HPMC dipilih sebagai matriks karena merupakan konstituen untuk sediaan topikal dengan tidak ada efek yang merugikan (Baldrick, 2006) dan HPMC juga tidak menimbulkan iritasi di kulit (Rowe et al, 2006). Penelitian Verma and Chandak (2009) menunjukkan bahwa polimer HPMC dapat membentuk film matriks yang sangat bagus yaitu permukaan film yang rata dan halus saat ditempelkan pada permukaan kulit, elastis dan tidak mudah robek karena merupakan sifat dasar dari selulosa. Pada penelitian sebelumnya oleh Jayaprakash et al., (2010) penggunaan HPMC tunggal sebanyak 2% sebagai polimer pada patch transdermal menggunakan bahan aktif meloxicam memberikan pelepasan paling baik yaitu 99,29 % selama 24 jam. Lapisan stratum korneum dari kulit adalah lapisan pelindung utama dan terdiri dari delapan sampai enam belas lapisan sel yang pipih, berlapislapis, dan berkeratin. Setiap sel memiliki panjang sekitar 34-44 µm, lebar 25-36 µm, dan tebal 0,15-0,2 µm. Lapisan sel ini secara berkesinambungan digantikan dari lapisan basal (Washington, et al., 2003). Lapisan stratum korneum diperkirakan memberi 1000 kali tahanan difusi bagi senyawa hidrofilik untuk penetrasi ke dalam kulit. Namun, untuk senyawa yang sangat lipofilik dengan koefisien partisi lipid banding air lebih dari 400, lapisan dermis yang hidrofilik menjadi tahanan absorpsi sistemik yang utama (Riviere dan Papich, 2001). Oleh karena keterbatasan penetrasi obat melalui kulit, enhancer (peningkat penetrasi) sering ditambahkan dalam formulasi sediaan obat topikal (Marzouk et al., 2012). Ada banyak mekanisme untuk meningkatkan penetrasi. Interaksi antara enhancer dengan gugus polar dari lipid stratum korneum adalah salah satu cara untuk meningkatkan penetrasi. Interaksi antar gugus-gugus lipid dan perubahan susunan lipid menyebabkan fasilitasi difusi dari obat-obat hidrofilik (Vikas et al., 2011). Bahan enhancer kimia dipercaya bekerja 7

aktif dengan cara memecah susunan molekul interselular, terutama lipid bilayer, yang mempertahankan barier tahanan difusi. Perubahan dari lingkungan korneosit juga dapat mempengaruhi penetrasi obat (Walker dan Smith, 1996). Bahan- bahan yang dapat digunakan sebagai enhancer antara lain air, sulfoksida, senyawa jenis azone, pyrolidones, asam-asam lemak, alkohol, glikol, surfaktan, urea, minyak atsiri, terpen, dan fosfolipid (Swarbrick dan Boylan, 1995). Bahan yang akan dipakai sebagai penetration enhancer adalah Polisorbat 60. Polisorbat 60 atau yang lebih dikenal dengan tween 60 merupakan salah satu surfaktan yang digunakan sebagai zat pengemulsi, surfaktan non ionik, zat penambah kelarutan, zat pembasah dan zat pensuspensi (Rowe et al., 2003). Pada penelitian sebelumnya penggunaan tween 60 dengan konsentrasi 10% (level rendah) dan 20% (level tinggi) dari berat matriks, diperoleh hasil perediksi respon optimum dengan konsentrasi Tween-60 18,6% (level 0,93), disimpulkan dalam penelitian tersebut terbentuklah patch dengan kadar penetrasi optimum yang diinginkan (Sari, 2011). Pada penelitian sebelumnya konsentrasi polisorbat 60/tween-60 sebagai peningkat penetrasi dalam emulsi adalah 2% (Clough et al., 2013). Brian dkk. (2005) menyatakan bahwa jumlah surfaktan yang dapat digunakan sebagai peningkat penetrasi pada sediaan topikal adalah 0,5% sampai 10% dari berat sediaan. Maka peneliti ini akan menggunakan enhancer dengan konsentrasi 1, 3 dan 5%. Metode pengujian antiinflamasi yang banyak dilakukan adalah induksi karagenan. Pada penelitian ini akan dilakukan induksi karagenan pada punggung mencit secara subkutan, diharapkan dapat menimbulkan efek inflamasi yang nantinya sel-sel radang dapat dihitung berdasarkan jumlah makrofag yang timbul. Setelah terjadinya radang/inflamasi diharapkan formula sediaan patch ekstrak etanol kencur didapatkan 8

konsentrasi enhancer yang paling efektif dalam membantu penetrasi bahan aktif ekstrak etanol kencur ke dalam membran dilihat dengan adanya penurunan jumlah makrofag disetiap jaringan kulit mencit. 1.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang penelitian dan landasan teoritik yang diperoleh maka tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui efektivitas pemberian enhancer tween-60 dalam patch topikal yang mengandung ekstrak etanol kencur (Kaempferia galanga L.) terhadap penurunan jumlah makrofag pada mencit yang diinduksi dengan karagenan. 1.3 Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang dan landasan teoritik penelitian yang diperoleh maka dapat di rumuskan suatu permasalahan sebagai berikut : Apakah pemberian enhancer tween-60 dalam patch topikal yang mengandung ekstrak etanol kencur (Kaempferia galanga L.) dapat menurunkan jumlah makrofag pada mencit yang diinduksi karagenan. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah dapat mengembangkan formula sediaan patch topikal ekstrak etanol kencur untuk menghindari reaksi buruk yang tidak diinginkan atau efek samping dari obat Antiinflamasi non steroid sintetik pada saluran pencernaan dan untuk mempermudah pemakaiannya pada pasien tanpa terjadinya first pass-effect obat pada penggunaan oral. Selain itu, sediaan patch topikal mudah digunakan sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan mudah dihentikan pemakaiannya ketika terjadi efek samping yang tidak diinginkan. 1.5 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang dapat diajukan pada penelitian ini adalah pemberian enhancer tween-60 dalam patch topikal yang mengandung 9

ekstrak etanol kencur (Kaempferia galanga L.) dapat menurunkan jumlah makrofag pada mencit yang diinduksi karagenan. 10