BAB II KEDUDUKAN JANDA TANPA KETURUNAN DALAM KEWARISAN ISLAM

dokumen-dokumen yang mirip
Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN

BAB IV ANALISIS. A. Ahli Waris Pengganti menurut Imam Syafi i dan Hazairin. pengganti menurut Hazairin dan ahli waris menurut Imam Syafi i, yaitu:

Pengertian Mawaris. Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsuirtsan-miiraatsan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS ISLAM. Hukum kewarisan sering dikenal dengan istilah faraidh. Hal ini karena

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA WARISAN

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum

DAFTAR PUSTAKA. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademiko Pressindo, 1992).

BAB I PENDAHULUAN. Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2004, hlm.1. 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS DAN AHLI WARIS

HAK ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA PENINGGALAN ORANG TUA ANGKAT MENURUT HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

pusaka), namun keduanya tidak jumpa orang yang mampu menyelesaikan perselisihan mereka. Keutamaan Hak harta Simati

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu bentuk pengalihan hak selain pewarisan adalah wasiat. Wasiat

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS. Kata waris berasal dari kata bahasa Arab mirats. Bentuk jamaknya adalah

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM

BAB II PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI

BAB III PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF CLD KHI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hukum kewarisan Islam sudah diatur sedemikian rupa dalam Al-Quran, diantaranya terdapat

BAB II PEMBAGIAN WARISAN DALAM HAL TERJADINYA POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan:

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI

PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV PEMBAGIAN WARIS AHLI WARIS PENGGANTI. A. Pembagian waris Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang

BAB I PENDAHULUAN. Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan

HUKUM KEWARISAN ISLAM HUKUM WARIS PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FHUI

SERIAL KAJIAN ULIL ALBAAB No. 22 By : Tri Hidayanda

KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DI TINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN FIQH WARIS. Keywords: substite heir, compilation of Islamic law, zawil arham

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP GUGATAN TIDAK DITERIMA DALAM PERKARA WARIS YANG TERJADI DI PENGADILAN AGAMA GRESIK. (Putusan Nomor : /Pdt.G/ /Pa.

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan kewajiban orang lain untuk mengurus jenazahnya dan dengan

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB II HUKUM KEWARISAN DALAM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. waris, dalam konteks hukum Islam, dibagi ke dalam tiga golongan yakni: 3

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA DALAM PERKAWINAN ISLAM. harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS. Kata waris berasal dari kata bahasa arab mirats. Bentuk jamaknya adalah

Lex Privatum, Vol.I/No.5/November/2013

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT telah menjadikan manusia saling berinteraksi antara satu

BAB II KAKEK DAN SAUDARA DALAM HUKUM WARIS. kakek sahih dan kakek ghairu sahih. Kakek sahih ialah setiap kakek (leluhur laki -

BAB V. KOMPARASI PEMBAGIAN WARIS DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI, CLD KHI DAN KUHPerdata

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik yang berhubungan dengan Allah, maupun yang berhubungan

BAB II TINJAUAN UMUM HARTA BERSAMA DAN TATA CARA PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014. KEDUDUKAN DAN BAGIAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM ISLAM 1 Oleh : Alhafiz Limbanadi 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK WARIS BAITUL MAL DALAM HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan manusia baik yang. menyangkut segala sesuatu yang langsung berhubungan dengan Allah SWT

BAB I PENDAHULUAN. seseorang yang meninggal dunia itu. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu :

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria atau seorang wanita, rakyat kecil atau pejabat tinggi, bahkan penguasa suatu

BAB I PENDAHULUAN. dan memperkokoh ikatan cinta kasih sepasang suami isteri. Anak juga

S I L A B U S A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM WARIS ISLAM STATUS MATA KULIAH : WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2

BAB II KEWARISAN DALAM ISLAM

BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN TUNGGU TUBANG ADAT SEMENDE DI DESA MUTAR ALAM, SUKANANTI DAN SUKARAJA

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya. 1

BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN MASALAH

BAB II KEWARISAN MENURUT HUKUM ISLAM

bismillahirrahmanirrahim

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang mengalami tiga peristiwa penting dan sangat berpengaruh

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG HUKUM KEWARISAN ISLAM. Kata waris berasal dari bahasa Arab Al-mīrath, dalam bahasa arab

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA. A. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan Islam.

BAB I PENDAHULUAN. alamiah. Anak merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perkataan

BAB II TINJAUAN UMUM MUNASAKHAH. A. Munasakhah Dalam Pandangan Hukum Kewarisan Islam (Fiqh Mawaris) Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARISAN MAZHAB SYAFI I. kewarisan perdata barat atau BW dan kewarisan adat. mengikat untuk semua yang beragama Islam.

KEADILAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM Oleh : SURYATI Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Purwokerto

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan hukum Islam di Indonesia, khususnya di

PERBANDINGAN PEMBAGIAN WARISAN UNTUK JANDA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN HUKUM WARIS ISLAM FITRIANA / D

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HIJAB DAN KEDUDUKAN SAUDARA DALAM KEWARISAN ISLAM. Menurut istilah ulama mawa>rith (fara>id}) ialah mencegah dan

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy-

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak mampu. Walaupun telah jelas janji-janji Allah swt bagi mereka yang

Dr. H. A. Khisni, S.H., M.H. Hukum Waris Islam UNISSULA PRESS ISBN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

BAB II KETENTUAN KEWARISAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN KUHPERDATA. a. Pengertian Waris Menurut Hukum Islam

BAB I PENDAHULUAN. harta yang banyak dan sebagian lagi ada yang sebaliknya. Setelah tiba. peristiwa hukum yang lazim disebut dengan kematian.

MASALAH HAK WARIS ATAS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN KEDUA MENURUT HUKUM ISLAM

WARIS ISLAM DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. hukum yang selanjutnya timbul dengan adanya peristiwa kematian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang sebagai jamak dari lafad farîdloh yang berarti perlu atau wajib 26, menjadi ilmu menerangkan perkara pusaka.

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGUASAAN TIRKAH AL-MAYYIT YANG BELUM DIBAGIKAN KEPADA AHLI WARIS

BAB I PENDAHULUAN. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan agama

WASIAT WAJIBAH DAN PENERAPANNYA (Analisis Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam)

Transkripsi:

29 BAB II KEDUDUKAN JANDA TANPA KETURUNAN DALAM KEWARISAN ISLAM A. Hubungan Ahli Waris Dengan Pewaris Hukum waris adalah segala peraturan hukum yang mengatur tentang beralihnya harta warisan dari pewaris karena kematian kepada ahli waris atau orang yang ditunjuk. 54 Subekti dan Tjitrosoedibio mengatakan bahwa waris adalah hukum yang mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan dari seorang yang meninggal. 55 Pengertian waris timbul karena adanya peristiwa kematian yang terjadi pada seorang anggota keluarga yang memiliki harta kekayaan. Yang menjadi pokok persoalan bukanlah mengenai peristiwa kematian itu, melainkan harta kekayaan yang ditinggalkan. Artinya siapakah yang berhak atas harta kekayaan yang ditinggalkan oleh almarhum tersebut. Dengan demikian bahwa waris disatu sisi berakar pada keluarga dan di sisi lain berakar pada harta kekayaan. Berakar pada keluarga karena menyangkut siapa yang menjadi ahli waris, dan berakar pada harta kekayaan karena menyangkut hak waris atas harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris/almarhum. Hukum kewarisan Islam sering dikenal dengan istilah faraidh. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah ditentukan 54 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, (Bandung: 1990), hal.267 55 R. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2005), hal. 56 29

30 dalam Al Qur an. Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian besar, karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan. 56 Hukum kewarisan menurut fiqh mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya. 57 Pengertian hukum kewarisan menurut Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup. 58 Mewaris berarti menggantikan tempat dari seseorang yang meninggal dalam hubungan hukum harta kekayannya. Hubungan-hubungan hukum yang lain, misalnya hubungan hukum dalam hukum keluarga. 59 Dalam redaksi yang lain, Hasby Ash- Shiddieqy mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapasiapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya. Berbeda dengan dua definisi di atas, Wirjono 56 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995), hal.355. 57 http://edon79.wordpress.com/2009/07/10/fiqh-mawaris/, di unduh pada tanggal 29 Desember 2015. 58 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta : PT Raja GrafindoPersada, 2002), hal.4. 59 R Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, (Surabaya: Airlangga University Press, 2000), hal.3.

31 Prodjodikoro menjelaskan, warisan adalah soal apa dan bagaimana berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. 60 Waris dalam bahasa Indonesia disebut pusaka, yaitu harta benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan kepada yang berhak menerimanya. Pembagian itu lazim disebut Faraidh, artinya menurut syara ialah pembagian pusaka bagi yang berhak menerimanya. 61 Adapun yang menjadi dasar pelaksanaan pembagian harta warisan dalam hukum Islam adalah berpedoman pada ayat-ayat Al Qur an berikut ini, yaitu : a. Surat An-Nisa ayat 7, yang artinya : Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. 62 b. Surat An-nisa ayat 8, yang artinya : Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. 63 c. Surat An-Nisa ayat 11, yang artinya : 60 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Op.Cit., hal.355. 61 Moh Rifai, Ilmu Fiqih Islam, (Semarang: CV Toha Putra,1978), hal.513. 62 Joko Utama, Muhammad Faridh, Mashadi, Al-Qur an Al Karim dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Putra Toha Semarang), hal.62. 63 Ibid.

32 Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibubapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetpan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha bijaksana. 64 d. Surat An-Nisa ayat 12, yang artinya Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteriisterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutanghutangmu. Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah, dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja), atau saudara perempuan (seibu saja), maka bagian masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benarbenar dari Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. 65 e. Surat An-Nisa ayat 33 Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Dan 64 Ibid. 65 Ibid.

33 orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. 66 f. Surat An-Nisa ayat 176, yang artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah : Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) : Jika seseorang meningal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkanya dan saudara-saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. 67 g. Surat Al-Baqarah ayat 180, yang artinya : Diwajibkan atas kamu apabila sesorang di antara kamu kedatangan (tandatanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf (ini adalah) kewajiban atas orangorang bertakwa. 68 h. Surat Al-Baqarah ayat 240, yang artinya : Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk ister-isterinya (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka membuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. 69 66 Ibid., hal.66. 67 Ibid., hal.84. 68 Ibid., hal.21 69 Ibid., hal 31.

34 i. Surat Al-Azhab ayat 4, yang artinya : Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan isteri-isteri yang kamu zhihar itu sebagai ibu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). 70 Masalah-masalah yang menyangkut warisan ada yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al-Qur an atau sunnah dengan keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi, bahkan mencapai ijma (konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam. Selain dari itu masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan. 71 Dan dasar hukum pelaksanaan pembagian warisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu terdapat dalam Pasal 171-193 KHI. 1. Sebab Terjadinya Hubungan Waris Dalam Hukum Islam Pewarisan adalah peralihan hak waris dari pewaris kepada ahli waris yang masih hidup, sedangkan pewarisan tersebut baru bisa terjadi jika ada sebab-sebab yang mengikat antara pewaris dan ahli warisnya. Adapun seseorang yang berhak mendapat waris berdasarkan salah satu sebab sebagai berikut: 72 a. Kekerabatan Kekerabatan adalah hubungan nasab antara pewaris dengan orang yang akan menerima warisan karena adanya pertalian darah, waris karena hubungan nasab ini mencakup: 70 Ibid., hal 334. 71 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2001), hal.535. 72 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984),hal. 28-41

35 1) Anak, cucu baik laki-laki maupun perempuan (furu i) 2) Ayah, kakek, ibu (usuly) 3) Saudara laki-laki atau perempuan, paman dan anak laki-laki paman, bibi (hawasy) b. Perkawinan Perkawinan menyebabkan adanya hubungan hukum saling mewarisi antara suami dan istri, apabila di antara keduanya ada yang meninggal dunia, maka istri atau jandanya mewarisi harta suaminya. Demikian juga jika istri meninggal dunia, maka suami mewarisi harta istrinya. 73 c. Wala Wala yaitu hubungan hukmiyah, yaitu suatu hubungan yang ditetapkan oleh Hukum Islam, karena tuannya telah memberikan kenikmatan untuk hidup merdeka dan mengembalikan hak asasi kemanusiaan kepada budaknya. Tegasnya, jika seorang tuan telah memerdekakan budaknya, maka terjadilah hubungan kekeluargaan yang di sebut wala itqi. 74 Dengan adanya hubungan tersebut, seorang tuan menjadi ahli waris dari budak yang dimerdekakannya itu, dengan syarat budak yang bersangkutan itu tidak mempunyai ahli waris sama sekali, baik karena hubungan kekerabatan maupun karena perkawinan. 75 Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya (budak) adalah 1/6 (seperenam) dari harta peninggalan. 76 73 Rachmad Bodiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bahkti, 1999),hal. 8. 74 Muhammad Ali as-shabuni, Hukum Waris Dalam Syariat Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), hal. 47. 75 Ibid, hal. 47. 76 Rofiq Ahmad, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002). hal. 37

36 Oleh syari at Islam, wala digunakan untuk memberikan pengertian: a. Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak emansipasi) kepada hamba sahaya. b. Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia antara seorang dengan seorang yang lain. 77 Pada masyarakat sekarang, sebab mewarisi karena wala tersebut sudah kehilangan makna, dilihat dari segi praktis secara umum pada masa sekarang, perbudakan sudah tidak ada lagi. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam pasal 174 ayat 1 hanya membedakan dua sebab, yakni karena hubungan darah atau hubungan perkawinan. 78 Dalam Kompilasi Hukum Islam, hubungan pewaris dengan pewaris diatur dalam Pasal 174 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Adapun isi lengkap Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam itu menegaskan sebagai berikut : a. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari : 1) Menurut hubungan darah ; a) golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. b) golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. 2) Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda. 77 Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris untuk UIN, STAIN, dan PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2006, cet. III), hal. 22. 78 Rachmad Bodiono, Op.Cit.

37 b. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda. Yang membedakan dengan ilmu faraidh adalah dalam KHI terdapat ahli waris pengganti yang terdapat dalam Pasal 185 tentang ahli waris pengganti dirumuskan sebagai berikut; 1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173. 2. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Pasal ini memerlukan perhatian karena dalam anak pasal 1 secara tersurat mengakui ahli waris pengganti. Adalah bijaksana pasal ini menggunakan kata dapat yang tidak mengandung maksud imperative. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan tertentu yang kemaslahatan menghendaki keberadaan ahli waris pengganti dapat diaku. Namun, dalam keadaan tertentu bila keadaan menghendaki, tidak diberlakukan adanya ahli waris pengganti. Anak pasal 2 menghilangkan kejanggalan penerimaan adanya ahli waris pengganti dengan tetap menganut asas perimbangan laki-laki dan perempuan. 2. Syarat-syarat Kewarisan a. Meninggal dunianya pewaris Yang dimaksud dengan meninggal dunia di sini ialah baik meninggal dunia hakiki (sejati), meninggal dunia hukmi (menurut Putusan Hakim) dan

38 meninggal dunia taqdiri (menurut dugaan). 79 Tanpa ada kepastian, bahwa pewaris meninggal dunia, warisan tidak boleh dibagi-bagikan kepada ahli waris. b. Hidupnya ahli waris Hidupnya ahli waris harus jelas, pada saat pewaris meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan. Oleh karena itu, sesudah pewaris meninggal dunia, ahli warisnya harus benarbenar hidup. c. Mengetahui status kewarisan agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia, haruslah jelas hubungan antara keduanya. Misalnya, hubungan suami-isteri, hubungan orang tua-anak dan hubungan saudara, baik sekandung, sebapak maupun seibu. 3. Halangan Mewaris Tidak semua ahli waris mendapatkan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati. Ada beberapa hal yang meghalangi seseorang ahli waris untuk mendapatkan harta warisan. Halangan tersebut adalah : 80 a. Pembunuhan Para ulama Fiqih sepakat, bahwa pembunuhan tidak bisa menerima warisan mulai dari masa tabi in sampai pada masa mujtahid, hal ini berdasarkan orang 79 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademiko Pressindo, 1992), hal. 79 80 Ahmad Rofiq, Op.Cit,hal 33-34.

39 yang membunuh sesamanya, berarti ia telah berbuat dosa, dan dosa tidak bisa dijadikan alasan atau sebab menerima warisan. Mereka berlandaskan pada sabda Nabi Muhammad : Artinya: barang siapa membnuh seorang korban, maka ia tidak dapat mempusakainya, walaupun si korban tidak mempunyai pewaris selainnya dan jika sikorban itu bapakya atau anaknya, maka bagi pembunuh tidak berhak menerima harta peninggalan. 81 Bila para ulama sepakat, bahwa pembunuhan merupakan penghalang untuk mewaris, maka mereka berbeda pendapat mengenai jenis-jenis pembunuhan yang menjadi penghalang untuk mewaris. Perbedaan pendapat di kalangan para ulama muncul mengenai pembunuhan yang dilakukan tanpa kesengajaan. Para ulama Hanafiyah membagi pembunuhan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu pembunuhan langsung (mubasyarah) dan pembunuhan tidak langsung (tasabbub). Pembunuhan yang langsung tersebut dibagi lagi menjadi empat, yakni pembunuhan dengan senganja, pembunuhan yang serupa sengaja, pembunuhan yang tidak dengan sengaja dan pembunuhan yang dipandang tidak dengan sengaja. Menurut para ulama Hanafiyah, pembunuhan langsung merupakan penghalang untuk mewaris, sedangkan pembunuhan tidak langsung, bukan merupakan penghalang untuk mewaris. 82 81 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Alma arif, 1981) hal. 86 82 Rachmad Budiono, Op.Cit,hal. 12.

40 b. Fitnah Dalam kompilasi hukum Islam menyebutkan dalam Pasal 173 bahwa hakim bisa memutuskan adanya halangan menjadi ahli waris antara lain sebagai berikut: Dipersalahkan secara fitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau lebih berat. Ketentuan ini tidak terdapat dalam literature Fikih secara persis tetapi ada yang berdekatan yaitu Kalau melihat pendapat dari Imam Malik beliau mengatakan bahwa pembunuhan yang menjadi mawani ul iris (sebab-sebab terhalang memperoleh harta waris) harus ada dalam unsur yang bermaksud dengan sengaja dan permusuhan. 83 c. Berlainan Agama Islam menetapkan, bahwa tidak ada antara orang dengan orang kafir meskipun diantaranya ada hubungan yang menyebabkan kewarisan atau ada wasiat maka wasiat itu wajib dilaksanakan sedang hak waris antara kedua tetap terhalang, sebab perbedaan agama menyebabkan terhalangnya hak waris, hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad : Artinya : Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam. (H. R. Al-Bukhari dan Muslim). 84 83 Abu Zahra Muhammad: Ahkam Tirkat Wal Mawaris dikutip dari Achmad Khudzi, Sistem Asabah Dasar Pemindahan Hak Atas harta peninggalan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 27 84 Fatchur Rahman, Op.Cit, hal. 97

41 Sedangkan berlainan mazhab atau aliran dalam Agama Islam, menurut kesepakatan para fuqaha, bukan merupakan penghalang untuk mewaris, 85 karena mereka itu tetap sesama muslim. d. Perbudakan Perbudakan menjadi penghalang mewarisi bukan karena status kemanusiaannya, tetapi karena status formalnya sebagai hamba sahaya (budak). Mayoritas sepakat seorang budak terhalang untuk menerima warisan karena ia tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Sebagaimana firman Allah : Artinya: Allah telah membuat perumpamaan, yakni seorang budak (hamba sahaya) yang dimiliki yang tidak dapat bertindak sesuatupun (Q.S. Al-Nahl: 75) Ayat di atas menegaskan, bahwa seorang budak itu tidak cakap mengurusi hak miliknya dengan jalan apapun. Seorang budak tidak dapat mewarisi karena ia tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seorang budak tidak dapat diwarisi, jika ia meninggal dunia, sebab ia orang miskin yang tidak memiliki harta kekayaan sama sekali. e. Berlainan Negara Pengertian negara adalah suatu wilayah yang ditempati suatu bangsa yang memiliki angkatan bersenjata sendiri, kepala negara tersendiri, dan memiliki kedaulatan sendiri dan tidak ada ikatan kekuasaan dengan negara asing. Maka 85 Abdurahman, Op. Cit hal. 95.

42 dalam konteks ini, negara bagian tidak dapat dikatakan sebagai negara yang berdiri sendiri, karena kekuasaan penuh berada di negara federal. Adapun berlainan negara yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila di antara ahli waris dan muwarisnya berdomisili di dua negara yang berbeda. Apabila dua negara sama-sama sebagai negara muslim, menurut para Ulama, tidak menjadi penghalang saling mewarisi antara warga negaranya. Malahan mayoritas ulama mengatakan, bahwa meskipun negaranya berbeda, apabila antara ahli waris dan muwarrisnya non muslim, tidak berhalangan bagi mereka untuk saling mewarisi. Demikian juga jika antara dua warga negara sama-sama Muslim. 86 Sedangkan Kompilasi Hukum Islam hanya menyebutkan dua hal yang menghalangi kewarisan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 173, yaitu : Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena : 1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris. 2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan, bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Akan tetapi pada Pasal 171 huruf c, yang berbunyi: Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan 86 Ahmad Rofiq Op.Cit, hal. 40

43 perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Bunyi pasal diatas secara tersirat telah menunjukkan bahwa perbedaan agama menjadi penghalang untuk mewarisi. Terdapat perbedaan halangan untuk mewarisi antara fiqih dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam fiqih perbudakan dan perbedaan negara dapat menjadi penghalang. Untuk mewarisi, sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) hanya menyebutkan pembunuhan dan fitnah, perbedaan agama yang menjadi penghalang. 4. Ahli Waris Pengganti Konsep ahli waris pengganti di dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana tertuang dalam Pasal 185 KHI, yang lengkapnya berbunyi: Ayat (1) : Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173. Ayat (2): Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Dari rumusan Pasal 185 KHI mengenai ahli waris pengganti diatas dapat dipahami bahwa: 87 Ayat pertama, secara tersurat mengakui ahli waris pengganti, yang merupakan hal baru untuk hukum kewarisan Islam. Karena di Timur Tengah-pun belum ada Negara yang melakukan seperti ini, sehingga mereka perlu menampungnya dalam 87 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 15.

44 lembaga wasiat wajibah. Ayat pertama ini juga menggunakan kata dapat yang tidak mengandung maksud imperatif. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan tertentu dimana kemashlahatan menghendaki keberadaan ahli waris pengganti maka keberadaannya dapat diakui, namun dalam keadaan tertentu bila keadaan tidak menghendaki, maka ahli waris pengganti tersebut tidak berlaku. Ayat pertama ini secara tersirat mengakui kewarisan cucu melalui anak perempuan yang terbaca dalam rumusan ahli waris yang meninggal lebih dahulu yang digantikan anaknya itu mungkin laki-laki dan mungkin pula perempuan. Ayat kedua, menghilangkan kejanggalan penerimaan adanya ahli waris pengganti dengan tetap menganut asas perimbangan laki-laki dan perempuan. Tanpa ayat ini sulit untuk dilaksanakan penggantian ahli waris karena ahli waris pengganti itu menurut asalnya hanya sesuai dengan sistem Barat yang menempatkan kedudukan anak laki-laki sama dengan perempuan. Konsep ahli waris pengganti di dalam Kompilasi Hukum Islam ini sebagaimana dalam BW dikenal dengan istilah Plaatsvervulling. Pemberian bagian kepada ahli waris pengganti (terutama bagi para cucu), walaupun tidak seperti Plaatsvervulling dalam BW, ini sejalan dengan doktrin mawâlî Hazairin dan cara succession perstrepsi dan prinsip representasi yang dapat dipakai oleh golongan Syi ah. Namun demikian, dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut bagian ahli waris

45 pengganti dibatasi, tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan ahli waris yang diganti. 88 Pada dasarnya hukum kewarisan Islam tidak mengenal istilah waris pengganti. Hukum waris Islam di Indonesia baru mengenal adanya ahli waris pengganti setelah di keluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Ketentuan tersebut jika di dasarkan pada al-qur an memang tidak ada ayat yang mengatur masalah waris pengganti secara jelas, akan tetapi al- Qur an bisa mengimbangi setiap kepentingan, keadaan dan memberikan ketentuan hukum terhadap semua peristiwa dengan cara tidak keluar dari syari at dan tujuannya. 5. Harta Peninggalan Dalam Hukum Islam Tirka (harta peninggalan) ialah apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syari at untuk dipusakai oleh para ahli waris. Maurus atau miras adalah harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat. Dalam hal ini yang dimaksudkan hal tersebut adalah: a. Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya benda-benda tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang simati yang menjadi tanggungan orang lain, diyah-wajibah (denda wajib) yang dibayarkan kepadanya oleh sipembunuh yang melakukan pembunuhan karena silap, uang 2008), hal. 199. 88 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Gaya Media Pratama,

46 pengganti qisas lantaran tindakan pembunuhan yang diampuni atau lantaran yang melakukan pembunuhan adalah ayahnya sendiri dan lain sebagainya. b. Hak-hak kebendaan. Seperti hak monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan lalu-lintas, sumber air minum, irigasi pertanian dan perkebunan dan lain sebagainya. c. Hak-hak yang bukan kebendaan Seperti hak khiyar (pilihan), hak syuf ah (hak beli), hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan dan lain sebagainya. d. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain Seperti benda-benda yang sedang digadaikan oleh simati, barang-barang yang telah dibeli oleh si-mati sewaktu hidup yang harganya sudah dibayar tetapi barangnya belum diterima, barang-barang yang dijadikan mas kawin istrinya yang belum diserahkansampai ia mati dan lain sebagainya. 89 Hak-hak yang bersangkutan dengan harta peninggalan itu, menurut jumhurulfuqaha dan menurut ketentuan yang termuat dalam kitab Undang-Undang Hukum Warisan Mesir dalam pasal: 4 ada empat macam dan tersusun sebagai berikut: a. Biaya-biaya perawatan (tajhiz) Yang disebut tajhiz ialah biaya-biaya perawatan yang diperlukan oleh orang yang meninggal, mulai dari saat meninggalnya sampai saat penguburannya. 89 Fatchur Rahman, Op.Cit, hal. 36-37.

47 Biaya itu mencakup biaya-biaya untuk memandikan, mengkafani, menghusung dan menguburkannya. 90 b. Hutang-hutang. Hutang ialah suatu tanggungan yang wajib dilunasi sebagai imbalan dari prestasi yang pernah diterima oleh seseorang. Hutang-hutang tersebut harus dilunasi dari harta peninggalan simati setelah dikeluarkan untuk membiayai perawatannya. Melunasi hutang-hutang itu adalah termasuk kewajiban yang utama, demi untuk membebaskan pertanggung jawabnya dengan seseorang di akhirat nanti dan untuk menyingkap tabir yang membatasi dia dengan surga. 91 c. Wasiat Wasiat ialah memberikan hak milik sesuatu secara sukrela (tabarru ) yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah adanya peristiwa kematian dari yang memberikan, baik sesuatu itu berupa barang maupun manfaat. 92 d. Ahli waris. Sisa harta peninggalan setelah diambil untuk memenuhi 3 macam hak tersebut diatas dihaki oleh para ahli waris yang selanjutnya bakal mereka bagi sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari at. 93 90 Ibid. hal. 42-43. 91 Ibid. hal. 45-46. 92 Ibid. hal. 49-50. 93 Ibid. hal. 67.

48 Dalam setiap kematian erat kaitannya dengan harta peninggalan. Setiap harta yang ditinggalkan oleh seseorang baik yang bersifat harta benda bergerak maupun harta benda yang tidak bergerak akan menjadi harta warisan seseorang yang telah meninggal dunia. Begitu seseorang dinyatakan telah meninggal, pada saat itu juga semua hartanya secara otomatis menjadi harta warisan bagi ahli waris yang ditinggalkannya tanpa terkecuali. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, dan pembayaran utang serta wasiat pewaris. 94 Harta warisan menurut hukum waris Islam adalah harta bawaan dan harta bersama dikurang biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pewaris selama sakit dan setelah meninggal dunia. Misalnya pembayaran hutang, pengurusan jenazah dan pemakaman. Harta warisan dalam hukum waris Islam tidak hanya harta benda tetapi juga hak-hak dari pewaris. 95 Harta warisan berbeda dengan harta peninggalan. Tidak semua harta peninggalan menjadi harta warisan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, melainkan semua harta warisan baik berupa benda maupun berupa hak-hak harus bersih dari segala sangkut paut dengan orang lain. 96 Pengertian harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh orang yang mati secara mutlak. 97 Sedangkan pengertian harta warisan menurut Pasal 171 huruf e 94 Zainuddin Ali, Op.Cit, hal. 46. 95 F. Satrio Wicaksono, Hukum Waris, ( Jakarta: Visi Media, 2011), hal. 7. 96 Ibid 97 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta Selatan: Pena Pundi Aksara, 2006), hal. 483.

49 KHI yaitu : Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Dengan demikian, berdasarkan hukum Islam dan berdasarkan aturan KHI di atas, dapat dinyatakan bahwa harta benda yang ditinggalkan sebelum diambil untuk memenuhi berbagai kepentingan tersebut disebut sebagai harta peninggalan bukan harta warisan jika sudah melewati pemenuhan berbagai kewajiban yang harus dijalankan untuk kepentingan pewaris. B. Bagian Masing-Masing Ahli Waris Dalam Hukum Islam Ahli waris itu ada yang ditetapkan secara khusus dalam al-qur an dan langsung oleh Allah dalam al-qur an dan oleh Nabi dalam hadisnya; ada juga yang ditentukan melalui ijtihad dengan meluaskan lafaz yang terdapat dalam nash hukum dan ada pula yang dipahami dari petunjuk umum dari al-qur an dan atau hadis Nabi. 98 Artinya para ahli waris yang mempunyai hak waris dari seseorang yang meninggal dunia baik yang ditimbulkan melalui hubungan turunan (zunnasbi), hubungan periparan (asshar), maupun hubungan perwalian (mawali) dapat dikelompokkan atas dua golongan, yakni (1) ahli waris yang hak warisnya mengandung kepastian, berdasarkan ittifaq oleh para ulama dan sarjana hukum Islam, dan (2) golongan yang hak warisnya masih diperselisihkan (ikhtilâf) oleh para ulama dan sarjana hukum Islam. 99 98 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 154 99 Ahli waris yang sudah ittifaq ulama berjumlah 25 orang, (15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan); sedangkan ahli waris yang masih ikhtilâfulama tentang hak warisnya adalah keluarga terdekat (zul arhâm) yang tidak disebutkan dalam al-qur an tentang bagiannya (fardh) ataupun tentang ushbat; mereka inilah yang dikenal dengan zawil arhâm. lihat, Suparman Usman dan Yusuf

50 Apabila dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima, ahli waris dapat dibedakan kepada: 1. Ahli waris ashâb al-furûdh, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang besar kecilnya telah ditentukan dalam al-qur an, seperti 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 1/6 dan 2/3. 2. Ahli waris ashabah, yaitu ahli waris yang bagian yang diterimanya adalah sisa setelah harta waris dibagikan kepada ahli waris ashâb al-furûdh. 3. Ahli waris zawi al-arhâm, yaitu ahli waris yang sesungguhnya memiliki hubungan darah, akan tetapi menurut ketentuan al-qur an tidak berhak menerima warisan, selama ada ahli waris ashabah furudh dan ashabah, dan ahli waris pengganti. Sesungguhnya, sepanjang suatu persoalan kewarisan telah diatur secara tegas oleh Al-Qur an, ketentuan tersebut akan dipatuhi oleh semua golongan yang mengajarkan sistem kewarisan. Apabila dilihat dari bagiannya yang diterima, dapat dibedakan : 100 a. Ahli waris ashab al-furud, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang ditentukan besar kecilnya yang dikenal sebagai Al-Furud Al-Muqadarah yang diatur dalam Al-Qur an 6 (enan) bagian, yaitu : 1/2 (setengah), 1/3 (sepertiga), 1/4.(seperempat), 1/6 (seperenam), 1/8 (seperdelapan), 2/3 (duapertiga). Somawinata, Fiqh Mawaris: Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2002, hlm. 63 dan 65; Ibnu Rusyd, Waris Wasiat, disalin oleh Yoesoef Soueyb, Jakarta, Wijaya, 1963, hal. 11. 100 Ahmad Rofiq, Op.Cit, hal 49-61.

51 b. Ahli waris asabah, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa setelah harta warisan dibagikan kepada ahli waris ashab al-furud. Ahli waris ini ada 3 (tiga) macam, yaitu : 1) Asabah bin nafsih, yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima bagian asabah, ahli waris kelompok ini semua laki-laki kecuali mu tikah (perempuan yang memerdekakan hamba sahayanya), mereka adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki dan garis laki-laki bapak, kakek dari garis bapak, saudara laki-laki sekandung dan seayah anak lakilaki saudara laki-laki sekandung dan seayah paman sekandung dan seayah, anak laki-laki paman sekandung dan seayah, mu tiq dan muti qah. 2) Asabah bi al-gair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa, karena bersama dengan ahli waris lain yang telah menerima bagian sisa. Mereka adalah anak laki-laki dan perempuan, cucu perempuan garis lakil-laki bersama cucu laki-laki garis laki-laki, saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah. 3) Asabah ma al-gair, yaitu ahli waris yang menerima bagian asabah, karena bersama ahli waris lain yang bukan penerima bagian asabah, apabila ahli waris lain tidak ada, maka ia menerima bagian tertentu. Mereka adalah saudara perempuan sekandung karena bersama anak

52 perempuan atau bersama cucu perempuan garis laki-laki dan saudara perempuan seayah bersama dengan anak atau dengan cucu perempuan. c. Ahli waris Zawi Al-Arham, yaitu ahli waris karena hubungan darah tetapi menurut ketentuan Al-Qur an tidak berhak menerima warisan. Adapun perincian Furud Al-Muqadarah dan ahli waris yang menerima (ashab alfurud) adalah sebagai berikut : 1) Ahli Waris yang mendapatkan bagian 1/2 (setengah) : a) Seorang anak perempuan, jika tidak menjadi asabah bi al-gair sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa Ayat 11. 101 b) Seorang cucu perempuan, bila tidak bersama mua sibnya dan anak perempuannya. c) Saudara perempuan sekandung, bila tidak terjadi asabah. d) Saudara perempuan seayah, bila tidak terjadi asabah, tidak bersama saudara perempuan sekandung. e) Suami bila tidak bersama far un mutlaq (anak). 2) Ahli waris yang mendapatkan 1/4 (seperempat) : a) Suami bila ada fur un mutlaq (anak), sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 12. 102 b) Istri bila ada fur un mutlaq (anak), sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 12. 103 101 Ibid, hal. 166. 102 Ibid, hal. 117.

53 3) Ahli waris yang mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian ini, hanya diberikan kepada isteri, apabila meninggalkan anak, baik laki-laki maupun perempuan, sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 12. 104 4) Ahli waris yang mendapatkan bagian dua pertiga (2/3) : a) Dua anak perempuan atau lebih jika tidak menjadi asabah bi al-gair, sebagaimana dalam firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 11. 105 b) Dua orang cucu perempuan atau lebih. c) Dua orang bersaudara perempuan atau lebih yang sekandung, bila tidak bersama mua sibnya, sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 176. 106 d) Dua orang saudara perempuan yang sebapak jika tidak ada far un perempuan dan mua sibnya. 5) Ahli waris yang mendapatkan bagian sepertiga (1/3) : a) Ibu bila tidak ada anak laki-laki maupun perempuan sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 11. 107 b) Dua orang atau lebih saudara seibu atau sebapak, baik lakilaki atau perempuan. 6) Ahli waris yang mendapatkan seperenam (1/6) : 103 Ibid, hal. 117. 104 Ibid, hal. 117. 105 Ibid, hal. 116. 106 Ibid, hal. 153. 107 Ibid, hal. 116

54 a) Bapak, bila tidak ada far un, sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 11. 108 b) Ibu jika ada far-un dan saudara sekandung sebapak atau seibu, lakilaki atau perempuan, sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 11. 109 c) Kakek bila tidak ada bapak. d) Nenek bila tidak ada ibu, sebagaimana Hadist Nabi Muhammad : Artinya : Sesungguhnya Nabi Muhammad telah menetapkan nenek seperenam bagian bila tidak ada ibu. (H.R Abu Dawud) 110 e) Cucu perempuan bila ada seorang anak perempuan. f) Seorang saudara seibu (laki-laki atau perempuan) bila si mati dalam keadaan kalala, yaitu tidak mempunyai anak dan cucu (laki-laki ataupun perempuan) dan orang tua laki-laki, sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 11. g) Saudara perempuan sebapak jika ada saudara perempuan sekandung. Di dalam KHI terdapat pengaturan mengenai besaran bagian masing-masing ahli waris, terhadap harta peninggalan, yaitu: 1. Pasal 176 KHI, tentang besarnya bagian. hal. 122. 108 Ibid. 109 Ibid. 110 Abu Dawud Sulaiman Al-Sijijtani, Sunan Abu Dawud, Juz 111, (Beirut: Dar Al-Fikr 1),

55 Anak perempuan bila hanya seorang, ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih, mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. 2. Pasal 177 KHI. Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak. Bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. 3. Pasal 178 KHI. Ayat (1), ibu mendapat seperempat bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian. Ayat (2), ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah. 4. Pasal 179 KHI. Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak. Dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian. 5. Pasal 180 KHI. Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak. Dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperdepalapan bagian. 6. Pasal 181 KHI.

56 Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian. 7. Pasal 182 KHI. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan. 8. Pasal 183 KHI. Pada ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. 9. Pasal 184 KHI. Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga. 10. Pasal 185 KHI. Ayat (1), ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut

57 dalam pasal 173 Ayat (2), bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. 11. Pasal 186 KHI. Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. 12. Pasal 187 KHI. Ayat (1), bilamana pewaris meninggalkan harta peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas: a. Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang. b. Menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai dengan pasal 175 ayat (1) sub a, b, dan c. Ayat (2), sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak. 13. Pasal 188 KHI. Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada di antara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan.

58 14. Pasal 189 KHI. Ayat (1), bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan. Ayat (2), bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing. 15. Pasal 190 KHI. Bagi pewaris yang beristri lebih dari seorang, maka masing-masing istri berhak mendapat bagian atas gono gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya. 16. Pasal 191 KHI. Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas utusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum. 17. Pasal 192 KHI, tentang aul rad. Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka

59 angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan dibagi secara aul menurut angka pembilang. 18. Pasal 193 KHI. Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil daripada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka. 19. Pasal 209 KHI. Ayat (1), harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas. Sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. Ayat (2), terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. C. Kedudukan Janda Sebagai Ahli Waris Hak kewarisan dapat berlaku atas dasar hubungan perkawinan, dengan pengertian bahwa suami sebagai ahli waris istrinya yang meninggal dan istri sebagai ahli waris suaminya yang meninggal. Dalam Hukum Waris Islam ini Janda adalah ahli waris dari suami atau istri yang telah meninggal dunia. Bagian pertama dari Surat An-nisa (4):12 menyatakan hak kewarisan suami istri. Bila hubungan kewarisan berlaku antara yang mempunyai hubungan kekerabatan karena adanya hubungan

60 alamiah diantara keduanya, maka adanya hubungan kewarisan antara suami istri disebabkan adanya hubungan hukum antara suami dan istri. 111 Mengenai hak kewarisan suami atau istri ditentukan dalam AlQur an Surat An-nisa (4):12 yang menyatakan sebagai berikut : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istriistrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Menurut Amir Syarifuddin berlakunya hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan pada dua ketentuan : 1. Antara keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah Mengenai perkawinan sah diatur dalam Pasal 4 KHI yang menyebutkan sebagai berikut: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) menyatakan : Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Ketentuan diatas berarti bahwa perkawinan orang-orang yang beragama Islam adalah sah bila menurut hukum perkawinan Islam tersebut adalah sah. Pengertian sah 111 Amir Syarifuddin, Op.Cit, hal 188

61 menurut istilah hukum Islam ialah sesuatu yang dilakukan sesuai dengan rukun dan syaratnya dan telah terhindar dari segala penghalangnya. Dengan demikian nikah yang sah adalah nikah yang telah dilaksanakan telah memenuhi rukun syarat pernikahan dan telah terlepas dari segala halangan pernikahan itu. 2. Suami dan istri masih terikat dalam tali perkawinan saat salah satu pihak meninggal Termasuk dalam ketentuan ini adalah bila salah satu pihak meninggal dunia sedangkan ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk talak raj i dan perempuan masih berada dalam masa iddah. Seseorang perempuan yang sedang menjalani iddah talak raj i berstatus sebagai istri dengan segala akibat hukumnya, kecuali hubungan kelamin (menurut jumhur ulama) karena halalnya hubungan kelamin telah berakhir dengan adanya perceraian. 112 Di dalam sistem Hukum Waris Islam, Janda merupakan ahli waris keutamaan sehingga tidak terhalang (terhijab) oleh ahli waris yang lain. Namun demikian, walaupun tidak ada anak, Janda tidak mewaris seluruh harta warisan, namun Janda mewaris bersama orang tua dan saudara-saudara pewaris. 113 Dalam hal pewaris mempunyai isteri lebih dari satu orang, pasal 190 KHI mengatur bahwa masingmasing istri berhak mendapat bagian atas gono gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli waris. Ikatan perkawinan antara seorang suami dan isteri menimbulkan hak saling mewaris. 112 Ibid, hal 189 113 Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil, (Surabaya: Airlangga University Press, 2003), hal. 83

62 Ketentuan Hukum Waris tidak dapat dipisahkan dengan Hukum Perkawinan, karena disebabkan hal-hal sebagai berikut : 1. Penentuan ahli waris dimulai dari adanya perkawinan Dalam hal ini Janda adalah sebagai ahli waris, demikian juga hasil perkawinan berupa anak keturunan perkawinan mereka adalah ahli waris. 2. Penentuan harta waris Harta waris didasarkan pada separuh harta bersama yang diperoleh selama perkawinan, ditambah dengan harta bawaan. 114 Suatu ikatan perkawinan berdasarkan Hukum Islam, menimbulkan adanya harta perkawinan, yaitu semua harta yang diperoleh selama perkawinan. Harta perkawinan ini menjadi harta bersama milik suami dan istri. Di dalam Pasal 1 huruf f KHI ditentukan bahwa : Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Dengan demikian apabila ada yang ingin mengadakan perjanjian mengenai kedudukan harta dalam perkawinan, menurut Pasal 47 ayat (2) KHI, perjanjian tersebut dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencarian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Dengan demikian ada 3 (tiga) macam harta dalam perkawinan, yaitu : 1. Harta pribadi suami atau harta bawaan suami; 114 Afdol, Op.Cit, hal 67.

63 2. Harta pribadi istri atau harta bawaan istri; 3. Harta perkawinan atau harta bersama, milik suami dan istri. 115 Ketentuan dalam Pasal 86 ayat (1) KHI menentukan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. Hak atas harta bawaan ini ditegaskan dalam Pasal 86 ayat (2) KHI, yang menentukan bahwa harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami, tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Mengenai harta bawaan ini KHI mengatur lebih lanjut dalam Pasal 87 ayat (1), bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Guna melengkapi hal itu ayat selanjutnya menegaskan bahwa suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah, atau lainnya. Mengenai perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 47 KHI yang mengemukakan sebagai berikut : 1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. 2. Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencarian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Hukum Islam. 115 Ibid, hal. 92

64 3. Disamping ketentuan ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat. Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung merupakan harta bersama (apabila tidak ada diatur lain dalam perjanjian perkawinan). Tentang kedudukan harta bersama ini apabila terjadi perceraian adalah sebagai berikut : 1. Cerai Mati Dalam hal terjadi perceraian karena kematian maka kedudukan harta bersama diatur dalam Pasal 96 ayat (1) KHI yang menentukan bahwa separuh harta bersama adalah menjadi hak pasangan (suami atau istri) yang hidup lebih lama. 2. Suami atau Istri Hilang Dalam hal suami atau istri yang hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. 3. Cerai Hidup Dalam hal terjadi perceraian semasa hidup maka Janda pria atau Janda wanita masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. 116 Dari ketentuan-ketentuan yang diutarakan di atas dapatlah dikemukakan bahwa harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia itu menurut ketentuan Kompilasi Hukum Islam Indonesia adalah terdiri dari : 2007). hal. 54 116 Suhrawadi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,