BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
MOHAMMAD FARIKHIN YANUAREFA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2. Bio Ekologi Herpetofauna 2.1. Taksonomi Taksonomi Reptil Taksonomi Amfibi

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK

I. PENDAHULUAN. Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari

INVENTARISASI ANURA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG SUKABUMI

DISTRIBUSI VERTIKAL ANURA DI GUNUNG SEBLAT KABUPATEN LEBONG, BENGKULU VERTICAL DISTRIBUTION OF ANURA IN SEBLAT MOUNT LEBONG REGENCY, BENGKULU

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

LAMPIRAN. Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian. sumber: ( Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat

Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram. Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati

II. TINJAUAN PUSTAKA

Evaluasi (untuk guru) Pilihan Ganda

MATERI KULIAH BIOLOGI FAK.PERTANIAN UPN V JATIM Dr. Ir.K.Srie Marhaeni J,M.Si

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

BAB II AMFIBI, REPTIL & PENGETAHUAN ANAK-ANAK TENTANG AMFIBI DAN REPTIL

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

LAPORAN PRAKTIKUM GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA (GPW 0101) ACARA V: PEMAHAMAN FENOMENA BIOSFER

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

I.PENDAHULUAN. Amfibi merupakan hewan berdarah dingin yang suhu tubuhnya tergantung pada suhu

EKOSISTEM. Yuni wibowo

II. TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Telur

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

Tabel 1. Daftar spesies herpetofauna yang ditemukan di lokasi SCP

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

JURNAL HUTAN LESTARI (2015) Vol. 3 (1) : 15 20

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Amfibi mempunyai ciri ciri sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1.

SPECIES AMPHIBIA PADA ZONA PEMANFAATAN TNKS JORONG PINCURAN TUJUH KECAMATAN SANGIR KABUPATEN SOLOK SELATAN. Mita Ria Azalia, Jasmi, Meliya Wati.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PENYEBARAN KOMUNITAS FAUNA DI DUNIA

KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU. A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi

Karakterisik dan Kepadatan Populasi Genus Microhyla Di Wilayah Cagar Alam dan Taman Wisata Alam (CA-TWA) Telaga Warna ABSTRAK

BAB III METODE PENELITIAN

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA DI KAWASAN TAMBLING WILDLIFE NATURE CONSERVATION (TWNC) TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS) PESISIR BARAT LAMPUNG

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2016 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA UNTUK TANAMAN ENDEMIK JAWA BARAT MENGGUNAKAN GISARCVIEW

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS,

LINGKUNGAN KEHIDUPAN DI MUKA BUMI

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Tengah tepatnya di kabupaten Karanganyar. Secara geografis terletak

KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI DI KAWASAN HUTAN LARANGAN ADAT KENEGERIAN RUMBIO KECAMATAN KAMPAR KABUPATEN KAMPAR

I. PENDAHULUAN. buaya, Caiman, buaya, kura-kura, penyu dan tuatara. Ada sekitar 7900 spesies

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI DI KAWASAN LINDUNG SUNGAI LESAN, KALIMANTAN TIMUR RAHMAT ABDIANSYAH

SURVEI AWAL KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI DESA KETENGER, BATU RADEN, JAWA TENGAH

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS

BAB I PENDAHULUAN UKDW. bumi, namun demikian keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity

I. PENDAHULUAN. beragam adat istiadat, bahasa, agama serta memiliki kekayaan alam, baik yang ada di

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

3. Simbol yang baik untuk memperlihatkan persebaran pada peta adalah a. grafis d. lingkaran b. titik e. warna c. batang

GEOGRAFI REGIONAL ASIA VEGETASI ASIA PENGAJAR DEWI SUSILONINGTYAS DEP GEOGRAFI FMIPA UI

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

BAB I PENDAHULUAN. dan kuat yang sebarannya hanya terdapat di pulau-pulau kecil dalam kawasan

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan kehidupan dan peradaban manusia, hutan semakin

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengamatan yang dilakukan selama penelitian di Youth Camp terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

DAFTAR PUSTAKA. Alikodra HS Penegelolaan Satwaliar Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

TUNTAS/PKBM/1/GA - RG 1 Graha Pustaka

ROMMY ANDHIKA LAKSONO. Agroklimatologi

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

Beberapa fakta dari letak astronomis Indonesia:

Global Warming. Kelompok 10

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi dan Penyebaran Herpetofauna di Sumatera 2.1.1. Amfibi Amfibi merupakan satwa poikilotherm atau ektotermik yang berarti amfibi tidak dapat menggunakan proses metabolisme di dalam tubuhnya untuk dijadikan sebagai sumber panas, tetapi amfibi memperoleh sumber panas dari lingkungan untuk mendapatkan energi, oleh karena itu amfibi mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap kondisi lingkungan (Mistar 2003). Satwa poikiloterm mempunyai metabolisme yang rendah, oleh karena itu mereka mampu tidak makan dalam waktu yang relatif lama. Namun demikian, beberapa jenis katak makan setiap hari atau beberapa hari sekali, kecuali pada saat dorman dimana mereka bisa tidak makan sampai beberapa bulan (Kusrini 2009). Keadaan dorman dilakukan pada saat kondisi lingkungan tidak mendukung kehidupan amfibi (Cogger 1999). Suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi lingkungan. Suhu dan kelembaban yang sesuai sangat diperlukan bagi kehidupan amfibi. Menurut Duellman and Trueb (1994) bangsa salamander di Amerika Utara dan Selatan mempunyai kisaran suhu -2-30 ºC untuk dapat hidup, sedangkan bangsa anura mempunyai kisaran suhu antara 3-35,7 ºC yang dapat ditolerir untuk menunjang kehidupannya. Beberapa jenis amfibi di iklim dingin berjemur untuk menaikkan suhu tubuh agar tetap stabil (Cogger 1999). Kebanyakan amfibi nokturnal dan hanya aktif ketika kondisi lingkungannya cukup lembab untuk mengurangi dehidrasi pada tubuhnya (Cogger and Zweifel 2003). Kelembaban dibutuhkan untuk membuat kulit amfibi tidak kering karena kulit berfungsi sebagai alat pernafasan. Selain itu kulit katak bersifat permeabel dimana berungsi sebagai tempat keluar masuk air dan udara (Cogger 1999). Amfibi hidup selalu berasosiasi dengan air (Iskandar 1998). Air dapat menjaga perubahan temperatur pada tubuhnya sehingga amfibi selalu berada dekat dengan air. Jumlah air dalam tubuh kira-kira 70-80 % dari berat tubuh amfibi (Hofrichter 2000). Ada beberapa jenis amfibi tinggal di daerah yang jauh dari air,

5 sehingga mereka mengembangkan berbagai strategi untuk mempertahankan kandungan air dalam tubuhnya. Cyclorana platycephalus mempunyai kandung kencing sangat besar dan dapat menyimpan air sampai separuh berat badannya, hal ini dilakukan untuk menyimpan cadangan air pada musim kemarau (van Hoeve 1992). Amfibi dewasa bernafas menggunakan paru-paru, sedangkan pada amfibi muda (saat baru menetas disebut sebagai berudu) umumnya bernafas dengan insang. Pada saat metamorfosis, terjadi perubahan dari segi morfologis dimana bentuk serupa ikan pada berudu yang bernafas dengan insang ini berubah menjadi vertebrata bertungkai yang bernafas dengan paru-paru. Air sangat dibutuhkan oleh amfibi pada saat fase berudu. Menurut Mistar (2003) fase berudu merupakan bagian dari proses evolusi amfibi yang paling kompleks, dan apabila gagal dalam fase ini maka selamanya tidak akan pernah menjadi katak/ kodok Untuk mempertahankan diri dari pemangsa dan penyakit, amfibi mempunyai berbagai bentuk mekanisme pertahanan diri. Menurut Kusrini (2009) mekanisme pertahanan diri tersebut antara lain pewarnaan pada warna kulit amfibi. Pewarnaan berfungsi sebagai kamufalse atau memperingatkan predator bahwa amfibi tersebut beracun/ berbahaya. Beberapa jenis amfibi yang tidak berbahaya kadang-kadang mempunyai warna yang serupa dengan amfibi berbahaya, hal tersebut digunakan untuk mengelabuhi predator mereka. Bentuk dan warna amfibi yang menyerupai lingkungan sekitar juga digunakan amfibi untuk menyulitkan predator memangsa mereka, seperti yang dilakukan oleh katak terestrial yang hidup di lantai hutan biasanya mempunyai bentuk yang mirip dengan serasah (Duellman and Trueb 1994). Amfibi mempunyai kulit yang tetap lembab yang berfungsi untuk mencegah masuknya bakteri atau patogen lainnya. Beberapa jenis katak mempunyai kelenjar beracun, racun tersebut berwarna susu atau bening akan dikeluarkan oleh katak jika mengalami gangguan/ ancaman (van Hoeve 1992). Penelitian yang dilakukan oleh Daly et al. (2004) di Thailand, beberapa jenis amfibi dari bangsa anura mempunyai zat bioaktif pada kulitnya yang berfungsi sebagai racun. Amfibi juga mempunyai mekanisme pertahanan diri dengan cara menggigit, terdapat beberapa jenis katak yang menggigit jika dipegang seperti Asterophrys turpicola dari Niugini, Ceratobatrachus guantheri

6 dari Solomon serta marga Hemipharactus dan Ceretophrys dari Amerika (Iskandar 1998). Amfibi hidup pada daerah yang dekat dengan air. Tetapi ada beberapa jenis yang hidup pada daerah yang jauh dari air seperti pada amfibi terestrial dan katak pohon (Iskandar 1998). Amfibi mempunyai habitat yang bervariasi mulai dari habitat sawah, rawa dan kolam (Fitri 2002), sedangkan menurut Iskandar (1998) habitat amfibi bervariasi mulai di sawah, rawa, sekitar sungai di dataran rendah sampai tinggi, bahkan di pundak pohon di hutan-hutan pegunungan. Hampir 5,000 jenis amfibi di dunia tergantung pada hutan sebagai tempat hidupnya. Habitat terestrial lain tidak begitu disukai oleh amfibi khususnya tempat yang kering, seperti padang rumput dan gurun (IUCN 2008). Beberapa jenis amfibi merupakan jenis-jenis yang mempunyai habitat/ hanya dapat hidup pada daerah yang spesifik (mikrohabitat) yang masih alami amfibi seperti ini disebut amfibi spesialis. Contoh dari amfibi spesialis ini yaitu kongkang jeram (Huia massonii) yang hanya hidup pada daerah yang masih alami dimana hidup didaerah yang beraliran deras dan mempunyai air yang jernih. Beberapa jenis lagi merupakan amfibi yang dapat hidup dalam tekanan/ dekat lingkungan yang tercemar/ dekat dengan hunian manusia. Jenis ini merupakan jenis-jenis amfibi yang semakin banyak seiring dengan meningkatnya populasi manusia dimana dalam hidupnya jenis-jenis ini mampu bertahan atau bahkan dapat hidup baik dengan kondisi lingkungan yang sudah tidak alami. Jenis-jenis amibi ini umumnya merupakan jenis yang umum dijumpai atau disebut sebagai amfibi generalis. Contoh dari amfibi generalis yaitu kodok buduk (Bufo melanostictus) dan kongkang kolam (Rana chalconota). Menurut Mistar (2003), secara umum menurut tipe habitat dan kebiasaan hidupnya amfibi terbagi menjadi empat kelompok yaitu: 1) Terestrial - hidup diatas permukaan tanah, diantaranya Megophrys nasuta, Megophrys montana, Megophrys aceras, Bufo quadriporcatus, Bufo parvus, Pedostibes hosii, Kalophrynus pleurostigma, Kalophrynus punctatus 2) Arboreal - kelompok yang hidup diatas pohon diwakili oleh famili Rhacophoridae, dua spesies famili Microhylidae dan satu spesies katak puru pohon Pedostibes hosii

7 3) Akuatik - amfibi yang sepanjang hidupnya selalu terdapat di sekitar sungai atau air diantaranya Bufo asper, Bufo juxtasper, Occidozyga sumatrana, Rana kampeni, Rana signata, Limnonectes spp. 4) Fossorial - kelompok yang hidup di dalam lubang-lubang tanah diwakili oleh famili Microhylidae Menurut penelitian van Kampen pada tahun 1923, di Pulau Sumatera tercatat 61 jenis amfibi. Tetapi seiring banyaknya survei, di temukan banyak jenis baru di Sumatera, seperti penelitian Inger and Iskandar (2005) yang menemukan jenis baru di Sumatera Barat yaitu Megophrys parallela. Publikasi terbaru menunjukkan bahwa Pulau Sumatera mempunyai 85 jenis amfibi dan 23 jenis diantaranya merupakan endemik (Inger 2005). Sedangkan amfibi yang ditemukan di Sumatera terdiri atas Ichtyophidae, Bufonidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae, Rhacophoridae (Iskandar and Colijn 2000). Mistar (2003) mencatat 69 jenis amfibi di kawasan ekosistem Leuser. Sementara Darmawan (2008) melakukan penelitian di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi dan menemukan 37 jenis amfibi dari 5 famili yang terdiri dari Bufonidae, Megophrydae, Microhylidae, Ranidae dan Rhacophoridae. Jumlah jenis yang ditemukan tergantung dari luasan wilayah yang diteliti dan usaha pencarian. Sebagai contoh, HIMAKOVA (2004) menemukan 13 jenis amfibi dari Ordo Anura di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, sedangkan di lokasi yang sama Ul-Hasanah (2006) menemukan 44 jenis amfibi yang terdiri dari Bufonidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae dan Rhacophoridae. Di Taman Nasional Kerinci Seblat penelitian intensif yang dilakukan oleh Kurniati (2007) menemukan 70 jenis amfibi, Sudrajat (2001) menemukan 25 jenis amfibi dari Ordo Anura di Musi Banyuasin, Lahat dan Musi Rawas Sumatera Selatan. Widyananto (2009) melakukan penelitian di kawasan Siberut Conservation Program dan menemukan 14 jenis amfibi. HIMAKOVA (2006) menemukan 18 jenis amfibi dari Ordo Anura di Taman Nasional Way Kambas.

8 2.1.2. Reptil Reptil mempunyai berbagai macam bentuk, ukuran dan strategi yang mengesankan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, seperti kura-kura dengan tubuhnya yang diselimuti cangkang, ular dengan dengan tubuhnya yang panjang dan berkelok-kelok, gerakan lincah dari kadal dan tubuh yang besar dari buaya (Cogger and Zweifel 2003). Reptil adalah satwa ektotermal, yaitu mereka memerlukan sumber panas eksternal untuk melakukan kegiatan metabolismenya (Cogger and Zweifel 2003). Pada saat kondisi lingkungan panas, reptil khususnya kadal memperoleh panas dengan cara berjemur dibawah sinar matahari atau berpindah ke tempat yang panas dengan cara mengekspose sebagian besar tubuhnya sehingga memperoleh panas dengan optimal. Sedangkan pada saat kondisi lingkungan dingin, kadal hanya mengekspose sebagian kecil tubuhnya untuk menyimpan panas (Cogger 1999). Sebagian besar kadal mengatur suhu tubuhnya dengan cara mengubah warna tubuhnya. Pada waktu pagi hari dan sore hari, kulit dari kadal berwarna lebih gelap sehingga dapat menyerap panas dari sinar matahari secara optimal dan pada waktu tubuhnya telah panas, maka warna kulitnya berubah menjadi lebih terang. Beberapa jenis kadal dan ular di daerah tropis aktif pada malam hari karena suhu pada waktu malam hari lebih stabil (Cogger 1999). Berbeda dengan semua reptilia lain, yang baru aktif benar pada suhu antara 20 o C dan 40 o C, tuatara terasa nyaman pada suhu 12 o C (van Hoeve 1992). Menggigit merupakan perilaku paling umum dijumpai dari reptil untuk mempertahankan diri dari gangguan. Tetapi terdapat berbagai strategi yang digunakan reptil seperti ular dari famili elapidae dan viperidae memproduksi racun untuk mempertahankan diri. Beberapa jenis kadal memipihkan, mengembangkan dan meninggikan tubuhnya untuk membuat meraka kelihatan menjadi lebih besar. Beberapa jenis ular dan bunglon menyamarkan diri menyerupai dengan lingkungan sekitarnya (Cogger and Zweifel 2003). Reptil hampir ditemukan di seluruh dunia sampai ketinggian lebih dari 4.500 meter diatas permukaan laut. Mereka tersebar di semua benua kecuali Antartika, bahkan beberapa reptil ditemukan pada pulau yang terpencil. Mereka hidup di hutan hujan, hutan tanaman, savana, padang rumput, gurun, dan semak

9 belukar (Cogger and Zweifel 2003). Reptil jika dibagi berdasarkan habitatnya, menurut Cogger and Zweifel (2003) terdiri dari reptil terstrial, reptil arboreal, reptil subterranean, reptil akuatik, dan reptil di pulau terpencil. Kebanyakan jenis reptil dijumpai pada daerah tropis dan sub tropis. Di daerah beriklim sedang, reptilia melaksanakan hibernasi selama musim salju. Ini terpaksa dilakukannya karena tak mampu mengatur suhu badannya sendiri. Lagi pula, selama musim itu tidak tersedia makanan. Pada musim semi, reptilia muncul kembali dan segera mulai musim kawin (van Hoeve 1992). Penyu hidup di laut daerah temperate dan tropis, sedangkan kura-kura air tawar hidup air tawar seperti kolam, danau, sungai besar maupun anak sungai. Tuatara hidup di hutan dataran rendah dan semak belukar, biasa ditemukan bersembunyi di lantai hutan. Semua buaya hidup secara semiakuatik dan tidak pernah jauh dari air. Kebanyakan buaya hidup di air tawar tetapi beberapa spesies yang hidup di daerah yang mempunyai salinitas tinggi seperti di rawa dan muara. Kadal dapat ditemukan diberbagai tipe habitat. Beberapa hidup di daerah temperate, beberapa hidup di daerah sangat panas dan sangat dingin. Amphisbaenia menghabiskan waktunya di bawah tanah. Mereka lebih memilih daerah yang lembab sebagai tempat tinggalnya. Ular tersebar hampir di seluruh dunia kecuali daerah yang sangat dingin (Cogger 1999). Penelitian tentang reptil di Sumatera berkembang bersamaan dengan penelitian amfibi di Sumatera karena biasanya penelitian reptil selalu dilakukan bersamaan dengan penelitian amfibi. Beberapa contoh penelitian keanekaragaman reptil yang ada di Sumatera antara lain penelitian di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dilakukan oleh HIMAKOVA (2004) dan menemukan 13 jenis reptil sedangkan (Endarwin 2006) melakukan peneltian yang lebih luas pada kawasan yang sama dan menemukan 51 jenis reptil. Pada kawasan Musi Banyuasin, Lahat dan Musi Rawas Sumatera Selatan, terdapat 27 jenis reptil (Sudrajat 2001). Di Taman Nasional Kerinci Seblat penelitian intensif yang dilakukan oleh Kurniati (2007) menemukan 38 jenis reptil. HIMAKOVA (2006), menemukan 13 jenis reptil di Taman Nasional Way Kambas. Pada kawasan Siberut Conservation Program ditemukan 26 jenis reptil (Widyananto 2009),

10 Yusuf (2006) melakukan penelitian di di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi dan menemukan 31 jenis reptil. 2.2. Edge (Daerah Peralihan) dan Core (Daerah Inti) Odum (1993) mendefinisikan daerah peralihan sebagai peralihan antara dua atau lebih komunitas yang berbeda. Sedangkan menurut Forman (1981) daerah peralihan berarti bagian dari suatu ekosistem yang berdekatan dengan garis kelilingnya (perimeter) dimana pengaruh-pengaruh dari patches yang berdekatan dapat menyebabkan perbedaan lingkungan antara daerah inti suatu patch dengan tepinya. Efek tepi (edge effect) ini meliputi perbedaan komposisi spesies atau kelimpahan di bagian luar patch. Komunitas daerah peralihan biasanya banyak mengandung organisme dari masing-masing komunitas yang saling tumpang tindih dan sebagai tambahan organisme-organisme yang khas dan sering kali terbatas hanya pada daerah peralihan. Sering kali, jumlah jenis dan kepadatan populasi dari beberapa jenis lebih besar di daerah peralihan daripada di komunitas yang mengapitnya. Kecenderungn untuk meningkatnya keanekaragaman dan kepadatan pada pertemuan komunitas dikenal sebagai pengaruh tepi (edge effect) (Odum 1993). Di dalam lanskap yang kontinyu, seperti suatu hutan ke daerah berkayu yang terbuka, lokasi daerah peralihan pastinya kabur dan kadang-kadang dibedakan oleh gradien lokal melalui suatu ambang batas, seperti halnya suatu titik dimana penutupan pohon menurun di bawah 35 persen (Turner et al. 2001) Bentuk, luas dan konfigurasi spasial daerah peralihan mempengaruhi proses ekosistem pada daerah peralihan. Daerah peralihan yang sempit akan mempunyai tingkat biodiversity yang rendah. Matriks yang terfragmentasi, akan menimbulkan banyak daerah peralihan. Fragmentasi adalah proses perubahan dari matriks homogen yang kompak, menjadi matriks heterogen yang terpecah-pecah. Kondisi matriks yang terpecah ini akan berbeda dengan matriks awal dalam hal: (a) matriks yang terfragmen akan mempunyai area daerah peralihan yang lebih luas (b) jarak pusat matriks dengan daerah peralihan menjadi lebih dekat (c) daerah inti menjadi lebih sempit. Perbedaan inilah yang menyebabkan perbedaan komposisi atau biodiversitasnya (Prasetyo 2007).

11 Ukuran dan bentuk patch beragam, ada yang membulat (isodiametric) dan memanjang (elongated). Isodiametric patch memiliki areal daerah inti yang lebih besar daripada daerah peralihannya, sebaliknya elongated patch memiliki daerah peralihan area yang lebih luas. Dengan kata lain isodiametric patch menampung fauna interior lebih banyak dari elongated patch. Sebaliknya elongated patch akan memiliki keunggulan dari keanekaragaman spesies interiornya. Untuk mengukur bentuk patch ini, biasanya digunakan perhitungan interior-to-edgeratio. Semakin besar nilai perhitungan interior-to-edge-ratio nya maka bentuk patch tersebut semakin mendekati lingkaran/ membulat (Farina 2000). Gambar 1, memberikan gambaran daerah inti dan daerah peralihan. Size Patch Interior Patch Edge Small Intermediete Large Isodiametric Elongated Narrow Elongated Gambar 1 Daerah inti dan daerah peralihan berdasarkan ukuran bentuk patch. Menurut Sisk et al. 1997, terdapat tiga kategori respon fauna terhadap daerah peralihan yaitu meningkat kelimpahannya (b), beberapa menurun (c) dan beberapa secara relatif tidak terpengaruh (a) (Gambar 2).

12 a).edge Neutral b). Edge Exploiter Daerah 1 DP Daerah 2 c). Edge Avoider Daerah 1 DP Daerah 2 Daerah 1 DP Daerah 2 Gambar 2 Berbagai respon jenis terhadap daerah peralihan. 2.3. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Georafis serta Aplikasinya Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer 1990). Menurut Lo (1996), penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Prahasta (2008) mengemukakan remote sensing sebagai ilmu (dan seni) dalam mendapatkan informasi objek, luasan (area), atau bahkan suatu fenomena alamiah melalui suatu analisis terhadap data yang diperoleh dari perangkat (sensor dan platform) tanpa kontak (menyentuh) langsung. Sedangkan menurut Soenarmo (2003), penginderaan jauh secara umum didefinisikan ilmu, teknik, seni untuk memperoleh informasi atau data mengenai kondisi fisik suatu benda atau objek, target, sasaran maupun daerah dan fenomena tanpa menyentuh atau kontak langsung dengan benda atau target tersebut. Sensor yang digunakan adalah sensor jauh yaitu sensor yang secara fisik berada jauh dari benda atau obyek tersebut. Untuk itu digunakan sistem pemancar (transmitter)

13 dan penerima (receiver). Ilmu disini menggambarkan ilmu atau sains yang diperlukan baik dalam konsep, perolehan data maupun pengelolaan dan analisis, untuk mendapatkan teknik pelaksanaan pengambilan data yang tepat dan baik serta sesuai dengan tujuan perolehan data. Sedangkan teknik, menunjukkan bahwa teknologi INDERAJA memerlukan kemampuan merancang bangun untuk semua peralatan yang menyaing baik wahana, sensor, sistem sensor, stasiun di bumi maupun sistem penerimaan data dan pengolahannya. Karena data yang diperoleh pada umumnya berbentuk keruangan atau spasial, maka dalam pengolahannya memerlukan seni tampilan yang serasi, menarik dan mudah dimengerti (Soenarmo 2003). Sistem Informasi Georafis atau Georaphic Information Sistem (GIS) merupakan suatu sistem informasi yang berbasis komputer, dirancang untuk bekerja dengan menggunakan data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Sistem ini menyimpan, mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan data yang secara spasial mereferensikan kepada kondisi bumi (Aini 2007). SIG adalah sistem komputer yang dapat merekam, menyimpan dan menganalisis suatu informasi tentang keadaan rupa bumi. Dengan menggabungkan data-data yang berhubungan dengan spesies ke dalam SIG, maka hasil itu dapat ditampilkan. Pada dasarnya, sistem informasi geografis adalah suatu sistem terdiri dari komponen-komponen yang saling terkait (berhubungan) dalam mencapai suatu sasaran, berdasarkan informasi (data, fakta, kondisi, fenomena) berbasis geografis (daerah, spasial, keruangan) yang dapat dicek posisinya di permukaan bumi (bergeoreferensi). Kedua jenis data, baik spasial maupun tabular/ tekstual disimpan dalam suatu sistem yang dikenal dengan basis data SIG. Sistem basis data ini merupakan komponen utama yang harus tersedia dalam SI, disamping komponen lain seperti komputer, sumberdaya manusia dan organisasi atau wadah pengelolaan yang mengendalikan penggunaan SIG (Soenarmo 2003). SIG merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa subsistem yaitu subsistem masukan data, subsistem proses subsistem keluaran data dimana data tersebut secara spasial terkait dengan muka bumi (Atmawijadja 1996). Data yang menjadi masukan data meliputi data inderaja maupun peta serta

14 data statistik. Secara umum data ini terdiri dari data titik, garis dan polygon. Sub sistem kedua adalah proses yang meliputi manipulasi, analisa, dan pengelolaannya dimana proses tersebut sekarang dilakukan menggunakan komputer. Sedangkan keluaran data meliputi data hasil proses yang dilakukan dapat berupa peta-peta modeling maupun pemantauan serta deskripsi peta-peta tersebut sehingga dapat digunakan untuk kegiatan evaluasi sumberdaya alam untuk pengambilan keputusan. Tujuan utama penginderaan jauh adalah mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan. Penginderaan jauh diaplikasikan guna mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk mengartikan berbagai macam komponen lingkungan kita yang lebih baik. Penginderaan jauh terutama berperan penting sebagai alat dalam survei inventarisasi dan pemetaan pada kenampakan lingkungan (Lo 1996). Bidang-bidang ilmu yang biasanya memanfaatkan penginderaan jauh adalah meteorologi, klimatologi, oseanografi, studi pantai, sumberdaya air, teknik sipil, tata guna lahan, bencana alam, geologi, arkeologi dan antropologi serta kartografi (Soenarmo 2003). Sedangkan menurut Jensen (2000) remote sensing dapat diaplikasikan pada bidang ilmu geografi, taksonomi tanah, biogeografi, geologi, hidrologi, perencanaan kota, pertanian, kelautan dan kehutanan. Sedangkan dalam bidang ekologi, Odum (1993) menyatakan bahwa teknik penginderaan jarak jauh dapat diaplikasikan ke dalam empat kategori yaitu: 1. Inventarisasi dan pemetaan sumberdaya 2. Mengubah data lingkungan menjadi data kuantitatif 3. Mencandra aliran materi dan energi dalam ekosistem 4. Mengevaluasi perubahan yang terjadi serta penyelesaian alternatif untuk mengelola lingkungan. Menurut Prahasta (2002), aplikasi SIG antara lain dapat digunakan dalam aspek sumberdaya alam, perencanaan, kependudukan, lingkungan dan pertahanan. Pada aspek sumberdaya alam, SIG digunakan dalam kegiatan inventarisasi, manajemen, serta analisis kesesuaian lahan untuk pertanian, kehutanan, perencanaan tata guna lahan, analisis daerah rawan banjir, dan lain sebagainya. Penggunaan SIG untuk aplikasi konservasi satwa liar sudah mulai banyak dilakukan di Indonesia beberapa diantaranya seperti pemodelan spasial kesesuaian

15 habitat harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) (Rudiansyah 2007), pemetaan kesesuaian habitat banteng (Bos javanicus) (Destriana 2008) dan penggunaan ruang habitat oleh badak jawa (Rhinoceros sundaicus) (Muntasib 2002). Aplikasi SIG untuk herpetofauna di Indonesia belum banyak dilakukan, beberapa diantaranya yaitu Lubis (2006) tentang pemodelan spasial habitat katak pohon jawa (Rhacophorus javanus), Husna (2006) tentang sebaran spasial dan keanekaragaman ular di berbagai tipe penggunaan dan Purbatrapsila (2009) tentang studi keanekaragaman jenis dan sebaran spasial ular pada beberapa tipe habitat.