2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fitoplankton Chaetoceros sp. Chaetoceros sp. adalah salah satu spesies diatom. Diatom (filum Heterokontophyta, kelas Bacillariophyta) berbentuk uniseluler, walaupun demikian terdapat berbagai spesies agregat yang berkelompok dan membentuk koloni seperti rantai. Sel diatom tertutup oleh dinding sel yang terbuat dari silikat, bahan yang keras seperti gelas. Diatom adalah pabrik fotosintesis yang efisien, menghasilkan banyak makanan yang dibutuhkan makhluk hidup (makanan tersebut adalah diatom itu sendiri), serta oksigen (O 2 ) sebagai hasil fotosintesisnya. Diatom sangat penting di perairan terbuka, berperan sebagai produsen utama di daerah beriklim sedang dan kutub (Castro dan Huber, 2007). Chaetoceros sp. adalah spesies fitoplankton yang tidak toksik terhadap manusia (Aunurohim et al., 2009). Chaetoceros sp. memiliki bentuk rantai memanjang yang merupakan gabungan dari beberapa sel pada tepi luarnya. Sepasang setal mengarah keluar pada sudut-sudut gabungan sel tersebut. Diameter katupnya berkisar antara 7-30 µm seperti pada Gambar 2. Sumber : Johnson dan Allen (2005) Gambar 2. Chaetoceros lorenzianus 4
5 Tabel 1 menunjukkan klasifikasi Chaetoceros sp. dimana lebih dari dua lusin spesiesnya memiliki kelimpahan yang besar hampir sepanjang tahun pada perairan laut, baik di habitat muara maupun pesisir di sepanjang pantai Atlantik. Selain itu Chaetoceros sp. selalu menjadi bagian dari ledakan populasi diatom pada musim semi (Johnson dan Allen, 2005). Tabel 1. Klasifikasi Chaetoceros sp. No. Takson Jenis 1. Kingdom Chromista 2. Filum Bacillariophyta 3. Kelas Mediophyceae 4. Orde Chaetocerotales 5. Famili Chaetocerotaceae 6. Genus Chaetoceros 7. Spesies Chaetoceros sp Sumber : Kawaroe et al. (2010) 2.2 Fotobioreaktor Fotobioreaktor merupakan wadah atau tempat mereaksikan mikroorganisme, dimana cahaya matahari masih dapat menembus masuk ke dalamnya. Alat ini digunakan sebagai reaktor eksperimen untuk mengetahui kemampuan fitoplankton dalam menyerap gas CO 2. Selain itu juga berfungsi untuk menurunkan gas CO 2 dari sumbernya dan menghasilkan gas O 2. Fotosintesis fitoplankton mampu menyerap CO 2 (dan NO x ) dari cerobong asap dimana untuk keperluan itu diperlukan teknologi pembudidaya fitoplankton salah satunya berupa fotobioreaktor. Fotobioreaktor meningkatkan produktivitas fitoplankton menjadi 2 hingga 5 kali lebih tinggi dari kondisi normalnya. Gas CO 2 yang keluar dari suatu cerobong asap selanjutnya dapat langsung
6 dihubungkan ke fotobioreaktor dan dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya melalui mekanisme fotosintesis (Setiawan et al., 2008). Fotobioreaktor memiliki tinggi yang mencapai 160 cm dengan diameter luar 20 cm dan dalam 9,8 cm (Gambar 3). Volume reaktor 50 L serta dilengkapi dengan distributor udara, pompa, alat ukur tekanan, katup-katup dan lampu. Kecepatan injeksinya 0,03 liter per menit. Media diinjeksikan CO 2 ke dalam sistem dengan pompa. Sistem dilengkapi dengan penampungan gas untuk menyimpan karbondioksida sebelum diinjeksikan ke dalam fotobioreaktor. Sistem ini dijalankan dalam skala batch. Gambar 3. Kultur fitoplankton pada fotobioreaktor di PT. Indolakto yang dikembangkan oleh Pusat Teknologi Lingkungan - BPPT
7 2.3 Parameter kualitas perairan Pada saat melakukan kultur fitoplankton, kontrol terhadap parameter kualitas perairan perlu diperhatikan untuk menghindari terjadinya perubahan sistem metabolisme di dalam tubuh fitoplankton. Beberapa parameter tersebut antara lain suhu, salinitas, ph dan DO. Fitoplankton mampu melakukan fotosintesis dengan mengubah energi cahaya menjadi biomassa. Pada saat kultur fitoplankton, pencahayaan harus diatur sedemikian rupa agar tidak menyebabkan terjadinya perubahan suhu. Suhu ruangan biasanya cukup bagi pertumbuhan fitoplankton (Hutagalung et al., 1997). Suhu yang dapat ditoleransi oleh Chaetoceros sp. adalah 20-30 C (pertumbuhan terjadi secara normal), sedangkan suhu optimalnya adalah 25-30 C (Kawaroe et al., 2010). Suhu berpengaruh langsung terhadap laju fotosintesis tumbuhan khususnya reaksi enzimatis. Perubahan temperatur merupakan indikator terjadinya proses perubahan kondisi kimia dan biologi perairan (Aunurohim et al., 2009). Kenaikan suhu menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air (Kennish, 1990). Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Kandungan garam pada air tawar kurang dari 0,05%. Jika lebih dari itu, air dikategorikan sebagai air payau atau menjadi saline bila konsentrasi garamnya mencapai 3 hingga 5% (Suriadikarta dan Sutriadi, 2007). Chaetoceros sp. mampu hidup pada kondisi salinitas minimal 6 akan tetapi yang optimal adalah 17-25 (Kawaroe et al., 2010). Perubahan salinitas secara signifikan akan berbahaya bagi pertumbuhan organisme. Hal tersebut disebabkan karena proses osmosis di dalam sel sehingga tubuhnya akan kekurangan atau kelebihan cairan.
8 Ketidakseimbangan antara kadar larutan dalam sel (lebih pekat) dengan media lingkungannya menyebabkan cairan sel menjadi hiperosmosis, akibatnya sel membengkak dan pecah atau lisis (Yulianto, 1989). Nilai ph adalah nilai dari hasil pengukuran ion hidrogen (H) di dalam air. Air dengan kandungan ion H + tinggi akan bersifat asam, dan sebaliknya akan bersifat basa (Alkali). Nilai ph yang tinggi terjadi di perairan dengan kandungan fitoplankton tinggi, dimana proses fotosintesis membutuhkan banyak CO 2. ph akan mencapai 9 hingga 10, bahkan lebih tinggi jika bikarbonat diserap dari air (Svobodova et al., 1993). Stabilitas ph dipengaruhi oleh aktivitas respirasi dan fotosintesis. Respirasi akan menurunkan ph, dan sebaliknya fotosintesis menaikan nilai ph (Malone dan Burden, 1988). Hubungan antara CO 2 dengan ph berbanding terbalik, semakin tinggi kadar CO 2 maka semakin rendah nilai ph (Sanusi, 2006). Konsentrasi O 2 terlarut adalah parameter penting dalam menentukan kualitas perairan. Konsentrasi O 2 dipengaruhi oleh keseimbangan antara produksi dan konsumsi O 2 dalam ekosistem. O 2 diproduksi oleh komunitas autotrof melalui proses fotosintesis dan dikonsumsi oleh semua organisme melalui pernapasan. Penurunan jumlah O 2 dan peningkatan konsentrasi amoniak (NH 3 ) menjadi ancaman berbahaya bagi organisme. Konsentrasi O 2 rendah akan meningkatkan kecepatan respirasi, menurunkan efisiensi respirasi dan pertumbuhan yang dapat berakibat pada kematian massal (Izzati, 2008). Oksigen bagi kehidupan organisme diperlukan terutama pada malam hari untuk kegiatan respirasi. Respirasi mendukung proses metabolisme organisme sehingga kandungan O 2 terlarut dalam perairan sangat diperlukan bagi
9 kelangsungan proses pertumbuhannya (Ariyati et al., 2007). Peningkatan bahan organik juga meningkatkan konsumsi O 2. Hal tersebut diakibatkan oleh perombakan bahan organik yang dilakukan oleh mikroorganisme seperti bakteri (Wetzel, 1983). Kelarutan O 2 di dalam laut dipengaruhi oleh suhu dan salinitas. Semakin tinggi suhu dan salinitas perairan maka kelarutan O 2 semakin kecil. Pada umumnya lapisan permukaan laut mengandung O 2 terlarut sebesar 4,5-9 mg/l (Sanusi, 2006). 2.4 Nutrien Energi yang tersimpan dalam senyawa organik akan digunakan di dalam proses metabolisme, bila tidak digunakan akan dilepaskan sebagai panas kemudian hilang dari sistem selamanya. Berbeda dengan energi, bahan yang berbentuk senyawa organik dapat digunakan berulang dalam suatu siklus. Bahanbahan ini seperti nitrogen dan fosfor, awalnya berasal dari atmosfer atau pelapukan batuan. Setelah itu terbentuk sebagai molekul anorganik sederhana, mereka akan dikonversi ke dalam bentuk lain dan dimasukkan ke dalam jaringan autotrof. Saat ini senyawa organik dipecah oleh pencernaan, pernapasan, dan dekomposisi. Hasilnya dilepaskan kembali ke lingkungan, dan siklus dimulai lagi (Castro dan Huber, 2007). Media pertumbuhan fitoplankton menggunakan air laut maupun air tawar yang diperkaya dengan penambahan nutrien melalui pupuk. Air laut maupun tawar sudah mengandung berbagai elemen yang diperlukan fitoplankton walaupun dalam jumlah sangat sedikit. Oleh karena itu nutrien atau unsur-unsur makro dan mikro harus ditambahkan ke dalam media. Unsur-unsur makro yang diperlukan
10 secara langsung atau tidak langsung dalam pembentukan sel adalah C, H, O, N, P, S, K, Mg. Unsur mikro diperlukan dalam kadar sangat rendah sebagai katalisator, bahan dalam fungsi khusus atau regulasi osmotik ini diantaranya Fe, Mn, Cu, Zn, Mo, V, B, Cl, Co, Ca, Si, dan Na (Hutagalung et al., 1997). Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Oksidasi amoniak menjadi NO 2 dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas, sedangkan oksidasi NO 2 menjadi NO 3 dilakukan oleh Nitrobacter. Kedua jenis bakteri tersebut merupakan bakteri kemotrofik, yaitu bakteri yang mendapatkan energi dari proses kimiawi. NO3 yang merupakan sumber nitrogen bagi tumbuhan selanjutnya dikonversi menjadi protein. Proses ini ditunjukkan sebagai berikut: NO 3 + CO 2 + tumbuhan + cahaya matahari protein Sumber : Effendi (2003) Kadar NO 3 di perairan yang tidak tercemar biasanya lebih tinggi daripada kadar ammonium (NH 4 ). Kadar nitrat-nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/l. Kadar NO 3 lebih dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan kotoran hewan. Kadar nitrat-nitrogen yang lebih dari 0,2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat (Effendi, 2003). Distribusi horisontal kadar NO 3 semakin tinggi menuju ke arah pantai, dan kadar tertinggi biasanya ditemukan di perairan muara. Peningkatan kadar NO 3 di laut disebabkan oleh masuknya limbah
11 rumah tangga atau pertanian (pemupukan) yang umumnya banyak mengandung NO 3. Sedangkan distribusi vertikal NO 3 di laut semakin bertambah seiring dengan peningkatan kedalaman (Hutagalung et al., 1997). Senyawa nitrit (NO 2 ) yang terdapat dalam air laut merupakan hasil reduksi senyawa NO 3 atau oksidasi amoniak (NH 3 ) oleh mikroorganisme. Selain itu senyawa NO 2 juga berasal dari hasil ekskresi fitoplankton, terutama saat timbulnya ledakan populasi fitoplankton. Dalam air laut yang masih alami, kadar NO 2 umumnya sangat rendah (kurang dari 0,1 µg/l). Distribusi vertikal kadar NO 2 semakin tinggi seiring dengan penambahan kedalaman laut dan semakin rendahnya kadar O 2. Sedangkan distribusi horisontal kadar NO 2 semakin tinggi apabila semakin menuju ke arah pantai dan muara sungai. Meningkatnya kadar NO 2 di laut berkaitan erat dengan masuknya bahan organik yang mudah terurai (baik yang mengandung nitrogen maupun tidak). Mikroorganisme mengurai bahan organik dengan memanfaatkan O 2 dalam jumlah yang banyak, apabila tidak cukup maka akan memanfaatkan NO 3 sehingga NO 3 berubah menjadi NO 2. Oleh karena itu senyawa NO 2 menjadi salah satu indikator pencemaran (Hutagalung et al., 1997). Pada perairan alami, NO 2 biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, lebih sedikit dari NO 3 karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan O 2. Sumber NO 2 dapat berupa limbah industri dan rumah tangga. Perairan alami memiliki kadar NO 2 sekitar 0,001 mg/l, sangat jarang menemukan NO 2 dengan kadar melebihi 1 mg/l. Kadar NO 2 yang lebih dari 0,05 mg/l dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sangat sensitif. Sedangkan untuk keperluan peternakan, kadar NO 2 10 mg/l masih dapat diterima. Bagi manusia dan hewan, NO 2 bersifat lebih toksik daripada NO 3 (Effendi, 2003).
12 Pada perairan laut, unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, melainkan senyawa inorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik berupa partikulat. Fosfat (PO 4 ) adalah bentuk fosfor yang dimanfaatkan oleh tumbuhan dan alga. Keberadaan fosfor relatif lebih sedikit dan mudah mengendap di kerak bumi. Fosfor merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga karena berpengaruh terhadap tingkat produktivitas perairan dan berperan dalam transfer energi di dalam sel (Adenosine Triphosphate dan Adenosin Diphosphate), sehingga menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan alga. Ortofosfat (O-PO 4 ) yang merupakan produk ionisasi dari asam ortofosfat adalah bentuk fosfor yang paling sederhana dan banyak ditemukan di perairan. Kadar fosfor dalam ortofosfat jarang melebihi 0,1 mg/l, meskipun perairan tersebut eutrofik. Ortofosfat juga dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik (Effendi, 2003). Fosfat diadsorbsi oleh fitoplankton dan seterusnya masuk ke dalam rantai makanan. Pada air laut, kadar rata-rata PO 4 sekitar 2 µg/l. Kadar ini semakin meningkat dengan masuknya limbah rumah tangga, industri dan pertanian yang banyak mengandung PO 4. Peningkatan kadar PO 4 dalam laut akan menyebabkan terjadinya ledakan populasi fitoplankton (Hutagalung et al., 1997). Silikon adalah salah satu unsur yang terdapat pada kerak bumi secara berlimpah. Silikon banyak ditemukan dalam bentuk silikat (SiO2). Silikat bersifat tidak larut dalam air, baik yang bersifat asam maupun basa. Umumnya SiO 2 berada dalam bentuk koloid. Sumber utama SiO 2 adalah mineral kuarsa dan feldspar, sedangkan sumber antropogenik SiO 2 relatif sangat kecil. Silikon termasuk salah satu unsur yang esensial bagi makhluk hidup, salah satunya yaitu
13 alga terutama diatom, membutuhkan SiO 2 untuk membentuk dinding sel. Pada perairan payau dan laut, kadar SiO 2 berkisar antara 1.000-4.000 mg/l (Effendi, 2003). Silikat adalah nutrien yang sangat penting di laut. Tidak seperti nutrisi utama lainnya seperti PO 4, NO 3 dan NH 4, yang dibutuhkan oleh hampir semua plankton laut. Silikat adalah unsur kimia penting bagi biota tertentu seperti diatom, radiolarian, sillicoflagellates dan spons yang mengandung SiO 2. Biota seperti diatom adalah salah satu produsen yang paling penting di laut. Estimasi menunjukkan bahwa diatom memberikan kontribusi lebih dari 40% dari seluruh produksi primer. Oleh karena itu siklus SiO 2 telah menerima perhatian ilmiah yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir dan banyak ilmuwan telah mempelajari perilaku SiO 2 di lingkungan laut. Konsentrasi SiO 2 terlarut di laut sekitar 70,6 µmol/l dan masukan bersih SiO 2 terlarut dari darat ke laut adalah (6.1 ± 2.0)x10 2 mol setiap tahunnya. Kontribusi utama SiO 2 (sekitar 80%) berasal dari sungai (Jinming, 2010). 2.5 Sistem karbonat laut Gas Karbondioksida (CO 2 ) yang ada di atmosfer senantiasa berkesetimbangan dengan CO 2 terlarut di lautan. Hal tersebut menyebabkan peningkatan konsentrasi CO 2 di atmosfer berpengaruh terhadap lingkungan perairan (Munandar, 2009). Karbondioksida dalam bentuk karbon anorganik terlarut diubah menjadi karbon organik melalui proses fotosintesis, kemudian kembali ke atmosfer melalui proses respirasi dan dekomposisi (Effendi, 2003). Penurunan CO 2 dalam ekosistem akan meningkatkan ph perairan. Sebaliknya
14 proses respirasi oleh semua komponen ekosistem akan meningkatkan jumlah CO 2, sehingga ph perairan menurun (Wetzel, 1983). Pada umumnya, perairan alami mengandung CO 2 sebesar 2 mg/l (Nontji, 1987). Pada kisaran ph 8 terjadi proses hidrasi, dimana CO 2 terlarut bereaksi dengan molekul air menjadi asam karbonat (H 2 CO 3 ). Selain itu komposisi persentase kadar spesies CO 2 adalah 0,4% H 2 CO 3, 85,4% HCO - 2-3 dan 14,2% CO 3 menunjukkan bahwa HCO - 3 dominan pada kondisi tersebut (Feely et al., 2001). Lingkungan dengan ph basa memiliki konsentrasi ion hidroksida (HO - ) yang cukup tinggi. Hal tersebut diakibatkan oleh serangan ion hidroksida yang bersifat elektronegatif kepada atom karbon (CO 2 ) yang bersifat elektropositif. Setelah itu apabila energi aktivasinya terpenuhi maka terbentuklah keadaan transisi yang merupakan penentu laju reaksi yang membentuk senyawa bikarbonat (HCO - 3 ). Tahap berikutnya yaitu terjadi disosiasi bikarbonat menjadi karbonat (CO 2-3 ) dengan melepaskan satu ion hidrogen (Munandar, 2009). Proses yang dialami oleh gas CO 2 setelah difusi ke perairan laut menjadi CO 2 terlarut dapat dilihat pada Gambar 4. Sumber : Feely et al. (2001) Gambar 4. Sistem karbonat di laut (konsentrasi CO 2 dalam satuan µmol/kg)
15 Karbon anorganik terlarut terdistribusi dalam beberapa bentuk yaitu CO 2 (aq), H 2 CO 3, HCO - 3 dan CO - 3. Kadar relatif keempat senyawa tersebut sangat dipengaruhi oleh suhu, tekanan, ph dan salinitas (Munandar, 2009). Pada ph 8, total CO 2 dominan berbentuk HCO - 3 dan sebagian kecil berbentuk H 2 CO 3 dan CO - 3. Senyawa H 2 CO 3 dominan terbentuk pada ph yang cenderung bersifat asam (ph 6), sementara CO - 3 dominan terbentuk pada ph lebih besar dari 8 (Sanusi, 2006). Faktor penyumbang utama terhadap nilai ph di laut berasal dari sistem kesetimbangan karbonat. Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa jika ph berkurang menjadi 4,3, maka kesetimbangan akan bergeser ke kiri. Kondisi ini terjadi dimana tidak ditemukannya ion CO 2-3. Sumber : Effendi (2003) Gambar 5. Kadar relatif karbon anorganik terlarut pada kondisi ph tertentu
16 Jika ph meningkat, maka kesetimbangan akan bergeser ke kanan dimana kadar CO 2 dan H 2 CO 3 mulai berkurang sehingga meningkatkan kadar HCO - 3. Pada ph 8,3 CO 2 dan H 2 CO 3 tidak ditemukan lagi, hanya terdapat ion HCO - 3 dan CO 2-3. Oleh karena itu reaksi kesetimbangan akan berlangsung jika ph perairan laut sebesar 8,3 (Effendi, 2003).