Jurnal Ilmu Hukum ISSN Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 9 Pages pp. 8-16

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

PERANAN HAKIM DALAM PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Oleh. I Gusti Ngurah Dhian Prismanatha

Lex Administratum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

SUATU TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. :

BAB I PENDAHULUAN. sehubungan dengan istilah pencucian uang. Dewasa ini istilah money

KEKHUSUSAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ( MONEY LAUNDERING )

PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA HASNAWATI / D ABSTRAK

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

DAFTAR PUSTAKA. Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta : Kantor Pengacara & Konsultasi Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH&Rekan, 2001.

Keywords: Financial loss of countries, corruption, acquittal, policy, prosecutor

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Jl. MT. Haryono 169 Malang

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI

SANTUNAN OLEH PELAKU TINDAK PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu

DAFTAR PUSTAKA. Bakhri, Syaiful, 2009, Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana, Cetakan I, P3IH FH UMJ dan Total Media, Yogyakarta.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Korupsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

SISTEM PEMBEBANAN PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

TINJAUAN TENTANG SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK (REVERSAL BURDEN OF PROOF) DALAM PEMERIKSAAN PERKARA GRATIFIKASI

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

REFORMULASI WEWENANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENUNTUTAN PADA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG BERASAL DARI TINDAK PIDANA KORUPSI

LATAR BELAKANG MASALAH

TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI KEJAHATAN LUAR BIASA

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. perorangan saja, akan tetapi juga bisa terdapat pada instansi-instansi swasta dan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE PADA PROSES PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI ARTIKEL ILMIAH

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Mahrus, 2011, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, UII Pers, Yogyakarta.

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN BAGI PENUNTUT UMUM DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN DILIHAT DARI PERAN KORBAN DALAM TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA JUDUL PROGRAM

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan dengan asas-asas dan norma-normanya dan juga oleh

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. menerapkan kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan tertentu terhadap individuindividu

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi. Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah perbuatan melawan hukum. secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan

ABSTRACT. Keywords : Compensation, Restitution, Rehabilitation, Terrorism.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan hukum rechtstaat, menganut

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENJAMIN APABILA TERSANGKA ATAU TERDAKWA MELARIKAN DIRI DALAM MASA PENANGGUHAN PENAHANAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang Undang Dasar Repubik Indonesia (UUD 1945) Pasal 1 ayat (3).

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

BAB I PENDAHULUAN. sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. penerapannya dilakukan secara kumulatif.

Transkripsi:

ISSN 2302-0180 9 Pages pp. 8-16 KEBERADAAN ALAT BUKTI SAKSI SINKRONISASI PEMBUKTIAN TERBALIK ANTARA UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Cut Nilasari 1, Dahlan Ali 2, Rizanizarli 3 1) Magister Ilmu Hukum Program Banda Aceh 2) Staf Pengajar Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala Abstract: Article 37A (1) of the Act Number 31, 1999 which later changed with the Act Number 20, 2001 regarding the Suppression of Corruption and Article 77 of the Act Number 8, 2010 regarding the Prevention and Suppression of Money Laundering. Both the acts regulate the shifting burden of proof. The research findings are that the synchronization of shifting burden of proof in the Act Number 20, 2001 regarding the Suppression of Corruption with the Act Number 8, 2010 regarding the Prevention and Suppression of Money Laundering that there is no maximal synchronization toward the substance of shifting burden of proof that is mentioned in both acts. The strength and weakness of the application of shifting burden of proof, the strength are both acts applying the system only for trial stage and not at the investigation stage hence the transparency of shifting burden of proof is clear at the trial. While, the weakness of both acts is the criminal justice procedure regulating shifting burden of proof has not been ruled yet; hence it causes difficulty in its application. The status of shifting burden of proof system with the principle of presumption of innocence in the Suppression of Corruption and the Prevention and Suppression of Money Laundering is that the proof system on both acts oblige the accused to prove that the property of the accused is not derived from crimes. The system is against the principle of presumption of innocence that the accused is not burdened the obligation of proof, burdening proof is only for prosecutor as regulated on the Indonesian Criminal Process Act and the Act of Human Rights. Keywords: Shifting Burden of Proof and Presumption Innocence Abstrak: Pada Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 77 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kedua Undang-Undang tersebut mengatur mengenai pembuktian terbalik.hasil penelitian menunjukkan bahwa sinkronisasi pembuktian terbalik dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu belum adanya sinkronisasi yang maksimal terhadap substansi pembuktian terbalik yang tercantum di dalam kedua Undang-Undang tersebut. Kelebihan dan kelemahan penerapan sistem pembuktian yaitu, kelebihannya pada kedua undang-undang tersebut bahwa pembuktian terbalik hanya berlaku di persidangan tidak pada tahap penyidikan, sehingga transparansi pembuktian terbalik sangat jelas di persidangan. Sedangkan kelemahan dari kedua undang-undang tersebut adalah hukum acara yang mengatur pembuktian terbalik ini belum diatur, sehingga dalam pelaksanaannya menimbulkan kesulitan. Kedudukan sistem pembuktian terbalik dikaitkan dengan asas praduga tidak bersalah yaitu pembuktian terbalik pada kedua undangundang ini mewajibkan terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaan terdakwa bukan dari hasil tindak pidana. Pembuktian terbalik ini bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah di mana terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, pembebanan pembuktian hanya ada pada jaksa, sebagaimana yang diatur di dalam KUHAP dan Undang- Undang Hak Asasi Manusia (HAM). Kata Kunci: Pembuktian Terbalik dan Asas Praduga Tidak Bersalah PENDAHULUAN Maraknya tindak pidana yang terjadi, menjadikan beberapa institusi hukum menjadi kewalahan dalam melakukan penangganannya. Hal tersebut disebabkan karena landasan hukum yang dijadikan acuan sangat kurang. Tindak pidana yang terjadi tidak hanya bersifat biasa, namun ada beberapa tindak pidana yang memiliki tingkatan khusus, yang Volume 2, No. 2, Mei 2014-8

penyelesaiannya juga dibutuhkan aturan hukum yang khusus pula. Beberapa kejahatan yang sulit dijangkau oleh aturan hukum pidana di antaranya adalah kejahatan korupsi dan kejahatan pencucian uang yang telah diatur di dalam aturan hukum pidana yang bersifat khusus yaitu dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diganti dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai kurang memadai karena itu diterapkan dalam keadaan darurat perang melalui Peraturan Penguasa Perang Pusat AD (P4 AD) Prt/PERPU/031/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi, kemudian pada tahun 1960 dibuatlah Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian persoalan muncul sehubungan dengan tuntutan untuk menerapkan asas pembuktian terbalik yang harus dilakukan oleh terdakwa, maka pada tahun 1971 dibentuk Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana sejak dalam pembahasannya undang-undang ini sebenarnya berkeinginan untuk menggunakan sistem pembuktian terbalik namun selalu terhalang dengan alasan pembuktian terbalik bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah, dan akhirnya pada tahun 1999 diundangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menganut sistem pembuktian terbalik terbatas (Adami Chazawi, 2000: 52). Dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Artinya dapat dipahami bahwa beban pembuktian dibebankan pada jaksa bukan pada tersangka atau terdakwa. Namun, dalam perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang beban pembuktian ada pada tersangka atau terdakwa. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 37 Ayat (3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya, harta benda keluarganya dan setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.untuk sistem pembuktian terbalik dalam UU No. 8 Tahun 2010 yang ada pada Pasal 77 menyatakan bahwa Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Walaupun rancangan perundang-undangan mengenai pembuktian terbalik masih terus digodok oleh pemerintah karena masih mengandung pro dan kontra, akan tetapi dengan terealisasinya penggunaan asas pembuktian terbalik telah dilakukan yaitu pada Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggunakan asas pembuktian terbalik (dalam Pasal 12B, 37, 37A, 38A serta Pasal 38 B) dan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (dalam Pasal 77). Untuk itu yang menjadi pokok permasalahan adalah apakah ada sinkronisasi pembuktian terbalik di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang- 9 - Volume 2, No. 2, Mei 2014

Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, kelebihan dan kelemahan penerapan sistem pembuktian terbaik di kedua undang-undang tersebut dan kedudukan sistem pembuktian terbalik dikaitkan dengan asas praduga tak bersalah. KAJIAN KEPUSTAKAAN Dalam negara hukum segala sesuatu dalam dinamika kehidupan kenegaraan haruslah didasarkan atas hukum sebagai pegangan tertinggi. Harus diakui bahwa cita-cita ideal Negara Hukum itu tidak mudah diterapkan. Aturan hukum telah dibentuk di tengahtengah masyarakat, akan tetapi tindak pidana masih saja terjadi, salah satunya tindak pidana korupsi dan tidak pidana pencucian uang, untuk menelaah dan menyelesaikan kedua tindak pidana tersebut, maka diperlukan dua teori sebagaimana yang diuraikan di bawah ini: 1. Teori Penegakan Hukum Terjemahan perkataan law enforcement ke dalam bahasa Indonesia adalah menggunakan perkataan Penegakan hukum. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk ditegakkannya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara. Menurut teori ini penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum tersebut (Soerjono Seokanto, 2005: 24). 2. Teori Sistem Pembuktian Ada beberapa sistem pembuktian yang telah dikenal dalam doktrin hukum acara pidana, ialah: a. Sistem keyakinan belaka Menurut sistem ini, hakim dapat menyatakan telah terbukti kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan didasarkan pada keyakinannya saja, dan tidak perlu mempertimbangkan dari mana (alat bukti) dia memperoleh alasan-alasan yang dipergunakan serta bagaimana caranya dalam membentuk keyakinannya tersebut. Juga tidak perlu mempertimbangkan apakah keyakinan yang dibentuknya itu logis atau tidak logis. Bekerjanya sistem ini tergantung pada hari nurani hakim (Andi Hamzah, 2002: 58). b. Sistem keyakinan dengan alasan logis Menurut sistem pembuktian ini dalam hal membentuk dan menggunakan keyakinan hakim untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana, didasarkan pada alasan-alasan yang logis. Alasan yang digunakannya dalam hal membentuk keyakinan hakim masuk akal, artinya dapat diterima oleh akal orang pada umumnya. Sietem ini disebut dengan sistem keyakinan bebas karena hakim bebas menggunakan alat bukti yang disebutkan di dalam undang-undang maupun di luar undang-undang (Andi Hamzah, 2002: 60). c. Sistem berdasarkan undang-undang Menurut sistem ini dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana didasarkan semata-mata pada alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang. Sisten ini disebut sistem menurut undang-undang secara positif karena hakim dalam menarik kesimpulan sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang (Andi Hamzah, 2002: 61). Volume 2, No. 2, Mei 2014-10

d. Sistem menurut undang-undang secara terbatas Menurut sistem ini dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undangundang, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh. Jadi, untuk menarik kesimpulan dari kegiatan pembuktian ini didasarkan pada dua hal, ialah alat-alat bukti dan keyakinan hakim yang merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan tidak dapat berdiri sendiri-sendiri (Andi Hamzah, 2002: 63). METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metodologis dan sistematis. Metodologis berarti menggunakan metode yang bersifat ilmiah, sedangkan sistematis sesuai dengan pedoman atau aturan penelitian yang berlaku untuk sebuah karya tulis (Sutrisno Hadi,1985:63). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum. Penelitian hukum terdiri dari penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis (Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2009: 5-6). Berdasarkan objek masalah yang diteliti dalam penelitian ini menyangkut Sinkronisasi Pembuktian Terbalik Antara Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, maka jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini berupa, perundang-undangan (statute approach) yaitu dengan menelaah semua undang-undang atau peraturan yang saling berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan konseptual, perbandingan hukum, dan sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan (Peter Mahmud Marzuki, 2008:98). Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini mengedepankan data sekunder melalui penelitian kepustakaan (library research), yang meliputi berbagai macam sumber tertulis seperti buku-buku, makalah, majalah, jurnal, dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Bahan-bahan yang bersifat primer yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah Undang- Undang Dasar 1945, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan sistem pembuktian terbalik. Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, maka untuk melengkapi dan mendukung data yang diperoleh akan dilakukan metode penelitian lapangan (field research) (Rony Hanitijo Soemitro,1990:27). Dimana dalam penelitian lapangan tersebut dilakukan dengan menentukan lokasi dan populasi penelitian, lokasi penelitian yang diambil yaitu Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Perpustakaan Induk Universitas Syiah Kuala, dan Perpustakaan Wilayah Aceh. Sedangkan populasi penelitian yaitu para pihak yang dijadikan sebagai informan yang memberikan informasi dengan mekanisme wawancara dan tanya jawab tentang tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Informan tersebut adalah Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh, Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Akademisi Hukum Pidana, dan LSM Gerakan Anti Korupsi Aceh (GeRAK). 11 - Volume 2, No. 2, Mei 2014

HASIL PEMBAHASAN 1. Sinkronisasi Pembuktian Terbalik Antara Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Pada dasarnya terdapat berbagai macam sistem pembuktian terbalik, yaitu sistem pembuktian terbalik terbatas atau berimbang berdasarkan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan Pembuktian terbalik berdasarkan asas presumption of fault yang membebankan pembuktian secara penuh kepada terdakwa atau pembuktian terbalik murni (Indriyanto Seno Adji, 2006: 82). Pembuktian terbalik di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta di dalam Undang- Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu belum adanya sinkronisasi yang maksimal terhadap substansi pembuktian terbalik yang tercantum di dalam kedua undang-undang tersebut. Pada Pasal 37A ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Sementara Pasal 77 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Tidak adanya sinkronisasi pembuktian terbalik antara Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, karena rumusan pembuktian terbalik pada Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam hal ini si terdakwa tidak hanya memberikan keterangan tentang harta bendanya sendiri, akan tetapi juga meliputi harta benda dari istri, suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi. Sementara pada Pasal 77 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, terdakwa hanya wajib membuktikan harta kekayaannya sendiri tanpa melibatkan pihak lain seperti harta benda dari istri, suami, anak maupun korporasi. Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka menurut hemat penulis terdapat ketidaksesuaian dalam merumuskan sistem pembuktian terbalik yang ada pada perundang-undangan tindak pidana korupsi maupun tindak pidana pencucian uang, sehingga pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa mengenai asal-usul harta kekayaannya tersebut tidak sejalan, padahal di dalam kedua undang-undang tersebut sama-sama menggunakan sistem pembuktian terbalik. 2. Kelebihan dan Kelemahan Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik di Kedua Undang-undang Tersebut Dalam Undang-Undang ini baik UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu mengenai pembuktian terbalik hanya berlaku di persidangan tidak pada tahap penyidikan karena pembuktian bersifat terbatas, sebab penuntut umum masih berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya, jika pembuktian terbalik diwajibkan pada saat berstatus sebagai tersangka, maka dikhawatirkan pembuktian terbalik itu Volume 2, No. 2, Mei 2014-12

dapat menjadi bumerang bagi penegakan hukum pemberantasan korupsi itu sendiri. Dapat saja terjadi, pembuktian terbalik tersebut disalahgunakan oleh penyidik, penyidik dapat melakukan penyalahgunaan wewenang dengan memeras seseorang yang telah menjadi tersangka yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi (Wawancara, Askhalani, 10 September 2012). Menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana yang termuat dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang yang sama (Sutan Remi Sjahdeni, 2004: 115). Selanjutnya beralih ke Pasal 77 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan rumusan bahwa Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Seperti yang diungkapkan di atas bahwa pembuktian terbalik beban pembuktiannya ada pada terdakwa, dalam tindak pidana pencucian uang yang harus dibuktikan adalah asal-usul harta kekayaan yang bukan berasal dari tindak pidana tujuannya adalah untuk menyita harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana, jadi bukan untuk menghukum pelaku tindak pidana. Kelemahan dari penerapan sistem pembuktian terbalik dari UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah bahwa hukum acara yang mengatur pembuktian terbalik belum ada, sehingga dalam pelaksanaannya menimbulkan kesulitan. Ada beberapa alasan-alasan yang menyulitkan dipergunakannya pembalikan beban pembuktian, yaitu : a. Sistem pembuktian yang dianut di Indonesia yaitu sistem pembuktian biasa atau konvensional yang berlandaskan asas praduga tidak bersalah, dengan prinsip umum pembuktian biasa ini menyatakan bahwa, barang siapa yang mendakwakan sesuatu dialah yang dibebani tanggung jawab untuk membuktikan kebenaran tentang apa yang didakwakannya, jadi beban pembuktian dibebankan kepada jaksa penuntut umum bukan pada tersangka atau terdakwa. b. Karena kurang adanya persamaan persepsi dari penegakan hukum dalam menerapkan pembuktian terbalik, sehingga pembuktian terbalik sangat terkesan kuat bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah dan melanggar hak asasi manusia, jadi JPU tidak mendakwakan Pasal-Pasal yang berkaitan dengan pembuktian terbalik pada surat dakwaan yang dilimpahkan ke pengadilan, maka dari itu majelis hakim tidak ada dasarnya untuk melakukan pembuktian terbalik. c. Lemahnya dasar hukum terhadap substansi pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi yaitu dalam Pasal 12B, 37, 37A, dan tindak pidana pencucian uang dalam Pasal 69 dengan Pasal 77. Kelemahan yang ada menyebabkan kesulitan dalam menerapkan pembuktian terbalik, dengan perkataan lain norma yang ada belum memadai, sehingga pembuktian terbalik tidak mempunyai kekuatan hukum yang kuat, jadi tataran kebijakan formulasi ada pengaturannya tetapi dalam penerapan sulit diterapkan sehingga pembuktian terbalik terkesan hanya hiasan saja, sebab kembali lagi kekuatan dari pada norma yang mengaturnya (Lilik Mulyadi, 2007: 113). 13 - Volume 2, No. 2, Mei 2014

Jadi, menurut hemat penulis, dalam kebijakan formulasi tentang aturan hukum pembuktian terbalik ini tidaklah signifikan, karena adanya kelemahan perangkat hukum yang ada pada pembuktian terbalik, kelemahan hukum bisa karena ketidakmampuan para elit politik terutama legislatif dalam menyusun perangkat hukum yang ideal, sehingga mengandung banyak celah yang dapat membuat para elit politik keluar dari sanksi hukum, jadi aturan pembuktian terbalik dibuat bukan untuk memberantas korupsi secara nyata, melainkan hanya sebagai asesoris hukum. 3. Kedudukan Sistem Pembuktian Terbalik Dikaitkan dengan Asas Praduga Tidak Bersalah Pembuktian merupakan titik sentral dalam pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, karena dalam tahap pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang kesalahan terdakwa tidak cukup terbukti maka terdakwa dibebaskan, sedangkan apabila yang terjadi sebaliknya yaitu kesalahan terdakwa berhasil terbukti dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang maka terdakwa dinyatakan bersalah. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa (Djoko Prakoso, 1988: 42). Pembuktian dalam hukum acara pidana adalah ketentuan yang mengatur sidang pengadilan tentang tata cara dan penilaian alat bukti sesuai dengan ketentuan undang-undang, jadi dalam menilai dan mempergunakan alat bukti tidak boleh bertentangan dengan tata cara yang diatur dalam undang-undang. Menurut beberapa ahli hukum pidana penggunaan pembuktian terbalik pada kasus tindak pidana khusus akan bertentangan dengan asas hukum pidana di Indonesia yaitu asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang intinya asas ini menyatakan setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam sidang pengadilan. Asas praduga tidak bersalah adalah asas utama perlindungan hak warga Negara dalam proses hukum yang adil, yang mencakup sekurang-kurangnya: a. Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara; b. Bahwa pengadilanlah yang berhak menentukan salah tidaknya terdakwa; c. Bahwa sidang pengadilan harus terbuka (tidak boleh bersifat rahasia); dan d. Bahwa tersangka/terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela diri sepenuh-penuhnya (Sianturi, S.R., 1996: 48). Dari penjelasan di atas dapat dinyatakan, bahwa sistem pembuktian terbalik dikaitkan dengan asas praduga tidak bersalah kedudukannya tidak sama dan tidak seimbang karena pembuktian terbalik beban pembuktiannya dibebankan kepada terdakwa, sedangkan asas praduga tidak bersalah pembuktiannya dibebankan kepada penuntut umum untuk membuktikan kesalahan seseorang atau sekelompok orang yang diduga melakukan tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 66 KUHAP menyatakan bahwa Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Artinya dapat dipahami bahwa beban pembuktian dibebankan pada jaksa penuntut umum bukan pada terdakwa, pembuktian terbalik bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah tetapi adanya pengecualian di dalam undang-undang pidana khusus yaitu di dalam undang-undang tindak pidana korupsi dan undang-undang tindak pidana pencucian uang karena tindak pidana tersebut merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) maka pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa Volume., No.., Desember 2013-8 pula yaitu dengan memberlakukan sistem pembuktian terbalik, untuk menjaga keseimbangan tersebut, maka Volume 2, No. 2, Mei 2014-14

pembuktian terbalik menggunakan sistem keseimbangan kemungkinan (balanced probability principles) yaitu keseimbangan proporsional antara perlindungan hak individu dengan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari tindak pidana, sehingga tetap dijaga proporsionalnya dengan demikian implementasinya tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dan ketentuan hukum acara pidana. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu belum adanya sinkronisasi yang maksimal terhadap substansi pembuktian terbalik yang tercantum di dalam kedua undang-undang tersebut. 2. Kelebihan dan kelemahan penerapan sistem pembuktian terbalik di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu, kelebihannya pada kedua undang-undang tersebut bahwa pembuktian terbalik hanya berlaku di persidangan tidak pada tahap penyidikan, sehingga transparansi pembuktian terbalik sangat jelas di persidangan. Sedangkan kelemahan dari kedua undang-undang tersebut adalah hukum acara yang mengatur pembuktian terbalik ini belum diatur, sehingga dalam pelaksanaannya menimbulkan kesulitan. 3. Kedudukan sistem pembuktian terbalik dikaitkan dengan asas praduga tak bersalah pada Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu pembuktian terbalik pada kedua undang-undang ini mewajibkan terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaan terdakwa bukan dari hasil tindak pidana. Pembuktian terbalik ini bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah di mana terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, pembebanan pembuktian hanya ada pada jaksa, sebagaimana yang diatur di dalam KUHAP dan Undang-undang HAM. Saran 1. Disarankan adanya perubahan terhadap ketentuan Hukum Acara Pidana di Indonesia karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi saat ini, di mana dapat kita lihat khususnya pengaturan mengenai beban pembuktian belum diatur mengenai pembuktian terbalik di dalam ketentuan tersebut sehingga menimbulkan kesulitan dari aparat penegak hukum dalam menerapkan sistem pembuktian terbalik padahal ketentuan mengenai pembuktian terbalik telah diatur di dalam beberapa peraturan perundangundangan yang berlaku walaupun sifatnya saat ini masih terbatas. 2. Diharapkan Pembuktian terbalik dapat menjadi penggerak bekerjanya sistem peradilan pidana (criminal justice system) dan lembaga-lembaga strategis yang menjadi pilar bekerjanya law enforcement. 3. Disarankan ke depan agar dibentuknya peraturan khusus hukum acara terhadap tindak pidana korupsi dan pencucian uang, sehingga dalam proses persidangan tidak bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah. DAFTAR PUSTAKA 15 - Volume 2, No. 2, Mei 2014

Adami Chazawi, 2005, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung, Sinar Baru. Andi Hamzah, 2002, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Cetakan kedua, Sinar Grafika. Djoko Prakoso, 1988, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di dalam Proses Pidana, Yogyakarta, Liberty. Indriyanto Seno Adji, 2006, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Jakarta, Diadit Media. Lilik Mulyadi, 2007, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung, Alumni. Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana. Rony Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia. Saleh, K. Wantjik, 1983, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta, Ghalia Indonesia. Soerjono Soekanto, 2005, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada. dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Sutan Remi Sjahdeni, 2004, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta, Grafiti. Sutrisno Hadi, 1985, Metodologi Research, Yogyakarta, Andi Offset. Sianturi, S.R.,1996, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Bandung, Alumni. Volume 2, No. 2, Mei 2014-16