I. PENDAHULUAN. mendapatkan suatu perlindungan khusus agar kelak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik,

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian. sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

Pelanggaran terhadap nilai-nilai kesopanan yang terjadi dalam suatu. masyarakat, serta menjadikan anak-anak sebagai obyek seksualnya merupakan

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

I. PENDAHULUAN. Pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting dalam. dalam kegiatan seperti pemeliharaan pertahanan dan keamanan, keadilan,

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap

I. PENDAHULUAN. budayanya. Meskipun memiliki banyak keberagaman bangsa Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. dan kodratnya. Karena itu anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan hukum akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

I. PENDAHULUAN. harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN. 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

I. PENDAHULUAN. usahanya ia tidak mampu, maka orang cenderung melakukanya dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari kata dasar sidik yang artinya memeriksa dan meneliti. Kata sidik diberi

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

I. PENDAHULUAN. pembangunan pada keseluruhan bidang tersebut. Pelaksanaan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

I. PENDAHULUAN. berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban. Berkaitan dengan

I. PENDAHULUAN. bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PIDANA CABUL KEPADA ANAK DI BAWAH UMUR

BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk

I. PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945, diarahkan untuk meningkatkan hukum bagi

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP KASUS ASUSILA PADA ANAK. Sulasmin Hudji. Pembimbing I : Dr. Fence M. Wantu, SH.,MH

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235]

Kajian yuridis terhadap tindak pidana pembunuhan disertai pemerkosaan yang dilakukan oleh anak ( studi kasus di Pengadilan Negeri Surakarta )

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 1967, merek merupakan karya intelektual yang memiliki peranan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Perkembangan masyarakat merupakan suatu gejala yang biasa dan bersifat umum

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak

[

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

I. PENDAHULUAN. Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannyalah yang akan membentuk karakter anak. Dalam bukunya yang berjudul Children Are From Heaven, John Gray

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

I. PENDAHULUAN. bangsa, namun pada jaman globalisasi seperti sekarang ini terdapat banyak faktor

I. PENDAHULUAN. (2) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu sebagai berikut: Kedaulatan berada di. tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BAB IV HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan No.13/Pid.B/2011/PN.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

2016, No c. bahwa Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diatur dalam. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Kekerasan seksual pada anak, yaitu dalam bentuk pencabulan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang cukup menyita waktu, khususnya persoalan pribadi yang

I. PENDAHULUAN. dalam kandungan. Anak sebagai sumber daya manusia dan bagian dari generasi muda, sudah

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah suatu karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya juga terdapat suatu harkat dan martabat yang di miliki oleh orang dewasa pada umumnya, maka anak juga harus mendapatkan suatu perlindungan khusus agar kelak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, karena anak adalah generasi muda penerus bangsa serta berperan dalam menjamin kelangsungan eksistensi suatu bangsa dan negara itu sendiri. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab sebagai penerus bangsa maka anak perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik mental maupun fisik serta sosial maka perlu dilakukan upaya perlindungan anak terhadap pemenuhan anak tanpa ada diskriminasi. Masyarakat perlu lebih jeli dan peka terhadap lingkungan. Perlu disadari bahwa kejahatan dapat dilakukan oleh siapapun dan terhadap siapapun. Setiap orang dapat menjadi sasaran kejahatan, baik itu orang dewasa maupun anak di bawah umur. Pelaku merupakan pelaksana utama dalam hal terjadinya pencabulan tetapi bukan berarti terjadinya perkosaan tersebut semata-mata disebakan oleh perilaku menyimpang dari pelaku, tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berada di luar diri si pelaku. Pencabulan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur tentunya akan berdampak pada psikologis maupun perkembangan lainnya terhadap anak tersebut. Dampak psikologis pada anak-anak akan melahirkan trauma berkepanjangan yang kemudian dapat melahirkan sikap tidak sehat, seperti minder, takut yang berlebihan, perkembangan jiwa terganggu, dan akhirnya berakibat pada

keterbelakangan mental. Keadaan tersebut kemungkinan dapat menjadi suatu kenangan buruk bagi anak korban pencabulan tersebut. Sebagai generasi penerus bangsa anak merupakan tunas bangsa yang akan melanjutkan eksistensi suatu bangsa, dalam hal ini adalah bangsa Indonesia. Namun pada ahkir-ahkir ini sering terdapat suatu tindak pidana mengenai pencabulan anak dibawah umur yang dilakukan oleh orang dewasa maupun oleh anak di bawah umur, dan hal ini merupakan suatu ancaman yang sangat besar dan berbahaya bagi anak yang notabene adalah generasi penerus bangsa. Mengenali bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak sesungguhnya tidaklah jauh dari sekitar kita. Realitas kekerasan seksual yang dialami anak anak sampai saat ini masih menjadi masalah yang cukup besar di Indonesia. Lihat saja pemberitaan media cetak dan elektronik mengenai kekerasan seksual pada anak dapat dijumpai setiap hari. Bentuk dan modus operandinya pun juga cukup beragam. Berdasarkan ketentuan Konvensi Hak Anak (1989) dan protokol tambahannya KHA (option protocol Convention on the Rights of the Child) bentuk-bentuk kekerasan dibagi dalam empat bentuk. Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual komersial termasuk penjualan anak (sale children) untuk tujuan prostitusi (child prostitution) dan pornografi (child phornografy). Kekerasan seksual terhadap atau dengan sebutan lain perlakuan salah secara seksual bisa berupa hubungan seks, baik melalui vagina, penis, oral, dengan menggunakan alat, sampai dengan memperlihatkan alat kelaminnya, pemaksaan seksual, sodomi, oral seks, onani, pelecehan seksual, bahkan perbuatan incest. (http://www.lbh-apik.or.od/, diakses tanggal 25 november 2011).

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan memandang bahwa kekerasan seksual merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang (Abdul dan Muhammad, 2001: 40 ). Berdasarkan data di Pengadilan Negeri Tanjung Karang terdapat 115 kasus pencabulan pada tahun 2010. Dari kasus-kasus tersebut banyak diantaranya terjadi, korbannya bukanlah orang asing lagi baginya bahkan saudara, anak kandung dan anak-anak yang berada dibawah asuhan nya sendiri. Kasus-kasus tersebut memberi kesan kepada kita bahwa pelakunya adalah orangorang yang tidak bermoral sehingga dengan teganya melakukan perbuatan yang terkutuk itu terhadap putri kadungnya sendiri atau putri asuhnya sendiri. Timbulnya kasus-kasus pencabulan, disebabkan moral pelakunya yang sangat rendah. Berdasarkan pra survey pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, dapat diketahui salah satu contoh kasus berkaitan dengan tindak pidana pencabulan anak dibawah umur yang dikemukakan pada perkara Nomor 36/Pid.B/2011/PN.TK. Seorang terdakwa yang berstatus kakek tirinya, yaitu ROMLI BIN ACENG (terdakwa), pada waktu dan tempat sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan telah dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan kepada anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul yaitu saksi korban MUSYANI BINTI MUSTAKIM. Korban yang berusia 11 tahun masih duduk di kelas 5 SD, tinggal bertiga dengan neneknya dan kakek tirinya yaitu terdakwa. Dimana nenek saksi korban bekerja sebagai tukang urut, dan sering pulang malam sehingga Musyani (korban) sering tinggal berdua dengan Romli (terdakwa). Melihat kondisi tersebut timbul niat terdakwa untuk melakukan perbuatan cabul terhadap korban, dimana pada saat itu saksi korban sudah tertidur di dalam kamarnya, dan terdakwa melihat paha saksi korban, lalu terdakwa terangsang melihatnya, kemudian masuk ke

dalam kamar korban sambil membawa sebilah pisau dapur, kemudian terdakwa sempat merabaraba korban hingga terbangun, maka terdakwa langsung menyuruh korban diam, jika tidak diam maka terdakwa mengancam akan membunuh saksi korban, sambil mengacungkan sebilah pisau dapur kearah saksi korban, dan mengancam agar tidak mengatakan hal tersebut kepada siapa pun, lalu terdakwa berhasil melakukan perbuatan cabul tersebut untuk pertama kalinya pada tahun 2008, tidak hanya sekali terdakwa melakukan perbuatan tersebut, pada tahun 2009 sampai tahun 2010 sudah tiga kali terdakwa melakukan perbuatan mengancam dan mencabuli saksi korban, setelah beberapa hari dari kejadian tersebut, korban sudah tidak tahan dengan kelakuan terdakwa, korban melarikan diri kekediaman ibu kandungnya dan menceritakan kejahatan kakek tirinya (terdakwa) dan langsung melaporkan ke kantor Polisi terdekat. Akibat dari perbuatan tersebut, terdakwa Romli dijatuhi hukuman Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan pidana penjara selama 11 tahun dan pidana denda sebesar Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka harus diganti dengan pidana selama 3 bulan. Salah satu praktek seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual, oleh karena itu kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur dikenakan Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang 23 Tahun 2002, menyatakan bahwa: Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Pasal 82 Undang-Undang 23 Tahun 2002, menyatakan bahwa:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji masalah tersebut dengan judul : Analisis Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak dibawah Umur (studi kasus perkara no. 36/PID.B/2011/PN.TK) B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka dapat ditentukan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan anak dibawah umur (studi kasus perkara nomor 36/Pid.B/2011/ PN.TK.)? 2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku pencabulan terhadap anak dibawah umur (stu di kasus perkara nomor 36/Pid.B/2011/PN.TK.)? 2. Ruang Lingkup

Adapun yang menjadi ruang lingkup penelitian ini, penulis mengambil contoh kasus yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya terbatas pada Analisis Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Pencabulan terhadap anak dibawah umur (studi kasus perkara nomor 36/Pid.B/2011/Pn.Tk), dan lingkup bidang ilmu adalah bidang Hukum Pidana. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan anak dibawah umur (studi kasus perkara nomor 36/Pid.B/2011/ Pn.Tk.) b. Untuk mengetahui dasar-dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku pencabulan terhadap anak dibawah umur dalam (studi kasus perkara no. 36/Pid.B/2011/Pn.Tk.) 2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penulisan ini adalah untuk pengembangan pemahaman teoritis tentang analisis pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pencabulan anak dibawah umur (studi kasus perkara no. 36/Pid.B/2011/PN.TK.). Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan sumbangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan hukum dan menambah pembendaharaan kepustakaan hukum. b. Kegunaan Praktis Secara Praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan atau masukan informasi yang lebih konkrit serta sebagai sarana pengembangan untuk menambah wawasan pribadi dalam bidang ilmu hukum pidana. D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya masih dianggap relevan oleh penulis atau peneliti (Soerjono Soekanto, 1986: 125). Teori yang digunakan dalam penulisan ini mencakup tentang teori- teori pertanggungjawaban pidana dan teori dasar pertimbangan hakim. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan atau harus dipertanggungjawabkan kepada sipembuat pidananya atas perbuatan yang telah dilakukannya (Roeslan Saleh, 1981: 80).

Pertanggungjawaban pidana merupakan pemberian sanksi pidana kepada pelaku atau pembuat. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatannya tersebut dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Pada suatu kesalahan hukum yang melawan hukum belumlah cukup untuk menjatuhkan hukuman, disamping perbuatan melawan hukum harus ada seorang pembuat ( dader) yang bertanggungjawab atas perbuatannya pembuat, haruslah terbukti bersalah (schuld hebben) tindak pidana yang dilakukan. Menurut Andi Hamzah (1994: 34) Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan terdiri dari 3 (tiga) unsur : a. Toerekening strafbaarheid (dapat dipertanggungjawabkan) pembuat. 1. Suatu sikap psikis pembuat berhubungan dengan kelakuannya. 2. Kelakuan yang sengaja. b. Tidak ada batasan-batasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat (unsur toerekening strafbaarheid) c. Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat (unsur toerekenbaar heid). Salah satu dari pelaksana hukum yaitu hakim. Hakim diberi wewenang oleh undang-undang untuk menerima, memeriksa serta memutus suatu perkara pidana. Oleh karena itu hakim dalam menangani suatu perkara harus dapat berbuat adil. Seorang hakim dalam memberikan putusan kemungkinan dipengaruhi oleh hal yang ada pada dirinya dan sekitarnya karena pengaruhi dari faktor agama, kebudayaan, pendidikan, nilai, norma, dan sebagainya sehingga dapat

dimungkinkan adanya perbedaan cara pandang sehingga mempengaruhi pertimbangan dalam memberikan keputusan (Oemar Seno Aji, 1997: 12). Hakim dalam mengambil suatu keputusan atau vonis, memang bukan suatu masalah yang sulit. Pekerjaan membuat suatu putusan merupakan pekerjaan rutin yang setiap hari dilakukan. Namun demikian, justru karena rutinitas tersebut seringkali hakim mengabaikan standar normatif yang harus ditempuh untuk membuat suatu putusan. Kondisi tersebut bisa dilihat pada pertimbangan hukum yang diambil para majelis hakim ketika mengambil suatu putusan. Banyak pertimbangan hukum yang dibuat secara asal-asalan, bahkan apabila hal tersebut hanya menyangkut perkaraperkara pasaran yang setiap hari ditanganinya. Hal ini menyebabkan di lingkungan pengadilan masih sedikit ditemukan putusan hakim yang mempunyai kualitas ilmiah untuk dapat dikaji secara akademik bagi pengembangan hukum (Satjipto Rahardjo, 2000 : 20). Rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan pada Bagian keempat Pembuktian dan Putusan Dalam Acara Pemeriksaan Biasa Pasal 183 yang menentukan : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.

Dasar pertimbangan hakim adalah landasan-landasan yuridis dan subyetifitas yang digunakan oleh hakim untuk menjatuhkan vonis terhadap terdakwa hakim memiliki kebebasan untuk memilih jenis pidana yang dicantumkan dalam undang-undang sebagai konsekuensi system alternative dalam KUHP sebagai landasan dalam mempertimbangkan menjatuhkan vonis hakim juga bebas memilih berat ringannya pidana yang dijatuhkan sehubungan dengan adanya asas minimum umum serta maksimum yang jelas sehingga berat ringannya pidana yang dijatuhkan tergantung pada subyektifitas hakim (Roeslan Saleh, 1999 : 32). Tiga teori dalam dasar pertimbangan hakim : 1. Teori Kepastian Hukum 2. Teori Kemanfaatan 3. Teori Keadilan Menurut Lilik Mulyadi (2007: 136), Teori dasar pertimbangan hakim yaitu putusan hakim yang baik, mumpuni dan sempurna, hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan empat kriteria dasar pertanyaan (the four way test), berupa : 1. Benarkah putusanku ini? 2. Jujurkah aku dalam mengambil putusan? 3. Adilkah bagi pihak-pihak putusanku ini? 4. Bermanfaatkah putusanku ini? Hakikatnya pada pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa/penuntut umum. Dapat dikatakan lebih jauh bahwasannya

pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara langsung akan berpengaruh terhadap amar putusan hakim (Lilik Mulyadi, 1996: 219). Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan pidana wajib mempertimbangakan hal-hal sebagai berikut (Bambang Waluyo, 2004 : 91): a. Kesalahan pembuat tindak pidana b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana c. Cara melakukan tindak pidana d. Sikap batin pembuat tindak pidana e. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana g. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan i. Pengurus tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban j. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana 2. Konseptual Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan arti-arti yang berkaitan dengan istilah-istilah yang ingin diketahui (Soerjono Soekanto, 1986 : 232). Adapun batrasan dan pengertian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah: a. Analisis adalah penyelidikan terhadap sesuatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagaimana) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab musabab, duduk perkaranya, dan sebagainya). (Poerwadarminta, 1995 : 37).

b. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan atau harus dipertanggungjawabkan kepada sipembuat pidananya atas perbuatan yang telah dilakukannya. (Roeslan Saleh, 1981 : 80). c. Tindak Pidana Adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan Hukum, larangan yang sama disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa menlanggar larangan tersebut. (Moeljatno, 2000 : 2) d. Tindak Pidana Pencabulan adalah segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada orang lain mengenai dan berhubungan dengan alat kelamin atau bagian alat tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. (Adami Chazawi, 2005 : 80) e. Anak dibawah umur adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Termasuk anak yang masih dalam kandungan. (Pasal 1 ayat (1) Undang -undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). E. Sistematika Penulisan Mempermudah dalam melakukan pembahasan, penganalisaan, serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan hukum ini sebagai berikut : I. PENDAHULUAN Pada Bab.1 penulis mengemukakan latar belakang permasalah, pokok permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka konseptual, dan sistematika penulisan hokum yang digunakan untuk memberikan pemahaman terhadap isi penelitian ini secara garis besar. II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada Bab.2 penulis memaparkan secara singkat mengenai sistim hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia berdasarkan pada KUHAP. Secara urut penulis akan membahas mengenai tinjauan umum tentang pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pencabulan anak di bawah umur Studi Kasus Perkara Nomor 36/PID.B/2011/PN.TK. III. METODE PENELITIAN Pada Bab.3 ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya. Pertama, rumusan tindak pidana dan saksi pidana pencabulan anak di bawah umur dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kedua, penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dalam putusan nomor: 36/Pid.B/20011/PN.TK. VI. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Selanjutnya pada Bab.4 penulis akan mencoba untuk menyajikan pembahasan tentang permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya. Pertama, apa yang menjadi dasar hukum hakim menyutujui pelaksanaan proses tindak pidana persetubuhan terhadap anak di bawah umur. Kedua, bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur berdasarkan undang-undang perlindungan anak. V. PENUTUP Bab.5 ini menguraikan mengenai simpulan atas perumusan masalah yang diteliti dan uraian penulis mengenai saran yang ingin disampaikan berdasarkan jawaban yang diuraikan dalam simpulan.