EDISI 15 TAHUN 2017 PRODUK ANALISIS SITUASI Januari- Februari 2017 JARINGAN SURVEY INISIATIF KAJIAN HUKUM GUGATAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN PILKADA ACEH 2017 COPYRIGHT JARINGAN SURVEY INISIATIF 2017 HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG UNDANG
DAFTAR ISI AUTHOR Tim Riset JSI EDITOR ARYOS NIVADA DESAIN LAYOUT Teuku Harist Muzani SENIOR EXPERT ANDI AHMAD YANI, AFFAN RAMLI, CAROLINE PASKARINA, ELLY SUFRIADI, CHAIRUL FAHMI, MONALISA, FAHRUL RIZA YUSUF pendahuluan MEMAHAMI SENGKETA PHP FORMULASI PENGHITUNGAN SELISIH SUARA php PENUTUP 3 4 6 7 rjaringan SURVEY INISIATIF Jln. Tgk. Di Haji, Lr. Ujong Blang, Np. 36, Gp. Lamdingin, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, INDONESIA Telp. (0651) 6303 146 Web: Email: js.inisiatif@gmail.com
ANALISIS SITUASI edisi 15 tahun 2017 JSI 3 PENDAHULUAN Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pada awalnya merupakan ranah kewenangan Mahkamah Agung (MA). Dalam perkembangan selanjutnya, Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa pilkada merupakan bagian dari pemilihan umum (Pemilu). Ketentuan tersebut diikuti dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 memasukkan pemilihan kepala daerah (pilkada) sebagai bagian dari rezim pemilihan umum (pemilu). Sehingga pasal 236C mengamanatkan penanganan sengketa hasil penghitungan suara pilkada dialihkan dari MA ke MK dalam waktu 18 bulan sejak Undang-Undang tersebut diundangkan. Sejak itu, permohonan perkara sengketa pilkada mengalir ke MK. Namun pada 19 Mei 2014, MK melalui putusannya menegaskan penanganan penyelesaian sengketa pilkada bukan merupakan ranah kewenangan MK. Putusan bernomor 97/ PUU-XI/2013 itu menyatakan pemilihan umum menurut Pasal 22E UUD 1945 harus dimaknai secara limitatif, yaitu pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD propinsi dan kabupaten, serta Presiden dan wakilnya yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Berdasarkan putusan tersebut, yang dimaksud pemilihan umum setiap lima tahun sekali pada Pasal 22E UUD 1945 adalah pemilihan calon anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan kabupaten, serta Presiden dan wakilnya secara bersamaan setiap lima tahun sekali atau pemilihan lima kotak suara. Dengan kata lain, pilkada bukan rezim pemilu. Lalu, bagaimana jika terjadi sengketa pilkada, lembaga mana yang berwenang memeriksa dan mengadilinya? Dalam putusan tersebut, MK sepenuhnya menyerahkan hal ini kepada pembentuk UU yaitu pemerintah dan DPR. Lalu lahirlah Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang mencabut berlakunya Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD. Pada saat yang sama Pemerintah juga menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang intinya menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah. Perppu Nomor 1 Tahun 2014 disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 ini pun kemudian direvisi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). UU 8 Tahun 2015 kemudian mengalami perubahan melalui UU Nomor 10 Tahun 2016. Praktis sejak berlakunya Undang-Undang Pilkada, MK secara resmi tidak lagi berwenang mengadili sengketa pilkada. Namun, seluruh putusan mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah sejak tahun 2008 tetap sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat karena putusan MK tidak berlaku surut. Sejatinya, sejak keluarnya Putusan MK Nomor 97/ PUU-XI/2013, perkara perselisihan hasil pilkada bukan lagi menjadi ranah kewenangan MK. Terlebih lagi sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
JSI 4 ANALISIS SITUASI edisi 15 tahun 2017 (UU Pilkada). Pasal 157 ayat (1) UU Pilkada menyebutkan perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. Namun karena badan peradilan khusus tersebut belum terbentuk, maka perselisihan hasil pilkada diperiksa dan diadili MK, sebagaimana ketentuan Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada. sesuai dengan ketentuan Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada, Mahkamah Konstitusi (MK) masih diberikan kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pilkada, sebelum dibentuk badan peradilan khusus. Meskipun sebelumnya MK sudah mempunyai pengalaman dalam penyelesaian perkara Pilkada, namun berbeda dengan Pilkada 2017, di mana dilaksanakan secara serentak. Memahami sengketa Perselisihan Hasil (PHP) di MK MK memberikan batasan terhadap gugatan mengenai perkara perselisihan hasil suara dalam Pasal 158 UU Pilkada. Sebagian ada yang beranggapan bahwa selisih suara yang ditetapkan MK terlalu tipis. Selisih setipis ini, biasa dikenal dengan istilah too close to call, yang terjemahan bebasnya adalah selisih yang terlalu tipis untuk dapat dipastikan siapa pemenangnya. Pemahaman MK, selisih tipis terhadap hasil suara menyebabkan sulit untuk memastikan siapa pemenang Pilkada. Sehingga ekses dari selisih tersebut mengharuskan adanya keputusan dari MK untuk menyelesaikan perbedaan selisih suara yang tipis tersebut. Kemudian pembatasan selisih suara dimaksudkan dalam rangka mengantisipasi banjirnya gugatan ke MK. Dengan waktu yang relatif terbatas, MK menyadari bahwa tidak mungkin menyelesaikan sengketa PHP seluruh Indonesia secara maksimal dan berkualitas apabila tidak ada pembatasan terhadap aturan maksimal selisih suara yang dapat diajukan gugatan. Undang-Undang Pilkada mengatur peserta Pilkada dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana diatur Pasal 158. Pasal 158 ayat (1) mengatur syarat jumlah perbedaan suara untuk Pilkada provinsi yaitu:
ANALISIS SITUASI edisi 15 tahun 2017 JSI 5 2. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 250 ribu-500 ribu maka maksimal selisih suara 1,5 persen; 3. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 500 ribu-1 juta maka maksimal selisih suara 1 persen; 4. kabupaten/ kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen. 1. provinsi dengan jumlah penduduk kurang dari 2 juta maka maksimal selisih suara 2 persen; 2. provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta- 6 juta maka maksimal selisih suara 1,5 persen; 3. provinsi dengan jumlah penduduk 6 juta- 126 juta maka maksimal selisih suara 1 persen; 4. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen. Pasal 158 ayat (2) mengatur syarat jumlah perbedaan suara untuk Pilkada kabupaten/kota yaitu: Pembentuk UU Pilkada memuat ketentuan syarat selisih perolehan suara dengan prosentase tertentu untuk dapat mengajukan permohonan perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pilkada ke MK dikarenakan beberapa pertimbangan sebagai berikut: Pertama, mencegah MK tidak terperosok kembali dalam kasus suap perkara Pilkada yang dapat merenggut kedaulatan rakyat karena belum adanya definisi yang sama dan konsisten tentang penggunaan batu uji terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) Kedua, kehadiran Pasal 158 UU Pilkada merupakan suatu bentuk kompromi atau konsensus pembentuk UU akibat saling lempar kewenangan antara MA dan MK, serta untuk memangkas jumlah kasus sengketa hasil pilkada yang ditangani MK 1. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk kurang dari 250 ribu maka maksimal selisih suara 2 persen;
JSI 6 ANALISIS SITUASI edisi 15 tahun 2017 FORMULASI PENGHITUNGAN SELISIH SUARA PADA SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN PADA MAHKAMAH KONSTITUSI Khusus untuk konteks Aceh, Penduduk Aceh sekitar 5 juta jiwa. Maka untuk syarat maksimal selisih gugatan PHP Pilkada adalah 1,5 persen sebagaimana ketentuan Pasal 158 ayat 1 huruf (b) UU 10 Tahun 2016. Berikut bunyi pasal tersebut : Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan: provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta), pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi; Dalam Peraturan MK (PMK) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dan Perselisihan Hasil Pilkada, terutama dalam Pasal 6 ayat (3), disusun formulasi penghitungan untuk syarat pengajuan PHPKada ke Mahkamah Konstitusi.Formulasi penghitungan itu disusun sebagai tafsir dari norma yang tercantum dalam Pasal 158 UU Pilkada terkait syarat selisih suara maksimal tersebut. Formulasi perhitungan tersebut tidak terlepas dari Pasal 158 Ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016.Sederhananya, formulasi penghitungan dalam Pasal 6 ayat (3) PMK 5/2015 itu.
ANALISIS SITUASI edisi 15 tahun 2017 JSI 7 Misalnya dalam suatu daerah, berdasarkan jumlah penduduknya ditetapkan selisih suaranya paling banyak 2%. Maka penghitungannya adalah 2% dikali dengan jumlah perolehan suara terbanyak dari pasangan calon. Kemudian hasilnya nanti dibandingkan dari selisih perolehan suara masing-masing pasangan calon. Contoh I di daerah Y, pasangan calon A memperoleh 100.000 suara dan pasangan calon B mendapat 90.000 suara. Maka 2% dikali 100.000 (perolehan suara paslon A) adalah 2.000. Angka ini a disebut sebagai nilai koefisien 1. Kemudian, dihitunglah selisih perolehan suara paslon A (100.000) dengan paslon B (90.000), yakni sebesar 10.000. Angka ini disebut sebagai nilai koefisien 2. Untuk mengajukan perkara PHP ke MK sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 158 UU Pilkada, maka selisih angka nilai koefisien 2 tidak boleh lebih besar dari nilai koefisien 1. Artinya dalam contoh paslon A dan B ini, dengan nilai koefisien 2 di bawah nilai koefisien 1, maka paslon B tidak memenuhi syarat untuk mengajukan perkara PHPKada ke MK. Contoh II di daerah X, pasangan calon A memperoleh 100.000 suara dan pasangan calon B mendapat 85.000 suara. Maka 2 persen dikali 100.000 (perolehan suara paslon A) adalah 2.000. Angka ini disebut sebagai nilai koefisien 1. Kemudian, dihitunglah selisih perolehan suara paslon A (100.000) dengan paslon B (85.000), yakni sebesar 15.000. Angka ini disebut sebagai nilai koefisien 2. Untuk mengajukan perkara PHP ke MK, maka selisih angka nilai koefisien 2 tidak boleh lebih besar dari nilai koefisien 1.Artinya dalam contoh paslon A dan B ini, 15 ribu lebih besar daridua ribu, sehingga tidak masuk dalam ketentuan pengajuan gugatan PHP MK. Contoh kasus Aceh Pada Pilkada Aceh 2017, Pasangan Calon (Paslon) Nomor 6, meraih suara sebanyak 812,922 suara. Sedangkan paslon Nomor 5 meraih suara sebanyak 678,264 suara. Berdasarkan data BPS Aceh, jumlah penduduk Aceh per Desember 2016 adalah 5, 096 Juta. Dengan demikian berlaku ketentuan Pasal 158 ayat (1) huruf b. Selisih suara maksimal sebanyak 1, 5 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi; Maka 1,5 persen dikali 812,922 (perolehan suara Paslon nomor 6) adalah 12. 193 suara. Angka ini disebut sebagai nilai koefisien 1. Kemudian, dihitunglah selisih perolehan suara paslon Nomor 6 (812,922) dengan paslon Nomor 5 (678,264), yakni sebesar 134.658. Angka ini disebut sebagai nilai koefisien 2. Untuk mengajukan perkara PHP ke MK, maka selisih angka nilai koefisien 2 tidak boleh lebih besar dari nilai koefisien 1. Artinya dalam contoh paslon No.5 dan No.6 ini, 134.658 lebih besar dari 12. 193, sehingga tidak masuk dalam ketentuan pengajuan gugatan PHP MK. Artinya, apabila Paslon Nomor 5 hendak mengajukan gugatan PHP, nilai koefisien 2 harus setara atau dibawah 12. 193 suara ( 1,5 persen).
JSI 8 ANALISIS SITUASI edisi 15 tahun 2017 PENUTUP Pasal 158 UU Pilkada sampai saat ini masih sah atau konstitusional berlaku karena tidak pernah dinyatakan inskonstitusonal oleh MK dalam perkara pengujian UU, dengan demikian sangatlah janggal jika hakim MK menyimpangi ketentuan normatif dalam UU yang masih berlaku karena justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dalam mengadili dan memutus perkara perselisihan hasil Pilkada pada dasarnya wajib terikat pada hukum materiil dan hukum formil (hukum acara). Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagai hukum formal (procedural law) memiliki fungsi sebagai publiekrechtelijk instrumentarium untuk menegakkan hukum materiil (handhaving van het materiele recht), yaitu hukum tata negara materiil (materiele staatsrecht). Hukum materiil dalam kontek Pilkada adalah ketentuan dalam UU Pilkada yang mengatur tentang wewenang MK untuk mengadili perselisihan hasil Pilkada yaitu Pasal 157 ayat (3). Sementara hukum formil (hukum acara) adalah semua ketentuan baik terdapat dalam UU MK, UU Pilkada maupun PMK yang mengatur dan menjabarkan tentang pelaksanaan wewenang MK untuk mengadili perselisihan hasil Pilkada. Contoh hukum formil (hukum acara) dalam perselisihan hasil Pilkada ini adalah ketentuan tentang batas waktu pengajuan permohonan kepada MK oleh Pemohon yaitu paling lama 3 24 Jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pilkada oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Contoh lainnya hukum formil yang wajib diikuti oleh hakim MK dalam mengadili perselisihan hasil Pilkada adalah ketentuan Pasal 158 UU Pilkada dan Pasal 6 Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pilkada yang mengatur syarat selisih perolehan suara tertentu untuk dapat mengajukan permohonan perselisihan hasil Pilkada. Dengan konstruksi hukum acara yang demikian maka MK secara tegas dilarang untuk mengadili perkara perselisihan hasil Pilkada yang selisih perolehan suaranya antar peserta Pilkada tidak sesuai dengan limitasi yang ditentukan Pasal 158 UU Pilkada dan Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2015. Hal ini juga sejalan dengan pemikiran bahwa hukum acara MK mengatur penegakan hukum yang materinya telah ditentukan dalam hukum materiilnya. ***