TINJAUAN HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PENIPUAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. seseorang dilahirkan, maka ia dalam hidupnya akan mengemban hak dan

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

I. PENDAHULUAN. Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian. sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. yaitu saat di lahirkan dan meninggal dunia, dimana peristiwa tersebut akan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (rechtstats), bukan negara yang

BAB I PENDAHULUAN. gamelan, maka dapat membeli dengan pengrajin atau penjual. gamelan tersebut dan kedua belah pihak sepakat untuk membuat surat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam ajarannya, bahwa manusia adalah zoon politicon artinya bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis.

KONTRAK KERJA KONSTRUKSI

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat dilihat dari adanya indikasi angka kecelakaan yang terus

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tegas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat); tidak. berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat).

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (rechtstats), bukan negara yang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

BAB I PENDAHULUAN. ini, semakin meningkat pula kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia akan

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan. tidak akan dapat hilang dengan sendirinya, sebaliknya kasus pidana semakin

BAB I PENDAHULUAN. dampak yang buruk terhadap manusia jika semuanya itu tidak ditempatkan tepat

BAB I PENDAHULUAN. terhadap konsumen atau pembeli. menggunakan berbagai cara dan salah satu caranya adalah berbuat curang

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

BAB I PENDAHULUAN. mahluk sosial dan sebagai mahluk individu. Dalam kehidupan sehari-harinya

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. hukum tentang tanah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DI SURAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

PENGGUNAAN METODE SKETSA WAJAH DALAM MENEMUKAN PELAKU TINDAK PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

TINDAK PIDANA PENIPUAN MENGGUNAKAN BILYET GIRO (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Gresik Putusan No: 246/Pid.B/2014/PN.Gsk)

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki wilayah yang sangat luas dan beraneka ragam budaya. Selain itu Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA DALAM TINDAK PIDANA PENIPUAN SECARA BERLANJUT

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menyerukan manusia untuk mematuhi segala apa yang telah ditetapkan oleh Allah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH DALAM PERKARA JUAL BELI TANAH

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN VCD (VIDEO COMPACT DISK) ILEGAL ABSTRAKSI

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

BAB I PENDAHULUAN. dalam waktu yang sama menuntut kewajiban ditunaikan. Hubungan hak dan

PROSES PEMERIKSAAN PERKARA JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH DENGAN MEMAKAI AKTA DI BAWAH TANGAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI BOYOLALI)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. yang melanggar aturan hukum dan peraturan perundang-undangan serta membuat. sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

Transkripsi:

TINJAUAN HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PENIPUAN (Studi Tentang Perbuatan Laki-laki Menghamili Perempuan Di Luar Nikah) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Oleh: INDRA SETYAWAN NIM: C.100.030.244 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah merupakan keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan dengan suatu sanksi. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum maka hukum harus ditegakkan. 1 Pembangunan dan pembinaan hukum di Indonesia didasarkan atas Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang diarahkan agar dapat menciptakan kondisi yang lebih mantap, sehingga masyarakat dapat menikmati suasana tertib dan adanya kepastian hukum yang berintikan keadilan. Peraturan pokok hukum pidana yang sampai sekarang masih berlaku di Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang diberlakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 junto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang pemberlakuan KUHP untuk seluruh Indonesia. Dalam penerapan hukum pidana hakim terikat pada asas legalitas yang dicantumkan pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan: Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas ketentuan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. 2 1 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 1986, hal. 37. 2 Moeljatno, KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta : Bumi Aksara, 2003, hal. 3. 1

2 Menurut E. Utrecht, Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung pengertian bahwa hanya perbuatan yang disebut tegas oleh peraturan perundangan sebagai kejahatan atau pelanggaran, dapat dikenai hukuman (pidana). Apabila terlebih dahulu tidak diadakan peraturan perundangan yang memuat hukuman yang dapat dijatuhkan atas penjahat atau pelanggar, maka perbuatan yang bersangkutan bukan perbuatan yang dapat dikenai hukuman. 3 Asas legalitas menyebutkan suatu perbuatan pidana harus lebih dahulu dinyatakan dengan peraturan dalam undang-undang yang berlaku. Akibat asas ini yang dapat dihukum hanyalah mereka yang melakukan perbuatan yang oleh hukum (peraturan perundangan yang telah ada) disebut secara tegas sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum. Jadi ada kemungkinan seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada hakekatnya merupakan kejahatan, tetapi tidak disebut oleh hukum sebagai suatu tindak pidana, sehingga perbuatannya tidak bisa dikenai hukuman. Dalam masyarakat sendiri, selain hukum tertulis juga mengenal hukum tidak tertulis. Hukum tidak tertulis ini hidup dan berkembang dalam masyarakat. Peranan hukum tidak tertulis dalam kehidupan masa sekarang memang sudah sangat merosot. Hukum tidak tertulis tidak lagi merupakan sumber hukum yang penting sejak sistem hukum semakin mendasarkan kepada hukum perundang- 3 E.Utrecht / Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru dan Sinar Harapan, 1983, hal. 338.

3 undangan. 4 Di samping itu hukum tidak tertulis sifatnya beraneka ragam dan oleh karenanya juga kurang menjamin kepastian hukum. Berbicara tentang hukum pada umumnya hanya melihat pada peraturan hukum dalam arti kaedah atau peraturan perundang-undangan. Undang-undang itu tidak sempurna. Memang tidak mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan ada kalanya undang-undang itu tidak jelas. Demikian juga KUHP, belum memuat ketentuan hukum secara lengkap, hal ini terbukti dengan adanya kasus tindak pidana penipuan sebagai akibat perbuatan seorang laki-laki menghamili perempuan di luar nikah dan kasus penipuan sebagai akibat perbuatan laki-laki menyetubuhi perempuan di luar nikah yang tidak berakibat hamil, yang tidak diatur dalam KUHP kita. KUHP hanya mengatur perkara penipuan barang (Pasal 378 KUHP). Perkara tersebut tidak dapat dikenakan pasal yang mengatur masalah perzinhaan (Pasal 284 KUHP) karena masing-masing pihak tidak terikat dalam pernikahan dan tidak dapat pula dikenakan pasal yang mengatur masalah perkosaan (Pasal 285 KUHP) karena dilakukan tanpa adanya unsur paksaan. Kasus penipuan seorang laki-laki yang menghamili perempuan di luar nikah banyak terjadi di tengah masyarakat. Namun kasus tersebut tidak banyak (jarang) yang dilaporkan atau diselesaikan melalui jalur hukum. Kasus ini sering kali hanya diselesaikan dengan jalan kekeluargaan antara kedua belah pihak. Jalur ini ditempuh karena perbuatan tersebut dianggap sebagai aib keluarga yang harus ditutupi dan tidak boleh tersebar luas untuk konsumsi umum. 4 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 108.

4 Penyelesaian melalui jalan kekeluargaan ini pada umumnya terjadi kata sepakat untuk menikahkan kedua belah pihak. Namun tak jarang pernikahan ini hanya berlangsung singkat dan berakhir dengan perceraian. Perceraian ini pada akhirnya menimbulkan kesengsaraan pada pihak perempuan. Adakalanya penyelesaian melalui jalur hukum menjadi pilihan, jika jalur kekeluargaan menemukan jalan buntu. Penyelesaian melalui jalur hukum ini pada umumnya mendasarkan pada pasal-pasal dalam KUHP, khususnya pasal-pasal mengenai tindak pidana terhadap kesusilaan. Tetapi rumusan dalam pasal-pasal tersebut tidak secara tegas mengatur tentang kasus penipuan tersebut. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan keengganan korban melapor melalui jalur hukum, sebab pelaku cenderung selalu bisa lolos dari hukuman. Pada umumnya pelaku lolos dari jeratan hukum karena penerapan pasal dalam KUHP yang hanya terfokus pada pasal-pasal mengenai tindak pidana terhadap kesusilaan. Jaksa Penuntut Umum kurang berani menerapkan pasal lain di luar pasal-pasal mengenai tindak pidana terhadap kesusilaan untuk dapat menjerat pelaku. Jika pelaku kasus penipuan tersebut tidak dijatuhi pidana atau lolos dari hukuman, maka akan menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Bahkan mungkin bisa pula menumbuhkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, karena membiarkan berlangsungnya perbuatan yang bertentangan dengan hukum, moral dan kesusilaan, tanpa ada usaha untuk mencegahnya hanya karena dasar alasan hukum formal semata. Bagi korban dengan tidak adanya tuntutan terhadap pelaku penipuan tersebut, maka dirinya akan merasa tidak

5 mendapat perlindungan hukum hanya karena tidak ada peraturan formal yang mengaturnya. Pada akhirnya korbanlah (perempuan) yang dirugikan. Dalam hal terjadi perbuatan tersebut, hakim menghadapi kekosongan dan ketidaklengkapan undang-undang yang harus diisi dan dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya. 5 Hakim sebagai orang yang dianggap memahami hukum, pencari keadilan datang padanya untuk memohon keadilan, andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutuskan berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab. Dalam hal tersebut, maka hakim harus menemukan hukumnya. Penemuan hukum oleh hakim merupakan sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan pada peristiwanya, kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan baik dengan jalan interprestasi maupun dengan jalan analogi atau pengkonkritan hukum. 6 Dalam menafsirkan undang-undang, hakim pidana terikat pada asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Namun, dalam hal-hal tertentu jika perbuatan tersebut bisa membahayakan ketertiban umum dan kepentingan masyarakat seperti dalam kasus penipuan sebagai akibat perbuatan laki-laki menghamili perempuan di luar nikah, maka boleh dipergunakan penafsiran ektensif (memperluas). Metode ini memiliki kemiripan dengan metode analogi yang disepakati dalam doktrin hukum pidana tidak boleh diterapkan. 5 Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 6 N.E. Algra dan Van Duyvendijk, Mula Hukum, diterjemahkan oleh J.C.T Simorangkir dkk, Bandung: Bina Cipta, 1983, hal. 359.

6 Karena penipuan tersebut dapat membahayakan ketertiban dan kepentingan umum dan lagi pula perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku dalam masyarakat walaupun secara formal tidak memenuhi rumusan undang-undang, maka agar perkara penipuan ini dapat dijangkau oleh hukum, dapat dimungkinkan atau boleh dipergunakan penafsiran ektensif, dengan mengkategorikan penipuan tersebut sebagai penipuan barang. Berdasarkan uraian di atas yang sekaligus juga melatarbelakangi masalah, penulis ingin mengetahui lebih jauh mengenai permasalahan tersebut berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana sehingga dipilih judul : TINJAUAN HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PENIPUAN (Studi Tentang Perbuatan Laki-laki Menghamili Perempuan Di Luar Nikah) B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah peraturan hukum pidana mengatur tentang perbuatan laki-laki yang menghamili perempuan di luar nikah? 2. Bagaimanakah peraturan hukum pidana mengatur jika laki-laki yang menghamili perempuan itu melanggar janji untuk menikahinya? 3. Apakah rumusan Pasal 378 KUHP dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku penipuan sebagai akibat perbuatan laki-laki

7 menghamili perempuan di luar nikah dengan jalan menafsirkan unsur -unsur pasal tersebut? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian hukum ini adalah : 1. Tujuan Objektif a. Untuk lebih memahami peraturan hukum pidana yang mengatur mengenai perbuatan laki-laki yang menghamili perempuan di luar nikah. b. Untuk mengetahui peraturan hukum pidana mengatur mengenai perbuatan laki-laki menghamili perempuan yang melanggar janji untuk menikahinya. c. Untuk memperoleh keterangan atau data apakah rumusan Pasal 378 KUHP dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan terhadap masalah tersebut. 2. Tujuan Subjektif Untuk memperluas dan mengembangkan wawasan pengetahuan serta memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan hukum sebagai syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.

8 D. Manfaat Penelitian Penelitian selain mempunyai tujuan yang jelas, juga diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum serta dapat menambah informasi yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian lebih lanjut. b. Diharapkan mampu memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti. 2. Manfaat Praktis a. Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi penulis. b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para pihak terkait mengenai penafsiran dalam hukum pidana untuk mengatasi ketidaklengkapan peraturan. E. Kerangka Pemikiran Hukum pidana adalah keseluruhan dari pada ketentuan-ketentuan hukum yang mengandung perintah-perintah dan larangan-larangan di dalamnya, perintah dan larangan-larangan mana bersanksikan hukuman (pidana). 7 7 Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1973, hal. 53.

9 Dengan diterapkannya pidana diharapkan tercapai ketertiban di dalam masyarakat. Kaidah yang bertujuan untuk mempertahankan ketertiban masyarakat bukan hanya norma hukum, terdapat pula di dalamnya : 1. Norma agama, norma ini berasal dari Tuhan yang berisi perintah, larangan dan firman Tuhan melalui Rasul, apabila dilanggar akan berdosa. 2. Norma kesusilaan, norma ini ditanamkan oleh Tuhan di dalam hati sanubari setiap manusia dan jika dilanggar akan menimbulkan siksaan batin pada manusia itu sendiri 3. Norma kesopanan, norma ini timbul dalam pergaulan hidup masyarakat dan apabila dilanggar akan mendapat celaan masyarakat. Salah satu tujuan pemidanaan menurut RUU KUHP adalah mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. Tindak pidana sendiri merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan itu. 8 Menurut bahasa, penipuan berasal dari kata tipu yang berarti perbuatan atau perkataan tidak jujur (bohong, palsu, dsb) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali atau mencari untung. Sedangkan penipuan merupakan proses dari tindakan menipu. 9 Secara yuridis, penipuan berarti perbuatan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau kebohongan yang dapat 8 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1980, hal 37 9 Adam Normies, Kamus Bahasa Indonesia, Surabaya: Karya Ilmu, 1992, hal. 199.

10 menyebabkan orang lain dengan mudah menyerahkan barang, uang atau kekayaannya. 10 Pengertian tersebut diambil dari rumusan Pasal 378 KUHP. Dalam hal tindak pidana penipuan yang terdapat pada Pasal 378 KUHP mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Barangsiapa dengan maksud menguntungkan dirinya atau orang lain, 2. Melawan hukum, 3. Dengan memakai nama palsu atau martabat palsu atau dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, 4. Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang tertentu kepadanya. Dalam perkara penipuan sebagai akibat perbuatan laki-laki menghamili perempuan di luar nikah yang tidak diatur secara tegas dalam KUHP, maka agar perkara ini dapat dijangkau oleh hukum perlu adanya penafsiran. Penafsiran dalam perkara ini dengan menganalogikan menyerahkan kehormatan sama dengan menyerahkan barang atau dengan penafsiran ektensif. Penafsiran analogi sendiri merupakan penafsiran yang berdasar atas jalan pikiran analogi yaitu peraturan yang ada itu diberlakukan terhadap perbuatan yang tidak diatur dengan tegas dalam undang-undang. 11 Penafsiran ini memberikan arti peraturan perundang-undangan keluar dari isi semula. Akan tetapi masalahnya, dalam doktrin hukum pidana penafsiran analogi tidak boleh digunakan karena bertentangan dengan asas legalitas. Metode penafsiran lain adalah ektensif, yang banyak digunakan dalam praktik hukum, yaitu dengan jalan memperluas arti atau cakupan dari peraturan perundang-undangan. 10 S.A. Soehandi, Kamus Populer Kepolisian, Semarang: Koperasi Wira Raharja, 2006, hal. 78. 11 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983, hal. 9.

11 F. Metode Penelitian Untuk membahas permasalahan yang akan dikemukakan penulis di atas, maka metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Metode Pendekatan Penulis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan ini dilakukan dengan mendekati masalah yang diteliti dengan menggunakan sifat hukum yang normatif, 12 karena dalam penelitian ini hukum dikonsepkan sebagai norma-norma tertulis yang dibuat oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Oleh karena itu, pengkajian yang dilakukan hanyalah terbatas pada peraturan perundang-undangan (tertulis) yang terkait dengan masalah yang diteliti. Selanjutnya penelitian ini akan diuraikan secara deskriptif dengan menjelaskan, memaparkan, menggambarkan, dan menganalisa permasalahan, 13 seperti apa yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Sukoharjo. 3. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, terdiri dari bahan-bahan hukum yang berupa : 12 Haliman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1995, hal. 60-63. 13 Soerjono Soekamto,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia, 1986, hal. 9.

12 1. Bahan hukum primer berupa ketentuan perundang-undangan yang meliputi KUHP, UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, jurisprudensi (keputusan pengadilan). 2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang ada hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat digunakan untuk membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer, yang meliputi bukubuku literatur, laporan, teori-teori, rancangan perundangan (RUU KUHP) dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan masalah. 3. Bahan hukum tersier merupakan bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya kamus bahasa dan bibliografi. 14 4. Teknik Pengumpulan Data a. Studi kepustakaan Teknik ini merupakan cara pengumpulan data dengan membaca, mempelajari, mengkaji dan menganalisi isi serta membuat catatan dari buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. b. Wawancara Wawancara dilakukan untuk mendapatkan keterangan yang lebih jelas mengenai permasalahan yang sebenarnya serta untuk mengetahui pendapat tentang permasalahan tersebut. Wawancara ini dilakukan dengan korban 14 Khudzaifah Dimyati, dan Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, Surakarta: Fakultas Hukum UMS, 2004, hal. 13.

13 (perempuan) dalam kasus tersebut serta para pejabat yang terkait, yaitu Polres, Kejaksaan Negeri dan Pengadilan Negeri di wilayah Sukoharjo. 5. Teknik Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deduksi dengan metode pendekatan secara yuridis normatif, yaitu dengan melakukan inventarisasi hukum positif beserta perangkat-perangkat yang dapat membantu menafsirkan norma tersebut, kemudian mengungkapkan fakta-fakta yang telah diolah dan relevan dengan masalah yang dikaji. Tahap terakhir menarik konklusi dengan melakukan perbandingan antara fakta-fakta atau data yang telah diolah dengan hukum positif, sehingga pada akhirnya dapat diketahui, bagaimanakah hukum yang secara faktual, mengatur masalah yang tengah diteliti. 15 G. Sistematika Penulisan Pembahasan terhadap keseluruhan isi skipsi ini secara berturut-turut terdiri atas empat bab, masing-masing mempunyai keterikatan satu dengan yang lainnya, sebagaimana dapat dijelaskan sebagai berikut : Bab I berisi pendahuluan, yang mencakup latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan. 15 Ibid, hal. 25.

14 Bab II berisi tinjauan pustaka, terdiri dari sub-bab, yaitu tinjauan umum tentang tindak pidana, tinjauan tentang tindak pidana penipuan, metode penafsiran, serta konsep menghamili. Bab III berisi hasil penelitian dan analisis data, terdiri dari peraturan hukum pidana yang mengatur tentang perbuatan laki-laki yang menghamili perempuan di luar nikah, peraturan hukum pidana yang mengatur jika laki-laki yang menghamili perempuan itu melanggar janji untuk menikahinya, serta penerapan Pasal 378 KUHP terhadap perkara. Bab IV penutup, berisi kesimpulan dan saran dari permasalahan yang menjadi objek penelitian.