BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi merupakan hal yang saling berkaitan. Selama ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan kontribusi positif terhadap kesehatan terlebih kesejahteraan yang dapat dilihat dari usia harapan hidup (UHH) (Mubarak, Chayatin, & Santoso, 2012). Usia harapan hidup dan jumlah Lanjut Usia (Lansia) meningkat dan mencerminkan perbaikan kesehatan, namun di lain sisi merupakan dilema karena menimbulkan berbagai masalah kesehatan dan ekonomi di masa mendatang. Saat ini demografi dunia sedang mengalami perubahan, seiring dengan meningkatnya pembangunan kesehatan, secara tidak langsung menyebabkan Usia Harapan Hidup (UHH) meningkat dan menyebabkan proporsi populasi yang berusia > 60 tahun juga bertambah. Menurut WHO, 8% populasi atau sekitar 142 juta jiwa penduduk di kawasan Asia Tenggara merupakan lanjut usia (Lansia), pada tahun 2050 diperkirakan usia harapan hidup di sebagian besar negara Asia Tenggara akan menjadi >75 tahun (www.depkes.go.id). Sejalan dengan data tersebut, Umur Harapan Hidup (UHH) manusia Indonesia juga semakin meningkat dimana diatur RPJMN Kemkes tahun 2014, diharapkan terjadi peningkatan UHH dari 70,6 tahun pada 2010 menjadi 72 tahun pada 2014 yang akan menyebabkan terjadinya 1
2 perubahan struktur usia penduduk terutama akibat peningkatan jumlah penduduk lansia. Data terakhir pada tahun 2009 menunjukan penduduk Lansia di Indonesia berjumlah 20.547.541 jiwa. Diperkirakan jumlah penduduk Lanjut Usia di Indonesia pada tahun 2020 akan mencapai 28,8 juta jiwa atau sekitar 11% dari total penduduk Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2009). Pada tahun 2021 usia lanjut di Indonesia diperkirakan mencapai 30,1 juta jiwa yang merupakan urutan ke 4 di dunia sesudah Cina, India dan Amerika Serikat (U.S. Census Bureau International Data Base, 2009). Menjelang tahun 2050, Kemenkes RI memperkirakan jumlah lansia meningkat menjadi lebih dari 50 juta jiwa. Menurut proyeksi Bappenas jumlah penduduk lansia 60 tahun atau lebih akan meningkat dari 18.1 juta pada tahun 2010 menjadi dua kali lipat (36 juta) pada tahun 2025. Data regional provinsi terutama di Bali menunjukkan jumlah lansia di Provinsi Bali tahun 2012 sekitar 568.140 jiwa, jumlah ini meningkat sekitar 13,73% dibandingkan tahun 2011 (Dinkes Bali, 2012). Peningkatan jumlah lansia menyebabkan ancaman Triple Burden, yaitu jumlah kelahiran bayi yang masih tinggi, masih dominannya penduduk muda, dan jumlah lansia yang terus meningkat, sehingga dibutuhkan upaya kesehatan lansia yang komprehensif dan berorientasi pada proses penuaan yang dialami lansia. Proses menua merupakan proses alamiah yang akan dialami oleh semua individu setelah melewati tiga tahap kehidupan, yaitu masa anak, masa dewasa dan masa tua. Proses ini dapat menimbulkan perubahan fisik biologis dan psikis serta psikososial. Perubahan fisik meliputi penurunan jumlah sel, penurunan kerja
3 saraf, pendengaran, penglihatan, sistem kardivaskuler, termoregulasi serta penurunan sistem-sistem dalam tubuh. Perubahan psikis meliputi perubahan kepribadian, memori dan intelegensi. Sedangkan secara psikososial lansia kerap mengalami perasaan kehilangan pekerjaan, kesepian atau kehilangan pasangan (Nugroho, 2000). Dari semua perubahan yang terjadi, perubahan pada sistem perkemihan lansia berpotensi lebih untuk diperhatikan terutama jika timbul masalah nokturia dan inkontinensia urin. Inkontinensia urin merupakan salah satu masalah yang dialami lansia sehingga perlu perhatian lebih besar karena populasi lansia yang meningkat khususnya di Indonesia. Keluhan inkontinensia urin pada lansia menjadi urutan kelima sebagai keluhan yang sering dilaporkan lansia (Salomon dalam Darmojo, 2000). Di dunia diperkirakan sekitar 20% perempuan mengalami inkontinensia urin. Survey di 11 negara Asia termasuk Indonesia ditemukan 5.052 perempuan menderita masalah yang sama, Penelitian di ruang geriatrik penyakit dalam RSUD Dr. Cipto Mangun Kusumo didapatkan kejadian inkontinensia urin sebesar 10% dan meningkat menjadi 12% pada tahun 2000 (Pranarka, 2001). Survei lain yang dilakukan oleh Departemen Urologi FK Unair-RSU. Dr. Soetomo tahun 2008 terhadap 793 penderita inkontinensia urin, didapatkan prevalensi inkontinensia urin pada pria 3,02% dan wanita 6,79%. Hasil ini menunjukkan bahwa prevalensi pada wanita lebih tinggi dari pria. Sedangkan jika dilihat dari usia, usia 5-12 tahun sebesar 0,13% sedangkan pada usia 70-80 tahun sebanyak 1,64%, artinya prevalensi meningkat seiring meningkatnya usia. Inkontinensia urin dapat mengenai perempuan pada semua usia dengan derajat
4 dan perjalanan penyakit yang bervariasi. Walaupun jarang mengancam jiwa inkontinensia urin memberikan dampak serius pada kesehatan fisik, psikologi, dan sosial pasien. Selain itu inkontinensia juga berdampak bagi keluarga dan karier pasien. Prevalensi inkontinensia urin pada wanita berkisar antara 3-55% bergantung pada batasan dan kelompok usia. Prevalensi meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi pada perempuan usia di atas 80 tahun mencapai 46% (Santoso, 2008). Berdasarkan data tersebut fokus utama pada inkontinensia adalah lansia wanita. Berdasarkan data lansia di Dinas Kesehatan Provinsi Bali, didapatkan data bahwa dari sembilan Kabupaten/Kota di Bali, kabupaten dengan jumlah lansia terbanyak adalah kabupaten Tabanan (24,54%) kemudian Klungkung (24,41%), dan Jembrana (10,22%). Berdasarkan data lansia menurut jenis kelamin, kabupaten Tabanan memiliki jumlah lansia perempuan tertinggi yaitu 27,84% dari total lansia di Bali (Dinkes Bali, 2012). Wawancara acak yang dilakukan pada lansia didapatkan dari 10 orang lansia, delapan diantaranya (80%) mengatakan mengalami kesulitan mengontrol keluarnya urin terutama saat tertawa dan batuk (Stress Urinary Incontinence/SUI). Keseluruhan lansia yang mengalami SUI mengatakan belum pernah melakukan senam khusus untuk mengurangi keluhan tersebut. Lima orang dari lansia yang mengalami SUI berjenis kelamin perempuan. Tingginya populasi lansia perempuan meningkatkan angka inkontinensia urin, sehingga diperlukan upaya mencegah hal tersebut. Berbagai dampak inkontinensia urin kerap diabaikan walaupun menimbulkan berbagai keluhan seperti bau yang tidak sedap dan perasaan tidak
5 nyaman, mengganggu aktifitas fisik seksual serta timbulnya dekubitus dan infeksi saluran kemih akibat pemakaian diapers. Sebagian memilih tidak berobat karena merasa malu ataupun karena pemahaman yang salah bahwa inkontinensia urin merupakan hal lazim yang terjadi pada lansia. Selama ini upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan inkontinensia lansia adalah senam Kegel (Kegel Exercise) yang bertujuan untuk membangun kembali kekuatan otot dasar panggul. Senam ini dilakukan secara seri dengan tipe latihan kontraksi untuk meningkatkan kekuatan otot dasar panggul. Otot dasar panggul terutama musculus Levator ani memiliki peranan penting dalam menyangga organ dalam pelvis dan peran yang besar pada fungsi berkemih, defekasi dan seksual (Wiknjosastro, 2007; Lubis, 2009). Secara umum, otot dasar panggul memiliki tiga fungsi utama yaitu: (1) Suportir, (2) Sfingterik, dan (3) Fungsi seksual (Lubis, 2009). Senam Kegel merupakan metode non operatif yang dilakukan untuk melatih otot dasar panggul dengan meningkatkan massa otot setelah dilakukan latihan. Prinsip dasar senam Kegel disesuaikan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan otot yaitu: besar kecilnya penampang melintang otot, jumlah fibril otot yang turun bekerja saat melawan beban, besar kecilnya rangka tubuh, inervasi otot, keadaan zat kimia dalam otot, keadaan tonus otot saat istirahat, umur dan jenis kelamin (Suharno, 1993). Penelitian yang dilakukan Lestari (2011) menunjukkan bahwa terdapat perubahan yang berarti pada responden yang mendapat senam Kegel selama tiga kali seminggu dibandingkan dengan satu kali seminggu terhadap frekuensi inkontonensia urin. Intervensi senam Kegel lebih menekankan pada kontraksi
6 untuk meningkatkan jumlah serat fibril otot untuk meningkatkan kekuatan otot. Namun kekuatan otot secara keseluruhan juga dipengaruhi oleh keadaan otot saat beristirahat atau relaksasi dan ketersediaan energi serta aliran darah (Lestari, 2011), semakin rendah tonus otot saat beristirahat dan semakin lancar aliran darah ke otot maka semakin besar kekuatan otot tersebut saat bekerja. Dalam bidang kebidanan terdapat sebuah intervensi yang memiliki tujuan untuk meningkatkan suplai darah ke otot dasar panggul yaitu Perineum Massage. Perineum Massage atau pijat perineum merupakan teknik memijat perineum di saat hamil atau beberapa minggu sebelum melahirkan untuk meningkatkan perubahan hormonal yang melembutkan jaringan ikat sehingga jaringan perineum lebih elastis dan lebih mudah meregang. (Aprilia, 2010 dalam Natami, 2012). Pijat yang dilakukan memilki efek relaksasi merangsang pelepasan endorphin sehingga tonus otot menurun dan diharapkan meningkatkan kekuatan otot kembali seperti semula. Penelitian lain mengenai masase lokal pada otot lengan menyatakan bahwa efek fisiologis pijat/masase dapat meningkatkan jangkauan gerak, kekuatan, koordinasi, keseimbangan dan fungsi otot sehingga dapat meningkatkan performa fisik sekaligus mengurangi resiko terjadinya cedera otot (Arovah, 2011). Dalam penelitian tersebut, manipulasi pijat yang digunakan adalah pijat lokal pada lengan dan otot-otot lain yang juga berpengaruh pada saat pengukuran kekuatan otot. Pijat perineum memiliki efek lokal pada otot dasar panggul yaitu meningkatkan aliran darah, meningkatkan elastisitas otot serta jaringan ikat sekitarnya yang kemudian dapat meningkatkan kekuatan serta fungsi otot dasar panggul. Berdasarkan pemaparan hasil penelitian mengenai senam
7 Kegel dan pijat perineum sebelumnya, didapatkan pengaruh yang singnifikan antara kedua intervensi terhadap otot dasar panggul. Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh senam Kegel dan pijat perineum terhadap kekuatan otot dasar panggul lansia di Puskesmas Tabanan III. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut: a. Apakah ada pengaruh senam Kegel terhadap kekuatan otot dasar panggul lansia di Puskesmas Tabanan III? b. Apakah ada pengaruh pijat perineum terhadap kekuatan otot dasar panggul lansia di Puskesmas Tabanan III? c. Apakah pengaruh senam Kegel lebih besar dari pijat perineum terhadap kekuatan otot dasar panggul lansia di Puskesmas Tabanan III? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pijat perineum dan senam Kegel terhadap kekuatan otot dasar panggul pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Tabanan III.
8 1.3.2 Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus penelitian ini antara lain: a. Mengetahui kekuatan otot dasar panggul lansia sebelum dan sesudah diberikan senam Kegel. b. Mengetahui kekuatan otot dasar panggul lansia sebelum dan sesudah diberikan mpijat perineu. c. Mengetahui perbedaan kekuatan otot dasar panggul lansia yang diberikan senam Kegel dan pijat perineum. 1.4 Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian yang diperoleh, peneliti berharap hal tersebut nantinya akan memberikan manfaat, antara lain: 1.4.1 Manfaat Teoritis Sebagai data awal bagi penelitian selanjutnya mengenai metode yang lebih efektif dalam mencegah dan mengurangi masalah inkontinensia urin khususnya pada lansia. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi lansia dan juga tenaga kesehatan di Puskesmas Tabanan III. Bagi lansia, hasil penelitian ini dapat dijadikan tindakan alternatif untuk mencegah timbulnya inkontinensia terutama bagi lansia-lansia yang berisiko. Sedangkan bagi tenaga kesehatan di Puskesmas Tabanan III, hasil dari
9 penelitian ini dapat dijadikan dasar dalam melakukan langkah preventif dan membuat program-program terkait untuk meningkatkan derajat kesehatan terutama pada lansia.