MAKALAH UNDANG UNDANG KESEHATAN Kode Etik Farmasis

dokumen-dokumen yang mirip
KODE ETIK APOTEKER INDONESIA DAN IMPLEMENTASI - JABARAN KODE ETIK

Apoteker di dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1996 TENTANG TENAGA KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1996 TENTANG TENAGA KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1996 TENTANG TENAGA KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN. Disajikan Pada : RAPAT 23 SEPTEMBER 2014

RAHASIA KEDOKTERAN. Dr.H Agus Moch. Algozi, SpF, DFM. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pokok bahasan. Kesehatan

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN

MAKALAH ETIKA PROFESI DENGAN TENAGA KESEHATAN LAINNYA

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan secara maksimal. Untuk mewujudkan pelayanan yang maksimal,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sejak tahun 1960-an. Hal ini terjadi sebagai bentuk respon ketidakpuasan terhadap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu

MAKALAH FARMASI SOSIAL

PERATURAN YANG TERKAIT DENGAN RM

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

PERAN TENAGA KESEHATAN VOKASIONAL DALAM PENGUATAN PELAYANAN PRIMER DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SURAT KEPUTUSAN PENGURUS PUSAT IKATAN APOTEKER INDONESIA Nomor : PO. 004/ PP.IAI/1418/VII/2014. Tentang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG TENAGA KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SISTEM PELAYANAN PERIZINAN TENAGA KESEHATAN. Oleh : KEPALA DINAS KESEHATAN KOTA MEDAN Drg. Hj. USMA POLITA NASUTION, M. Kes

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Aspek Etik dan Hukum Kesehatan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BATANG PEMERINTAH KABUPATEN BATANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR : 13 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2018, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V SITUASI SUMBER DAYA KESEHATAN

LANDASAN HUKUM PRAKTEK KEPERAWATAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI

2018, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166,

2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Sumpah Dokter SAYA BERSUMPAH BAHWA :

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG TUNJANGAN JABATAN FUNGSIONAL BIDAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144

standar profesi medis

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kode Etik Dokter, Perawat, dan Tenaga Kesehatan Lainnya di RS Tipe A

SURAT KEPUTUSAN PENGURUS PUSAT IKATAN APOTEKER INDONESIA Nomor : PO. 003/ PP.IAI/1418/IX/2016. Tentang

PEDOMAN PELAYANAN KEDOKTERAN DAN KEPERAWATAN

PERATURAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK INSAN OMBUDSMAN KETUA OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KOTA PEKALONGAN TAHUN 2009 NOMOR 6 PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 6 TAHUN 2009

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

2 Mengingat e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG TENAGA KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN RI No.269/MENKES/PER/III/2008

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup pasien yang dalam praktek pelayanannya memerlukan pengetahuan,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BERITA DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2013 NOMOR : 17 PERATURAN WALIKOTA CILEGON NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG TARIF PELAYANAN PADA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

2013, No Menetapkan : 3. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HERU SASONGKO, S.FARM.,APT.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KODE ETIK PSIKOLOGI MUKADIMAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III STANDAR STANDAR, PEDOMAN, MEDICATION RECORD, INFORMED CONSENT, RAHASIA KEDOKTERAN DAN FARMASI HUBUNGANNYA DENGAN MALPRAKTIK APOTEKER

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEPOLISIAN RI. Jabatan Fungsional. Rumpun Kesehatan.

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KODE ETIK DOSEN AKADEMI KEPERAWATAN HKBP BALIGE 2012 KEPUTUSAN DIREKTUR AKADEMI KEPERAWATAN TENTANG KODE ETIK DOSEN AKPER HKBP BALIGE MUKADIMAH

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 7 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG

Transkripsi:

MAKALAH UNDANG UNDANG KESEHATAN Kode Etik Farmasis Disusun Oleh : G 701 11 056 G 701 11 074 G 701 11 057 G 701 11 072 G 701 11 088 PRAMITA PUTRI MAGFIRA RIZKYAH TRI JULIANTI ZAHRA MEGAWATI Kelompok : IV ( Empat ) Dosen Penanggung jawab : Ihwan, S.Si., M.Kes., Apt. PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2013 / 2014

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat hidayah dan rahmat-nya yang diberikan kepada kami berupa kesehatan rohani dan jasmani sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Undang-Undang Kesehatan yang berjudul Kode Etik Farmasis, yang dapat diselesaikan dengan baik. Dalam menyelesaikan penulisan makalah ini, kami banyak menemukan hambatan, tetapi berkat dukungan dan bantuan dari pihak-pihak yang telah membantu serta para dosendosen farmasi yang telah banyak membantu kami dengan baik, kami dapat menyelesaikannya dengan baik. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada orang-orang yang telah membantu dalam membuat makalah ini hingga makalah undang-undang kesehatan ini dapat terselesaikan dngan baik. Tidak lupa kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu untuk memperbaiki makalah ini kami mengharapkan kritik-kritik dan saransaran yang membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan para pembaca pada umumnya, serta dapat dimanfaatkan dengan baik untuk menjadi pedoman bagi mata kuliah undang-undang kesehatan selanjutnya. Atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Palu, 11 Maret 2014 Kelompok IV

DAFTAR ISI Sampul... 1 Kata Pengantar... 2 Daftar Isi... 3 Bab. I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang... 4 1.2 Tujuan... 5 Bab. II Pembahasan 2.1 Kode Etik Farmasi dan Peran Kode Etik Farmasi... 7 2.2 Kewajiban Seorang Apoteker Terhadap Pekerjaan, Rekan Sejawat Dan Profesi Kesehatan Lain.... 7 2.3 Kewajiban Seorang Asisten Apoteker Terhadap Pekerjaan, Rekan Sejawat Dan Profesi Kesehatan Lain.... 8 2.4 Interaksi Profesi Farmasi Dengan Tenaga Kesehatan Lain Dalam Praktek Pelayanan Kefarmasian... 9 2.5... 10 Bab III. Penutup 3.1 Kesimpulan... 13 3.2 Saran... DAFTAR PUSTAKA

BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan

B A B II P E M B A H A S A N 2.1 Kode Etik Farmasi dan Peran Kode Etik Farmasi Berdasarkan keputusan Kongres Nasional XVIII/2009 Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Nomor 006/Kongers XVIII/ISFI/2009, Mukadimah : Bahwasanya seorang Apoteker di dalam menjalankan tugas kewajibannya serta dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa. Apoteker di dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker. Menyadari akan hal tersebut Apoteker di dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu ikatan moral yaitu Kode Etik Apoteker Indonesia Dalam Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian Setiap apoteker dalam melakukan pengabdian dan pengamalan ilmunya harus didasari oleh sebuah niat luhur untuk kepentingan makhluk lain sesuai dengan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa. Sumpah dan janji Apoteker adalah komitmen seorang apoteker yang harus dijadikan landasan moral dalam pengabdian profesinya. Kode etik sebagai kumpulan nilai-nilai atau prinsip harus diikuti oleh apoteker sebagai pedoman dan petunkuk serta standar perilaku dalam bertindak dan mengambil keputusan.

2.2 Kewajiban Seorang Apoteker Terhadap Pekerjaan, Rekan Sejawat Dan Profesi Kesehatan Lain. KODE ETIK APOTEKER INDONESIA DALAM PELAKSANAAN PEKERJAAN KEFARMASIAN BAB I KEWAJIBAN UMUM Pasal 1 Sumpah/Janji Seorang Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah / janji Apoteker. Sumpah / janji apoteker yang diucapkan seorang apoteker untuk dapat diamalkan dalam pengabdiannya, harus dihayati dengan baik dan dijadikan landasan moral dalam setiap tindakan dan perilaku. Dalam sumpah apoteker ada beberapa poin yang harus diperhatikan, yaitu : 1. Melaksanakan asuhan kefarmasian 2. Merahasiakan kondisi pasien, resep dan medication record untuk pasien 3. Melaksanakan praktik profesi sesuai landasan praktik profesi yaitu ilmu, hukum dan etik. Pasal 2 Seorang Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia. Kesungguhan dalam menghayati dan mengamalkan kode etik apoteker Indonesia dinilai dari : ada tidaknya laporan masyarakat, ada tidaknya laporan dari sejawat apoteker atau sejawat tenaga kesehatan lain, serta tidak ada laporan dari sejawat apoteker atau sejawat tenaga kesehatan lain, serta tidak ada laporan dari dinas kesehatan. Pengaturan pemberian sanksi ditetapkan dalam peraturan organisasi (PO).

Pasal 3 Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya. Setiap apoteker Indonesia harus mengerti, menghayati dan mengamalkan kompetensi sesuai dengan standar kompetensi apoteker Indonesia. Kompetensi yang dimaksud adalah : keterampilan, sikap, dan perilaku yang berdasarkan pada ilmu, hukum, dan etik. Ukuran kompetensi seorang apoteker dinilai lewat uju kompetensi Kepentingan kemanusiaan harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap tindakan dan keputusan seorang apoteker Indonesia. Bilamana suatu saat bila seorang apoteker dihadapkan kepada konflik tanggung jawab professional, maka dari berbagai opsi yang ada, seorang apoteker harus memilih resiko yang paling kecil dan paling tepat untuk kepentingan pasien serta masyarakat. Pasal 4 Seorang Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya. Seorang apoteker harus mengembangkan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya secara terus menerus Aktivitas seorang apoteker dalam mengikuti perkembangan dibidang kesehatann, diukur dari nilai SKP yang diperoleh dari hasil uji kompetensi. Jumlah SKP minimal yang harus diperoleh apoteker ditetapkan dalam peraturan organisasi.

Pasal 5 Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian. Seorang apoteker dalam tindakan profesionalnya harus menghindari diri dari perbuatan yang akan merusak atau seseorang ataupun merugikan orang lain Seorang apoteker dalam menjalankan tugasya dapat memperoleh imbalan dari pasien dan masyarakat atas jasa yang diberikannya dengan tetap memegang teguh kepada prinsip mendahulukan kepentingan pasien. Besarnya jasa pelayanan ditetapkan dalam peraturan organisasi. Pasal 6 Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain. Seorang apoteker harus menjaga kepercayaan masyarakat atas profesi yang disandangkan dengan jujur dan penuh integritas. Seorang apoteker tidak menyalahgunakan kemampuan profesionalnya kepada orang lain Seorang apoteker harus menjaga perilakunya dihadapan publik

Pasal 7 Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya. Seorang apoteker memberikan informasi kepada pasien / masyarakat harus dengan cara yang mudah dimengerti dan yakin bahwa informasi tersebut harus sesuai, relevan, dan up to date. Sebelum memberikan informasi apoteker harus menggali informasi yang dibutuhkan dari pasien ataupun orang yang datang menemui apoteker mengenai oasien serta penyakitnya. Seorang apoteker harus mampu berbagi informasi mengenai pelayanan kepada pasien dengan tenaga profesi kesehatan yang terlibat Seorang apoteker harus senantiasa meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap obat, dalam bentuk penyuluhan, memberikan informasi secara jelas, melakukan monitoring penggunaan obat dan sebagainya. Kegiatan penyuluhan ini mendapat nilai SKP. Pasal 8 Seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan di Bidang Kesehatan pada umumnya dan di Bidang Farmasi pada khususnya. Tidak ada alasan bagi apoteker tidak tahu perundangan yang terkait dengan kefarmasian. Untuk itu setiap apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan peraturan, sehingga setiap apoteker dapat menjalankan profesinya dengan tetap berada dalam koridor peraturan perundangan yang berlaku. Apoteker harus membuat Standar Prosedur Operasional (SPO) sebagai pedoman kerja bagi seluruh personil di industri, dan sarana kefarmasian sesuai kewenangan atas dasar peraturan perundangan yang ada.

BAB II KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP PENDERITA Pasal 9 Seorang Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asazi penderita dan melindungi makhluk hidup insani. Kepedulian kepada pasien adalah merupakan hal yang paling utama dari seorang apoteker Setiap tindakan dan keputusan profesional dari apoteker harus berpihak kepada kepentingan pasien dan masyarakat Seorang apoteker harus mampu mendorong pasien untuk terlibat dalam keputusan pengobatan mereka Seorang apoteker harus mengambil langkah-langkah untuk menjaga kesehatan pasien khususnya janin, bayi, anak-anak serta orang yang dalam kondisi lemah. Seorang apoteker harus yakin bahwa obat yang diserahkan kepada pasien adalah obat yang terjamin mutu, keamanan, dan khasiat dan cara pakai obat yang tepat. Seorang apoteker harus menjaga kerahasiaan pasien, rahasia kefarmasian, dan rahasia kedokteran dengan baik Seorang apoteker harus menghormati keputusan profesi yang telah ditetapkan oleh dokter dalam bentuk penulisan resep dan sebagainya Dalam hal seorang apoteker akan mengambil kebijakan yang berbeda dengan permintaan seorang dokter, maka apoteker harus melakukan komunikasi dengan dokter tersebut, kecuali peraturan perundangan memnolehkan apoteker mengambil keputusan demi kepentingan pasien.

BAB III KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP TEMAN SEJAWAT Pasal 10 Setiap Apoteker harus memperlakukan Teman Sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. Setiap apoteker harus menghargai teman sejawatnya, termasuk rekan kerjanya Bilamana seorang apoteker dihadapkan kepada suatu situasi yang problematik, baik secara moral atau peraturan perundangan yang berlaku, tentang hubungannya dengan sejawatnya, maka komunikasi antar sejawat harus dilakukan dengan baik dan santun. Apoteker harus berkoordinasi dengan IAI ataupun majelis Pembina etik apoteker dalam menyelesaikan permasalahan dengan teman sejawat. Pasal 11 Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Kode Etik. Bilamana seorang apoteker mengetahui sejawatnya melanggar kode etik, dengan cara yang santun dia harus melakukan komunikasi dengan sejawatnya tersebut untuk mengingatkan kekeliruan tersebut. Bilamana ternyata yang bersangkutan sulit menerima maka dia dapat menyamoaikan kepada pengurus cabang dan atau MPEAD secara berjenjang. Pasal 12 Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker di dalam memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.

Seorang apoteker harus menjalin dan memelihara kerjasama dengan sejawat apoteker lainnya Seorang apoteker harus membantu teman sejawatnya dalam menjalankan pengabdian profesinya Seorang apoteker harus saling mempercayai teman sejawatnya dalam menjalin, memelihara kerjasama. BAB IV KEWAJIBAN APOTEKER/FARMASIS TERHADAP SEJAWAT PETUGAS KESEHATAN LAIN Pasal 13 Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati Sejawat Petugas Kesehatan. Apoteker harus mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan tenaga profesi kesehatan lainnya secara seimbang dan bermartabat. Pasal 14 Setiap Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengak ibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lain. Bilamana seorang apoteker menemui hal-hal yang kurang tepat dari pelayanan profesi kesehatan lainnya, maka apoteker tersebut harus mampu mengkomunikasikannya dengan baik kepada profesi tersebut, tanpa yang bersangkutan harus merasa dipermalukan.

BAB V PENUTUP Pasal 15 Setiap Apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasiannya sehari-hari. Jika seorang Apoteker baik dengan sengaja maupun idtak sengaja melanggar atau tidak mematuhi Kode Etik Apoteker Indonesia, maka Apoteker tersebut wajib mengakui dan menerima sanksi dari pemerintah, Ikatan/Organisasi Profesi Farmasi yang menanganinya yaitu ISFI dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apabila Apoteker melakukan pelanggaran kode etik apoteker, yang bersangkutan dikenakan sanksi organisasi. Sanksi dapat berupa pembinaan, peringatan, pencabutan keanggotaan sementara, dan pencabutan keanggotaan tetap. Kriteria pelanggaran kode etik diatur dalam peraturan organisasi, dan ditetapkan setelah melalui kajian yang mendalam dai MPEAD. Selanjutnya MPEAD menyampaikan hasil telaahnya kepada pengurus cabang, pengurus daerah, dan MPEA. Ditetapkan : Jakarta Pada Tanggal : 08 Desember 2009

2.3 Kewajiban Seorang Asisten Apoteker Terhadap Pekerjaan, Rekan Sejawat Dan Profesi Kesehatan Lain. 2.4 Interaksi Profesi Farmasi Dengan Tenaga Kesehatan Lain Dalam Praktek Pelayanan Kefarmasian A. Peran Farmasi (Apoteker) Apoteker adalah seseorang yang mempunyai keahlian dan kewenangan dibidang kefarmasian baik di apotek, rumah sakit, industri pendidikan dan bidang lainnya yang masih berkaitan dengan bidang kefarmasian. Peran farmasi yaitu : a) Sebagai penanggung jawab di industri farmasi pada bagian pemastian mutu, produksi dan pengawasan mutu. b) Sebagai penanggungjawab fasilitas pelayanan kefarmasian yaitu di apotek, rumah sakit, puskesmas, klinik obat atau praktek bersama. c) Apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lainnya atas persetujuan dokter dan/atau pasien. d) Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat mengangkat seseorang apoteker pendamping yang memiliki SIPA. B. Bidang Pelayanan Kefarmasian a) Pelayanan Informasi Obat (PIO) Pelayanan Informasi obat harus benar, jelas, mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini diperlukan dalam upaya penggunaan obat yang rasional oleh pasien. Informasi yang perlu diberikan kepada pasien adalah kapan obat digunakan dan berapa banyak; lama pemakaian obat yang dianjurkan; cara penggunaan obat; dosis obat; efek samping obat; obat yang berinteraksi dengan kontrasepsi oral; dan cara menyimpan obat b) Pelayanan Konseling Obat Konseling obat adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan obat. Apoteker perlu memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan

atau penggunaan obat yang salah, terutama untuk penderita penyakit kronis seperti kardiovaskular, diabetes, tuberkulosis dan asma c) Home Care Pelayanan Residensial (home care) adalah pelayanan apoteker sebagai care giver dalam pelayanan kefarmasian di rumah pasien, khususnya untuk kelompok lansia, pasien kardiovaskular, diabetes, tuberkulosis, asma, dan penyakit kronis lainnya. Untuk kegiatan ini apoteker harus membuat catatan pengobatan pasien (patient medication record). Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 disebutkan pelayanan resep atau penyerahan obat resep dokter di pelayanan kefarmasian (salah satunya puskesmas) harus dilakukan oleh apoteker.1 Menurut Uyung Pramudiarja (2011) hanya 10% puskesmas yang memiliki apoteker.4 Masalah penelitian adalah belum diketahui bagaimana peran apoteker di puskesmas dan permasalahan pelayanan kefarmasi-an di puskesmas. Tujuan penelitian adalah mendapatkan informasi tentang peran apoteker dan permasalahannya dalam pelayanan kefarmasian di puskesmas perawatan. Hasil penelitian diharapkan sebagai masukan bagi pihak yang terkait untuk meningkatkan ketersediaan apoteker dalam pelayanan kefarmasian di puskesmas. C. Berdasarkan Penelitian Sudibyo S., dkk, mengenai Evaluasi Peran Apoteker Berdasarkan Pedoman Pelayanan di beberapa Puskesmas yang terletak di Kota Bandung, Tangerang dan Pulau Jawa. Kesimpulan : a) Apoteker belum tersedia di semua puskesmas perawatan, apalagi puskesmas non perawatan, sehingga pelayanan resep belum dilakukan oleh tenaga yang profesional. b) Peran apoteker di puskesmas umumnya pengelolaan obat sudah berjalan dengan baik sesuai dengan tugas pokoknya, khususnya dalam pelayanan obat resep dan pembuatan LP-LPO bulanan. c) Peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian: (a) informasi obat dilakukan pada saat penyerahan obat resep kepada pasien, sebelum pelayanan puskesmas dimulai, dan pada saat kunjungan ke posyandu balita dan posyandu lansia, (b) konseling obat dilakukan terbatas mengingat ketersediaan waktu dan belum ada ruangan, (c) visite pasien sudah dilakukan, baik dengan dokter maupun

sendiri kepada pasien bersalin rawat inap, (d) home care belum berjalan dengan baik. d) Permasalahan yang terkait dengan apoteker di puskesmas adalah ketersediaan dan jumlahnya. Ada apoteker yang merasa kurang mampu dalam memberikan informasi obat kepada tenaga kesehatan lain, khususnya dokter spesialis di beberapa puskesmas perawatan, sehingga masih diperlukan pembinaan dan pelatihan. Saran agar setiap puskesmas perawatan tersedia apoteker dibantu minimal seorang AA untuk pelayanan resep. Tugas pokok dan fungsi apoteker dalam pelayanan kefarmasian di puskesmas diperjelas melalui peraturan daerah agar dapat dipahami oleh tenaga kesehatan lainnya. Juga disarankan agar apoteker puskesmas mendapat pelatihan yang terkait dengan prosedur birokrasi/prosedur tetap, ilmu komunikasi dan farmakoterapi. Dalam rangka menjamin mutu apoteker di puskesmas, IAI perlu melakukan sertifikasi, registrasi dan kode etik untuk apoteker di puskesmas, termasuk bekerja sama dengan perguruan tinggi farmasi dalam memfasilitasi pelatihan sesuai kebutuhan anggotanya. D. Interaksi Farmasis (Apoteker) dengan tenaga kesehatan lain. Dalam kode etik apoteker Indonesia pada Bab IV. Kewajiban Apoteker terhadap sejawat petugas kesehatan lain.disebutkan Pasal 13 Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati Sejawat Petugas Kesehatan dan Pasal 14 Setiap Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya. Hubungan apoteker dengan sejawat petugas kesehatan lainnya adalah hubungan harmonis yang saling memahami hak dan kewajiban masing-masing profesi tenaga kesehatan. Adapun tenaga kesehatan lain yang dimaksud antara lain: a) Tenaga medis, meliputi dokter dan dokter gigi b) Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan (Depkes, 1996) c) Tenaga kefarmasian, dalam hal ini selain apoteker yakni tenaga teknis kefarmasian meliputi sarjana farmasi, analis farmasi, dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker (Depkes, 1996; Depkes, 2009)

d) Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikribiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian e) Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien. f) Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasioterapis, dan terapis wicara g) Tenaga keteknisan medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis (Depkes, 1996) Tetapi harus dilihat saat ini tetap ada persoalan dalam hal hubungan apoteker dengan sejawat petugas kesehatan lainnya. Hubungan ini biasa juga disebut sebagai kemitraan. Sebagai contoh kemitraan antara apoteker dan tenaga / staf medik lainnya di rumah sakit (dokter, dokter gigi, perawat, bidan) sudah ada selama ini. Kemitraan tersebut masih dipandang sebagian apoteker belum sebagai mitra tetapi apoteker sering masih sebagai pembantu. Selama ini obat dalam pelayanan kesehatan selalu disebut sebagai unsur penunjang walaupun hampir 80% pelayanan kesehatan diintervensi dengan obat. Hubungan kemitraan seperti ini tidak lepas dari sejarah pelayanan kefarmasian yang dititik beratkan pada produk (membuat, meracik) serta menyerahkan obat kepada pasien. Hubungan interaksi langsung apoteker dengan pasien sangat jarang dan bahkan komunikasi antara apoteker dengan staf medik lainnya juga sangat kurang, padahal kemitraan dimulai dengan komunikasi yang baik. Peran dokter yang sangat sentral dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit dan adanya hambatan komunikasi antara apoteker dengan staf medik lainnya selama ini menyebabkan kemitraan antara apoteker dan staf medik masih seperti disebut diatas. Dalam Pasal 13 disebutkan Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati Sejawat Petugas Kesehatan dalam penjabaran implementasinya dijelaskan bahwa seorang apoteker harus mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan tenaga profesi kesehatan lainnya secara seimbang dan bermartabat. Begitupula apoteker dalam menjalankan profesinya dapat dibantu oleh asisten apoteker atau tenaga lainnya yang kompeten. Untuk itu apoteker harus menghargai dan memperlakukan teman kerja tersebut dengan baik.

Pencapaian hubungan harmonis dalam bentuk kemitraan dengan keharusan seorang apoteker menghargai dan memperlakukan teman kerja tersebut dengan baik perlu dilakukan dengan keterampilan komunikasi seorang apoteker.. Tanpa komunikasi maka tidak ada kemitraan, karena Apoteker yang mengharapkan untuk dapat diterima sebagai mitra oleh staf medik lain (dokter, perawat, bidan dan dokter gigi) maka haruslah apoteker yang aktif memulai / menyambung komunikasi. Harus diakui hambatan / barriers untuk berkomunikasi selama ini harus ditinggalkan dan mulai melangkah. Apoteker tidak dapat meminta profesi lain untuk menunggu, Tetapi haruslah apoteker yang berlari untuk mengejar ketinggalan. Karena itu apa yang menjadi hambatan dalam berkomunikasi selama ini harus dihilangkan dan kemampuan berkomunikasi harus ditingkatkan. Kalau selama ini lebih banyak menghadapi produk yang tidak membutuhkan komunikasi maka sekarang berubah menghadapi pasien dan tenaga medis yang kebutuhan dasarnya berkomunikasi. Kelancaran dan keberhasilan apoteker untuk berkomunikasi tergantung dari adanya bahan yang akan dikomunikasikan yang berguna bagi staf medik lain dan pasien. Dalam bidang kefarmasian diharapkan dan seharusnya demikian, Apoteker harus menjadi pusat informasi obat-obatan dalam segala aspek. Kalau kemampuan ini tidak ada maka kemajuan dan keberanian berkomunikasi akan lemah dan akhirnya apoteker akan ditinggalkan dan kemitraan yang diharapkan tidak akan terjadi. Oleh sebab itu peningkatan kemampuan merupakan kunci utama untuk peningkatan kemitraan. Peningkatan kemampuan dapat dilakukan oleh tiga pihak yaitu : a) Apoteker sendiri Apoteker sendiri harus dengan disiplin yang tinggi berupaya untuk menambah kemampuan khususnya dalam bidang klinis dan ilmu kefarmasian untuk dapat berkomunikasi lebih baik dengan profesi lain. Ikatan profesi harus dapat menyusun standar pelayanan kefarmasian dan mempersiapkan pelatihanpelatihan untuk meningkatkan kemampuan apoteker melakukan tugasnya dalam pelayanan kefarmasian di rumah sakit. b) Ikatan Profesi c) Pergutuan tinggi Perguruan tinggi Farmasi di Indonesia sudah sangat berjasa mempersiapkan apoteker khususnya dalam kemampuan pembuatan dan analisa obat, sesuai

dengan peran apoteker dalam pelayanan yang dituntut pada waktu itu. Namun tuntutan pelayanan kefarmasian telah berubah sesuai dengan perubahan ilmu pengetahuan dan visi kesehatan. Oleh sebab itu hendaknya pula kurikulum perguruan tinggi Farmasi dapat disempurnakan untuk menopang pelayanan kefarmasian seperti yang berkembang dewasa ini.

B A B III P E N U T U P 3.1 Kesimpulan 3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA Sudibyo, S., dkk., 2012, Artikel : Evaluasi Peran Apoteker Berdasarkan Pedoman Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas, Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Jakarta Pusat. Desi, Y., P., Relasi Sosial Antara Penyedia Layanan Kesehatan Dengan Pasien Dipuskesmas (Studi Pada Puskesmas Desa Palemraya Kecamatan Indralaya Utara Kabupaten Ogan Ilir). Menkes, 2008, Standar Profesi Asisten Apoteker, Keputusan Mentri Kesehatan RI, Jakarta. ISFI, 2009, Kode Etik Apoteker Indonesia, Keputusan Kongres Nasional XVIII ; Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Jakarta Barat. Anonim, 2011, Buletin Farmasi ; Implementasi Kewajiban Apoteker Terhadap Sejawat Petugas Kesehatan Lain, [http://buletinfarmasi.blogspot.com], Diakses Tanggal 11/03/2014, Pukul 21.55 WITA.