BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan kemampuan peserta didik secara optimal merupakan

dokumen-dokumen yang mirip
UPAYA PEMBERDAYAAN PESERTA DIDIK ISTIMEWA MELALUI PROGRAM AKSELERASI OLEH PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. dilihat dari beberapa sekolah di beberapa kota di Indonesia, sekolah-sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi seperti sekarang ini akan membawa dampak diberbagai bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. belajar di sekolah. Hal ini sesuai pendapat Ahmadi (2005) yang menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. pertengahan tahun (Monks, dkk., dalam Desmita, 2008 : 190) kerap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan

Judul BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. daya manusia merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. melalui pendidikan sekolah. Pendidikan sekolah merupakan kewajiban bagi seluruh. pendidikan Nasional pasal 3 yang menyatakan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berinteraksi. Interaksi tersebut selalu dibutuhkan manusia dalam menjalani

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL SISWA ANTARA KELAS AKSELERASI DAN KELAS NON AKSELERASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belajar merupakan cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi siswa

BAB I PENDAHULUAN. yang diperkirakan akan semakin kompleks. 1

PROFIL PENYESUAIAN SOSIAL SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 35 JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia terus

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. perilaku seseorang, sehingga setiap siswa memerlukan orang lain untuk berinteraksi

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi dan

I. PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrayogi, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan. dan kebutuhan peserta didik (Mulyasa, 2013:5).

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan potensi ilmiah yang ada pada diri manusia secara. terjadi. Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

PENGARUH MOTIVASI BELAJAR DAN LINGKUNGAN BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR IPS SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 MOJOLABAN TAHUN PELAJARAN 2009/2010

2015 PEMBINAAN KECERDASAN SOSIAL SISWA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA (STUDI KASUS DI SDN DI KOTA SERANG)

BAB I PENDAHULUAN. kualitas pendidikan bangsa, mulai dari pembangunan gedung-gedung,

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan potensi peserta didik melalui kegiatan belajar (dalam

BAB II LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. timbul pada diri manusia. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. Masa usia sekolah dasar merupakan masa akhir kanak-kanak yang. berkisar antara enam tahun sampai dua belas tahun, dimana anak mulai

BAB I PENDAHULUAN. makhluk-makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Manusia sebagai individu dibekali akal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. cinta kasih, dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. karena pendidikan akan dapat mengembangkan kemampuan serta meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan dasar dalam pengaruhnya kemajuan dan kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN. bidang pendidikan, bidang sosial dan lain sebagainya, sehingga memberikan

I. PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan, setiap organisasi dipengaruhi oleh perilaku

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kelompok dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi. Disusun Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. mencapai suatu tujuan cita-cita luhur mencerdaskan kehidupan bangsa.

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu komponen utama kebutuhan manusia. Melalui

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan nilai-nilai masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan sudah ada. mengantarkan manusia menuju kesempurnaan dan kebaikan.

BAB I PENDAHULUAN. produktif. Di sisi lain, pendidikan dipercayai sebagai wahana perluasan akses.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gina Aprilian Pratamadewi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dalam kehidupan suatu negara memegang peranan yang. sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa.

I. PENDAHULUAN. positif dan negatif pada suatu negara. Orang-orang dari berbagai negara

2016 PROGRAM PENGEMBANGAN KECERDASAN EMOSI SISWA BERBAKAT DI KELAS AKSELERASI SMA X MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. baik lingkungan fisik maupun metafisik. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Dimana

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan yang optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya, dan melalui

I. PENDAHULUAN. tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20 (2003:4): Bahwa Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh

BAB I PENDAHULUAN. Deasy Yunika Khairun, Layanan Bimbingan Karir dalam Peningkatan Kematangan Eksplorasi Karir Siswa

I. PENDAHULUAN. Hal ini sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

, 2014 Program Bimbingan Belajar Untuk Meningkatkan Kebiasaan Belajar Siswa Underachiever Kelas Iv Sekolah Dasar Negeri Cidadap I Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Isni Agustiawati,2014

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan menurut bentuknya dibedakan menjadi dua, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

I. PENDAHULUAN. makhluk individu dan makhluk sosial, sehingga siswa dapat hidup secara

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan individu.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan nasional kabupaten hingga diimplementasikan langsung disekolah

Skripsi Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai gelar derajat sarjana S-1 Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. individu terutama dalam mewujudkan cita-cita pembangunan bangsa dan negara.

PENGARUH MANAJEMEN PEMBELAJARAN REMIDIAL DENGAN TUGAS BERSTRUKTUR TERHADAP HASIL BELAJAR PKN DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR SISWA

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensinya. Hal ini didasarkan pada UU RI No 20 Tahun 2003 tentang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. dan keterampilan. Menurut Suharjo (2006: 1), pendidikan memainkan peranan. emosi, pengetahuan dan pengalaman peserta didik.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan

2015 PERBEDAAN MINAT SISWA SMK NEGERI 13 DAN SMK FARMASI BUMI SILIWANGI KOTA BANDUNG DALAM AMATA PELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rahmah Novianti, 2014

I. PENDAHULUAN. siswa diharuskan aktif dalam kegiatan pembelajaran. dengan pandangan Sudjatmiko (2003: 4) yang menyatakan bahwa kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan serta

POKOK BAHASAN MATA - KULIAH BK PRIBADI SOSIAL (2 SKS) :

BAB I PENDAHULUAN. bersaing untuk menghadapi tantangan era globalisasi. diantaranya melalui pendidikan.pengertian pendidikan telah dirumuskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan lembaga utama yang memainkan peranan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan suatu negara, pendidikan memiliki peran strategis dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa ingin berinteraksi dengan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pengembangan kemampuan peserta didik secara optimal merupakan tanggung jawab besar dari kegiatan pendidikan. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan yang bermutu sangat penting untuk pengembangan peserta didik sebagai manusia yang maju, mandiri dan bertanggung jawab. Hal ini sejalan dengan amanat yang dikehendaki Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab II pada pasal 3 bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat dan berilmu, cakap dan kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan formal memiliki tanggung jawab yang besar dalam upaya pengembangan peserta didik secara maksimal yang nantinya dapat bermanfaat bukan saja bagi diri sendiri tapi juga bagi masyarakat luas. Untuk maksud ini lembaga pendidikan formal dituntut melaksanakan banyak hal mulai dari kegiatan pembelajaran yang bermutu, penciptaan suasana yang sehat, sarana dan prasarana yang lengkap dan memadai sampai pada penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang terpadu. Dengan

2 demikian, diharapkan lulusan atau peserta didik dapat menjadi individu yang tidak hanya memiliki prestasi akademik yang baik tetapi juga berakhlak mulia, sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional (Sukadji, 2000). Hal ini berarti bahwa sekolah memiliki tanggung jawab dalam membantu para peserta didik baik sebagai pribadi maupun sebagai calon anggota masyarakat, dengan mendidik dan menyiapkan peserta didik agar berhasil menyesuaikan diri di masyarakat dan mampu menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya. Arus globalisasi sangat menghendaki kemampuan kompetitif dalam berbagai hal di antara setiap warga Indonesia untuk dapat mengantarkan bangsa Indonesia di masa depan yang lebih prospektif dan mampu bersaing secara terbuka, maka sangatlah diperlukan sistem pendidikan yang mampu membangun keunggulan (excellence). Untuk membangun keunggulan tersebut, bangsa Indonesia bertumpu pada individu-individu yang memiliki potensi dan prestasi cemerlang, salah satunya adalah anak berbakat akademik (ABA). Anak berbakat adalah individu unik dengan karakteristik dan kebutuhan tersendiri yang relatif berbeda dengan anak normal pada umumnya yakni memiliki tingkat kecerdasan, komitmen dan kreatifitas yang sangat tinggi. Seperti yang dikemukakan oleh Renzulli (1981, 2005) bahwa keberbakatan yang banyak digunakan adalah three-ring Conception atau Konsepsi Tiga Cincin yakni tiga ciri pokok yang merupakan kriteria (persyaratan) keberbakatan (giftedness) adalah keterkaitan antara : (1) Kemampuan umum (kapasitas intelektual) dan / atau kemampuan khusus di atas rata-rata. (2) Kreativitas di atas rata-rata, dan (3) Pengikatan diri terhadap tugas ( task commitment) yang cukup tinggi.

3 Selain mengembangkan model tiga cincin, Renzulli mengembangkan Renzulli-Monks yang disebut model multifactor. Dalam model multifaktornya Monks mengatakan bahwa potensi kecerdasan istimewa (giftedness) yang dikemukakan oleh Renzulli tidak akan terwujud jika tidak mendapatkan dukungan yang baik dari sekolah, keluarga, dan lingkungan dimana peserta didik tinggal (Monks dan Ypenburg, 1995). Dengan model multifaktor maka pendidikan anak berbakat akademik tidak dapat dilepaskan dari peran orang tua dan lingkungan dalam menanggapi gejala-gejala kecerdasan istimewa yang dimiliki, toleran terhadap berbagai karakteristik yang ditampilkannya baik yang positif maupun berbagai gangguan tumbuhkembangnya yang menjadi penghambat baginya, serta dalam mengupayakan layanan pendidikan yang terbaik baginya. Kelas akselerasi untuk anak berbakat akademik pada awalnya dianggap sebagai solusi terbaik untuk memenuhi kebutuhan belajar bagi peserta didik dengan IQ tinggi, karena sesuai dengan pendapat Terman (dalam Hawadi, 2004), yang menyatakan bahwa peserta didik dengan IQ diatas normal akan superior dalam kesehatan, penyesuaian sosial, dan sikap moral. Kesimpulan ini menimbulkan mitos bahwa peserta didik dengan IQ tinggi adalah peserta didik yang berbahagia dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Namun, sebagian kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kelas akselerasi tidak sebaik yang diharapkan dan ditengarai membawa dampak negatif terhadap kehidupan sosial peserta didik. Peserta didik menjadi berkurang kesempatannya untuk bergaul dan berinteraksi dengan teman karena dituntut untuk selalu berhadapan dengan materi pelajaran, bahkan jam-jam yang seharusnya digunakan untuk

4 program ekstrakurikuler juga dialokasikan untuk praktikum atau evaluasi materi pelajaran. Terkesampingkannya aspek sosial emosional dalam kehidupan seharihari tampak pada fenomena dari para orang tua yang cenderung lebih bangga melihat anaknya menjadi juara kelas daripada menjadi penolong bagi temannya yang mengalami kesulitan pelajaran. Kenyataan dimasyarakat juga menunjukkan bahwa aspek kognitif cenderung lebih dihargai daripada aspek sosial emosional. Hal tersebut tampak pada iklan di media massa, yang menunjukkan bahwa peserta didik dinilai hebat jika mampu memecahkan persoalan matematis yang rumit dan seakan-akan melupakan pentingnya kemampuan berinteraksi dengan lingkungan. Hawadi-Akbar, (2004) menyebutkan bahwa kelemahan utama penyelenggaraan program akselerasi terletak pada masalah hambatan sosial dan kesejahteraan emosional peserta didik. Hambatan sosial yang dimaksud adalah hilangnya aktivitas hubungan sosial yang penting pada usianya, sehingga remaja (peserta didik) akselerasi akan kehilangan keterampilan dalam penguasaan kompetensi sosial mereka. Masalah utama yang dihadapi oleh peserta didik peserta program akselerasi adalah isolasi sosial. Pengelompokkan peserta didik akselerasi cenderung memisahkan mereka dari pergaulan teman sebayanya akibat dari tugas-tugas dan beban akademis yang harus mereka kejar. Hal itu mengakibatkan peserta didik berbakat sulit dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya. Oleh karena itu, Lubis (dalam Hawadi-Akbar, 2004) menambahkan bahwa pentingnya upaya mengasah aspek emosi dan sosial peserta didik, supaya dapat mengembangkan konsep diri yang sehat, dapat memahami dirinya dan lingkungannya dengan baik, dan mampu mewujudkan dirinya dalam

5 hubungan yang serasi dengan diri sendiri, keluarga, sekolah maupun dalam pergaulan teman sebaya. Penyesuaian diri merupakan proses yang meliputi respon mental dan perilaku yang merupakan usaha individu untuk mengatasi dan menguasai kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, frustasi, dan konflik-konflik agar terdapat keselarasan antara tuntutan dari dalam dirinya dengan tuntutan atau harapan dari lingkungan di tempat tinggal. Usia SMP dapat dikategorikan dalam masa remaja awal, yaitu 12-15 tahun (Monks, Knoers, & Haditono, 2004). Memasuki masa remaja, peserta didik mulai melepaskan diri dari ikatan emosi dengan orang tuanya dan menjalin sebuah hubungan yang akrab dengan teman-teman sebayanya. Havighurst (dalam Hurlock, 1997) menjelaskan beberapa tugas perkembangan remaja yang berhubungan dengan perkembangan sosial emosional, yaitu menjalin hubungan dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai suatu peran sosial baik bagi pria maupun wanita sesuai dengan jenis kelaminnya, melakukan perilaku sosial yang diharapkan, dan mencapai suatu kemandirian sosial dari orang tua dan dewasa disekitarnya. Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit ialah berhubungan dengan penyesuaian sosialnya. Remaja sebagai makhluk sosial dituntut memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang baik. Kegagalan remaja dalam menguasai kemampuan sosial akan menyebabkan remaja sulit menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Schneiders (1964: 460) mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai the capacity to react efectively and wholesomely to social realities,

6 situation, and relation. Penyesuaian sosial menandakan kemampuan atau kapasitas yang dimiliki individu untuk bereaksi secara efektif dan wajar pada realitas sosial, situasi, dan relasi sosial. Aspek penyesuaian sosial peserta didik berbakat telah diteliti dalam kurun waktu yang panjang. Diawali studi tentang individu yang cerdas oleh Lombroso pada tahun 1895 (Bliss, 2006), studi longitudinal oleh Terman pada tahun 1921 (Winner, 1996), dan terus berlanjut hingga era tahun 2010 ini. Berdasarkan berbagai studi empiris pada kurun waktu tersebut, secara umum terdapat dua perspektif tentang penyesuaian sosial peserta didik berbakat. Perspektif pertama menyatakan bahwa peserta didik berbakat tidak memiliki masalah dalam hal penyesuaian sosial, bahkan cenderung populer antara teman-temannya (Iswinarti, 2002; Lutfig & Nichols, 1990; Terman, 1925, dalam Versteynen, 2002). Justru karena keberbakatannya, maka peserta didik berbakat memiliki kemampuan penyesuaian psikologis yang lebih baik daripada peserta didik lain (Baker, 1995). Sebaliknya, perspektif kedua menyatakan bahwa peserta didik berbakat cenderung rentan untuk mengalami masalah penyesuaian sosial dengan teman seusia. Para guru dan konselor yang menangani peserta didik berbakat menemukan adanya hambatan pada peserta didik berbakat dalam relasi sosial, terisolir dari teman di sebaya, sulit menerima kritik, non-konformis, dan menolak otoritas (Kesner, 2005). Kondisi anak berbakat berbeda dari teman sebaya tidak hanya pada aspek intelektualitas, namun juga berbeda dalam aspek sosial dan emosinya (Gross, 1994). Byers et.al, 2004).

7 Berkaitan dengan permasalahan peserta didik berbakat akademik, hasil temuan dari Aswan Hadis, (2004) menunjukkan bahwa banyak penelitian mutakhir yang menemukan bahwa peserta didik yang berbakat akademik dalam satu kelas homogen, sekitar 25-30 % peserta didiknya mengalami masalahmasalah emosi dan sosial. Masalah yang sering dialami adalah kurangnya pengetahuan tentang interaksi teman sebaya, isolasi sosial, kepercayaan diri, penurunan prestasi belajar, dan kebosanan yang dialami oleh peserta didik berbakat akademik dalam kelas homogen. Dalam menyelesaikan masalah yang muncul pada peserta didik berbakat akademik berkaitan dengan penyesuaian sosial, maka guru bimbingan dan konseling merancang program bimbingan yang tepat sesuai dengan permasalahan yang ada. Berdasarkan hasil observasi awal terhadap berlangsungnya proses pembelajaran bimbingan dan konseling pada kelas akselerasi di SMP Negeri 1 Baleendah Kabupaten Bandung melalui wawancara dengan Guru BK dan penelaahan dokumen, maka diperoleh gambaran bahwa hasil musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling di SMP Negeri 1 Baleendah Kabupaten Bandung menemukan ada indikasi kurang minat peserta didik berbakat akademik dalam mengikuti bimbingan klasikal dan tingkat penyesuaian sosial yang rendah. Gejala kurang minat peserta didik tampak pada sikap meragukan baik kepada diri sendiri maupun orang lain ditunjukkan oleh peserta didik yang tergolong cerdas (hasil tes psikologi menggunakan instrument SPM terhadap 377 peserta didik, sebanyak 57 atau 15% peserta didik memiliki IQ diatas 130), padahal mereka termasuk kelompok mampu berfikir kritis. Mereka memiliki kekuatan minat dan daya

8 kreatifitas yang baik namun cenderung cepat bosan dan jenuh dengan rutinitas sehingga berakibat menjadi sombong. Mereka juga ingin menang sendiri dan egois sehingga suka konflik karena sulit beradaptasi dengan teman-temannya. Begitu juga dalam aktifitas bimbingan dan konseling, mereka acuh tak acuh atau tidak bersikap menghormati karena mereka suka tantangan, ulet dan terarah. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi agar peserta didik memiliki minat yang tinggi dalam mengikuti bimbingan. Salah satu alternatif solusinya yaitu penggunaan permainan kelompok yang mengintegrasikan nilai-nilai agama dalam pemberian layanan bimbingan kelompok. Dengan demikian diharapkan mampu meningkatkan minat peserta didik yang tinggi dalam mengikuti layanan bimbingan. Sedangkan tingkat penyesuaian sosial yang rendah dari anak berbakat akademik di SMPN 1 Baleendah Kabupaten Bandung sekitar 30 %, sehingga memerlukan penanganan lebih lanjut dari guru bimbingan dan konseling supaya peserta didik tersebut dapat mengikuti seluruh proses pembelajaran yang telah ditentukan. Program bimbingan dan konseling yang digunakan untuk menangani permasalahan penyesuaian sosial peserta didik berbakat akademik yaitu dengan mengintegrasikan nilai-nilai agama dalam pemberian layanan bimbingan kelompok. Berdasarkan hasil identifikasi di atas, maka diharapkan penulis memperoleh gambaran mengenai implementasi program bimbingan pribadi-sosial untuk meningkatkan penyesuaian sosial anak berbakat akademik di SMPN 1 Baleendah Kabupaten Bandung.

9 B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian 1. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka penelitian ini difokuskan untuk mengkaji Bagaimana Implementasi Program Bimbingan Pribadi-Sosial Untuk Meningkatkan Penyesuaian Sosial Anak di SMPN 1 Baleendah Kabupaten Bandung? 2. Pertanyaan Penelitian Secara lebih rinci rumusan masalah tersebut di atas, diuraikan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. Seperti apa tingkat penyesuaian sosial anak berbakat akademik di SMPN 1 Baleendah Kabupaten Bandung? b. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling dalam rangka menangani permasalahan penyesuaian sosial anak berbakat di SMPN 1 Baleendah Kabupaten Bandung? c. Bagaimana implementasi program bimbingan pribadi-sosial untuk meningkatkan penyesuaian sosial anak berbakat akademik di SMPN 1 Baleendah Kabupaten Bandung? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengidentifikasi, mendeskripsikan dan menganalisis tentang Implementasi Program

10 Bimbingan Pribadi-Sosial Untuk Meningkatkan Penyesuaian Sosial Anak di SMPN 1 Baleendah Kabupaten Bandung. b. Tujuan Khusus Tujuan penelitian secara khusus adalah untuk : 1) Untuk mengungkap data mengenai tingkat penyesuaian sosial anak berbakat akademik di SMPN 1 Baleendah Kabupaten Bandung. 2) Untuk memperoleh gambaran mengenai upaya yang dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling dalam rangka menangani permasalahan penyesuaian sosial anak berbakat di SMPN 1 Baleendah Kabupaten Bandung. 3) Untuk memperoleh gambaran mengenai implementasi program bimbingan pribadi-sosial untuk meningkatkan penyesuaian sosial anak berbakat akademik di SMPN 1 Baleendah Kabupaten Bandung. 2. Manfaat Penelitian Penelitian ini berguna baik secara teoretis maupun praktis, sebagai berikut : a. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk kemajuan ilmu pengetahuan dalam bidang pendidikan formal khususnya yang berkenaan dengan

11 implementasi program bimbingan pribadi-sosial untuk meningkatkan penyesuaian sosial anak berbakat akademik. b. Manfaat Praktis Hasil penelitian secara praktis diharapkan dapat dijadikan pedoman dalam implementasi program bimbingan pribadi-sosial untuk meningkatkan penyesuaian sosial anak berbakat akademik. Pedoman disini dimaksud, untuk guru BK/konselor senantiasa dapat merancang secara matang program bimbingan pribadi-sosial untuk meningkatkan penyesuaian sosial peserta didik. Sedangkan untuk penelitian selanjutnya dapat melakukan penelitian yang berkaitan dengan anak berbakat akademik dari aspek lain. D. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir sebagai asumsi dasar dalam penelitian ini menggunakan komponen-komponen dalam sistem pendidikan formal, di antaranya komponen masukan mentah, proses, dan keluaran. Kerangka berpikir dalam penelitian ini terlukiskan pada bagan kerangka berpikir di bawah ini: 1. Masukan Mentah, yaitu peserta didik lulusan sekolah dasar (SD) yang berusia 13 tahun yang memiliki IQ di atas rata-rata atau sekitar di atas 130. 2. Masukan lain seperti sarana dan prasarana pendukung pembelajaran, dana pendukung.

12 3. Pengelola, yaitu SMP Negeri I Baleendah Kabupaten Bandung sebagai penyelenggara program bimbingan pribadi-sosial untuk meningkatkan penyesuaian sosial anak berbakat akademik 4. Implementasi Program Bimbingan Pribadi-Sosial meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. 5. Keluaran terdiri dari kemampuan penyesuaian diri sosial anak berbakat akademik yang tinggi. Masukan Mentah: Lulusan SD dengan IQ di atas rata-rata, TC dan QC tinggi SMPN I BE Implementasi Program Bimbingan Pribadi-Sosial Perencanaan Pelaksanaan Evaluasi Keluaran: Anak berbakat akademik memiliki kemampuan penyesuaian diri yang tinggi Masukan lain: Sarana dan Prasarana Pendukung Pembelajaran Dana Pendukung Bantuan Pemerintah Gambar 1.1 Kerangka Penelitian

13 E. Fokus Telaah Fokus telaah sebagai batasan teori-teori yang akan dikaji secara mendalam. Diantaranya program bimbingan pribadi-sosial, penyesuaian sosial, dan anak berbakat akademik. Fokus telaan dalam penelitian ini dijabarkan sebagai berikut: 1. Program Bimbingan Pribadi-Sosial Bimbingan pribadi-sosial adalah layanan bimbingan untuk membantu peserta didik agar menemukan dan mengembangkan pribadi yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mantap dan mandiri, sehat jasmani dan rohani serta mampu mengenal dengan baik dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya secara bertanggung jawab. Dalam penelitian ini program bimbingan pribadi sosial dirancang untuk memudahkan pemberian layanan bimbingan di SMPN 1 Baleendah Kabupaten Bandung. Program bimbingan pribadi sosial yang dirancang guru BK/konselor dan peneliti adalah rencana kegiatan yang disusun secara operasional berkaitan dengan upaya untuk melaksanakan bantuan kepada peserta didik dalam mengembangkan potensi diri, kepribadian diri sendiri dan kemampuan berhubungan sosial sehingga mampu membina hubungan sosial di lingkungan seperti apapun atau pergaulan sosialnya. 2. Penyesuaian diri Sosial Schneiders (1964: 51) mendefinisikan penyesuaian diri sebagai berikut: A process, involving both mental and behavioral responses, by which an individual strives to cope successfully with inner, needs, tensions, frustration, and conflicts, and to effect a degree of harmony between these inner demands and those imposed on him by objective world in which the lives.

14 Penyesuaian sosial merupakan proses yang meliputi respon mental dan perilaku yang merupakan usaha individu untuk mengatasi dan menguasai kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, frustasi, dan konflik-konflik agar terdapat keselarasan antara tuntutan dari dalam dirinya dengan tuntutan atau harapan dari lingkungan di tempat peserta didik tinggal. Schneiders (1964: 460) mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai the capacity to react efectively and wholesomely to social realities, situation, and relation. Penyesuaian sosial menandakan kemampuan atau kapasitas yang dimiliki peserta didik untuk bereaksi secara efektif dan wajar pada realitas sosial, situasi, dan relasi sosial. Penyesuaian sosial dalam penelitian adalah kemampuan anak berbakat akademik dalam berinteraksi dengan orang lain dan situasi-situasi tertentu yang ada di lingkungan sekolah secara efektif dan sehat sehingga mereka memperoleh kepuasan dalam upaya memenuhi kebutuhan diri sendiri dan orang lain atau lingkungan, dengan indikator (1) melakukan hubungan interpersonal dengan teman, guru dan guru pembimbing. (2) menjalin persahabatan dengan teman sekelas dan di luar kelas. (3) penerimaan diri terhadap tata tertib atau peraturan sekolah. (4) partisipasi dalam kelompok belajar. (5) partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler. 3. (ABA) Secara konseptual pengertian anak berbakat juga berkembang dari tahun ke tahun. Pertama, anak berbakat adalah anak yang ditunjukkan dengan kemampuan tingkat kecerdasaan atau kemampuan umum (g faktor) di atas rata-rata. Konsep

15 ini diperkuat dengan teori faktor, bahwa kemampuan individu dapat dikatagorikan menjadi dua, yaitu kemampuan khusus (s faktor) dan kemampuan umum (g faktor). Berdasarkan konsep ini Komisi Pendidikan AS, Sidney P. Marland (1972) menetapkan definisi anak berbakat sebagai : "Gifted and talented children are those identified by professionally qualified persons who by virtue of outstanding abilities are capable of high performance. These are children who require differentiated educational programs and/or services beyond those normally provided by the regular school program in order to realize their contribution to self and society" Artinya kurang lebih: Anak berbakat adalah anak yang diidentifikasi oleh orang-orang yang berkualifikasi profesional sebagai anak yang memiliki kemampuan luar biasa. Mereka menghendaki program pendidikan yang sesuai atau layanan melebihi sebagaimana diberikan secara normal oleh program sekolah regular, sehingga dapat merealisasikan kontribusi secara bermakna bagi diri dan masyarakatnya. Selanjutnya ditegaskan oleh Kitano dan Kirby (1985) bahwa ABA adalah individu yang memiliki kemampuan potensial dan aktual di bidang akademik tertentu seperti: sains, matematika, ilmu pengetahuan sosial, dan humaniora. Keunggulan bidang akademik yang ditunjukkan dapat juga hanya satu bidang atau dua bidang, bahkan dapat juga semua bidang. Berdasarkan uraian di atas, maka Anak dalam penelitian ini adalah peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa dengan kriteria IQ di atas rata-rata, yaitu minimal 130 dan hasil ITP menunjukan semua peserta didik baik secara pribadi dan sosial menunjukan

16 keadaan yang baik. Serata daya kreatifitas yang tinggi dan pengikatan terhadap tugas yang tinggi. F. Metode Penelitian 1. Situasi Sosial dan Lokasi Penelitian Situasi sosial yang dijadikan penelitian dalam studi ini adalah SMPN 1 Baleendah Kabupaten Bandung. Adapun yang menjadi pertimbangan adalah sebagai berikut: a. SMPN 1 Baleendah Kabupaten Bandung satu-satunya sekolah yang melaksanakan program akselerasi di Kabupaten Bandung. b. Ditinjau dari kegiatan pembelajaran telah menerapkan berbagai model pembelajaran yang ditunjang oleh sarana dan parasarana yang memadai. Berdasarkan pertimbangan itulah, maka penelitian ini menetapkan SMPN 1 Baleendah Kabupaten Bandung sebagai lokasi penelitian. 2. Metode Pengumpulan dan Analisis Data Penentuan metode sangat penting untuk membantu mengarahkan peneliti dalam mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data. Metode merupakan prosedur atau urutan pikiran yang sistematis, yang dituangkan dalam sebuah rencana untuk mengerjakan suatu hal guna tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Selanjutnya metode yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan studi kasus dengan desain kasus jamak dan unit analisis tunggal.

17 Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu teknik observasi, wawancara, studi dokumentasi dan studi kepustakaan. Sedangkan tahap analisis data meliputi beberapa tahapan antara lain: tahap reduksi, tahap display dan tahap verifikasi.