KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

dokumen-dokumen yang mirip
Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016. EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA 1 Oleh: Susanti Ante 2

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

3 Lihat Pasal 182 ayat (8) KUHAP. 4 Andi Hamzah Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PERAN ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM TINDAK PIDANA UMUM MENURUT KUHAP 1 Oleh : Dedi Hartono Latif 2

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh: Stenli Sompotan 2

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017

BAB III PENUTUP. terhadap saksi dan korban serta penemuan hukum oleh hakim.

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

Bagian Kedua Penyidikan

Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB III PENUTUP. pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun, yaitu: b. Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang merupakan dasar

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

FUNGSI DAN MANFAAT SAKSI AHLI MEMBERIKAN KETERANGAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA 1 Oleh: Prisco Jeheskiel Umboh 2

BAB III PENUTUP. Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis diatas maka dapat ditarik kesimpulan

Lex Privatum Vol. V/No. 3/Mei/2017

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Transkripsi:

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa tujuan pembuktian melalui alatalat bukti yang sah menurut KUHAP dan bagaimana kedudukan keterangan ahli sebagai alat bukti dalam pemeriksaan suatu perkara pidana. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dapat disimpulkan: 1. Tujuan pembuktian melalui alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP adalah bagi penutut umum merupakan usaha untuk meyakinkan hakim, bahwa berdasarkan dua alat bukti yang sah agar menyatakan terdakwa bersalah sesuai dengan surat dakwaan. Bagi terdakwa dan penasehat hukumnya, pembuktian merupakan usaha sebaliknya yakni meyakinkan hakim berdasarkan dua alat bukti yang sah agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Bagi hakim melalui alat-alat bukti yang sah baik yang berasal dari penuntut umum maupun dari terdakwa dan penasehat hukumnya dijadikan dasar untuk membuat keputusan. 2. Kedudukan keterangan ahli sebagai alat bukti dalam pemeriksaan suatu perkara pidana mempunyai 2 (dua) kemungkinan yakni bisa sebagai alat bukti keterangan ahli dan alat bukti surat. Sebagai alat bukti keterangan ahli apabila dinyatakan di sidang pengadilan dengan mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agama yang dianutnya. Dan sebagai alat bukti surat apabila diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dengan mengingat sumpah sewaktu ia menerima jabatan atau pekerjaannya. Kata kunci: Keterangan ahli, alat bukti, hukum acara pidana. 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Goedlieb N. Mamahit, SH, MH; Max Sepang, SH, MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 130711011929 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran yang sesungguhnya, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal. Untuk memperoleh suatu kebenaran atas suatu peristiwa pidana yang terjadi diperlukan suatu proses kegiatan yang sistimatis dengan menggunakan ukuran dan pemikiran yang layak dan rasional. Kegiatan pembuktian dalam hukum acara pidana pada dasarnya diharapkan untuk memperoleh kebenaran, yakni kebenaran dalam batasanbatasan yuridis bukan dalam batasan yang mutlak karena kebenaran yang mutlak sukar diperoleh. Pembuktian dalam hukum acara pidana, merupakan upaya mendapatkan keteranganketerangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa. Menurut Bambang Peornomo bahwa : 3 Suatu pembuktian menurut hukum pada dasarnya merupakan proses untuk menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta-fakta yang terang dalam hubungannya dengan perkara pidana. Dalam KUHAP, peraturan pokok mengenai sistem pembuktian adalah Pasal 183 KUHAP yang menentukan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal ini menentukan syarat yang harus dipenuhi oleh setiap hakim untuk dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Kedua syarat yang disebutkan pada Pasal 183 KUHAP itu adalah adanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan adanya keyakinan hakim yang diperolehnya berdasarkan alat-alat bukti. Dengan demikian, pertama-tama harus ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Tetapi, sekalipun sudah ada dua alat bukti yang sah, hakim tidak dapat 3 Bambang Poernomo, Hukum Acara Pidana Pokok-pokok Peradilan Pidana Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm. 38. 31

sendirinya wajib untuk menyatakan terdakwa bersalah dan menjatuhkan suaut pidana. Syarat yang kedua juga harus dipenuhi, yaitu adanya keyakinan hakim yang diperolehnya berdasarkan alat-alat bukti itu. Demikian pula sebaliknya, sekalipun hakim berdasarkan perasaannya yakin bahwa sebenarnya terdakwa yang bersalah, tetapi apabila tidak didukung oleh adanya minimal dua alat bukti yang sah, maka hakim juga tidak boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Salah satu alat bukti yang sah dalam pemeriksaan suatu perkara pidana menurut Pasal 184 KUHAP adalah keterangan ahli. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. 4 Keterangan ahli merupakan hal yang baru dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. Hal ini merupakan pengakuan bahwa dengan adanya kemajuan teknologi, seorang hakim tidak bisa mengetahui segala untuk itu diperlukan bantuan seorang ahli. Keterangan ahli dalam pemeriksaan suatu perkara pidana sangat menarik untuk dibahas karena dalam penyidikan tindak pidana Pasal 120 KUHAP menentukan : 1. Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. 2. Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta. Sedangkan dalam Pasal 186 KUHAP ditentukan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Dari ketentuan Pasal 120 KUHAP dan Pasal 186 KUHAP tersebut di atas dapat dimengerti bahwa keterangan ahli sangat penting dalam pemeriksaan suatu perkara pidana, sejak dalam penyidikan dalam hal penyidik menganggap perlu ia dapat minta pendapat ahli atau orang 4 Pasal 1 Butir 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). yang memiliki keahlian khusus sampai pemeriksaan di sidang pengadilan jaksa selaku penuntut umum menghadirkan seorang ahli untuk memberikan keterangan dengan tujuan untuk membuktikan dakwaannya. Dari uraian di atas telah mendorong penulis untuk menulis skripsi ini dengan judul: Kedudukan Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. B. Perumusan Masalah 1. Apa tujuan pembuktian melalui alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP? 2. Bagaimanakah kedudukan keterangan ahli sebagai alat bukti dalam pemeriksaan suatu perkara pidana? C. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian normatif, yaitu dengan melihat hukum sebagai kaidah (norma). Untuk menghimpun bahan digunakan metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan mempelajari kepustakaan hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan, himpunan peraturan perundang-undangan, artikel-artikel hukum, dan berbagai sumber tertulis lainnya. Bahan-bahan yang telah dihimpun selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisa kualitatif, di mana hasilnya disusun dalam bentuk skripsi. PEMBAHASAN A. Tujuan Pembuktian Melalui Alat-alat Bukti Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, di mana dengan alat-alat bukti tersebut. dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Banyak bukti yang dapat dipandang sebagai alat bukti, tetapi KUHAP telah membatasi alatalat bukti yang dapat dijadikan dasar bagi putusan hakim, di mana alat-alat bukti seperti ini disebut alat-alat bukti yang sah. Menurut ketentuan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. 32

Tujuan pembuktian melalui alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut : 5 a. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan. b. Bagi terdakwa atau penasihat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan. c. Bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasihat hukum/terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa tujuan pembuktian melalui alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa dalam pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan adalah bagi penuntut umum. Pembuktian merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat dakwan. Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dan tuntutan hukum atau meyakinkan pidananya. Oleh karena itu terdakwa atau penasehat hukum sedapat mungkin mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan terdakwa. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan. Bagi hakim pembuktian melalui alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasehat hukum terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan. Dalam pemeriksaan persidangan suatu perkara pidana, majelis hakim setelah memeriksa dan memperhatikan alat-alat bukti yang ada, maka akan mempertimbangkan halhal sebagai berikut : 6 a. Perbuatan apa yang telah terbukti dari hasil pemeriksaan persidangan; b. Apakah terdakwa telah terbukti bersalah melakukan perbuatan tersebut; c. Kejahatan atau pelanggaran apakah yang telah dilakukan terdakwa; d. Pidana apakah yang harus dijatuhkan pada diri terdakwa. Dari uraian di atas dalam pemeriksaan suatu perkara pidana di sidang pengdailan, maka setelah majelis hakim memperhatikan alat-alat bukti yang ada maka akan mempertimbangkan perbuatan apa yang telah terbukti dari hasil pemeriksaan persidangan, apakah terdakwa telah terbukti bersalah melakukan perbuatan tersebut dan kejahatan atau pelanggaran apakah yang telah dilakukan terdakwa serta pidana apa yang harus dijatuhkan pada diri terdakwa. Apabila hakim memandang pemeriksaan alat-alat bukti di sidang sudah selesai, maka ia mempersilahkan penuntut umum membacakan tuntutannya (requisitioir). Setelah itu giliran terdakwa atau penasehat hukumnya membacakan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukumnya mendapat giliran terakhir. Berdasarkan ketentuan Pasal 182 ayat (1c) tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan. Jika acara pemeriksaan telah selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum dengan memberikan alasannya. Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan 5 Ibid, hal. 13. 6 Loc-cit. 33

kepada penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum. B. Kedudukan Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti Menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Yang disebut ahli adalah : 7 - Menurut Pasal 120 KUHAP, adalah ahli atau ahli yang mempunyai keahlian khusus; - Menurut Pasal 132 KUHAP, adalah ahli yang mempunyai keahlian tentang surat dan tulisan palsu. - Menurut Pasal 133 KUHAP menunjuk Pasal 179 KUHAP, untuk menentukan korban luka, keracunan atau mati adalah ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya. Menurut Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE-003/J.A./2/1984, pemeriksaan ahli terhadap otentikasi tanda tangan dan tulisan yang akan digunakan sebagai alat bukti bahwa suatu tindak pidana telah terjadi, atau siapa saja yang bersalah melakukannya telah disepakati oleh Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia sebagai berikut : 8 - untuk tindak pidana umum dan tindak pidana khusus keterangan ahli otentikasi diberikan oleh Laboratorium Kriminal MABAK; - untuk tindak pidana militer, keterangan ahli otentikasi diberikan oleh Laboratorium Kriminil POM ABRI; - untuk perkara yang bersifat koneksitas dapat diberikan oleh salah satu Laboratorium Kriminil berdasarkan kesepakatan antara unsur penegak hukum yang duduk dalam tim untuk perkara koneksitas. Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, keterangan dokter bukan keterangan ahli tetapi keterangan saja yang merupakan petunjuk. Yang disebut keterangan ahli dalam pasal 133 KUHAP yakni keterangan ahli kedokteran kehakiman 7 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op-cit, hal. 54. 8 Ibid, hal. 55. untuk pemeriksaan luka, atau pemeriksaan mayat atau pemeriksaan bedah mayat. Dari ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal tersebut di atas tidak disebutkan secara jelas syarat-syarat tentang seorang ahli, kecuali untuk dokter ahli kehakiman atau dokter. Sehingga dibuka kemungkinan seorang ahli dari kalangan tidak terdidik secara formal. A. Karim Nasution mengatakan : 9 Janganlah hendaknya kita berpendapat bahwa orang yang disebut ahli tersebut haruslah seorang yang telah memperoleh pendidikan khusus atau orang yang telahi memiliki ijazah tertentu. Setiap orang menurut hukum acara pidana dapat diangkat sebagai ahli, asal saja dianggap mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang khusus mengenai sesuatu hal, atau memiliki lebih banyak pengetahuan dan pengalaman tentang soal itu. Dengan demikian bukan berarti bahwa dalam memerlukan bantuan ahli kita harus selalu minta bantuan sarjana-sarjana atau ahli-ahli ilmu pengetahuan, tetapi juga pada orang-orang yang berpengalaman dan kurang berpendidikan, namun dalam bidangnya toh sangat cendekia (scherpzinnig). Umpamanya: tukang kayu, tukang sepatu, pembuat senjata, pemburu dan sebagainya yang untuk soal-soal tertentu dapat memberi pertolongan yang sangat diperlukan. Pasal 179 KUHAP menentukan : (1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. (2) Semua ketentuan tersebut di atas untuks aksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Berpijak pada Pasal 179 ayat (1) KUHAP dapat dikategorikan dua kelompok ahli, yaitu ahli kedokteran dan ahli-ahli lainnya. Syarat sahnya keterangan ahli, yaitu : 10 1) Keterangan diberikan oleh ahli. 9 A. Karim Nasution, Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana I, II dan III, Tanpa Penerbit, Jakarta, 1985, hal. 136. 10 Rusly Muhammad, Op-cit, hal. 194. 34

2) Memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu. 3) Menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. 4) Diberikan di bawah sumpah. Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan cara meminta keterangan ahli pada taraf penyidikan oleh aparat penyidik sebagaimana dalam Pasal 133 KUHAP. Menurut pasal ini, keterangan ahli diberikan secara tertulis melalui surat. Atas permintaan ini ahli menerangkan hasil pemeriksaannya dalam bentuk laporan. Cara kedua, seperti yang ditentukan Pasal 179 dan Pasal 186 KUHAP, yaitu keterangan ahli diberikan secara lisan dan langsung di pengadilan. Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama dengan nilai kekuatan yang melekat pada alat bukti keterangan saksi, yaitu mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas atau vrijn bewijs-kracht. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Namun. penilaian hakim ini harus benar-benar bertanggung jawab atas landasan moril demi terwujudnya kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum. Pada hakikatnya keterangan ahli itu adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 angka 28 KUHAP). Konkretnya, keterangan ahli sebagai gradasi kedua alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP) adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan (Pasal 186 KUHAP). Akan tetapi, menurut penjelasan Pasal 186 KUHAP disebutkan bahwa keterangan ahli ini dapat juga diberikan pada waktu, pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam bentuk berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim. Dari ketentuan penjelasan Pasal 186 KUHAP tersebut di atas maka sebenarnya secara teoretik pada hakikatnya kejerangan ahli dapat menimbulkan dua dilema di dalamnya, yaitu : a. Bahwa keterangan ahli dapat diberikan pada pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum. Di sini menimbulkan dilema apakah mungkin dalam era KUHAP keterangan ahli dapat diberikan di hadapan penuntut umum, padahal semenjak penerapan KUHAP penuntut umum sudah tidak berwenahg lagi melakukan penyidikan;dan b. Bahwa jika keterangan tersebut dituangkan dalam bentuk laporan, eksistensinya bukanlah sebagai keterangan ahli melainkan merupakan alat bukti surat (Pasal 187 huruf c KUHAP). Dalam praktik peradilan, keterangan ahli dalam bentuk visum et repertum (diatur dalam Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350, Ordonnantie 22 Mei 1937 tentang visa reperta van genesskundigen) yang banyak dilampirkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) khususnya terhadap tindak pidana Pasal 285 KUHP, Pasal 351 KUHP, Pasal 359 KUHP, Pasal 360 KUHP, dan sebagainya ketimbang surat keterangan. Apabila ditinjau melalui kajian praktik peradilan secara lebih intens, dapatlah dikonklusikan bahwa keterangan ahli berupa laporan ini lazim menimbulkan dua nuansa pembuktian, yaitu : a. Pertama, bahwa keterangan ahli dengan bentuk laporan tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli. Aspek ini ditegaskan dalam penjelasan Pasal 186 jo. Pasal 133 ayat (1) KUHAP di mana disebutkan keterangan ahli dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada saat ia menerima jabatan atau pekerjaan. b. Kedua, bahwa laporan keterangan ahli dapat dipandang sebagai alat bukti surat. Hal ini dapat ditafsirkan dari ketentuan Pasal 187 huruf c KUHAP yang menentukan bahwa surat keterangan dari seorang ahli yang 35

memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. Pasal 186 KUHAP menentukan, keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Menurut Waluyadi, tidak semua keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti, melainkan yang dapat memenuhi syaratsyarat kesaksian adalah yang diberikan di muka persidangan. 11 Hari Sasangka dan Lily Rosita menyatakan : 12 Keterangan ahli mempunyai 2 (dua) kemungkinan bisa sebagai alat bukti keterangan ahli atau alat bukti surat. Apabila diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan, dan dibuat dengan mengingat sumpah sewaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan (penjelasan Pasal 186 KUHAP) maka keterangan ahli tersebut sebagai alat bukti surat. Menjadi ahli pada dasarnya sama dengan menjadi saksi adalah merupakan suatu kewajiban hukum. Menolak kewajiban tersebut dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang (pasal 1 59 ayat (2) KUHAP). - Ancaman menolak kewajiban ahli terdapat dalam pasal 224 KUHP. - Selanjutnya lihat kembali uraian tentang saksi tidak mau hadir di persidangan. Dasar hukum pemanggilan seorang ahli adalah sama dengan dasar hukum pemanggilan seorang saksi, yakni pasal 146 ayat (2) dan pasal 227 KUHAP. Pemanggilan terhadap ahli dilakukan oleh penuntut umum yang memuat secara jelas tanggal, hari serta jam sidang serta untuk perkara apa ia dipanggil. Selanjutnya lihat kembali pemanggilan terhadap saksi. Dalam praktek tidak sulit untuk menghadirkan ahli dalam sidang pengadilan, apalagi kalau ahli terseut seorang yang berpendidikan. Kebanyakan mereka menyadari tugas dan kewajiban seseorang selaku ahli. Di samping itu masalah yang diterangkan oleh ahli dalam sidan bersifat netral, yaitu merupakan penilaian atau penghargaan terhadap suatu keadaan. 11 Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 1999, hal. 108. 12 Hari Sasangka dan Liliy Rosita, Op-Cit, hal. 56-57. Seorang ahli sebelum memberikan keterangan, hakim ketua sidang menanyakan identitas ahli, mengenai nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan. Sebelum memberikan keterangan, ahli wajib bersumpah atau berjanji menurut cara agama masing-masing (Pasal 179 ayat (2) KUHAP). Keterangan ahli yang diberikan dalam sidang dicatat dalam berita acara pemeriksaan (penjelasan Pasal 186 KUHAP). Berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan panitera (Pasal 202 KUHAP). 13 Sebelum memberi keterangan, ahli wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agama yang dianutnya (Pasal 179 ayat (2) KUHAP). Bagi seseorang yang agamanya tidak memperbolehkan bersumpah, sumpah tersebut diganti dengan berjanji (Staatsblaad 1920 Nomor 69 Pasal 5). Bunyi sumpah seorang ahli adalah, bahwa selaku ahli akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya (Pasal 179 ayat (2) KUHAP). Terhadap ahli yang tidak mau bersumpah atau berjanji tanpa alasan, pemeriksaan tetap dilakukan. Terhadap ahli tersebut bisa dilakukan penyanderaan di dalam RUTAN paling lama 14 (empat belas) hari berdasarkan penetapan hakim ketua sidang. Apabila waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lampau, maka keterangan yang diberikan merupakan keterangan saja, yang menguatkan keyakinan hakim (Pasal 161 KUHAP dengan penjelasannya). Keterangan ahli yang tidak hadir dalam sidang dengan alasan yang sah, keterangan tersebut dibacakan. Jika keterangan ahli tersebut sebelum diberikan di depan penyidik sudah mengucapkan sumpah atau janji (Pasal 120 ayat (2) KUHAP), maka nilainya sama dengan keterangan ahli yang dinyatakan dalam sidang. Jika keterangan ahli tersebut diberikan di depan penyidik tidak mengucapkan sumpah atau janji, maka keterangan yang diberikan, merupakan keterangan saja yang menguatkan keyakinan hakim (bandingkan dengan ahli yang menolak untuk bersumpah atau berjanji setelah disandera, tetap tidak mau bersumpah atau berjanji). 13 Ibid, hal. 57 36

Penelitian ulang dengan bahan baru dapat dilakukan terhadap keterangan ahli atau hasil keterangan ahli. Penelitian ulang tersebut dapat dilakukan : 14 - Karena jabatan hakim ketua sidang untuk menjernihkan duduk persoalan; - Karena keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukum. Apabila dilakukan penelitian ulang, dilakukan oleh instansi semula, dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai wewenang untuk itu. (Pasal 180 KUHAP). Dengan demikian terdakwa atau penasehat hukum berhak menolak keterangan ahli atau hasil keterangan ahli. Dalam pasal 186 KUHAP, disebutkan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan. Suatu keterangan ahli baru mempunyai nilai pembuktian, bila ahli tersebut dimuka hakim harus bersumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan. Dengan bersumpah baru mempunyai nilai sebagai alat bukti. Jika ahli tidak bisa hadir, dan sebelumnya sudah mengucapkan sumpah di muka penyidik maka nilainya sama dengan keterangan ahli yang diucapkan dalam sidang. Bila keterangan ahli diberikan tanpa sumpah karena sudah disandera, dan tetap tidak mau bersumpah, tidak hadir dan ketika pemeriksaan di depan penyidik tidak bersumpah terlebih dahulu, maka keterangan ahli tersebut hanya bersifat menguatkan keyakinan hakim. Dengan demikian selaku ahli, maka ia mempunyai kewajiban datang di persidangan, mengucapkan sumpah, memberikan keterangan menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Apa yang diterangkan oleh seorang ahli adalah merupakan kesimpulan-kesimpulan dari suatu keadaan yang diketahui sesuai dengan keahliannya. Atau dengan kata lain merupakan penilaian atau penghargaan terhadap suatu keadaan. Kekuatan alat bukti keterangan ahli bersifat bebas, karena tidak mengikat seorang hakim untuk memakainya apabila bertentangan dengan keyakinannya. Guna keterangan ahli di persidangan merupakan alat bantu bagi hakim untuk menemukan kebenaran, dan hakim bebas mempergunakan sebagai pendapatnya sendiri atau tidak. 14 Ibid, hal. 59. Apabila bersesuaian dengan kenyataan yang lain di persidangan, keterangan ahli diambil sebagai pendapat hakim sendiri. Jika keterangan ahli tersebut bertentangan, bisa saja dikesampingkan oleh hakim. Namun yang perlu diingat bahwa apabila keterangan ahli dikesampingkan harus berdasar alasan yang jelas, tidak bisa begitu saja mengesampingkan tanpa alasan. Karena hakim masih mempunyai wewenang untuk meminta penelitian ulang bila memang diperlukan. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Tujuan pembuktian melalui alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP adalah bagi penutut umum merupakan usaha untuk meyakinkan hakim, bahwa berdasarkan dua alat bukti yang sah agar menyatakan terdakwa bersalah sesuai dengan surat dakwaan. Bagi terdakwa dan penasehat hukumnya, pembuktian merupakan usaha sebaliknya yakni meyakinkan hakim berdasarkan dua alat bukti yang sah agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Bagi hakim melalui alat-alat bukti yang sah baik yang berasal dari penuntut umum maupun dari terdakwa dan penasehat hukumnya dijadikan dasar untuk membuat keputusan. 2. Kedudukan keterangan ahli sebagai alat bukti dalam pemeriksaan suatu perkara pidana mempunyai 2 (dua) kemungkinan yakni bisa sebagai alat bukti keterangan ahli dan alat bukti surat. Sebagai alat bukti keterangan ahli apabila dinyatakan di sidang pengadilan dengan mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agama yang dianutnya. Dan sebagai alat bukti surat apabila diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dengan mengingat sumpah sewaktu ia menerima jabatan atau pekerjaannya. B. Saran 1. Karena pembuktian melalui alat-alat bukti yang sah dapat dijadikan dasar oleh hakim untuk membuat keputusan, maka diharapkan jaksa dapat meyakinkan hakim melalui sekurang-kurangnya dua alat bukti 37

yang sah yang ia hadirkan disidang pengadilan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. 2. Karena kedudukan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dalam pemeriksaan suatu perkara pidana mempunyai dua kemungkinan yakni bisa sebagai alat bukti keterangan ahli dan sebagai alat bukti surat, maka terserah kepada hakim untuk menilai atau mempergunakan nama alat bukti apa yang akan diberikannya. Hakim dapat menilai dan menyebutnya sebagai alat bukti keterangan ahli atau dapat pula menyebutnya sebagai alat bukti surat. DAFTAR PUSTAKA Chazawi Adami, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung, PT Alumni, 2006 Hamzah Andi, Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Harahap Yahya M., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Kusumo Merto Sudikno, Hukum Acara Pidana, Armico, Bandung, 1992. Lumintang P.A.F., Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1984. Muhammad Rusli, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007. Mulyadi Lilik, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007. Poernomo Bambang, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981, Yogyakarta, 1993., Hukum Acara Pidana Pokok-pokok Peradilan Pidana Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1995. Prodjodikoro Wirjono, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Djakarta, 1984. Prodjohamidjojo Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), CV Mandar Maju, Bandung, 2001. Pusat Bahasa Departemen Pendidian Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi Ketiga, Cetakan Keempat, 2005. Sasangka Hari dan Rosita Lily, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003. Soedirjo, Jaksa dan Hakim Dalam Proses Pidana, CV Akademikia Pressindo, Jakarta, 1985. Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 1999. 38