ANALISIS SITUASI KAJIAN HUKUM GUGATAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN PILKADA ACEH 2017 EDISI 15 TAHUN 2017 PRODUK JARINGAN SURVEY INISIATIF

dokumen-dokumen yang mirip
LEGAL OPINON (PENDAPAT HUKUM) PENGAJUAN SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PILKADA ACEH TAHUN 2017 Tim Riset Jaringan Survei Inisiatif

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH. A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sengketa Pilkada

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah:

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah

KUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014.

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

Kuasa Hukum Dwi Istiawan, S.H., dan Muhammad Umar, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2015

Kuasa Hukum Dwi Istiawan, S.H., dan Muhammad Umar, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2015

SENGKARUT POLITIK HUKUM ANALISIS SITUASI PILKADA ACEH 2017 EDISI 14 TAHUN 2016 PRODUK JARINGAN SURVEY INISIATIF. November 2016

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 96/PUU-XIII/2015 Penundaan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Calon Tunggal)

I. PEMOHON 1. Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), diwakili oleh Fadli Nasution, S.H., M.H. 2. Irfan Soekoenay, S.H., M.H

BEBERAPA MASALAH DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 1

I. PEMOHON 1. Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), diwakili oleh Fadli Nasution, S.H., M.H. 2. Irfan Soekoenay, S.H., M.H

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 60/PUU-XIII/2015 Persyaratan Menjadi Calon Kepala Daerah Melalui Jalur Independen

PANDUAN TEKNIS SAKSI PILKADA. Aryos Nivada

I. PENDAHULUAN. Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

ANSIS. latar belakang PROFESI & PENGEMBANGAN KEAHLIAN PENDIDIKAN BERBASIS PRODUK DAFTAR ISI. analisis situasi. Volume 8 MEI 2016

POTENSI CALON PERSEORANGAN DALAM PERUBAHAN KEDUA UU NO. 1 TAHUN 2015 Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 23 Maret 2016; disetujui: 4 April 2016

Kehadiran Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada

PUTUSAN MK NO. 54/PUU-XIV/2016 DAN IMPLIKASI DI DALAM PILKADA Oleh Achmadudin Rajab* Naskah Diterima: 24 Juni 2017, Disetujui: 11 Juli 2017

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Manajemen Saksi Pilkada Aceh Aryos Nivada

ANALISIS SITUASI AGAR HIBAH TAK MENJADI GHIBAH EDISI 18 TAHUN 2017 PRODUK. (Analisis Hukum Belanja Hibah Pemerintah Daerah) JARINGAN SURVEY INISIATIF

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

TANTO LAILAM, S.H., LL.M.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 11/PUU-XV/2017 Pembatasan Waktu Pengajuan Sengketa Pemilukada

OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 17 Februari 2016; disetujui: 25 Februari 2016

I. PARA PEMOHON Deden Rukman Rumaji; Eni Rif ati; Iyong Yatlan Hidayat untuk selanjutnya secara bersama-sama disebut Para Pemohon.

PRODUK ANALISIS SITUASI JARINGAN SURVEY INISIATIF SUMBER DAYA MANUSIA ACEH DAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

ANALISIS SITUASI JARINGAN SURVEY INISIATIF PENCABUTAN PASAL UUPA DALAM RUU PEMILU

PANDUAN SAKSI PASANGAN CALON

BAB V PENUTUP. penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

Lex Administratum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 45/PUU-XV/2017 Kewajiban Pengunduran Diri Bagi Anggota DPR, DPD dan DPRD Dalam PILKADA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 130/PUU-XII/2014 Pengisian Kekosongan Jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 53/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Peserta Pemilu serta Syarat Pengusulan Presiden dan Wakil Presiden

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BAB V KESIMPULA DA SARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 79/PUU-XIII/2015 Ketentuan Tidak Memiliki Konflik Kepentingan Dengan Petahana

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 20/PUU-XVI/2018 Parliamentary Threshold

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pemaparan dalam hasil penelitian dan pembahasan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

Kuasa Hukum : - Fathul Hadie Utsman, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 20 Oktober 2014;

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 55/PUU-X/2012 Tentang Persyaratan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XII/2014 Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial di Kabupaten/Kota

SILABUS PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENINGKATAN PEMAHAMAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA PUSAT PENDIDIKAN PANCASILA DAN KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 142/PUU-VII/2009 Tentang UU MPR, DPR, DPD & DPRD Syarat menjadi Pimpinan DPRD

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

PUTUSAN Nomor 97/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XV/2017

DINAMIKA PETAHANA DAN PENCALONANNYA DALAM PILKADA Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 04 Mei 2016; disetujui: 26 Mei 2016

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 24/PUU-XV/2017 Penyelesaian Perselisihan Kepengurusan Partai Politik

PILPRES & PILKADA (Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah)

Tantangan Peradilan Pemilukada dalam Mewujudkan Keadilan Elektoral

ADVOKASI HUKUM SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN IDA BUDHIATI ANGGOTA KPU RI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA SENGKETA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada

RechtsVinding Online

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 21 Januari 2016; disetujui: 27 Januari 2016

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 115/PUU-XIII/2015 Penundaan Pelaksanaan Pemilukada Serentak Akibat Calon Tunggal

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 111 /PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Pembagian kursi tahap kedua

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 46/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem

TINJAUAN HUKUM LEGAL STANDING PEMOHON DALAM GUGATAN UU PEMILU TERKAIT PASAL PASAL YANG DICABUT DALAM UUPA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XVI/2018 Syarat Menjadi Anggota KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 121/PUU-XII/2014 Pengisian Anggota DPRP

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I);

Transkripsi:

EDISI 15 TAHUN 2017 PRODUK ANALISIS SITUASI Januari- Februari 2017 JARINGAN SURVEY INISIATIF KAJIAN HUKUM GUGATAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN PILKADA ACEH 2017 COPYRIGHT JARINGAN SURVEY INISIATIF 2017 HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG UNDANG

DAFTAR ISI AUTHOR Tim Riset JSI EDITOR ARYOS NIVADA DESAIN LAYOUT Teuku Harist Muzani SENIOR EXPERT ANDI AHMAD YANI, AFFAN RAMLI, CAROLINE PASKARINA, ELLY SUFRIADI, CHAIRUL FAHMI, MONALISA, FAHRUL RIZA YUSUF pendahuluan MEMAHAMI SENGKETA PHP FORMULASI PENGHITUNGAN SELISIH SUARA php PENUTUP 3 4 6 7 rjaringan SURVEY INISIATIF Jln. Tgk. Di Haji, Lr. Ujong Blang, Np. 36, Gp. Lamdingin, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, INDONESIA Telp. (0651) 6303 146 Web: Email: js.inisiatif@gmail.com

ANALISIS SITUASI edisi 15 tahun 2017 JSI 3 PENDAHULUAN Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pada awalnya merupakan ranah kewenangan Mahkamah Agung (MA). Dalam perkembangan selanjutnya, Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa pilkada merupakan bagian dari pemilihan umum (Pemilu). Ketentuan tersebut diikuti dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 memasukkan pemilihan kepala daerah (pilkada) sebagai bagian dari rezim pemilihan umum (pemilu). Sehingga pasal 236C mengamanatkan penanganan sengketa hasil penghitungan suara pilkada dialihkan dari MA ke MK dalam waktu 18 bulan sejak Undang-Undang tersebut diundangkan. Sejak itu, permohonan perkara sengketa pilkada mengalir ke MK. Namun pada 19 Mei 2014, MK melalui putusannya menegaskan penanganan penyelesaian sengketa pilkada bukan merupakan ranah kewenangan MK. Putusan bernomor 97/ PUU-XI/2013 itu menyatakan pemilihan umum menurut Pasal 22E UUD 1945 harus dimaknai secara limitatif, yaitu pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD propinsi dan kabupaten, serta Presiden dan wakilnya yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Berdasarkan putusan tersebut, yang dimaksud pemilihan umum setiap lima tahun sekali pada Pasal 22E UUD 1945 adalah pemilihan calon anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan kabupaten, serta Presiden dan wakilnya secara bersamaan setiap lima tahun sekali atau pemilihan lima kotak suara. Dengan kata lain, pilkada bukan rezim pemilu. Lalu, bagaimana jika terjadi sengketa pilkada, lembaga mana yang berwenang memeriksa dan mengadilinya? Dalam putusan tersebut, MK sepenuhnya menyerahkan hal ini kepada pembentuk UU yaitu pemerintah dan DPR. Lalu lahirlah Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang mencabut berlakunya Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD. Pada saat yang sama Pemerintah juga menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang intinya menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah. Perppu Nomor 1 Tahun 2014 disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 ini pun kemudian direvisi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). UU 8 Tahun 2015 kemudian mengalami perubahan melalui UU Nomor 10 Tahun 2016. Praktis sejak berlakunya Undang-Undang Pilkada, MK secara resmi tidak lagi berwenang mengadili sengketa pilkada. Namun, seluruh putusan mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah sejak tahun 2008 tetap sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat karena putusan MK tidak berlaku surut. Sejatinya, sejak keluarnya Putusan MK Nomor 97/ PUU-XI/2013, perkara perselisihan hasil pilkada bukan lagi menjadi ranah kewenangan MK. Terlebih lagi sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015

JSI 4 ANALISIS SITUASI edisi 15 tahun 2017 (UU Pilkada). Pasal 157 ayat (1) UU Pilkada menyebutkan perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. Namun karena badan peradilan khusus tersebut belum terbentuk, maka perselisihan hasil pilkada diperiksa dan diadili MK, sebagaimana ketentuan Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada. sesuai dengan ketentuan Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada, Mahkamah Konstitusi (MK) masih diberikan kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pilkada, sebelum dibentuk badan peradilan khusus. Meskipun sebelumnya MK sudah mempunyai pengalaman dalam penyelesaian perkara Pilkada, namun berbeda dengan Pilkada 2017, di mana dilaksanakan secara serentak. Memahami sengketa Perselisihan Hasil (PHP) di MK MK memberikan batasan terhadap gugatan mengenai perkara perselisihan hasil suara dalam Pasal 158 UU Pilkada. Sebagian ada yang beranggapan bahwa selisih suara yang ditetapkan MK terlalu tipis. Selisih setipis ini, biasa dikenal dengan istilah too close to call, yang terjemahan bebasnya adalah selisih yang terlalu tipis untuk dapat dipastikan siapa pemenangnya. Pemahaman MK, selisih tipis terhadap hasil suara menyebabkan sulit untuk memastikan siapa pemenang Pilkada. Sehingga ekses dari selisih tersebut mengharuskan adanya keputusan dari MK untuk menyelesaikan perbedaan selisih suara yang tipis tersebut. Kemudian pembatasan selisih suara dimaksudkan dalam rangka mengantisipasi banjirnya gugatan ke MK. Dengan waktu yang relatif terbatas, MK menyadari bahwa tidak mungkin menyelesaikan sengketa PHP seluruh Indonesia secara maksimal dan berkualitas apabila tidak ada pembatasan terhadap aturan maksimal selisih suara yang dapat diajukan gugatan. Undang-Undang Pilkada mengatur peserta Pilkada dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana diatur Pasal 158. Pasal 158 ayat (1) mengatur syarat jumlah perbedaan suara untuk Pilkada provinsi yaitu:

ANALISIS SITUASI edisi 15 tahun 2017 JSI 5 2. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 250 ribu-500 ribu maka maksimal selisih suara 1,5 persen; 3. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 500 ribu-1 juta maka maksimal selisih suara 1 persen; 4. kabupaten/ kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen. 1. provinsi dengan jumlah penduduk kurang dari 2 juta maka maksimal selisih suara 2 persen; 2. provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta- 6 juta maka maksimal selisih suara 1,5 persen; 3. provinsi dengan jumlah penduduk 6 juta- 126 juta maka maksimal selisih suara 1 persen; 4. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen. Pasal 158 ayat (2) mengatur syarat jumlah perbedaan suara untuk Pilkada kabupaten/kota yaitu: Pembentuk UU Pilkada memuat ketentuan syarat selisih perolehan suara dengan prosentase tertentu untuk dapat mengajukan permohonan perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pilkada ke MK dikarenakan beberapa pertimbangan sebagai berikut: Pertama, mencegah MK tidak terperosok kembali dalam kasus suap perkara Pilkada yang dapat merenggut kedaulatan rakyat karena belum adanya definisi yang sama dan konsisten tentang penggunaan batu uji terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) Kedua, kehadiran Pasal 158 UU Pilkada merupakan suatu bentuk kompromi atau konsensus pembentuk UU akibat saling lempar kewenangan antara MA dan MK, serta untuk memangkas jumlah kasus sengketa hasil pilkada yang ditangani MK 1. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk kurang dari 250 ribu maka maksimal selisih suara 2 persen;

JSI 6 ANALISIS SITUASI edisi 15 tahun 2017 FORMULASI PENGHITUNGAN SELISIH SUARA PADA SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN PADA MAHKAMAH KONSTITUSI Khusus untuk konteks Aceh, Penduduk Aceh sekitar 5 juta jiwa. Maka untuk syarat maksimal selisih gugatan PHP Pilkada adalah 1,5 persen sebagaimana ketentuan Pasal 158 ayat 1 huruf (b) UU 10 Tahun 2016. Berikut bunyi pasal tersebut : Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan: provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta), pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi; Dalam Peraturan MK (PMK) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dan Perselisihan Hasil Pilkada, terutama dalam Pasal 6 ayat (3), disusun formulasi penghitungan untuk syarat pengajuan PHPKada ke Mahkamah Konstitusi.Formulasi penghitungan itu disusun sebagai tafsir dari norma yang tercantum dalam Pasal 158 UU Pilkada terkait syarat selisih suara maksimal tersebut. Formulasi perhitungan tersebut tidak terlepas dari Pasal 158 Ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016.Sederhananya, formulasi penghitungan dalam Pasal 6 ayat (3) PMK 5/2015 itu.

ANALISIS SITUASI edisi 15 tahun 2017 JSI 7 Misalnya dalam suatu daerah, berdasarkan jumlah penduduknya ditetapkan selisih suaranya paling banyak 2%. Maka penghitungannya adalah 2% dikali dengan jumlah perolehan suara terbanyak dari pasangan calon. Kemudian hasilnya nanti dibandingkan dari selisih perolehan suara masing-masing pasangan calon. Contoh I di daerah Y, pasangan calon A memperoleh 100.000 suara dan pasangan calon B mendapat 90.000 suara. Maka 2% dikali 100.000 (perolehan suara paslon A) adalah 2.000. Angka ini a disebut sebagai nilai koefisien 1. Kemudian, dihitunglah selisih perolehan suara paslon A (100.000) dengan paslon B (90.000), yakni sebesar 10.000. Angka ini disebut sebagai nilai koefisien 2. Untuk mengajukan perkara PHP ke MK sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 158 UU Pilkada, maka selisih angka nilai koefisien 2 tidak boleh lebih besar dari nilai koefisien 1. Artinya dalam contoh paslon A dan B ini, dengan nilai koefisien 2 di bawah nilai koefisien 1, maka paslon B tidak memenuhi syarat untuk mengajukan perkara PHPKada ke MK. Contoh II di daerah X, pasangan calon A memperoleh 100.000 suara dan pasangan calon B mendapat 85.000 suara. Maka 2 persen dikali 100.000 (perolehan suara paslon A) adalah 2.000. Angka ini disebut sebagai nilai koefisien 1. Kemudian, dihitunglah selisih perolehan suara paslon A (100.000) dengan paslon B (85.000), yakni sebesar 15.000. Angka ini disebut sebagai nilai koefisien 2. Untuk mengajukan perkara PHP ke MK, maka selisih angka nilai koefisien 2 tidak boleh lebih besar dari nilai koefisien 1.Artinya dalam contoh paslon A dan B ini, 15 ribu lebih besar daridua ribu, sehingga tidak masuk dalam ketentuan pengajuan gugatan PHP MK. Contoh kasus Aceh Pada Pilkada Aceh 2017, Pasangan Calon (Paslon) Nomor 6, meraih suara sebanyak 812,922 suara. Sedangkan paslon Nomor 5 meraih suara sebanyak 678,264 suara. Berdasarkan data BPS Aceh, jumlah penduduk Aceh per Desember 2016 adalah 5, 096 Juta. Dengan demikian berlaku ketentuan Pasal 158 ayat (1) huruf b. Selisih suara maksimal sebanyak 1, 5 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi; Maka 1,5 persen dikali 812,922 (perolehan suara Paslon nomor 6) adalah 12. 193 suara. Angka ini disebut sebagai nilai koefisien 1. Kemudian, dihitunglah selisih perolehan suara paslon Nomor 6 (812,922) dengan paslon Nomor 5 (678,264), yakni sebesar 134.658. Angka ini disebut sebagai nilai koefisien 2. Untuk mengajukan perkara PHP ke MK, maka selisih angka nilai koefisien 2 tidak boleh lebih besar dari nilai koefisien 1. Artinya dalam contoh paslon No.5 dan No.6 ini, 134.658 lebih besar dari 12. 193, sehingga tidak masuk dalam ketentuan pengajuan gugatan PHP MK. Artinya, apabila Paslon Nomor 5 hendak mengajukan gugatan PHP, nilai koefisien 2 harus setara atau dibawah 12. 193 suara ( 1,5 persen).

JSI 8 ANALISIS SITUASI edisi 15 tahun 2017 PENUTUP Pasal 158 UU Pilkada sampai saat ini masih sah atau konstitusional berlaku karena tidak pernah dinyatakan inskonstitusonal oleh MK dalam perkara pengujian UU, dengan demikian sangatlah janggal jika hakim MK menyimpangi ketentuan normatif dalam UU yang masih berlaku karena justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dalam mengadili dan memutus perkara perselisihan hasil Pilkada pada dasarnya wajib terikat pada hukum materiil dan hukum formil (hukum acara). Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagai hukum formal (procedural law) memiliki fungsi sebagai publiekrechtelijk instrumentarium untuk menegakkan hukum materiil (handhaving van het materiele recht), yaitu hukum tata negara materiil (materiele staatsrecht). Hukum materiil dalam kontek Pilkada adalah ketentuan dalam UU Pilkada yang mengatur tentang wewenang MK untuk mengadili perselisihan hasil Pilkada yaitu Pasal 157 ayat (3). Sementara hukum formil (hukum acara) adalah semua ketentuan baik terdapat dalam UU MK, UU Pilkada maupun PMK yang mengatur dan menjabarkan tentang pelaksanaan wewenang MK untuk mengadili perselisihan hasil Pilkada. Contoh hukum formil (hukum acara) dalam perselisihan hasil Pilkada ini adalah ketentuan tentang batas waktu pengajuan permohonan kepada MK oleh Pemohon yaitu paling lama 3 24 Jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pilkada oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Contoh lainnya hukum formil yang wajib diikuti oleh hakim MK dalam mengadili perselisihan hasil Pilkada adalah ketentuan Pasal 158 UU Pilkada dan Pasal 6 Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pilkada yang mengatur syarat selisih perolehan suara tertentu untuk dapat mengajukan permohonan perselisihan hasil Pilkada. Dengan konstruksi hukum acara yang demikian maka MK secara tegas dilarang untuk mengadili perkara perselisihan hasil Pilkada yang selisih perolehan suaranya antar peserta Pilkada tidak sesuai dengan limitasi yang ditentukan Pasal 158 UU Pilkada dan Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2015. Hal ini juga sejalan dengan pemikiran bahwa hukum acara MK mengatur penegakan hukum yang materinya telah ditentukan dalam hukum materiilnya. ***